Senin, 6 Juli 2009 | 03:31 WIB
Setelah invasi di Irak pada 19 Maret 2003, Saddam Hussein bertahan di Baghdad hingga dia melihat ibu kota Irak itu segera jatuh. Beberapa bulan kemudian dia kepergok bersembunyi di sebuah ladang yang sama, tempat pelariannya tahun 1959, setelah turut ambil bagian dalam upaya pembunuhan terhadap PM Irak Abdul-Karim Qassim.
Wawancara Biro Investigasi Federal AS (FBI) berlangsung saat dia berada dalam tahanan tentara AS. Dari sini muncul cerita Saddam dalam pelarian, sebelum dan setelah dijungkalkan.
Dokumen itu juga mengkonfirmasikan laporan sebelumnya bahwa Saddam sengaja membuat dunia percaya bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, salah satu faktor pendorong invasi AS. Kepemilikan senjata pemusnah massal itu sengaja dia tiupkan untuk membuat Iran yakin Irak memiliki senjata kuat. Saat itu Irak beranggapan Iran lebih berbahaya ketimbang AS.
Saddam ditangkap tentara AS pada 13 Desember 2003, delapan bulan setelah invasi. Pengadilan Irak menuduhnya berbuat kejahatan terhadap kemanusiaan dan dihukum gantung pada akhir 2006.
Saddam mengatakan, dia tidak pernah berada di sekitar Baghdad saat bom berdentuman di Baghdad. Saat itu tentara AS yakin Saddam ada di sekitar Baghdad.
Saddam terakhir kali tampil di depan publik di Azamiyah pada 9 April, sehari sebelum patung perunggu bergambarkan dirinya dijungkalkan di pusat kota Baghdad.
Saddam mengatakan sempat kembali ke Baghdad sekitar 10 atau 11 Aril 2003 ketika kota itu hendak jatuh. Saat itu dia bertemu dengan para pemimpin Irak dan mengatakan, ”Kita berjuang secara tersembunyi.”
Namun, tak lama kemudian Saddam meninggalkan Baghdad. Dia mengurangi tenaga pengamanan pribadi untuk mengelabui tentara AS yang memburunya. Kepada penjaganya, dia mengatakan mereka telah menunaikan tugas dengan bagus.
Ini semua terungkap dalam dokumen lebih dari 100 halaman ditulis George Piro, seorang agen FBI. Piro mewawancarai Saddam setelah Saddam ditemukan dalam sebuah lubang di sebuah lahan pertanian di Tikrit, kota asalnya, yang berjarak sekitar 80 km di utara Baghdad.
Wawancara itu tersedia untuk publik pada Rabu, 1 Juli, lalu oleh National Security Archive.
Saddam membantah kepercayaan luas bahwa dia menggunakan orang yang mirip dengannya untuk menghindari penyergapan. ”Ini tipuan film, bukan kisah nyata,” kata Saddam.
Saddam mengatakan, dia menghindari musuh dengan menggunakan telepon hanya dua kali dalam satu dekade. Saddam terus berpindah-pindah tempat. Dia berkomunikasi dengan kerabat melalui kurir atau bertemu secara pribadi. ”Dia sangat sadar kecanggihan teknologi AS,” demikian salah satu kutipan tulisan Piro.
Dalam rangkaian wawancara antara Februari dan Juni 2004, Saddam membantah bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Hal itu sengaja ditiupkan sebelumnya untuk membuat Iran ketakutan. Iran berperang dengan Irak pada periode 1980-1988.
Meski demikian, Saddam menolak kunjungan tim PBB untuk memeriksa keberadaan senjata tersebut selama 1998-2002. Tim pemeriksa kembali berkunjung ke Irak pada November 2003 dan tetap menyimpulkan bahwa Irak tidak kooperatif. ”Demi Tuhan, jika saya punya senjata itu, saya sudah pasti menggunakannya untuk melawan AS,” kata Saddam kepada Piro.
Mantan Presiden AS, George W Bush, memutuskan untuk menginvasi Irak dengan alasan bahwa Saddam punya senjata pemusnah massal. Bush juga yakin senjata pemusnah massal itu bisa disebarkan kepada para teroris.
Alasan ini terbukti salah total, tetapi tak pernah dipertanggungjawabkan oleh Bush, ataupun Tony Blair, PM Inggris yang berkolaborasi dengan AS saat invasi.
Tak bertemu Bin Laden
Bush juga yakin Saddam merupakan orang yang dekat dengan Osama bin Laden, pemimpin Al Qaeda. Ini juga memperkukuh niat Bush menginvasi Irak. Ini pun terbukti tak benar. Saddam mengatakan sama sekali tak pernah bertemu dengan Bin Laden secara pribadi. Saddam juga mengatakan Irak sama sekali tak pernah bekerja sama dengan kelompok teroris mana pun untuk melawan AS.
Data dari The National Security Archive ini diperoleh berdasarkan Freedom of Information Act yang dimintakan The New York Daily News.
Saddam juga mengatakan bahwa Bush telah memanipulasi serangan 11 September 2001 sebagai alasan kuat untuk menginvasi Irak. Saddam mengatakan, AS telah kehilangan nalar karena 9/11, julukan terkenal bagi serangan itu.
Piro telah pernah bertutur soal wawancaranya dengan televisi CBS dalam program “60 Minutes” tahun lalu.
Kepadanya Saddam mengatakan, dia salah perhitungan dengan Bush, yang dia kira tak akan menginvasi Irak, paling-paling hanya melakukan serangan terbatas. ”Saddam mengatakan seharusnya Irak bisa bertahan dalam serangan AS kedua dengan anggapan serangan AS tidak segencar yang diduga,” kata Piro.
Saddam mengira, Iran-lah yang lebih berbahaya ketimbang AS, berdasarkan wawancara pada 11 Juni 2004.
Saddam juga bertutur soal keadaan menjelang invasi AS tahun 1991, yang didorong oleh invasi Irak ke Kuwait, negara sahabat AS. Hal ini membuat AS kukuh untuk menginvasi Irak.
Saddam mengutip peringatan Menlu AS saat itu, James A Baker III, kepada Menlu Irak Tariq Aziz pada Januari 1991. Kalimat Baker, ”Jika Irak tak memenuhi permintaan AS, kami akan membuat Anda kembali ke situasi negara terbelakang.”
Saddam mengaku pihaknyalah yang memerintahkan peluncuran rudal Scud ke Israel saat invasi AS tahun 1991. Alasan Saddam, Israel-lah yang memengaruhi AS untuk semua prahara di dunia Arab. (AP/MON)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar