Minggu, 12 Juli 2009

Persona "Passion" Meuthia Ganie-Rochman

persona
"Passion" Meuthia Ganie-Rochman

Minggu, 12 Juli 2009 | 03:42 WIB

Maria Hartiningsih

Orang baik saja tak cukup untuk membawa perbaikan berarti bagi pemajuan bermasyarakat dan bernegara kalau sistem untuk menghentikan tawar-menawar politik tidak terbangun dengan baik melalui serangkaian norma, aturan, dan hukum yang diterapkan secara ketat. Begitu diyakini Dr Meuthia Ganie-Rochman.

Menurut ahli sosiologi organisasi dari Universitas Indonesia ini, sistem di lembaga legislatif saat ini membuat pemerintahan dari presiden terpilih mana pun harus benar-benar kuat dan punya political cunning, yaitu cerdik secara politik untuk menghentikan tawar-menawar politik.

”Untuk melakukan perubahan, dibutuhkan dukungan dari kekuatan di dalam masyarakat,” ujar Meuthia yang ditemui di Jakarta, pekan lalu. ”Karena itu, arenanya harus dibuka.”

Arena itu, misalnya, perbaikan pelayanan publik yang langsung menyentuh persoalan paling riil dalam masyarakat, seperti pembuatan kartu tanda penduduk dan pelayanan kesehatan.

Kalau birokrasi di arena itu dibenahi, dukungan akan datang. ”Itu akan sangat mengurangi tekanan politik di belakang layar,” lanjut Meuthia, yang ditemui pekan lalu.

Alternatif lain adalah pembaruan kelembagaan dan membuka komunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat. Ini penting untuk membangkitkan pertukaran argumen secara bertanggung jawab menuju pada konsensus pemikiran terbaik.

”Artinya, ada semangat di masyarakat untuk terlibat memikirkan secara bersama suatu sistem yang lebih baik,” lanjut Meuthia. ”Komunikasi dibuka untuk menyerap ide politik terbaik, sekaligus dukungan yang lebih luas sehingga arena gelap yang belum terlihat akan tertangani, bisa jauh berkurang.”

Meuthia menilai, pemerintahan kemarin belum mampu mengambil strategi itu dan tidak tahu cara membuka dukungan.

”Meski di atas baik, tetapi tak bisa melakukan perubahan sistem sampai ke bawah dan kadang dia dijegal, perubahan tak akan terjadi. Padahal, perubahan itu sangat penting untuk menghadapi para politisi, yang tak terlihat akan lebih terkontrol dan lebih akuntabel dalam membuat kebijakan publik.”

Sepanjang lima tahun kemarin, Meuthia mengamati, kebijakan yang diproduksi Dewan Perwakilan Rakyat, kalau tidak merugikan, tak jelas arahnya untuk perbaikan kesejahteraan. Argumentasinya tidak bermutu dan perangkat penunjang komunikasi dengan rakyat sangat lemah. Banyak peraturan dihasilkan tanpa melalui pembahasan yang terbuka.

Persepsi tentang ”rakyat”

Ilmuwan yang sangat teliti menyikapi diksi itu menelisik pemaknaan kata ”rakyat” oleh para capres melalui artikelnya dalam suasana pemilu putaran kedua tahun 2004.

Dari program-program yang ditawarkan, Meuthia membaca persepsi para capres tentang ”rakyat” sebatas pihak yang harus dipenuhi kebutuhannya. Rakyat sebagai subyek dalam kerangka yang ditawarkan, menghilang di keriuhan.

Rakyat tidak digambarkan sebagai sesuatu yang potensial ikut melakukan perbaikan melalui jaringan sosialnya, gagasan moralnya, atau organisasinya. Persoalan rakyat seolah bukan persoalan peradaban dan keadaban terkait dengan kemampuan suatu bangsa untuk ikut dalam kehidupan global dan kemampuan bersosial membangun kemaslahatan bersama (Kompas, 2 september 2004)

”Sampai sekarang persepsinya masih sama, malah makin kacau,” ujar Meuthia, yang juga kritis mengamati bagaimana kata ”rakyat” menjadi seperti mantra dalam kampanye pemilihan para calon anggota legislatif.

Maksudnya?

Program bantuan langsung tunai (BLT) tidak membuat keadaan rakyat lebih baik. Tak ada nilai tambah untuk peningkatan kapasitas sosial dari suatu bantuan program sosial. Bantuan semacam itu juga cenderung mendorong orang melakukan manipulasi agar mendapat BLT. Persoalannya bukan hanya soal membantu orang miskin, tetapi juga bagaimana menciptakan lapangan kerja lebih luas supaya mereka bisa bekerja dan bagaimana kapasitas ekonomi rakyat diperkuat.

Kadang memang tercapai konsensus atas kebijakan tertentu yang tak bisa ditolak, seperti alokasi dana pemerintah untuk pendidikan dasar sembilan tahun. Kebijakan itu sebenarnya jauh dari kebutuhan suatu bangsa untuk melakukan perbaikan. Yang dibutuhkan adalah bagaimana sistem pendidikan diarahkan untuk memecahkan masalah-masalah kita sekarang; kapasitas manusia macam apa yang mau dihasilkan, apakah lewat pendidikan formal atau apa, yang jelas bukan sekadar alokasi dana.

Orang miskin menghadapi ketidakpastian yang tinggi akan nasib mereka. Mereka adalah sasaran premanisme dan organized crime. Mengurangi kemiskinan tak cukup dengan BLT dan pendidikan dasar sembilan tahun. Harus dilakukan perubahan dasar-dasar institusional organisasi masyarakat kita dan itu terkait dengan kebijakan ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain-lain. Belum ada kebijakan yang semendalam itu karena pemerintah terlalu diganggu oleh permainan politik di arena-arena itu.

Tak ada kemajuan

Meuthia yang melakukan penelitian selama bertahun-tahun mengenai kondisi organisasi masyarakat sipil di berbagai wilayah di Indonesia menyimpulkan, masyarakat sipil yang sehat harus terdiri dari organisasi-organisasi (formal dan informal) yang berfungsi mengolah tantangan dan persoalan dalam masyarakat sehingga dapat menghasilkan gagasan tentang solusi, norma, dan nilai baru. Selain itu, juga menjadi jembatan atas konflik dan tensions dalam masyarakat dan menjadi jembatan yang efektif sebagai komunikator langsung untuk disalurkan dalam saluran pengambilan kebijakan publik.

”Arah masyarakat sipil, bagaimanapun bisa dipengaruhi lembaga negara atau kekuatan lain dalam masyarakat, seperti parpol dan kelompok bisnis,” ujar Meuthia.

Institusi negara seharusnya memperkuat masyarakat sipil, misalnya dengan membuat kebijakan yang mengurangi ketimpangan, memperkuat perekonomian rakyat, dan mengembangkan teknologi tepat guna. Dengan itu, masyarakat sipil dapat memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan inovasi.

Negara harus memberikan keamanan dalam arti luas terhadap berbagai kelompok sehingga energi dan sumber daya kelompok masyarakat tak harus dihabiskan untuk mempertahankan keamanan, menjaga identitas, dan lain-lain. Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) harus lebih transformatif dan mendukung organisasi masyarakat, misalnya dalam gerakan bersama melawan korupsi.

Bagaimana kemajuan masyarakat sipil kita terkait pemilu kemarin?

Belum ada kemajuan, dalam arti bertanggung jawab sebagai warga negara yang ikut memikirkan berbagai hal di luar diri kita. Warga negara yang bertanggung jawab tak sekadar lahir dari gagasan menjadi orang baik. Banyak orang dengan niat baik tak bisa menerjemahkan gagasan itu sehingga akhirnya menjadi pragmatis lagi. Ini terjadi di semua level.

Saya pikir dan ini passion saya, orang harus menyadari kelemahan dalam organisasi-organisasi masyarakat kita, termasuk bisnis dan birokrasi pemerintah, dan mulai memperbaikinya, dengan mengembangkan pengetahuan baru dan inovatif sesuai keberagaman masyarakat Indonesia.

Semua gagasan, pengaturan sumber daya, niat baik, solidaritas, dan trust harus ada normanya dalam kehidupan sehari- hari. Norma itu menjadi landasan aturan main yang dibuat bersama. Dengan cara itu, sedikit demi sedikit bisa terjadi peningkatan, misalnya dalam pengelolaan solidaritas sosial. Trust tak bisa dibentuk dari angan-angan, tetapi harus dibangun dari aturan main yang ditetapkan bersama dan harus terus diuji untuk menjaga kekonsistenan karena kita ini manusia biasa.

Kalau tak ada aturan main untuk saling menghormati dan membantu orang lain agar kinerjanya dalam kehidupan sosial menjadi lebih baik, niat menjadi orang baik hanya berhenti pada angan-angan. Organisasi sosial yang punya berpengaruh besar dalam masyarakat sangat bertanggung jawab dalam pembaruan masyarakat sipil. Sayangnya, pola komunikasi dan pengambilan keputusan organisasi- organisasi tua itu masih terikat pada pola-pola lama sehingga tidak responsif terhadap persoalan-persoalan kontemporer dalam masyarakat.


Jejaring Kesalingterkaitan



Pilihan-pilihan dalam hidup senantiasa berakar pada pengalaman panjang. Pun pada Meuthia Ganie-Rochman. Dia tumbuh dalam keluarga yang mengajarinya melihat bagaimana struktur sosial membangun pembedaan dan perbedaan di masyarakat.

”Kalau sejak dini, anak dibimbing untuk peka pada kehidupan di sekitarnya, melalui buku, film, dan kegiatan apa pun, dia akan belajar tentang kesalingterkaitannya dengan orang lain, juga lingkungan, dan berbagai dimensi kehidupan sehingga dia peduli dan tak mudah menghakimi orang lain,” ujar anak kedua dari lima bersaudara itu.

Sejak kecil, Meuthia menyadari bahwa setiap orang memiliki sisi baik dan buruk. ”Kita hidup dengan itu. Dari yang buruk, manusia mengenali kebaikan. Tugas kita adalah mengembangkan sisi baik sehingga menghasilkan yang terbaik dalam hidup untuk diri kita dan orang lain.”

Pengalaman mengantarkan Meuthia pada keyakinan akan jaring kehidupan, yang mengharuskan setiap orang maupun kelompok saling peduli agar fungsi-fungsi positif berkembang. Kebaikan bersama tak mungkin tercapai dalam kotak-kotak perbedaan.

”Maka, pendidikan sejak kecil idealnya berada dalam kerangka meletakkan diri berkaitan dengan fungsi kebaikan orang lain supaya peduli kalau orang lain mempunyai fungsi positif yang harus dibantu,” tutur Meuthia.

Kesadaran

Kesadaran akan kesalingterkaitan akan berimbas pada pengembangan ilmu pengetahuan yang terfokus pada keterhubungan antara satu komponen dan komponen lain dalam masyarakat.

Itulah filosofi yang melandasi passion dalam dirinya untuk menyebarkan gagasan tentang organisasi yang baik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

”Kita harus terdorong untuk tak hanya memikirkan organisasi sendiri, tetapi dalam kaitannya dengan organisasi lain supaya terjadi pemanfaatan yang lebih baik dan sumber-sumber daya material dan pun modal sosial,” kata Meuthia.

Yang terjadi sekarang justru sebaliknya. ”Ego yang begitu besar membuat orang maupun organisasi berebut sumber daya dan berkompetisi secara tidak sehat,” lanjut Meuthia. ”Dengan situasi seperti itu, perbaikan masyarakat adalah ilusi.”

Meuthia meyakini, kesadaran akan kesalingterkaitan akan mengantarkan pada penghormatan kepada manusia lain dan kesadaran akan suatu proses pencapaian; bukan hasil akhir, tetapi cara mencapainya.

”Semua itu bukan hanya dalam pemikiran, tetapi juga terumuskan cara-caranya dengan baik dalam norma, aturan, dan hukum agar energi kita tidak terserap pada penonjolan keberhasilan material yang sering kali tidak dicapai dengan cara yang baik.” (MH)

Tidak ada komentar: