Jumat, 10 Juli 2009

Roger "The Greatest" Federer

Oleh Anton Sanjoyo

Roger Federer adalah sederet rekor. Dalam namanya yang biasa disingkat RF, ada 15 gelar grand slam, 77 games laga final, rating televisi tertinggi, dan sejumlah catatan menakjubkan lain. Pete Sampras, legenda tenis Amerika Serikat yang rekor perolehan grand slam-nya dipatahkan Federer di All England Club hari Minggu lalu, tak ragu berujar, ”Ia (Federer) adalah yang terbesar sepanjang sejarah tenis.”

Perdebatan tentang siapa the greatest dalam sejarah tenis praktis berhenti di All England Club saat Federer mengangkat trofi Wimbledon-nya yang keenam. Sebelumnya, perdebatan tentang siapa yang terbesar selalu menyeruak, terutama membandingkan pemain-pemain beda generasi: Rod Laver, Bill Tilden, Sampras, atau Federer. Namun jelas, gelar ke-14 di Roland Garros dan ke-15 di Wimbledon menghentikan semuanya.

Namun, Federer menjadi yang terbesar bukan sekadar karena sederet gelar, bukan pula karena catatan dan rekornya. Federer yang sejak tiga tahun lalu sudah disebut sebagai the legend in the making ini menjadi yang terbesar karena tak pernah sedetik pun kehilangan hasrat dan passion untuk menjadi yang terbaik. Ia juga menjadi sejarah karena punya rivalitas indah dengan Rafael Nadal.

Tahun lalu, selepas dipermalukan Nadal di Roland Garros, banyak orang menduga karier hebat Federer akan selesai. Lagi pula, apa lagi yang harus dikejar? Dengan total prize money mencapai hampir 50 juta dollar AS, usia menjelang 28 tahun, dan menantikan kelahiran anak pertamanya musim panas ini, apa lagi yang ingin diraih Federer? Bahkan, Federer pun tak mampu menjawabnya. Petenis yang menguasai enam bahasa Eropa itu hanya berujar, ”Saat terbangun saya tersadar, saya melakukannya lagi (menjadi juara),” ujar Federer yang tertidur selama dua jam setelah laga 4 jam 16 menit yang melelahkan melawan Andy Roddick.

Faktor Rafael Nadal

Federer memang menorehkan sejarah di Wimbledon 2009 dengan mematahkan rekor Sampras. Namun, semuanya bermula di Madrid Masters, medio April lalu. Di turnamen pemanasan menjelang Perancis Terbuka itu, Federer mengalahkan ”Raja Tanah Liat” Nadal di laga puncak.

Menjadi juara seri Masters adalah hal biasa bagi Federer, tetapi mengalahkan Nadal di lapangan clay menjelang Roland Garros adalah luar biasa. Selepas itu, Federer melenggang menjadi juara dan mengakhiri semua mimpi buruknya tentang Perancis Terbuka. Sepanjang kariernya, Perancis terbuka memang menjadi beban hidupnya. Namun, beban itu tak seberat rivalitasnya dengan Nadal. Federer takluk di tangan Nadal dalam tiga final grand slam terakhir yang mempertemukan keduanya.

Nadal ada dan menjadi ”hantu” dalam pikiran Federer, bukan sekadar lawan di seberang jaring. Vic Baden, seorang pelatih tenis yang juga psikolog, punya penemuan menarik tentang ini.

Mengamati rekaman pertandingan Federer, layar demi layar, Baden menemukan bahwa melawan pemain lain, mata Federer terbuka lebar, sangat fokus dengan gerakan bibir mengarah ke depan. Namun, melawan Nadal—dan hanya melawan Nadal—mata Federer redup, dan segala hal di wajah Federer tampak kelu. Bukan hanya saat laga, bahasa tubuh Federer terlihat gamang bahkan saat pemanasan. ”Nadal tidak hanya berada di kepala Federer, bahkan di wajahnya,” papar Baden.

Di final Madrid, seluruh bahasa tubuh Federer berubah drastis. Ia lantas mengakhiri 18 bulan tanpa menang lawan Nadal, sekaligus menyudahi 33 kemenangan beruntun petenis Spanyol itu di lapangan tanah liat. Federer membuka lebar pintunya untuk mencatat sejarah menjadi yang terbesar. Persaingannya dengan Nadal-lah yang merevitalisasi spirit dan passion Federer.

Nadal memang tak tampil di Wimbledon 2009. Cedera lutut memaksa sang juara bertahan mundur sebelum kejuaraan. Namun, tentu itu tak mengurangi nilai sejarah yang dicatat Federer yang tahun lalu meneteskan air matanya setelah kalah melawan Nadal dalam final lima set.

Di tempat sama, lapangan utama All England Club tahun lalu, Federer mengalami kondisi yang nyaris serupa. Tahun lalu, ia selamat dari match point di set keempat, tetapi terpeleset 7-9 di tie game set penentuan melawan Nadal. Tahun ini, Federer selamat dari set point Roddick di tie break set kedua, untuk kemudian menang 16-14 di tie game set kelima.

”Saat posisi 13-13 di set penentuan, saya hanya berpikir positif, saya hanya beberapa menit menjelang kemenangan. Saya percaya mampu melakukannya,” ujar Federer.

Kepercayaan diri juga yang terlihat saat Federer tertinggal 2-6 di tie break set kedua. Sebagian orang mengira titik balik Federer adalah saat Roddick melakukan kesalahan fatal dengan backhand volley-nya saat unggul 6-5.

Namun, jauh sebelum itu, saat Roddick masih unggul 6-2 dan tinggal satu poin untuk unggul dua set, Federer menunjukkan kelasnya sebagai yang terbesar. Roddick melepas pukulan forehand dahsyat. Bola meluncur deras tepat di depan kaki Federer di sisi backhand. Dengan instingnya yang luar biasa, Federer melakukan half volley, menyilangkan bola ke wilayah tak bertuan di sisi permainan Roddick. Selepas itu, Federer merebut lima poin beruntun untuk merebut set kedua.

Sang Nemesis Nadal memang tak tampil. Namun, Roddick memberikan perlawanan terbaik sepanjang hidupnya. Itulah mengapa Federer tetap menjadi yang terbesar sepanjang sejarah tenis karena ia tetap akan merebut grand slam-nya yang ke-16, 17, bahkan yang ke-18.

Tidak ada komentar: