Kamis, 31 Desember 2009

Gusdur Wafat

http://www.kompas.com/lipsus122009/gusdur

Rabu, 30 Desember 2009

Mengenang Perjalanan Hidup Gus Dur


Abdurahman Wahid.
Rabu, 30 Desember 2009 | 19:53 WIB

KOMPAS.com - Kiai Haji Abdurrahman Wahid yang sering dikenal dengan nama Gus Dur adalah salah satu tokoh nasional yang banyak mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Cucu ulama besar KH Hasyim Asy'ari tersebut pernah menjabat Ketua Nahdlatul Ulama (NU). Gus Dur pula yang mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di era reformasi.

Gus Dur meninggal dunia, Rabu (30/12/2009), sekitar pukul 18.45 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) setelah sempat dirawat beberapa hari dan menjalani cuci darah. Gus Dur meninggalkan seorang istri Shinta Nuriyah dan empat orang anak masing-masing Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zanuba Arifah, Anita Hayatunnufus, dan Inayah.

Perjalanan hidupnya dimulai di Jombang, Jawa Timur, tempat kelahirannya pada 4 Agustus 1940. Ia menjalani pendidikan sekolah dasar di Jakarta sejak tahun 1953 dan melanjutkan ke SMEP di Yogayakarta tahun 1956. Kemudian, Gus Dur melanjutkan pendidikan di pesantren Tambakberas Jombang pada tahun 1963. Gus Dur juga sempat mengenyam pendidikan di - Universitas Al Azhar, Department of Higher Islamic and Arabic Studies, Kairo dan Fakultas Sastra, Universitas Baghdad, Irak pada tahun 1970 namun tak sempat menyelesaikan.

Selepas itu, Gus Dur berkarir menjadi guru dan dosen selama bertahun-tahun. Gus Dur menjadi Guru Madrasah Mu'allimat, Jombang (1959 - 1963), Dosen Universitas Hasyim Asyhari, Jombang (1972-1974), Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asyhari, Jombang dan (1972-1974).

Kemudian Gus Dur juga aktif di pesantren menjadi Sekretaris Pesantren Tebuireng, Jombang (1974 - 1979) dan menjadi konsultan di berbagai lembaga dan departemen pemerintahan pada tahun 1976. Selanjutnya, Gus Dur menjadi pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta sejak tahun 1976 hingga sekarang.

Di organisasi Nahdlatul Ulama, Gus Dur menjadi anggota Syuriah Nahdlatul Ulama tahun 1979- 1984. Ia juga menjabat Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk empat periode. Masing-masing 1984-1989, 1989-1994, dan1994 - 1999, dan 2000-2005.

Sementara di bidang pemerintahan, Gus Dur pernah duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif. Ia menjadi anggota MPR dari utusan golongan selama dua periode. Masing-masing periode 1987-1992 dan 1999-2004. Karir politik tertinggi menjadi Presiden RI selama 2 tahun 1999-2001.

Gus Dur dikenal sebagai tokoh kerukunan umat beragama bahkan cukup kontroversial karena menjadi anggota Dewan Pendiri Shimon Peres Peace Center, Tel Aviv, Israel. Ia pernah menjadi Wakil Ketua Kelompok Tiga Agama yaitu Islam, Kristen dan Yahudi yang di bentuk di Universitas Al Kala, Spanyol, Pendiri Forum 2000 (Organisisasi yang mementingkan Hubungan Antaragama). Ia juga pernha menjabat Ketua Dewan Internasional Konferensi Dunia bagi Agama dan Perdamaian (World Conference on Religion and Peace-WCRP), Italia tahun 1994.

Gus Dur juga pernah Ketua Dewan Pimpinan Harian (DPH) Dewan Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (TIM) periode 1983-1985. Meski mengalami penurunan kemampuan melihat, Gus Dur dikenal masih suka membaca melalui suido book bahkan sampai menjelang akhir hayatnya. Ia juga dikenal produktif menulis artikel dan buku.

Gus Dur juga banyak mendapat penghargaan seperti gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Jawaharlal Nehru, India, Bintang Tanda Jasa Kelas 1, Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan dari Pemerintah Mesir, Pin Penghargaan Keluarga Berencana dari Perhimpunan Keluarga Berencana I, Ramon Magsaysay, Bintang Mahaputera Utama dari Presiden RI BJ Habibie, Gelar Doktor Honoris Causa, Bidang Perdamaian dari Soka University Jepang ( 2000 ), Global Tolerance Award dari Friends of the United Nations, New York ( 2003 ), World Peace Prize Award dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan ( 2003 ), Presiden World Headquarters on Non-Violence Peace Movement ( 2003 ), Penghargaan dari Simon Wiethemtal Center, Amerika Serikat ( 2008 ), Penghargaan dari Mebal Valor, Amerika Serikat (2008), Penghargaan dan kehormatan dari Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat, yang memakai namanya untuk penghargaan terhadap studi dan pengkajian kerukunan antarumat beragama, Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study (2008).

Sabtu, 28 November 2009

Riezka, Pewaralaba Pisang Ijo

KOMPAS/STEFANUS OSA TRIYATNA
Riezka Rahmatiana
PROFIL USAHA
Riezka, Pewaralaba Pisang Ijo

Sabtu, 28 November 2009 | 03:03 WIB

Oleh Stefanus Osa

Jasmine memang berarti melati. Dalam plesetan yang dibuat perempuan Riezka Rahmatiana (23), kata ”jasmine” diubah menjadi ”JustMine” untuk mengangkat penganan tradisional pisang ijo asli Makassar ke masyarakat. Bahkan, pisang ijo ini dijadikan peluang usaha waralaba.

Mirip semerbak keharuman bunga melati, gadis kelahiran Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada 26 Maret 1986 ini mengawali usaha kecilnya pada saat duduk di bangku kuliah sebagai mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Kini, kartu namanya sudah tertulis Riezka Rahmatiana sebagai Presiden Direktur ”JustMine”.

Semangat kewirausahaan, begitulah yang mengawali Riezka. Awalnya, kata Riezka, adalah kesumpekan. Banting tulang orangtuanya dalam mencukupi kebutuhan keluarga, termasuk menyekolahkan anak-anak, mendasari pikiran Riezka untuk berupaya agar dia bisa berdiri di atas kakinya sendiri.

Orang tua bekerja sejak pagi hingga larut malam. Hasil banting tulang seharian dilakukan untuk meraih gaji. Kemandirian wirausaha itulah yang secara diam-diam tumbuh dalam diri Riezka.

”Saya tidak mau menyusahkan orangtua. Berbekal modal awal Rp 13,5 juta, tahun 2007 bisnis makanan pisang ijo yang segar mulai menjadi pilihan untuk dipasarkan di Kota Bandung,” kata Riezka.

Ketika mengambil keputusan berwirausaha di sela-sela kuliahnya, anak pertama dari dua bersaudara ini mengaku mendapat larangan keras dari orangtuanya. Mereka menganjurkan dia agar mencari pekerjaan yang aman.

Riezka pun menuturkan jatuh dan bangunnya mencicipi aneka pekerjaan di sela-sela kuliahnya. Mulai dari menjadi anggota jaringan pemasaran alias multi level marketing (MLM), penjual pulsa telepon seluler, hingga menjajal bekerja di sebuah kafe. Dari sebagian menyisihkan penghasilan bekerjanya selama itulah, Riezka memulai usaha pisang ijo khas Makassar.

Tanggal 16 Maret 2009 menjadi momentum perjalanan wirausahanya. Riezka memang belum pernah ke Makassar, tetapi ketekunannya mencari penganan tradisional dan kemauannya untuk belajar memproduksi pisang ijo itulah menjadi modal dasarnya. Tanya-tanya resep pun terus dilakukannya.

Pisang dipandang sebagai bahan baku yang relatif murah dan selalu mudah diperoleh di pasar. Hanya dengan dibalut adonan tepung beras yang diberi warna hijau, sajian khas ini bisa mulai dipasarkan dengan nama tren Pisang Ijo.

Dari sanalah kreativitas Riezka bermunculan. Dari sajian pisang ijo orisinal, Riezka mengembangkannya dengan aneka rasa, seperti pisang ijo vanila, stroberi, coklat, dan durian. Semangkok pisang ijo yang disiram sedikit cairan fla yang gurih akan menjadi bertambah segar apabila ditambah pecahan es batu. Apalagi, kreativitasnya dilakukan dengan menambahkan serutan keju dan mesis coklat.

Penghasilan tak terbatas

Dorongan menjadi entrepreneur terjadi justru ketika Riezka membaca buku berjudul Cashflow Quadrant bahwa tidak ada karyawan yang bisa memperoleh penghasilan tak terbatas.

Benarkah hipotesis tersebut? Riezka membuktikan lewat ketekunannya. ”Kalau orang atau setidaknya orangtua saya bekerja dari pagi hingga malam, untuk pada akhirnya mencari penghasilan, saya justru sebaliknya. Kita semestinya tidak bekerja mengejar penghasilan, tetapi biarlah uang mendatangi kita,” ujar Riezka yang akhirnya mewaralabakan usahanya itu.

Dari usaha kecilnya ini, Riezka membuka peluang berinvestasi dengan sistem waralaba. Alhasil, dari satu gerai, kini ada 10 pewaralaba pisang ijo yang tersebar, terutama di kota Bandung, Jawa Barat.

Pemilihan mitra pun dilakukan selektif karena visi yang diemban adalah ”Kepuasan konsumen adalah kepuasan kami. Kesuksesan mitra adalah kesuksesan kami.” Pemilihan gerai bukan sekadar melihat berkas yang diajukan calon mitra, apalagi uang waralaba yang disiapkan mitra.

Melalui penelitian lokasi pasar, Riezka berani mengambil keputusan diterima atau tidaknya seorang mitra. Dia pun memprediksi, besarnya potensi pasar terhadap produknya di lokasi tertentu.

”Sasarannya tetaplah mahasiswa. Karena itu, lingkungan kampus menjadi target lokasi,” kata Riezka.

Bersama sahabatnya, Erwin Burhanudin, Riezka membangun sistem waralaba. Mereka pun mengaku tidak ingin gegabah memperoleh sebanyak-banyaknya pewaralaba. Kapasitas produksi tetap harus menjadi acuan usahanya.

Cepat atau lambat, Riezka yang murah senyum kini sudah mulai menuai hasil. Enam karyawannya ikut bekerja keras menunjang usaha waralabanya dengan memproduksi sekitar 500 porsi setiap harinya.

Soal keuntungan, pokoknya sangat menggiurkan. Sebagai wirausaha muda yang berhasil masuk sebagai finalis tingkat nasional Wirausaha Muda Mandiri 2008, Riezka hanya berharap, setitik perjalanan hidupnya bisa memberikan napas kehidupan masyarakat sekitarnya.

Jumat, 20 November 2009

YUDHI LATIF

Menjaga Modal Demokrasi Indonesia

Senin, 2 November 2009 | 02:57 WIB

Oleh M Hernowo

Nurcholish Madjid kecil. Demikian orang sering menyebut Yudi Latif. Perhatian Yudi yang besar terhadap Islam dan kebangsaan serta kemampuannya menggabungkan ilmu politik, sejarah, filsafat, dan sastra dalam melihat suatu fenomena memang akan langsung mengingatkan orang pada sosok Nurcholish Madjid.

Namun, berbagai kemampuan itu tidak hanya didapat Yudi dari pergaulannya yang intensif dengan Cak Nur, demikian Nurcholish Madjid sering dipanggil, setelah mereka bertemu muka untuk pertama kalinya pada tahun 1994, tetapi juga dibentuk oleh sejarah hidup Yudi sendiri.

Ayah Yudi, yaitu Utom Mulyadi, yang merupakan tokoh Nahdlatul Ulama, dan ibunya, Yuyun Mustika, yang nasionalis, telah mengajarkannya sejak kecil tentang Islam dan kebangsaan.

Garis pemikirannya makin dilengkapi oleh pengalamannya saat mondok di Pondok Pesantren Modern Gontor, Jawa Timur, petualangannya sebagai aktivis saat kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung, serta kehidupan dan pemikiran modern yang didapatnya ketika belajar di Australia.

Matangnya pemikiran Yudi membuat Cak Nur pada tahun 1996 memercayainya sebagai salah satu pembuat rencana induk Universitas Paramadina.

”Cak Nur lebih tertarik membuat kelompok yang kritis meski itu hanya berjumlah kecil dibandingkan massa yang besar sebab kelompok kritis ini yang akhirnya mewarnai wacana di publik. Sebagai universitas swasta, Cak Nur berharap Paramadina harus memiliki nilai tertentu, yaitu kekritisan, terutama di bidang kebangsaan dan Islam,” ungkap Yudi tentang tujuan Universitas Paramadina yang akhirnya berdiri pada tahun 1997/1998.

Bagaimana efektivitas dari massa yang kritis tersebut?

Cukup baik. Pemikiran tokoh seperti Abdurrahman Wahid atau Cak Nur selalu berpengaruh. Misalnya terlihat dari sejumlah partai yang meski menyatakan Islam sebagai identitasnya, mereka tetap terbuka terhadap pandangan dari luar.

Pemikiran tokoh-tokoh itu juga menjadi wacana yang cukup diminati dan berpengaruh di sejumlah simpul Islam yang pemahaman agamanya amat kuat, misalnya di kalangan mahasiswa IAIN atau Nahdlatul Ulama.

Wacana Islam

Perhatian Yudi terhadap wacana Islam dan kebangsaan tidak pudar meski sekarang dia tidak lagi aktif di Universitas Paramadina.

Bahkan, setelah Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 karena gangguan fungsi hati, Yudi bersama sejumlah orang, termasuk Ommy Komariah Madjid, istri Cak Nur, mendirikan Nurcholish Madjid Society.

Lewat yayasan yang ingin melestarikan gagasan Cak Nur ini, setiap enam bulan diterbitkan sebuah jurnal bernama Titik Temu.

Diilhami oleh harapan Cak Nur agar umat Islam jangan sampai menjadi tamu di negerinya sendiri, Yudi juga menggagas pertemuan mahasiswa dari 38 kampus di Indonesia untuk berdiskusi tentang Islam dan masalah lainnya.

”Nilai Islam harus menjadi bagian dari pengisian nilai keindonesiaan. Oleh karena menjadi bagian pengisian, Islam harus memberikan tempat bagi partisipasi kelompok lain. Oleh karena Islam kelompok mayoritas, wacana pluralisme juga akan dapat lebih tumbuh efektif jika berkembang di Islam,” kata dia.

Mengapa harus menggelar diskusi yang melibatkan 38 kampus?

Terbatasnya bacaan untuk mahasiswa selama ini menjadi salah satu masalah di kampus. Akibatnya, tidak banyak mahasiswa yang dapat membaca berbagai ajaran Islam dari buku aslinya.

Dalam diskusi ini, selain membebaskan pesertanya untuk bicara, juga dimaksudkan untuk membagikan pengetahuan tentang pemikiran Islam, langsung dari buku aslinya. Hasilnya ternyata cukup spektakuler. Banyak wacana dan pemahaman baru tentang Islam, pluralisme, dan kebangsaan muncul di diskusi-diskusi tersebut.

Di era demokratisasi dan globalisasi selama 10 tahun terakhir, seberapa penting isu pluralisme dan kebangsaan di Indonesia?

Globalisasi telah memperbaiki apresiasi terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, pada saat yang sama, globalisasi juga membangkitkan etnosentrisme.

Rivalitas yang melibatkan agama dan etnis makin menguat di Indonesia. Bahkan, dalam politik saat ini perlu diwaspadai munculnya anggapan bahwa agar identitasku ada, yang lain harus ditiadakan.

Apakah munculnya etnosentrisme ini karena kurangnya modal kita untuk berdemokrasi?

Indonesia sebenarnya telah memiliki prasyarat dan modal penting untuk menjadi negara demokrasi, yaitu adanya persatuan nasional dan persepsi tentang satu bangsa.

Namun, modal itu perlu dijamin dan terus dipupuk, antara lain dengan mewujudkan keadilan sosial. Tiadanya jaminan yang kuat ini membuat sebagian elemen kecil dari masyarakat terpancing untuk beralih dari politik nasional ke radikalisme agama atau etnis.

Kemunculan radikalisme ini juga dipicu oleh belum adanya upaya yang komprehensif untuk menyelesaikan hingga tuntas sejumlah memori kekerasan, khususnya pada masa Orde Baru.

Kondisi makin diperparah oleh masalah global, seperti dominasi ekonomi oleh dunia barat dan berbagai peristiwa di sejumlah negara, seperti Afganistan dan Irak.

Pelemahan demokrasi

Kompleksnya permasalahan yang melingkupi Islam dan kebangsaan di Indonesia membuat Yudi juga bergerak kompleks untuk menjaganya. Aktivitasnya tidak hanya sebatas di Nurcholish Madjid Society atau menggelar diskusi antarkampus. Dia juga aktif menulis di media massa dan membuat buku.

Yudi juga kerap bersuara untuk mengkritisi sejumlah upaya yang diduga berpotensi melemahkan bangunan demokrasi, yang antara lain terjadi dalam pemilihan umum lalu dan yang menimpa gerakan antikorupsi belakangan ini.

Dia juga khawatir jika sampai tidak muncul kekuatan penyeimbang dalam pemerintahan.

Akhirnya, mencermati langkah dan pemikiran Yudi seperti melihat Indonesia yang majemuk. Dengan demikian, untuk menjaga Indonesia ini juga dibutuhkan langkah yang majemuk dan yang berani keluar dari ”sekat-sekat tradisional” seperti etnis dan agama.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
TOKOH MUDA INSPIRATIF (4)
Berpolitik Setelah Mapan Berbisnis

Sabtu, 31 Oktober 2009 | 03:11 WIB

Dewi Indriastuti/Subur Tjahjono

Lahir dan tumbuh di tengah keluarga nasionalis, Pramono Anung Wibowo (46) menjalani hidupnya dengan tertata. Hidupnya selalu diisi dengan menentukan pilihan, termasuk saat ia akhirnya memilih bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tahun 1998.

Karier politiknya sebagai ”anak kos”—istilah yang ditujukan kepadanya saat masuk PDI-P karena pendatang baru—di lingkungan partai politik pimpinan Megawati Soekarnoputri saat itu terus melesat. Terakhir, ia bisa menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PDI-P hasil kongres tahun 2005 di Bali.

Perjalanannya masih tetap diisi dengan pilihan. Seperti saat ia meninggalkan kursi eksekutif di perusahaannya yang bergerak di bidang pertambangan dan energi, lalu berkecimpung di dunia politik. Minatnya di bidang politik sudah terbentuk sejak duduk di bangku sekolah dan kuliah di Institut Teknologi Bandung. Kini Pramono Anung duduk di kursi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

Perbincangan Kompas dengan Pramono Anung berlangsung suatu siang di rumahnya yang asri dan berkolam renang di kawasan Jakarta Selatan, Oktober 2009. Perbincangan sempat terputus saat kami berkeliling rumah Pramono, menikmati sejenak ratusan lukisan yang dikoleksinya. Karya-karya pelukis, seperti Le Mayeur, Antonio Blanco, dan Basuki Abdullah, menghiasi dinding ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur, ruang kebugaran, dan kamar mandi.

Setelah lulus kuliah, kok bisa sukses di bisnis? Memanfaatkan jaringan?

Tidak. Saya orang yang tidak pernah setengah-setengah. Perusahaan pertama adalah PT Tanito Harum (milik Kiki Barki, pengusaha pertambangan). Saya masih terlibat sampai hari ini. Waktu itu saya masuk sebagai manajer yunior.

Waktu itu ada Profesor Ambyo (Ambyo Mangunwidjaja), dosen pembimbing saya. Waktu itu saya mahasiswa bandel (Pramono memimpin sejumlah aksi unjuk rasa di Jakarta dan Bandung 1986-1987). Prof Ambyo titipkan saya sama Kiki Barki. Jadi, tidak ada proses buat lamaran.

Kalau perusahaan sendiri?

Tahun 1994 saya mendirikan PT Yudhistira Group, bidang pertambangan dan energi. Saya kontraktor PT Aneka Tambang dari tahun 1996 sampai sekarang. Saya bisnis di PT Timah, PT Aneka Tambang, dan PT Pertamina.

Bagaimana menjalankan bisnis sekarang?

Begitu saya jadi politisi, saya tidak pernah duduk di perusahaan saya sebagai eksekutif. Semua saya lepaskan. Profesional.

Dengan terjun ke bisnis lebih dulu, apakah modal sudah cukup untuk terjun ke politik?

Yang paling utama sebetulnya orang di politik itu kredibilitas karena kredibilitas itu yang akan menentukan orang ke depan. Nah, kenapa materi dalam politik juga menjadi penting? Sebab, sistem politik di negara kita itu masih sangat menggoda bagi siapa pun yang ada pada kekuasaan untuk melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).

Kapan Anda berpikir akan jadi politisi?

Sebenarnya sejak kecil. Keluarga kami pengagum berat Bung Karno. Bapak saya itu dulu, kalau sekarang, seperti Pasukan Pengamanan Presiden. Waktu Mbak Mega masih di Gedung Agung di Yogya, bapak saya termasuk penjaga di situ.

Nah, perdebatan di keluarga itu memengaruhi pola dan pandangan kita waktu kecil. Memang keluarga demokratis terbuka. Bapak saya, kan, PNI (Partai Nasional Indonesia), tapi sebagai guru, kan, sembunyi-sembunyi. Tapi, di rumah itu dibuka dialektika. Saya merasa sejak kecil itu keinginan itu sudah kuat. Kalau ada pemilihan ketua OSIS, saya mencalonkan diri. Ketika terjun ke politik pertama kali di PDI-P, sebenarnya saya tidak kenal secara pribadi dengan Mbak Mega.

Ditawari atau daftar ke PDI-P?

Saya daftar. Saya diajak Heri Akhmadi (sekarang anggota F-PDIP DPR). Sebenarnya instan saja karena saya memang mencari partai politik yang tengah, nasionalis.

Manajemen PDI-P dulu masih tradisional. Sekarang sudah mirip-mirip Golkar. Peranan Anda bagaimana?

Saya termasuk yang membangun sistem. Tentunya kalau tidak dapat dukungan dari Mbak Mega tidak bisa.

Hal yang sederhana, misalnya, tidak pernah ada keputusan partai yang tidak diputuskan dalam rapat partai. Tiap rapat partai sudah punya agenda, materi, itu sudah diatur dalam keputusan terbuka. Semua orang punya hak bersuara, tetapi kata akhir tetap di ketua umum. Tapi, tetap dalam rapat partai, itu sudah jadi tradisi yang kuat dalam PDI-P.

Sekarang tidak ada lagi surat palsu. Kepengurusan rapi, sampai anak ranting terbentuk. Maka, untuk partai yang besar, dalam hal ini kita boleh berbangga, secara administrasi, sistem kepartaian mungkin hanya dua-tiga partai yang cukup rapi.

Regenerasi politik

Lima tahun ke depan ini adalah momentum regenerasi politik. Bagaimana pandangan Anda?

Sebenarnya the battle of the last Mohicans (”perang” antara tokoh politik dianalogikannya dengan suku Indian terakhir di Amerika, Mohican) sudah terjadi tahun 2009 ini. The last Mohicans-nya ada Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), Amien Rais, Megawati, Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk Jusuf Kalla. Mereka ini the last Mohicans.

Politik ke depan, tantangan akan berbeda. Masyarakat akan semakin rasional, kemudian juga hal yang dihadapi generasi setelah ini akan berbeda. Apa yang terjadi di DPR saat ini , di mana dipimpin anak-anak muda, saya, Anis Matta (PKS), Priyo Budi Santoso (Partai Golkar), Marzuki Alie (Partai Demokrat), secara historis tidak punya dendam atau friksi apa pun. Beda dengan antara Mbak Mega dengan Pak Harto, ini kan tidak bisa dihindari. Antara Gus Dur dengan Pak Harto, Amien Rais dengan Pak Harto. Ada luka secara pribadi.

Kalau kita melihat sekarang ini, saya melihat ke depan yang bertarung adalah politik rasionalitas. Hal yang dihadapi akan lebih rasional.

Demokrasi yang kita potret 1999 bergeser memasuki 2004. Pada 2009 ke depan, pergeseran akan semakin tajam. Perdebatan Presiden-Wakil Presiden pada tahun 2009 masih bersifat pada seremonial, bukan substansi. Saya melihat lima tahun ke depan, perdebatan pasti akan rasional, misalnya bagaimana persoalan pajak, subsidi bahan bakar minyak, juga pupuk.

Orang tidak lagi bicara tentang tema-tema besar. Orang akan bicara tentang tema yang implementatif, bisa diterapkan secara langsung di masyarakat sehingga memang akhirnya yang akan muncul lebih pada orang-orang yang punya latar belakang aktivis, intelektual, dan pendidik.

Keuntungan yang utama dari demokrasi adalah menyeleksi secara alamiah. Siapa orang yang secara rasional bisa dipegang, bisa dibanggakan, menjadi pemimpin.

Perdebatannya sederhana, mungkin detail. Berapa pajak untuk buku, berapa pajak untuk surat kabar, misalnya, berapa harga beras. Demokrasi sudah mengalami transformasi. Dari sekarang yang transisi demokrasi menjadi lebih dewasa.

Mengapa sekarang ini susah mencari sosok-sosok anak muda yang akan cemerlang dalam lima tahun ke depan?

Pertama, proses rekrutmen dalam partai masih didominasi oleh senior. Kedua, yang namanya regenerasi tidak secara alamiah diberikan, dari ini kepada itu. Kalau proses rekrutmen diberikan kepada anak-anak muda dengan begitu, maka tidak akan menghadapi tempaan sejarah yang kuat.

Saya lihat proses pematangan sebagai pemimpin tidak lagi seperti zaman Pak Harto, Bung Karno, umur 30-40 sudah jadi pemimpin. Umur akan lebih panjang. Itu terjadi juga di Amerika. Faktor Barrack Obama adalah faktor keajaiban. Kalau lihat John McCain yang berusia 73 tahun dan pemimpin lain-lain, ini kan menunjukkan bahwa proses politiknya panjang. Obama menjadi presiden ini adalah kemampuan memanfaatkan komunikasi, dengan facebook, dengan hal tidak dilakukan oleh yang lain. Saya lihat ke depan akan muncul pemimpin-pemimpin usia 40-an, 50-an, secara alamiah.

Siapa calon presiden dari PDI-P tahun 2014?

Menurut saya, akan terjadi proses alami. Sebagaimana kita lihat, seluruh pemimpin yang jadi pemimpin republik ini bukan yang digadang-gadang, disiapkan jauh-jauh hari.

Kemunculan Bung Karno beda dengan yang lain, melalui proses yang lebih panjang karena muncul pada masa revolusi. Pak Harto saat itu bukan yang disiapkan, termasuk munculnya Gus Dur, Mbak Mega, Juga kemunculan Habibie, Yudhoyono, bahkan Boediono.

Bisa disiapkan 5 tahun ini?

Yang menyiapkan publik dan partai. Publik yang akan terima itu. Saya melihat, orang yang mempersiapkan diri jadi pemimpin biasanya malah tidak akan sampai.


***

PRAMONO ANUNG WIBOWO

• Tempat/Tanggal Lahir: Kediri, 11 Juni 1963

• Pendidikan: SMA 1 Kediri ( 1982), Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (1988), Magister Manajemen Ekonomi Universitas Gadjah Mada (1992)

• Pengalaman Kerja:
1. PT Tanito Harum, perusahaan penambangan batu bara di Kaltim (1988-1994). Jabatan terakhir: Direktur Operasi
2. PT Vietmindo Energitama, perusahaan penambangan batu bara di Vietnam (1990-1994). Jabatan terakhir: Direktur Operasi
3. PT Yudhistira Group, lima perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, perminyakan, dan pengadaan barang dan jasa. Jabatan sebagai presiden direktur dan komisaris utama.
4. Anggota DPR pada periode 1999-2004 dan 2004-2009. Tahun 2005 mengundurkan diri, berkonsentrasi penuh pada kegiatan DPP PDI-P.
5. Anggota DPR (2009-2014)

• Pengalaman Organisasi:
1. Ketua Himpunan Mahasiswa Pertambangan ITB (1985-1986)
2. Ketua Forum Komunikasi Himpunan Jurusan ITB (1986-1987)
3. Ketua Ahli Pertambangan Indonesia (1998-2001)
5. Sekretaris Jenderal DPP PDI-P (2005-sekarang)
6. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (2009-sekarang)

Sabtu, 31 Oktober 2009

TOKOH MUDA INSPIRATIF (4) Berpolitik Setelah Mapan Berbisnis

Sabtu, 31 Oktober 2009 | 03:11 WIB

Dewi Indriastuti/Subur Tjahjono

Lahir dan tumbuh di tengah keluarga nasionalis, Pramono Anung Wibowo (46) menjalani hidupnya dengan tertata. Hidupnya selalu diisi dengan menentukan pilihan, termasuk saat ia akhirnya memilih bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tahun 1998. 

Karier politiknya sebagai ”anak kos”—istilah yang ditujukan kepadanya saat masuk PDI-P karena pendatang baru—di lingkungan partai politik pimpinan Megawati Soekarnoputri saat itu terus melesat. Terakhir, ia bisa menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PDI-P hasil kongres tahun 2005 di Bali.

Perjalanannya masih tetap diisi dengan pilihan. Seperti saat ia meninggalkan kursi eksekutif di perusahaannya yang bergerak di bidang pertambangan dan energi, lalu berkecimpung di dunia politik. Minatnya di bidang politik sudah terbentuk sejak duduk di bangku sekolah dan kuliah di Institut Teknologi Bandung. Kini Pramono Anung duduk di kursi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

Perbincangan Kompas dengan Pramono Anung berlangsung suatu siang di rumahnya yang asri dan berkolam renang di kawasan Jakarta Selatan, Oktober 2009. Perbincangan sempat terputus saat kami berkeliling rumah Pramono, menikmati sejenak ratusan lukisan yang dikoleksinya. Karya-karya pelukis, seperti Le Mayeur, Antonio Blanco, dan Basuki Abdullah, menghiasi dinding ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur, ruang kebugaran, dan kamar mandi.

Setelah lulus kuliah, kok bisa sukses di bisnis? Memanfaatkan jaringan?

Tidak. Saya orang yang tidak pernah setengah-setengah. Perusahaan pertama adalah PT Tanito Harum (milik Kiki Barki, pengusaha pertambangan). Saya masih terlibat sampai hari ini. Waktu itu saya masuk sebagai manajer yunior.

Waktu itu ada Profesor Ambyo (Ambyo Mangunwidjaja), dosen pembimbing saya. Waktu itu saya mahasiswa bandel (Pramono memimpin sejumlah aksi unjuk rasa di Jakarta dan Bandung 1986-1987). Prof Ambyo titipkan saya sama Kiki Barki. Jadi, tidak ada proses buat lamaran.

Kalau perusahaan sendiri?

Tahun 1994 saya mendirikan PT Yudhistira Group, bidang pertambangan dan energi. Saya kontraktor PT Aneka Tambang dari tahun 1996 sampai sekarang. Saya bisnis di PT Timah, PT Aneka Tambang, dan PT Pertamina.

Bagaimana menjalankan bisnis sekarang?

Begitu saya jadi politisi, saya tidak pernah duduk di perusahaan saya sebagai eksekutif. Semua saya lepaskan. Profesional.

Dengan terjun ke bisnis lebih dulu, apakah modal sudah cukup untuk terjun ke politik?

Yang paling utama sebetulnya orang di politik itu kredibilitas karena kredibilitas itu yang akan menentukan orang ke depan. Nah, kenapa materi dalam politik juga menjadi penting? Sebab, sistem politik di negara kita itu masih sangat menggoda bagi siapa pun yang ada pada kekuasaan untuk melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).

Kapan Anda berpikir akan jadi politisi?

Sebenarnya sejak kecil. Keluarga kami pengagum berat Bung Karno. Bapak saya itu dulu, kalau sekarang, seperti Pasukan Pengamanan Presiden. Waktu Mbak Mega masih di Gedung Agung di Yogya, bapak saya termasuk penjaga di situ.

Nah, perdebatan di keluarga itu memengaruhi pola dan pandangan kita waktu kecil. Memang keluarga demokratis terbuka. Bapak saya, kan, PNI (Partai Nasional Indonesia), tapi sebagai guru, kan, sembunyi-sembunyi. Tapi, di rumah itu dibuka dialektika. Saya merasa sejak kecil itu keinginan itu sudah kuat. Kalau ada pemilihan ketua OSIS, saya mencalonkan diri. Ketika terjun ke politik pertama kali di PDI-P, sebenarnya saya tidak kenal secara pribadi dengan Mbak Mega.

Ditawari atau daftar ke PDI-P?

Saya daftar. Saya diajak Heri Akhmadi (sekarang anggota F-PDIP DPR). Sebenarnya instan saja karena saya memang mencari partai politik yang tengah, nasionalis.

Manajemen PDI-P dulu masih tradisional. Sekarang sudah mirip-mirip Golkar. Peranan Anda bagaimana?

Saya termasuk yang membangun sistem. Tentunya kalau tidak dapat dukungan dari Mbak Mega tidak bisa.

Hal yang sederhana, misalnya, tidak pernah ada keputusan partai yang tidak diputuskan dalam rapat partai. Tiap rapat partai sudah punya agenda, materi, itu sudah diatur dalam keputusan terbuka. Semua orang punya hak bersuara, tetapi kata akhir tetap di ketua umum. Tapi, tetap dalam rapat partai, itu sudah jadi tradisi yang kuat dalam PDI-P.

Sekarang tidak ada lagi surat palsu. Kepengurusan rapi, sampai anak ranting terbentuk. Maka, untuk partai yang besar, dalam hal ini kita boleh berbangga, secara administrasi, sistem kepartaian mungkin hanya dua-tiga partai yang cukup rapi.

Regenerasi politik

Lima tahun ke depan ini adalah momentum regenerasi politik. Bagaimana pandangan Anda?

Sebenarnya the battle of the last Mohicans (”perang” antara tokoh politik dianalogikannya dengan suku Indian terakhir di Amerika, Mohican) sudah terjadi tahun 2009 ini. The last Mohicans-nya ada Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), Amien Rais, Megawati, Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk Jusuf Kalla. Mereka ini the last Mohicans.

Politik ke depan, tantangan akan berbeda. Masyarakat akan semakin rasional, kemudian juga hal yang dihadapi generasi setelah ini akan berbeda. Apa yang terjadi di DPR saat ini , di mana dipimpin anak-anak muda, saya, Anis Matta (PKS), Priyo Budi Santoso (Partai Golkar), Marzuki Alie (Partai Demokrat), secara historis tidak punya dendam atau friksi apa pun. Beda dengan antara Mbak Mega dengan Pak Harto, ini kan tidak bisa dihindari. Antara Gus Dur dengan Pak Harto, Amien Rais dengan Pak Harto. Ada luka secara pribadi.

Kalau kita melihat sekarang ini, saya melihat ke depan yang bertarung adalah politik rasionalitas. Hal yang dihadapi akan lebih rasional.

Demokrasi yang kita potret 1999 bergeser memasuki 2004. Pada 2009 ke depan, pergeseran akan semakin tajam. Perdebatan Presiden-Wakil Presiden pada tahun 2009 masih bersifat pada seremonial, bukan substansi. Saya melihat lima tahun ke depan, perdebatan pasti akan rasional, misalnya bagaimana persoalan pajak, subsidi bahan bakar minyak, juga pupuk.

Orang tidak lagi bicara tentang tema-tema besar. Orang akan bicara tentang tema yang implementatif, bisa diterapkan secara langsung di masyarakat sehingga memang akhirnya yang akan muncul lebih pada orang-orang yang punya latar belakang aktivis, intelektual, dan pendidik.

Keuntungan yang utama dari demokrasi adalah menyeleksi secara alamiah. Siapa orang yang secara rasional bisa dipegang, bisa dibanggakan, menjadi pemimpin.

Perdebatannya sederhana, mungkin detail. Berapa pajak untuk buku, berapa pajak untuk surat kabar, misalnya, berapa harga beras. Demokrasi sudah mengalami transformasi. Dari sekarang yang transisi demokrasi menjadi lebih dewasa.

Mengapa sekarang ini susah mencari sosok-sosok anak muda yang akan cemerlang dalam lima tahun ke depan?

Pertama, proses rekrutmen dalam partai masih didominasi oleh senior. Kedua, yang namanya regenerasi tidak secara alamiah diberikan, dari ini kepada itu. Kalau proses rekrutmen diberikan kepada anak-anak muda dengan begitu, maka tidak akan menghadapi tempaan sejarah yang kuat.

Saya lihat proses pematangan sebagai pemimpin tidak lagi seperti zaman Pak Harto, Bung Karno, umur 30-40 sudah jadi pemimpin. Umur akan lebih panjang. Itu terjadi juga di Amerika. Faktor Barrack Obama adalah faktor keajaiban. Kalau lihat John McCain yang berusia 73 tahun dan pemimpin lain-lain, ini kan menunjukkan bahwa proses politiknya panjang. Obama menjadi presiden ini adalah kemampuan memanfaatkan komunikasi, dengan facebook, dengan hal tidak dilakukan oleh yang lain. Saya lihat ke depan akan muncul pemimpin-pemimpin usia 40-an, 50-an, secara alamiah.

Siapa calon presiden dari PDI-P tahun 2014?

Menurut saya, akan terjadi proses alami. Sebagaimana kita lihat, seluruh pemimpin yang jadi pemimpin republik ini bukan yang digadang-gadang, disiapkan jauh-jauh hari.

Kemunculan Bung Karno beda dengan yang lain, melalui proses yang lebih panjang karena muncul pada masa revolusi. Pak Harto saat itu bukan yang disiapkan, termasuk munculnya Gus Dur, Mbak Mega, Juga kemunculan Habibie, Yudhoyono, bahkan Boediono.

Bisa disiapkan 5 tahun ini?

Yang menyiapkan publik dan partai. Publik yang akan terima itu. Saya melihat, orang yang mempersiapkan diri jadi pemimpin biasanya malah tidak akan sampai.


***

PRAMONO ANUNG WIBOWO

• Tempat/Tanggal Lahir: Kediri, 11 Juni 1963

 • Pendidikan: SMA 1 Kediri ( 1982), Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (1988), Magister Manajemen Ekonomi Universitas Gadjah Mada (1992)

• Pengalaman Kerja: 
1. PT Tanito Harum, perusahaan penambangan batu bara di Kaltim (1988-1994). Jabatan terakhir: Direktur Operasi 
2. PT Vietmindo Energitama, perusahaan penambangan batu bara di Vietnam (1990-1994). Jabatan terakhir: Direktur Operasi 
3. PT Yudhistira Group, lima perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, perminyakan, dan pengadaan barang dan jasa. Jabatan sebagai presiden direktur dan komisaris utama. 
4. Anggota DPR pada periode 1999-2004 dan 2004-2009. Tahun 2005 mengundurkan diri, berkonsentrasi penuh pada kegiatan DPP PDI-P. 
5. Anggota DPR (2009-2014)

• Pengalaman Organisasi: 
1. Ketua Himpunan Mahasiswa Pertambangan ITB (1985-1986) 
2. Ketua Forum Komunikasi Himpunan Jurusan ITB (1986-1987) 
3. Ketua Ahli Pertambangan Indonesia (1998-2001) 
5. Sekretaris Jenderal DPP PDI-P (2005-sekarang) 
6. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (2009-sekarang)

Rabu, 23 September 2009

Sesepuh Jatim Muhammad Noer Dirawat di RS Darmo


RABU, 23 SEPTEMBER 2009 | 16:27 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com — Gubernur Jawa Timur periode 1967-1976, Muhamamd Noer, dirawat di rumah sakit (RS) Darmo, Jalan Darmo No 90, Kota Surabaya, Jawa Timur, akibat penyakit yang dideritanya.

Salah seorang staf bagian informasi RS, Teti, di Surabaya, Rabu (23/9), membenarkan adanya pasien bernama Muhammad Noer umur 95 tahun yang dirawat di RS Darmo sejak tanggal 20 September 2009. "Pasien Muhammad Noer dirawat di ICU (Intensive Care Unit atau instalasi unit perawatan intensif)," katanya.

Menurut dia, sebelumnya sesepuh Jawa Timur itu dirawat di Ruang Paviliun 7, tetapi karena kondisi kurang membaik sehingga pada Selasa kemarin terpaksa dirawat di ICU. Namun, ia tidak mengetahui secara detail penyakit apa yang diderita Muhammad Noer.

"Saya tidak tahu penyakitnya apa, tapi di bagian informasi hanya disebutkan penyakit dalam," katanya.

Saat dikonfirmasi ke bagian medis yang bertugas di ICU, pegawai setempat enggan memberikan informasi terkait penyakit yang diderita Muhammad Noer beserta kondisi yang ada saat ini. "Saya tidak berani memberikan informasi terkait itu. Silakan saja ke pihak keluarganya," ujarnya.

Sabtu, 12 September 2009

KOMPAS cetak - Rosella Sensi, Bos Besar "Pasukan Serigala"

KOMPAS cetak - Rosella Sensi, Bos Besar "Pasukan Serigala": "AP PHOTO/RICCARDO DE LUCA
Rosella Sensi, Bos Besar 'Pasukan Serigala'

Jumat, 11 September 2009 | 03:50 WIB

Dalam tiga pekan terakhir, Kota Roma, Italia, seperti diselimuti awan hitam. Dua kekalahan klub sepak bola AS Roma pada awal musim Liga Serie A seperti membawa duka mendalam. Suporter Roma kecewa dan marah. Mereka menumpahkan kesalahan kepada Rosella Sensi, perempuan berusia 37 tahun. Gatot Widakdo

Rosella Sensi bukan wanita biasa. Dialah bos besar ”Il Lupi” (Pasukan Serigala) AS Roma. Rosella adalah trah takhta keluarga Sensi. Dia anak mendiang Presiden AS Roma sebelumnya, Franco Sensi. Sang ayah mangkat pada 17 Agustus 2008, dan Rosella naik menjadi orang nomor satu di AS Roma. Sebelumnya, Franco Sensi memimpin klub anggota Liga Italia Serie A itu selama 15 tahun."

KOMPAS.com - Kubur Tan Malaka Dibongkar Besok

KOMPAS.com - Kubur Tan Malaka Dibongkar Besok: "Kubur Tan Malaka Dibongkar Besok
istimewa
/
Artikel Terkait:

* Harry A Poeze Temukan Detail Keberadaan Tan Malaka
* Lagi, Buku Tan Malaka Diluncurkan
* Tidak Sekadar Biografi Tan Malaka
* Sayup-sayup Gaung Perjuangan Tan Malaka
* 60 Tahun Tan Malaka, Peletak Dasar Negara

Sabtu, 12 September 2009 | 09:29 WIB

KEDIRI, KOMPAS.com — Perangkat desa asal Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, sudah mempersiapkan pembongkaran makam yang diduga terdapat kerangka tubuh tokoh revolusioner beraliran kiri, Tan Malaka."

Senin, 07 September 2009

Mahyudin "Gila" karena Keris Melayu


Jumat, 8 Agustus 2008 | 00:47 WIB

Satu lagi orang ”gila” menyeruak di tengah kehidupan yang kian pengap. Seorang pedagang buku dari Yogyakarta, sejak tujuh tahun terakhir mewakafkan waktu dan tabungan yang ia kumpulkan selama 21 tahun untuk memuliakan sebuah peradaban.

Pemicunya hanya soal keris. Itu pun bukan jenis keris yang banyak dicari para kolektor lantaran mempunyai ”pamor” dan karena itu diyakini bertuah. Keris yang membuat hidupnya berputar haluan itu adalah keris melayu.

Mahyudin Al Mudra (50), lelaki kelahiran Tembilahan, Riau, yang masuk dalam jebakan tuah keris melayu itu. Sukses sebagai ”pedagang buku” di tanah perantauannya, Yogyakarta, lewat bendera Penerbit AdiCita Grup yang ia dirikan tahun 1987, tak membuat Mahyudin lupa pada puak Melayu yang mengalir dalam tubuhnya.

Cerita bermula dari hobinya mengoleksi keris dari berbagai daerah di Nusantara. Sekali waktu ia berkesempatan pulang ke kampung halamannya di Tembilahan. Dengan percaya diri, Mahyudin yakin akan mendapatkan dengan mudah keris melayu saat mampir di Pekanbaru.

Kenyataan yang ia temui justru sebaliknya. Bukan saja tak segampang mendapatkan keris jawa, orang-orang Melayu yang ditemuinya pun tak punya lagi ingatan akan keris melayu. Begitu pun di Tembilahan, Kampar, Inderagiri, dan Bengkalis.

”Di Tanjung Pinang, Bintan, yang disebut-sebut paling Melayu, sama saja. Juga di museum. Di Pekanbaru, kalau orang Melayu menikah, ya, pakai keris jawa,” tuturnya.

Perburuan Mahyudin menemukan keris melayu berlanjut dan menjadi semacam obsesi. Ada apa dengan Melayu? Pasti ada sesuatu yang salah, tetapi apa?

Dibalut rasa penasaran, dia pergi ke Malaysia, dan diborongnya 17 buku tentang kajian keris melayu. Ia kian kecut sekaligus kaget tatkala tahu sebagian besar buku tentang hal itu malah ditulis oleh orang Barat.

Berbekal setumpuk buku yang dibelinya di Malaysia tahun 2001, Mahyudin pergi ke tempat pembuatan keris di Imogiri, Bantul. Setelah empat-lima kali dirombak, keris ”langgam” melayu itu pun jadi.

MelayuOnline.com

Akan tetapi, pencarian Mahyudin ke akar budaya Melayu justru baru dimulai. ”Dari pengalaman mencari keris melayu, saya tersadar mengapa budaya Jawa masih terpelihara. Itu tak lain karena ada yang telaten mendokumentasikannya,” katanya.

Dokumentasi ternyata berperan besar dalam pelestarian peradaban. Ini yang diabaikan orang Melayu. Kalaupun ada, belum ada dokumentasi yang rapi. Warisan khazanah sejarah dan budaya Melayu masih berupa mosaik yang tersebar di mana-mana.

Berbekal semangat untuk menggali dan mendokumentasikan segala ihwal yang berkaitan dengan peradaban Melayu, tahun itu juga (2001) dia mendirikan Pusat Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (PKPBM). Enam tahun kemudian, setelah melalui pergulatan panjang, PKPBM melahirkan ”anak kandung” yang pertama berupa situs atau laman yang berisi pangkalan data tentang Melayu.

Sejak itu perhatian Mahyudin terbelah. Usaha penerbitan yang sudah ia tekuni sejak 1987 justru dijadikan ”sapi perah” untuk membiayai aktivitasnya merawat peradaban Melayu melalui jaringan internet.

Tak hanya itu. Tabungannya selama 21 tahun, senilai Rp 3 miliar lebih, tersedot untuk operasional portal MelayuOnline.com. Ia pun rela kehilangan dua bidang tanah, satu rumah, dan dua mobil yang turut dilego agar MelayuOnline.com tetap eksis.

Mahyudin mengakui memang berat membiayai kegiatan budaya seperti yang ia lakoni. Setiap bulan, sedikitnya Rp 75 juta harus tersedia. Alokasi terbesar untuk sewa satelit, Rp 19 juta. Selebihnya untuk gaji 24 tenaga profesional yang menangani operasional MelayuOnline.com, cetak buku, dan biaya lain, seperti pengumpulan bahan dari berbagai daerah di Nusantara.

”Tapi, ini konsekuensi dari suatu pilihan hidup. MelayuOnline.com yang beralamat di http://www.melayuonline.com (baca juga Menduniakan Melayu dari Yogya, hal 53) memang didedikasikan sepenuhnya bagi kegemilangan tamadun Melayu. Saya yakin investasi semacam ini akan berbuih meski bukan dalam bentuk materi,” ujarnya.

Adakah pihak yang tersentuh membantu? Dia cuma tertawa lantaran banyak pejabat yang menjanjikan angin surga, tetapi hasilnya nol besar. Bahkan, seorang menteri yang mengaku kagum pada MelayuOnline.com dan berjanji segera menurunkan bantuan juga setali tiga uang.

Iklan pun tak ada. Tapi, Mahyudin segera menukas, ”Sebetulnya ada yang membantu kami. Seorang guru SD di Pekanbaru yang sempat menengok portal MelayuOnline.com pernah mengirimkan uang Rp 100.000. Saya sangat terharu. Bayangkan, berapa sih gaji guru SD, tetapi dia rela mendermakan penghasilannya yang tak seberapa itu untuk kegiatan kebudayaan semacam ini.”

Titik balik

Sejak tamat SD (1970) dan ”terdampar” bersama orangtua di Yogyakarta, berbagai kesulitan hidup membelit keluarga mereka. Akan tetapi, anak dari pasangan Mudra Mukhlis dan Mulia ini bisa melewati masa sulit itu, hingga berhasil menyelesaikan pendidikan S-1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1984).

Seusai kuliah, ia tidak tertarik menjadi pamong di birokrasi pemerintahan. Ia juga tak tergiur terjun sebagai praktisi hukum. Mahyudin justru merintis karier di dunia bisnis dengan menjadi ”pedagang buku”.

”Ketika itu saya punya banyak opsi. Tetapi, saya memutuskan terjun jadi pedagang buku,” katanya.

Sejak mahasiswa, Mahyudin dikenal sebagai ”pengecer” buku dan jurnal terbitan LP3ES dan LSP. Tak ada kios, apalagi toko buku. Kampus di lingkungan almamaternya adalah pasar yang dibidik Mahyudin.

”Dosen-dosen saya todong agar beli buku dan jurnal Prisma. Karena yang maksa aktivis mahasiswa, atau mungkin karena takut dianggap tidak ilmiah, dagangan buku dan jurnal Prisma-ku laris manis,” tuturnya.

Persinggungan Mahyudin dengan dunia perbukuan dan pemikiran kebudayaan sesungguhnya berawal dari masa sulit saat ia masih di SMP. Berangkat dari keluarga yang secara ekonomi serba terbatas, tiap hari tak pernah ada uang jajan di kantongnya.

Agar bisa ikut menikmati semangkuk soto saja, baru terwujud bila ada teman sekolah yang mentraktirnya. Itu pun biasanya setelah sebelumnya ia mengerjakan pekerjaan rumah si teman.

”Semasa di SMP itu, saat istirahat, biasanya saya ke perpustakaan. Bukan karena saya kutu buku, tapi lantaran tak punya uang untuk ikut teman-teman ke kantin. Tapi belakangan saya bersyukur, berkat hidup dalam ketiadaan itulah saya banyak belajar, termasuk tentang hidup,” katanya.

Dari uang tabungan yang ia kumpulkan, laman MelayuOnline.com menorehkan andil Mahyudin untuk memuliakan tradisi besar peradaban Melayu. Akan tetapi, dengan modal yang kian menipis—sementara tawaran dari negeri serumpun yang berniat membeli laman MelayuOnline.com senilai satu juta ringgit sudah ditolak—sampai kapan ia bisa bertahan? (pra/ken)

Selasa, 01 September 2009

KOMPAS cetak - Hatoyama, PM Jepang Berikutnya

KOMPAS cetak - Hatoyama, PM Jepang Berikutnya: "Hatoyama, PM Jepang Berikutnya

Senin, 31 Agustus 2009 | 04:22 WIB

Pemilu Parlemen Jepang 30 Agustus 2009 akhirnya menjadi tonggak pergantian rezim di negara itu. Partai Demokratik Liberal (LDP) yang telah berkuasa selama lebih dari setengah abad takluk pada kekuatan Partai Demokrat Jepang (DPJ). Pemimpin DPJ, Yukio Hatoyama, sudah pasti menjadi perdana menteri Jepang. Rakaryan Sukarjaputra"

Rabu, 26 Agustus 2009

RakyatMerdeka - Berita Foto : JK BERTEMU HABIBIE

RakyatMerdeka - Berita Foto : JK BERTEMU HABIBIE: "JK BERTEMU HABIBIE
Rabu, 26/08/09, 00:22:15 WIB





Wapres Jusuf Kalla (kanan) bertemu dengan mantan Presiden B.J Habibie (kiri) di Raudah, samping makam Nabi Besar Muhammad SAW di kompleks Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi, Selasa (25/8). Kedua tokoh tersebut berada di Mekkah untuk menunaikan ibadah khususnya pada bulan suci Ramadhan ini. SETWAPRES"

rakyatmerdeka.co.id - PUASA POLITIK, Politisi Golkar Asyik Buka Puasa Plus-plus

rakyatmerdeka.co.id - PUASA POLITIK, Politisi Golkar Asyik Buka Puasa Plus-plus: "Politisi Golkar Asyik Buka Puasa Plus-plus
Senin, 24 Agustus 2009, 12:14:10 WIB
Laporan: Yayan Sopyani al-Hadi

Jakarta, RMOL. Ajaran agama yang ditanamkan sang kakek, sangat berpengaruh besar pada konsep hidup Ketua DPP Partai Golkar, Zainal Bintang."

rakyatmerdeka.co.id - PUASA POLITIK, Tolak Kapitalisme, Drajad Buka Puasa Dengan Tahu

rakyatmerdeka.co.id - PUASA POLITIK, Tolak Kapitalisme, Drajad Buka Puasa Dengan Tahu: "Tolak Kapitalisme, Drajad Buka Puasa Dengan Tahu
Selasa, 25 Agustus 2009, 12:21:16 WIB
Laporan: Yayan Sopyani al-Hadi

Jakarta, RMOL. Meraih gelar doktor bidang ekonomi dari Universitas Queensland, Australia, tak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar. Prinsipnya, long life education atau dalam bahasa hadits Nabi Muhammad SAW tholab al-ilmi mina al-mahdi ila al-lahdi, terus mencari ilmu dari buaian hingga berakhir kehidupan. Kini, sang ekonom ini sedang belajar membaca dan memahami tulisan Arab gundul."

KOMPAS cetak - Diungkap, Detail Keberadaan Tan Malaka

KOMPAS cetak - Diungkap, Detail Keberadaan Tan Malaka: "PELUNCURAN BUKU
Diungkap, Detail Keberadaan Tan Malaka

Rabu, 26 Agustus 2009 | 05:07 WIB

Jakarta, Kompas - Sejarawan dari Universitas Leiden, Belanda, Harry A Poeze, Selasa (25/8) di Jakarta, meluncurkan buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 2 (Penerbit Yayasan Obor Indonesia). Keberadaan Tan Malaka tidak saja dipaparkan detail melalui tulisan di buku tersebut, tetapi Harry juga menayangkan sejumlah dokumen penting berupa foto-foto dan film."

KOMPAS cetak - Jiwa Wirausaha bagi Indonesia Maju

KOMPAS cetak - Jiwa Wirausaha bagi Indonesia Maju: "Jiwa Wirausaha bagi Indonesia Maju

Rabu, 26 Agustus 2009 | 04:22 WIB

Entrepreneurship harus terus dikembangkan karena tak akan ada habisnya. Akan terus ada peluang untuk entrepreneurship dalam mengubah kotoran menjadi emas,” ujar Ciputra dalam acara Hari Pendiri (Founder’s Day) Grup Ciputra di Jakarta, Senin (24/8). Suara Ciputra tetap prima walau telah mengikuti acara sepanjang hari."

Selasa, 18 Agustus 2009

Perginya Seorang WS Rendra



Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Di saat jenazah WS Rendra, penyair besar ini, mau dikebumikan sesudah salat Jumat 7 Agustus 2009, hanya seorang menteri yang saya lihat hadir dengan wajah duka yang dalam, seperti wajah-wajah lain juga yang sama larut dalam kepiluan. Menteri itu adalah Rahmat Witoelar.

Tampaknya, menteri lingkungan hidup ini hadir sebagai pribadi, bukan mewakili pemerintah. Bagi Rendra tentunya tidak penting, apakah negara menghormatinya atau tidak menghiraukannya, bukanlah bagian esensial dari filosofi hidupnya. Yang jelas, cinta Rendra kepada Indonesia sebagai bangsa sungguh berakar dalam. Rendra bukan hanya seorang penyair, dramawan, peminat sejarah, tetapi pemikir dan pengamat sosial yang tajam. Rendra adalah pribadi merdeka yang tidak bisa diam melihat segala ketidakberesan dan ketidakjujuran yang masih melilit sekujur tubuh bangsa dan negara tercinta ini. Saya banyak belajar langsung pada penyair dengan stamina spiritual yang mengagumkan ini.

Sudah lebih 10 tahun saya bersahabat dengannya, sesuatu yang terlambat. Hampir setiap berjumpa, ada saja lontaran pemikiran segar yang keluar dari tutur katanya. Forum AJ (Akademi Jakarta) bagi saya adalah di antara sarana yang cukup berjasa mempertemukan para anggotanya yang hadir dalam rapat dengan Rendra. Dalam beberapa tahun terakhir, dua kali Rendra mengundang saya berkunjung ke padepokannya. Di sana pasti disuguhi dengan makanan khas serbaalami. Sala, karyawan PP Muhammadiyah Jakarta, pernah mengantarkan saya ke padepokan itu. Dengan penuh bahagia, Sala menikmati suguhan keluarga Rendra yang beraneka itu. Ada nasi merah, pisang dan kacang rebus, dan beraneka macam makanan lainnya, yang diambil dari hasil tanah miliknya seluas enam hektare itu.

Entah karena apa Bung Sala pulalah yang mengantar saya bersama Asmul Khairi, putra sepupu saya, karyawan dephub, melayat Rendra sampai terkubur siang Jumat yang penuh sesak oleh para pelayat itu, termasuk Rosihan Anwar, Moerdiono, Eros Djarot, dan Sitor Situmorang. Sebelum Sala menjemput saya ke bandara Soekarno-Hatta, saya kirim SMS ini kepadanya: ''Terima kasih sekali, Bung Sala, seperti diatur Allah, kita pernah makan di rumah Rendra, sekarang kita akan ke sana lagi untuk berpisah selama-lamanya dengan sahabat kita ini, saya terpukul berat. Saya sampai di bandara jam 10.20 dengan GA.'' Seorang karyawan seperti Bung Sala merasakan benar betapa Rendra tidak membeda-bedakan siapa tamunya. Diplomat asing, duta besar, menteri, petani, jenderal, mahasiswa, dosen, atau siapa saja, bagi Rendra semuanya adalah manusia penuh yang diperlakukan sebagai manusia utuh. Filosofi politik Bung Hatta dalam formula ''Daulat Rakyat'' sebagai lawan ''Daulat Tuanku'' telah lama menjadi bagian menyatu dengan seluruh bangunan pandangan politik Rendra.

Untuk memanaskan kepekaan kita pada situasi bangsa yang kadang-kadang tidak menentu, simaklah baik-baik puisi Rendra dengan judul Kesaksian Bapak Saija yang saya kutip sebagian saja. Puisi ini betarikh 7 Juli 1994.

O, kali yang membawa kesuburan,
Akhirnya samudra menampung air mata.
Panen yang melimpah setiap tahun
bukanlah rezeki petani yang menanamnya.

O, Adipati Tanah Jawa!
Tatanan hidup yang kalian tegakkan
Ternyata menjadi tatanan kemandulan.
Tatanan yang tak mampu mencerdaskan bangsa.
Akhirnya kita dijajah Belanda.

Hidup tanpa pilihan
Adalah hidup penuh persoalan.

Rasa putus asa
menjadi bara dendam.
Dendam yang tak berdaya
membusukkan kehidupan.
Apa yang seharusnya diucapkan
tidak menemukan kata-kata.
Apa yang seharusnya dilakukan
tidak mendapat dorongannya.

Kesaksianku ini
kesaksian orang mati
yang terlambat diucapkan.
Hendaknya ia menjadi batu nisan
bagi mayatku yang dianggap hilang
karena ditendang ke dalam jurang
.

(Lih. Edi Haryono (ed.), Rendra Penyair dan Kritik Sosial. Jogjakarta: Kepel Press, 2001, hlm. 142-143).

Bisikan batin saya: Kesaksianmu Rendra, bukan kesaksian orang mati. Sekalipun negara tidak hirau dengan kepergianmu ini, jutaan anak bangsa sedang siap untuk terus membaca puisimu yang akan bertahan dalam lipatan kurun yang panjang, panjang sekali. Selamat jalan Rendra!

(-)

VIVANEWS - POLITIK - Sosok Zaenal Ma'arif, Si Pemicu Gempa Politik

VIVANEWS - POLITIK - Sosok Zaenal Ma'arif, Si Pemicu Gempa Politik: "Sosok Zaenal Ma'arif, Si Pemicu Gempa Politik"

Minggu, 16 Agustus 2009

Minggu, 09 Agustus 2009

Pesan Terakhir Burung Merak

DOKUMENTASI KOMPAS
WS Rendra bersama istri-istrinya, Sunarti (kanan)
dan Sitoresmi (belakang), serta sebagian anak- anaknya.

Minggu, 9 Agustus 2009 | 03:25 WIB

Putu Fajar Arcana & Ninuk M Pambudy

WS Rendra sesungguhnya sudah meninggal di rumah anak bungsunya dari Sunarti, Clara Sinta, di Perumahan Pesona Khayangan, Depok, Kamis (6/8), pukul 22.10. Setelah mengembuskan napas terakhir barulah dibawa ke RS Mitra Keluarga, Depok, untuk memastikan kepergiannya.

Pesan terakhir ayahandanya, menurut Clara, hanya ingin tanah di Citayam seluas 6 hektar, di mana Bengkel Teater Rendra beralamat, dihutankan. Rendra sudah menanam ratusan pohon ulin dan eboni, yang tidak boleh ditebang sampai berusia 20 tahun. Dan tidak ada pesan apa pun dari Rendra menyangkut kelanjutan Bengkel Teater Rendra.

Clara termasuk anggota keluarga besar Rendra yang paling dekat dengan ayahnya. Kepada Rachel Saraswati (31), anak Rendra dari Sitoresmi Prabuningrat (59), ”Si Burung Merak” pernah berkata, ”Kalau penyakit tak bisa diatasi, aku mau dipeluk Clara,” tutur Rachel.

Kedekatan itulah yang membuat Rendra meminta secara khusus pada hari-hari terakhirnya berbaring di rumah Clara Sinta. Meskipun selama dua hari di situ, Rendra juga ditemani istrinya, Ken Zuraida, serta anak bungsu mereka, Meriam Supraba.

”Papa itu sebagai ayah sangat unik. Dia mengekspresikan perhatiannya dengan cara unik, jujur menghadapi situasi kehidupannya. Papa selalu ke saya, bahkan untuk hal yang sangat pribadi,” tutur Clara. Dia mengenang, bagaimana ayahnya baru bisa menggunakan layanan pesan singkat SMS tiga bulan terakhir dan sejak itu seperti tak bisa dipisahkan dari telepon selulernya, bahkan ketika terbaring di rumah sakit.

Rachel sendiri melihat Rendra sebagai a complete man. ”Dia itu orang lengkap, figur ayah, teman, dan guru. Saya anak beruntung karena tidak semua anak mempunyai pergaulan kreatif dengan ayahnya,” kata Rachel.

Pergaulan kreatif itu, tambah Rachel, anak-anaknya bisa eyel-eyelan atau gojekan (bercanda) dengan Rendra. ”Saya anak yang paling cerewet, dia bisa menyikapi kecerewetan saya. Misalnya, papa bilang, jangan cerewet dong sama bapaknya yang sudah tua. Caranya mengatakan sangat lucu,” ujar Rachel.

Minta lagu

Saat-saat dirawat di rumah sakit, kata Rachel, ia selalu diminta ayahnya menyanyikan lagu Don’t Cry for Me Argentina yang dipopulerkan Madonna lewat film Evita Peron. Lagu itu, kata Rachel, mewakili perasaan ayahnya dalam menjalani hari-harinya di rumah sakit. ”Rendra menyadari sakitnya mungkin tak bisa disembuhkan, tetapi semangatnya tetap kuat,” tutur Rachel, yang menetap di Yogyakarta.

Sebelum pergi untuk selama-lamanya, ujar Ken Zuraida sembari menahan tangis, seusai pemakaman Rendra, Jumat (7/8), suaminya seperti berkhotbah panjang. ”Ia me-review saya selama sejam lebih. Saya ini memang masih harus banyak belajar, belum juga bisa apa-apa, tetap bodo...,” tutur Idha, panggilan Ken Zuraida. Mas Willy, menurut Idha, sempat mengatakan, dia sangat berbahagia. ”Saat itu ada juga Clara,” kata dia.

Bagi Sitoresmi Prabuningrat yang pernah menjadi istri Rendra, meski telah berpisah, hubungannya dengan Rendra dan Bengkel Teater tetap baik. Sampai sekarang jika diminta membaca puisi, Sito tetap merasa paling sreg ketika membacakan puisi karya Rendra. Kekaguman Sito pada Rendra dalam keberhasilannya melahirkan sosok-sosok seniman yang mandiri, seperti Putu Wijaya, Chaerul Umam, Sitok Srengenge, Sawung Jabo, serta banyak lainnya.

”Saya mendapat manfaat dari gemblengan di Bengkel Teater, mungkin tanpa gemblengan itu saya tidak akan sekuat sekarang,” tutur Sito. Gemblengan di Bengkel adalah gemblengan hidup, belajar dari kekurangan materi. ”Sekarang kalau melihat ada masalah, saya mengatakan dalam hati, saya pernah melalui yang lebih berat,” kata Sito. Sitoresmi terlibat dalam kehidupan Bengkel pada periode 1970-1979 ketika masih bermarkas di Yogyakarta.

Menurut Rachel, ketika Rendra dan Bengkel pindah ke Jakarta pada awal tahun 1980-an, ia masih balita. ”Setahu saya, Papa inginnya Bengkel harus berusaha agar semua anggota bisa dapat uang tidak hanya menunggu mendapat tawaran pentas, harus jemput bola,” kata dia.

Tentang masa-masa sulit yang dialami Bengkel ketika di Yogya, Clara mengatakan, ayah dan juga ibunya, Sunarti, mengajarkan, ”Anak-anak kandung Papa adalah rahim bagi cita-cita Papa.” Anak-anak Bengkel kerap didahulukan kepentingannya daripada anak-anak kandungnya.

Bengkel Teater Rendra memang satu cita-cita yang diwujudkan. Komunitas ini dibangun Rendra sebagaimana ia juga menyuarakan soal-soal kehidupan dalam komunitas manusia. Sitok bahkan menggambarkan Rendra adalah guru yang mengajarkan tentang keberanian hidup.

Keberanian itulah, yang menurut sahabat terdekat Rendra, budayawan Emha Ainun Nadjib, dihancurkan ketika ia sedang berbaring di rumah sakit. Rendra secara fisik memang sudah berumur, tetapi dia terlahir dengan semangat hidup menyala. ”Nah, jika semangat hidupnya yang dihancurkan, tahulah apa jadinya...,” tutur Emha.

Kini penyair yang selalu seperti mengepakkan sayapnya saat-saat membacakan puisi itu telah pergi. Mungkin keadaannya sebagaimana yang ia gambarkan dalam puisinya Kenangan dan Kesepian. //Rumah tua/dan pagar batu/Langit desa/sawah dan bambu//Berkenalan dengan sepi/pada kejemuan disandarkan dirinya/Jalanan berdebu tak berhati/lewat nasib menatapnya//Cinta yang datang/burung tak tergenggam/Batang baja waktu lengang/dari belakang menikam//Rumah tua/dan pagar batu/Kenangan lama/dan sepi yang syahdu//. (XAR/IAM)

Mengenang Rendra


Karena Namanya Tertulis di Langit

Minggu, 9 Agustus 2009 | 03:26 WIB

Mengenang Rendra adalah mengenang keberaniannya menerobos batas dan kebebasannya berkreasi. Bukankah kebebasan berpikir dan keberanian melakukannya yang membawa perubahan?

Aktor Ikranegara telah bergaul dengan Rendra sejak 1960-an. Ketika Rendra pulang dari belajar di The American Academy of Dramatic Art di New York, Amerika, tahun 1967, Ikra melihat Rendra mengejutkan publik dengan mementaskan teater di luar cara yang dikenal selama ini.

”Dia membawa teater tanpa dialog dengan seminim mungkin menggunakan suara. Goenawan Mohamad kemudian memberi nama teater mini kata,” kata Ikra, yang saat itu menjadi wartawan lepas.

Dari wawancara Ikra dengan Rendra, dramawan dan penyair itu menyebut pentas itu sebagai ”bipbop” karena aktornya bergerak sambil mengucapkan ”bipbop”. Menurut Rendra, bentuk tersebut bermula dari kunjungannya ke Bali.

Dramawan dan novelis Putu Wijaya menilai, bunyi bipbop itu berasal dari hiphop, jenis musik jalanan yang melawan kemapanan. ”Itulah mengapa lahir istilah bipbop, tetapi Goenawan memberi nama teater mini kata” kata Putu.

Menurut Ikra, saat di Bali Rendra menyaksikan tari Cak dengan gerak dan vokal. ”Itulah yang menginspirasi Rendra membuat bipbop. Jadi, dia bukan orang yang antitradisi sebagaimana ditafsirkan banyak orang setelah pernyataan tentang kebudayaan Jawa hanyalah kasur tua,” kata Ikra.

Pemimpin Redaksi Majalah Prisma Daniel Dhakidae yang mengenal Rendra sejak awal 1967-an saat kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, melihat Rendra sebagai sosok yang melawan feodalisme yang kental di Yogyakarta, tempat Bengkel Teater berada. Karena itu, Rendra mengeluarkan pernyataan tentang kebudayaan Jawa seperti kasur tua yang harus dirombak. Tetapi, itu menurut Daniel menjadi energi kreatif Rendra yang melawan budaya yang dia anggap sebagai penghalang. Daniel mencontohkan puisi ”Khotbah” yang terdapat di dalam Blues untuk Bonnie (1971).

Menjadi awal

Periode Rendra dan Bengkel Teater di Yogya bagi Daniel, yang juga peneliti dan pemerhati sastra itu, adalah periode produktif Rendra yang menghasilkan karya paling hebat dan indah. Periode Yogya dan periode Jakarta tidak bisa dipisahkan tegas karena—seperti disebutkan anggota Bengkel Teater, Edi Haryono—Bengkel Teater boyong dari Yogya ke belakangan setelah Rendra mulai tinggal di Jakarta sejak 1978.

Sebagai penggiat dunia teater, Ikra melihat bipbop menjadi awal lahirnya teater kontemporer Indonesia. Sebelumnya, teater modern masuk ke Indonesia dengan realisme Barat sebagaimana dimainkan Teguh Karya. ”Rendra hadir dengan teater kontemporer yang meramu gerak dan vokal, Dan itu dipentaskan justru saat pernikahan Arief Budiman dan Leila di Jakarta,” kata Ikra.

Bagi sastrawan Danarto (69), Rendra adalah sosok seniman yang, selain menghasilkan bentuk-bentuk baru, juga mewakili suara hati masyarakatnya.

Danarto yang mengenal Rendra sejak 1958 terlibat dalam produksi Oedipus Rex pada tahun 1962 di Yogyakarta sebagai produser dan art director. Penerima Penghargaan Achmad Bakrie 2009 ini menyebut Rendra sebagai pujangga dengan semangat melakukan perubahan sosial.

Danarto ingat bagaimana pembacaan puisi oleh Rendra di Teater Terbuka TIM Jakarta pada 28 April 1978 dilempari amoniak oleh orang tak dikenal. ”Saya ingat Bang Ali waktu itu berteriak, ’Teruskan, teruskan’. Lalu acara diteruskan dan ada satu penonton pingsan karena mencium amoniak,” kata Danarto.

Lalu, apakah seorang seniman dapat mengubah kedaan, seperti yang dikhawatirkan pemerintahan Orde Baru sehingga perlu memenjarakannya selama enam bulan pada tahun 1978?

”Saya tidak percaya seniman akan mengubah keadaan, seperti yang terjadi pada revolusi. Peran Mas Willy sebagai seniman adalah memberi visi, arah perjalanan bangsnya,” kata Danarto.

Apabila pengaruh Rendra terasa begitu luas dan dalam, Danarto mengatakan, ”Karena nama Rendra sudah tertulis di langit.” (NMP/CAN/IAM)

Inspirasi dari Rendra

KOMPAS/DANU KUSWORO
Pentas puisi Rendra di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, tahun 2005.
Inspirasi dari Rendra

Minggu, 9 Agustus 2009 | 03:27 WIB

Di balik pesona sebagai ”Burung Merak”, almarhum WS Rendra adalah pekerja seni budaya yang teguh memperjuangkan cita-cita. Melintasi berbagai tekanan ekonomi dan politik, Bengkel Teater-nya menancapkan tonggak penting teater modern serta melahirkan sejumlah seniman kuat di Tanah Air.

”Bersumpahlah.... Jangan bikin grup teater.... Hasilnya apa? Jangan nulis sastra.... Gajinya tak seberapa. Tidak ada kesempatan beridealisme di Indonesia,” kata Narti. Demikian catatan Rendra mengutip ancaman istri pertamanya, Sunarti, dalam buku Rendra dan Teater Modern Indonesia (editor Edi Haryono, tahun 2000).

Ancaman itu dilontarkan Narti ketika Rendra baru pulang studi dari American Academy of Dramatic Arts di New York, Amerika Serikat, tahun 1967. Namun, ternyata larangan itu didobrak, bahkan kemudian Narti ikut hanyut dalam idealisme jalan kesenian.

Rendra mendirikan kelompok teater tahun 1967—yang kemudian dikenal sebagai Bengkel Teater Rendra. Kelompok ini berlatih di depan rumahnya di Ketanggungan Wetan, Yogyakarta. Dia sendiri juga berkembang sebagai penyair besar.

Meski begitu, peringatan Narti tentang sulitnya beridealisme di negeri ini juga menjadi kenyataan. Dari kenyataan inilah, Bengkel Teater itu tumbuh. Begitu pula lika-liku hidupnya sebagai penyair.

Pada masa awal, Bengkel Teater menghadapi kesulitan ekonomi. Untuk mementaskan lakon Bip-Bop di Balai Budaya Jakarta tahun 1968, misalnya, mereka merogoh kocek sendiri. Sebagaimana diceritakan Rendra dalam catatan tadi, pertunjukan itu didanai dari uangnya sendiri, uang Chaerul Umam (katanya, dengan menggadaikan sepeda), serta sumbangan uang tiket dari Trisno Soemardjo.

Bengkel kemudian berlatih menghidupi diri sendiri dengan menjual tiket pentas, terutama sejak pentas Oedipus Sang Raja (tahun 1969). Setiap pemain dapat honorarium yang cukup untuk hidup.

Sitoresmi Prabuningrat (59), istri kedua Rendra, yang aktif di Bengkel tahun 1970-1979, menceritakan seusai pemakaman Rendra di padepokan Bengkel Teater Rendra di Citayam, Depok, Jawa Barat, Jumat (7/8), produksi teater mengandalkan penghasilan satu pentas untuk membiayai pentas berikutnya. ”Saat uang habis, kami, anak- anak teater, utang pada warung yang menjadi tetangga teater dengan janji akan dibayar kalau dapat persekot pentas berikut. Mereka memberi utangan karena kami tinggal di situ,” kata Sito.

Masa sulit

Karena semua anggota belum bekerja dan sehari-hari hanya berlatih teater, Rendra menanggung makan mereka. ”Saya tanya, ’Mau makan apa?’. Rendra bilang, ’Sudah, pokoknya makan di rumah’. Dan saya tahu persis, banyak kawan disuruh Rendra menggadaikan apa saja, termasuk piring makan Mbak Narti,” tutur Amaq Baldjun, anggota Bengkel Teater sewaktu bermarkas di Yogyakarta.

Masa-masa sulit menerpa ketika Rendra dijebloskan dalam penjara selama beberapa bulan tahun 1978 karena dianggap membahayakan pemerintahan Orde Baru. Kesusahan makin menjadi Bengkel dilarang pentas sejak tahun 1979 hingga 1986. ”Kami mencari makan dengan membuat berbagai kerajinan kulit atau batu akik,” kata Edi Haryono, anggota Bengkel Teater sejak tahun 1974.

Kelompok bisa bertahan karena ikatan kekeluargaan kuat, sedangkan Rendra juga punya jiwa sosial tinggi. Kadang, bahkan anak-anak kandungnya harus mengalah. ”Di bengkel, hubungan keluarga erat sekali. Dia saya anggap sebagai kakak sendiri,” kata Udin Mandarin, anggota Bengkel sejak tahun 1973.

Sitok Srengenge, penyair dan anggota Bengkel Teater, mengenang bagaimana seorang Rendra menekankan kebersamaan dan ketahanan dalam segala situasi. Seluruh anggota, misalnya, hanya boleh punya dua celana. Jika lebih, harus diberikan kepada kawan lain. ”Tujuannya, mengajarkan kesederhanaan. Kata Rendra, kegagahan dalam kemiskinan,” kenang Sitok.

Bengkel Teater pindah ke Depok, Jawa Barat, tahun 1986, ketika mulai menggarap lakon Penembahan Reso. Setelah diundang pentas di Amerika tahun 1988, kemudian pentas keliling Eropa, mereka dapat uang lumayan banyak. Hasilnya dibelikan tanah dan membuat semacam padepokan di Citayam, Depok, tahun 1989.

Pada masa itu, anggota teater mencapai sekitar 30 orang dan sebagian tinggal di bengkel. Setelah keuangan membaik dan dengan manajemen keuangan lebih profesional, anggota dapat uang transpor dan uang saku untuk keluarga. ”Bagi Rendra, berkesenian adalah jalan hidup dan kami bisa hidup dari karya seni,” kata Edi menambahkan.

Bengkel Teater terakhir kali pentas dengan lakon Sobrat tahun 2005. Setelah itu, tak ada lagi pentas atas nama kelompok ini karena biaya pentas semakin mahal dan sulit mencari sponsor. Rendra kemudian memilih banyak tampil membaca puisi, mengunjungi kelompok seni di daerah-daerah, dan berceramah.

Tonggak

Lalu, bagaimana nasib Bengkel sepeninggal Rendra yang dipanggil Allah, Kamis malam lalu? ”Tak ada pesan baru menyangkut kelanjutan Bengkel. Bengkel Teater adalah Rendra. Kalau tidak ada Rendra, ya tidak menjadi Bengkel Teater Rendra lagi. Papa tak pernah menyiapkan seseorang untuk melanjutkannya,” kata Clara Sinta, anak kelima Rendra dari istri pertamanya, Sunarti.

Mungkin memang sulit meneruskan kelompok ini. Namun, spirit Rendra dengan Bengkel Teater dan kepenyairannya telah menjadi tonggak sejarah teater dan sastra modern di Indonesia. Rendra telah mendorong seni untuk bergumul dengan konteks sosial dengan mengangkat persoalan-persoalan kehidupan nyata. Secara bentuk, lakon-lakon teater itu menyumbangkan berbagai pendekatan, seperti bentuk mini kata, lalu jadi drama penuh kata-kata, drama tragedi besar, drama syair dan gerak, juga drama pamflet.

Sosok Rendra bersama Bengkel Teater-nya telah menjadi kawah penggodok beberapa seniman penting di Tanah Air. Beberapa anggota Bengkel yang kemudian tumbuh menjadi seniman mandiri, sebut saja, antara lain, dramawan dan penyair Putu Wijaya, sutradara Chaerul Umam, aktor Amaq Baldjun, Edi Haryono, penyair Sitok Srengenge, dan aktor Adi Kurdi.

”Kehidupan dan kesenian Rendra itu sangat impresif dan inspiratif bagi anggota teater dan para seniman lain, mungkin juga siapa pun yang pernah menjumpainya,” kata Adi Kurdi, anggota Bengkel saat masih di Yogyakarta. (ilham khoiri/ putu fajar arcana/ ninuk mardiana pambudy)

Jumat, 07 Agustus 2009

Setelah Pergi, Baru Menyadari Betapa Pentingnya Rendra


Jumat, 7 Agustus 2009 | 06:06 WIB

Duka datang berendeng menghampiri kita. Setelah pada Selasa (4/8) kemarin penyanyi Mbah Surip pergi, pada Kamis malam (6/8) pukul 20.30 WIB, giliran budayawan dan WS Rendra menyusul menghadap Sang Khalik.

Seperti telah saling janjian, kedua seniman yang telah mendahului kita itu menempati "rumah" abadi yang sama hanya selisih dua hari, yakni di pekarangan rumah WS Rendra di daerah Cipayung, Depok, Jawa Barat.

Willy Brodus Surendra Broto yang kemudian berganti nama menjadi Wahyu Sulaiman Rendra setelah dirinya muslim, menjalani perawatan jantung sejak setahun lalu. Berkali-kali ia masuk rumah sakit, sebelum akhirnya mengembuskan nafas terakhirnya di kediaman salah satu putrinya, Clara Shinta, di Perumahan Pesona Kayangan, Depok, Bogor.

Sebagai pengagumnya, tentu saja saya amat sangat kehilangan dia. Gara-gara salah satu puisinya yang terangkum dalam Potret Pembangunan Dalam Puisi, saya bersikeras kepada ayah untuk tak lagi repot-repot mengongkosi kuliah saya. Saya pilih berhenti sebagai Sarjana Muda dan memulai "kuliah" di jalanan bersama para seniman, buruh-buruh pabrik di Srondol, dan gelandangan di Simpang Lima, Semarang, di pertengahan tahun 80-an. Puisi itu kurang lebih bercerita tentang pendidikan. Pendidikan kita berkiblat ke Barat. Di Barat, anak-anak dididik untuk menjadi mesin industri, sedangkan kita? Dididik untuk menjadi kuli! Wah..., jiwa muda saya yang membara pun langsung bergetar.

Pertama kali melihat ia membacakan puisi-puisinya di Semarang pada tahun 1985. Sungguh menggelorakan jiwa muda saya saat itu. Masih saya kenang hingga kini, bagaimana ia membawakan sajak-sajaknya dan lalu melemparkan ke udara setelah rampung dibaca.

Dengan tangan terkepal meninju udara, ia melangkah membelah panggung, lantas suaranya yang parau itu pun meneriakan judul puisi yang akan dibacakannya:

Sajak Sebatang Lisong

menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya

Meski ia telah nampak sepuh karena usia telah menginjak limapuluh, toh sihir suara dan ekspresinya sungguh-sungguh telah menjadi racun bagi saya untuk makin dalam bergulat dengan dunia teater dan susastra.

Saya pun mulai melahap puisi-puisi karyanya. Beberapa puisinya bahkan pernah saya hafal di luar kepala. Nyanyian Angsa, itulah salah satunya. Saya pun terkesan dengan gaya bercerita Rendra yang kuat dalam kumpulan puisi Balada Orang-Orang Tercinta yang ia bukukan di pertengahan tahun 50-an. Bahasanya yang lentur dan keseharian, membuat puisi-puisinya yang getir tetap enak dinikmati.

Balada Terbunuhnya Atmo Karpo yang berkisah tentang matinya seorang perampok bernama Atmo Karpo di tangan anaknya sendiri, Joko Pandan, adalah puisi yang amat dramatik.

Dan inilah ujung puisi Balada Terbunuhnya Atmo Karpo yang selalu saya kenang,

Berberita ringkik kuda muncullahJoko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba
pada langkah pertama keduanya sama baja
pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka terbuka daging kelopak-kelopak angsoka

Malam bagai kodok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak sorai, anggur darah

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
ia telah membunuh bapaknya

Hmm... saya juga tak bosan-bosannya menikmati romantisme hitam puisi Balada Ibu yang Dibunuh

Ibu musang dilindung pohon tua meliang
bayinya dua ditinggal mati lakinya.

Bulan sabit terkait malam memberita datangnya
waktu makan bayi-bayinya mungil sayang

Lalu, hingga kini.. saban kali kangen pada ibu, saya pun lantas teringat pada puisi Nyanyian Bunda yang Manis.

Kalau putraku datang
ia datang bersama bulan
kena warna jingga dan terang
adalah warna buah di badan

Wahai telor madu dan bulan!
Perut langit dapat sarapan

Ia telah berjalan jauh sekali
dan kakiknya tak henti-henti
menapaki di bumi hatiku
Ah, betapa jauh kembara burungku!

Awal tahun 90an, saya bertemu dan berkenalan dengannya. Saya pun memanggilnya Mas Willy, sebagaimana orang-orang menyapanya. Tubuhnya yang selalu wangi, roman mukanya yang ganteng, serta tutur katanya yang terjaga dalam kecerdasan, membuat siapapun akan menyimak hikmat tiap kali ia bicara.

Rendra bak kamus berjalan. Ia, kendati tak kelar kuliah, adalah pemikir ulung untuk urusan sejarah bangsa ini. Ia jabarkan dengan detil riwayat kekuasaan raja-raja Jawa. Ia pun paham benar mengenai kultur orang darat dan air. Saya masih ingat dengan statemen dia tentang kekuasaan di negeri ini, menurutnya dari dulu hingga kini negeri ini dikuasai oleh preman. "Anda kira siapa itu Gajah Mada? Ken Arok, Soeharto... preman!" kata Rendra dalam sebuah diskusi.

Di Makassar pada tahun 1998, saya kian dekat dengan Rendra. Kami makan malam bersama di sebuah rumah makan dekat Pantai Losari yang menyajikan ikan bakar. Bagai tokoh kuliner, ia pun berkata, "Yang gosong jangan dibuang, itu justru yang enak. Hmmm," Rendra mengupas kulit ikan yang gosong lalu langsung mengudapnya.

Setelah itu, kami kian kerap bertemu. Kadang di rumah Setiawan Djody, atau di acara diskusi, tapi sekali-sekala saya juga menyempatkan diri datang ke kediamannya yang asri di Cipayung.

Pernah pada sebuah sore di tahun 2003, di halaman sebuah gedung pertemuan di kota Jambi, kami bersitatap sambil bersalaman. Kala itu kami bersepakat, untuk mengaku saya sebagai anaknya dan ia sebagai bapak saya.

Entah apa sebabnya tiba-tiba kesepakatan itu terjadi. Yang terang saat itu saya terharu kala melihat Rendra bicara tentang kesehatan masyarakat terutama untuk mereka yang terkena penyakit TBC. Bukan materi pembicaraan dia yang membuat saya tertegun, tapi gerak tubuhnya yang telah lamban itulah yang membikin saya ingin melindunginya.

Saya sungguh trenyuh kala itu. Dalam hati saya berucap, inikah orang yang dulu pernah menaklukan beribu-ribu mata dan jiwa penggemarnya ketika dirinya di panggung. Inikah orang yang dulu galak memimpin kawan-kawan demonstran melawan rezim Soeharto? Pertanyaan berjubal-jubal di kepala saya.

Begitu selesai bicara di muka forum, saya pun langsung bergegas menghampirinya seraya menuntun tangannya keluar ruangan. Di Belakang kami ada Ken Zuraida, istri Rendra, serta beberapa anak Bengkel Teater, mengiringi kami.

Di luar, seorang wartawan mencegat Rendra untuk memberitahu, sebentar nanti ada acara diskusi bersama kawan-kawan seniman Jambi. Lantaran Mba Ida, demikian Ken Zuraida biasa disapa, tak bisa mengikuti acara diskusi, ia pun meminta saya untuk mengiringi Mas Willy, "Tolong dijaga Mas Willy," kata Mba Ida sebelum kami berangkat ke acara diskusi.

Sejak saat itu, saya pun kerap memanggil Mas Willy dengan sebutan Pak Rendra.

Dari Jambi kami meneruskan perjalanan ke Medan untuk acara yang sama dengan di kota Jambi. Pak Rendra nampak kelelahan setibanya di Medan. Sebab, karena cuaca buruk, dari Jambi pesawat yang kami tumpangi harus menuju ke Jakarta lebih dahulu, sebelum akhirnya terbang ke Medan.

Di tengah-tengah road show itu, saya sempat berterus terang kepadanya, mengapakah dirinya tampak begitu letih. Dengan mata yang berkaca-kaca, ia pun berterus terang bahwa dirinya bukan bapak yang baik bagi anak-anaknya, dan ia sangat ngungun karenanya.

Kini Rendra telah pergi. Ia tak cuma meninggalkan catatan-catatan susastra yang diakui komunitas sastra dunia, tapi juga pemikiran-pemikiran brilian tentang bangsa ini. Dialah yang senantiasa mengingatkan para penguasa negeri ini agar selalu berpihak kepada rakyat. Dia pula yang selalu membela orang-orang tertindas untuk bangkit.

Rendra telah berpulang. Bukan cuma ini kali kita ditinggal pergi oleh orang-orang besar macam Rendra. Sebelum Rendra ada Ali Sadikin, Soekarno, Mbah Surip, dan tokoh-tokoh lainnya. Tapi selalu saja kita tak pernah belajar bagaimana kita menghargai dan memulyakan orang-orang besar itu secara sepatutnya semasa hidupnya. Lihatlah Drs. Sujadi yang tokoh Pak Raden dalam film si Unyil itu yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk dunia anak-anak; ia masih mengontrak rumah padahal usianya telah senja. Pandanglah juga Pak Gesang yang baru diingat justru setelah orang Jepang mengingatnya. Lihatlah juga para atlet yang telah mengharumkan bangsa ini yang sebagian di antaranya hidup terlunta-lunta, dan masih banyak orang-orang besar lainnya yang dilupakan.

Sesal apa yang harus kita sesali. Rendra telah kembali menghadap Ilahi. Satunya yang sisa adalah harapan akan lahirnya Rendra Rendra baru yang sanggup menggedor ketidakadilan dengan pena dan suara.

Begitulah, kita merasa kehilangan Rendra justru ketika dia telah tiada.

Jodhi Yudono

Hidup Bukanlah untuk Mengeluh dan Mengaduh


Ekspresi WS Rendra dengan "seribu wajahnya" dalam acara pembacaan sajak-sajak "Penabur Benih" di Teater Terbuka TIM, 25-26 Juli 1992.
Jumat, 7 Agustus 2009 | 05:29 WIB

KOMPAS.com - ...Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh/Hidup adalah untuk mengolah hidup/bekerja membalik tanah/memasuki rahasia langit dan samodra/serta mencipta dan mengukir dunia/Kita menyandang tugas/kerna tugas adalah tugas/Bukannya demi sorga atau neraka/Tetapi de mi kehormatan seorang manusia//Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu/meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu/Kita dalah kepribadian/dan harga kita adalah kehormatan kita/Tolehlah lagi ke belakang/ke masa silam yang tak seorang pun kuasa menghapusnya....

Dalam percakapan lewat telepon, 4 Agustus lalu, Ken Zuraida, istri budayawan WS Rendra, mengabarkan, ”Mas Willy pulang pukul lima hari ini,” dengan nada riang. Saat itu, Rendra sudah hampir sebulan dirawat di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Penyair berjuluk ”Si Burung Merak” itu, ujar Ken, tidak akan pulang langsung ke Bengkel Teater Rendra di Cipayung, tetapi menuju rumah Clara Shinta di Depok. ”Mas Willy masih harus kontrol. Nanti ada perawat yang menemani,” kata Ken.

Kami benar-benar tak bisa menangkap isyarat nasib. Kamis (6/8) pukul 22.00, Rendra benar-benar pulang untuk selamanya di RS Mitra Keluarga. Tentu ia pergi dengan kepak sayap burung meraknya yang ”jantan” dan perkasa.

Sebagaimana puisi yang berjudul ”Sajak Seorang Tua untuk Istrinya” yang ditulis Rendra tahun 1970-an, hidup bukan untuk mengeluh dan mengaduh dan bukan pula demi surga atau neraka, tetapi demi kehormatan seorang manusia. Meski ia telah tua dan reyot pada usia 74 tahun, ia menyeru harga kita adalah kehormatan kita.

Rendra, bagi kita, bukan sekadar penyair dan dramawan, ia tegar sebagai manusia dan berani menantang zamannya. Dramawan dan novelis Putu Wijaya yang pernah bergabung dengan Bengkel Teater Rendra semasa di Yogyakarta mengatakan, Rendra guru yang memberikan ilmu, sahabat yang bisa diajak becanda, sekaligus musuh yang menjadi sparring partner. ”Murid yang baik adalah murid yang mampu naik ke atas kepala gurunya. Itu selalu kata Mas Willy,” ujar Putu Wijaya.

Putu adalah mantan murid Rendra yang kemudian mendirikan Teater Mandiri. Tentu ungkapan Rendra tidak bermaksud mengajarkan ketidaksopanan kepada seorang murid, tetapi alangkah indahnya jika prestasi murid jauh melebihi gurunya. Putu dengan Teater Mandiri barangkali telah menjadi prestasi lain dalam prestasi dunia perteateran di Tanah Air.

Penyair Sapardi Djoko Damono menuturkan, Rendra adalah ”tukang kata” yang telah menyihir dirinya memasuki dunia sunyi seorang penyair. ”Ia telah meyakinkan saya untuk bisa dihayati penyair tak boleh berlindung di balik bahasa yang ruwet, hanya dengan demikian kata bisa unggul dari bedil,” kata Sapardi.

Pernyataan itu menjelaskan kepada kita bahwa Rendra sesungguhnya bukan sekadar penyair atau dramawan. Ia memperjuangkan hakikat manusia ”bebas”, yang senantiasa berpikir mandiri, tanpa mau ditekan atau dipengaruhi oleh kekuasaan. Itulah yang bisa menjelaskan mengapa pada tahun 1975 sepulang dari bersekolah di American Academy of Dramatic Art, New York, Amerika Serikat, ia menggelar Perkemahan Kaum Urakan di Parangtritis, Yogyakarta.

Peristiwa itu selalu dikenang Rendra sebagai gerakan penyadaran kebudayaan. Ia selalu mengatakan, ”Posisi seorang budayawan yang ideal itu tidak berpihak pada apa pun atau siapa pun, akan tetapi pada kebenaran.”

Maka dari situ kita bisa memahami secara lebih utuh mengapa Rendra menulis sajak-sajak yang dicap sebagai sajak pamflet, yang tidak jarang membawanya berurusan dengan penguasa. Bisa pula dimengerti mengapa ia selalu menuliskan dan mementaskan drama-dramanya yang sarat akan kritik terhadap kesewenang-wenangan penguasa.

Tentu tak seorang lupa akan pementasan drama Panembahan Reso pada pertengahan tahun 1980-an, yang tidak saja berdurasi lebih dari tujuh jam, tetapi juga mengkritik dengan cara menyindir kekuasaan yang absolut pada saat itu.

Kini ”Si Burung Merak” boleh pergi, boleh berkubang tanah, tetapi segala hal yang pernah dia kerjakan tidak akan mudah dilumerkan oleh zaman. Rendra tetap ada dalam catatan hari-hari kita menjalani hidup sebagai manusia Indonesia...(CAN/THY/IAM)