Kamis, 21 Januari 2010

James Cameron, Masa Depan Teknologi Film



Rabu, 20 Januari 2010 | 04:07 WIB

Amir Sodikin

Sutradara film yang juga mantan sopir truk, James Cameron (55), kini mewakili generasi yang yakin akan masa depan teknologi. Ia mampu mengelola dan mengulur waktu, rela menunda bertahun-tahun untuk tidak membuat film, hanya untuk menunggu berkembangnya teknologi.

Di film Avatar, Cameron sudah memulainya tahun 1994 dengan menulis naskah cerita 80 halaman. Setelah menyelesaikan film Titanic (1997), ia berjanji membuat Avatar yang mengandalkan aktor-aktor yang dihasilkan dari komputer dengan rencana rilis tahun 1999.

Namun, teknologi dirasa belum mampu memfasilitasi standar visual yang diinginkan Cameron. Sambil menunggu perkembangan teknologi, ia berkonsentrasi memperkaya dokumentasi Avatar. Film ini baru dirilis akhir 2009.

Avatar mengisahkan bangsa Na’vi yang menghuni satelit Pandora di bawah planet Polyphemus yang masuk tata surya Alpha Centauri. Dengan setting tahun 2154, bangsa Na’vi yang warna kulitnya biru ini kedatangan bekas personel angkatan laut Amerika, Jake Sully (Sam Worthington), yang menjalani program avatar, sebuah program yang bisa mengubah manusia menjadi Na’vi.

Istilah avatar diambil Cameron dari khazanah agama Hindu, yang berarti inkarnasi. Film berbiaya 280 juta-310 juta dollar AS ini fenomenal karena selain dirilis dalam versi 2D juga dirilis dalam format 3D, RealD 3D, Dolby 3D, dan IMAX 3D.

Kerja keras Cameron tak hanya memodifikasi sistem 3D, tetapi juga menciptakan lingkungan Pandora, mulai dari budaya, bahasa, hingga ekologi. Bahasa Na’vi diciptakan ahli bahasa University of Southern California, Dr Paul Frommer, dengan membuat kosakata 1.000 kata, sekitar 30 kata sumbangan Cameron.

Jodie S Holt, profesor fisiologi tumbuhan dari University of California, Riverside, juga dilibatkan memberi masukan.

Film sci-fi Avatar ini di sejumlah belahan dunia telah mendominasi box office dan meraup lebih dari 1,6 miliar dollar AS. Tak mengherankan jika perhelatan Golden Globes, Senin (11/1) lalu, menobatkan Avatar sebagai film terbaik drama sekaligus menjadikan Cameron sutradara terbaik.

Awalnya murahan

Cameron dilahirkan di sebuah kota Kapuskasing, dekat air terjun Niagara, Ontario, Kanada. Ayahnya, Phillip, adalah teknisi pabrik bubur kertas. Ibunya, Shirley, adalah seorang pelukis.

Cameron menganggap dirinya mewarisi sifat ibunya yang seniman-irasional dan sifat ayahnya yang rasional-disiplin. Karena itu, selain jago fisika, dia juga berminat pada teater. Selain analitis dan logis, dia juga punya khayalan tinggi.

”Saya menghabiskan waktu luang di perpustakaan dan selalu membaca buku-buku fiksi ilmiah, dari situ saya menyadari antara fantasi dan realitas itu tak jelas,” katanya. Bacaan yang ia senangi menyangkut biologi terutama mutasi genetik dan soal alien.

Cameron memulai kariernya sebagai pembuat film horor murahan. Namanya baru dikenal ketika membuat The Terminator (1984) yang naskah ceritanya ia tulis sendiri. Awalnya, tak ada studio yang mau karena disutradarai Cameron. Film inilah akhirnya yang mengangkat karier Cameron di dunia penyutradaraan.

Film Aliens (1986) dan True Lies (1994) semakin menguatkan posisi Cameron sebagai sutradara film aksi. Karakter Cameron yang mengambil gambar secara dekat dan dramatis membuat ia percaya diri membuat film romantis dramatis.

Maka, ia pun membuat Titanic (1997) dan menjadi orang pertama yang bisa menembus pendapatan 1 miliar dollar AS, tepatnya 1,8 miliar dollar AS.

Titanic juga mencetak penghargaan fantastis dengan mendapat 11 nominasi Academy Awards atau Oscar, di antaranya menang sebagai sutradara terbaik, penyuntingan terbaik, dan film terbaik.

Dalam hal pendapatan, pesaing Titanic hanya Avatar, yang ia sutradarai juga. Jika Titanic yang merajai Golden Globes akhirnya juga merajai Oscar, apakah Avatar yang merajai Golden Globes juga mampu mendominasi Oscar yang digelar Maret nanti?

Bisa jadi demikian, tetapi mengingat genre fiksi ilmiah jarang menyabet penghargaan di kategori bergengsi, tampaknya itu berat untuk Avatar. Cameron menyadarinya karena itu ia tak menyangka menyabet sutradara terbaik di Golden Globes mengalahkan mantan istrinya, Kathryn Bigelow (The Hurt Locker).

Cara kerja Cameron

Cameron memodifikasi sistem kamera sendiri dengan menggunakan kamera dengan satu body dilengkapi dua lensa high-definition agar bisa mengambil gambar 3D. Untuk menciptakan grafis presisi, aktor terlebih dulu memerankan aksi nyata, misalnya memanjat pohon.

Cameron melihat aksi itu dengan kamera, saat bersamaan para alien di lingkungan Pandora juga memainkan aksi di grafis komputer. Dengan cara ini, Cameron bisa langsung membandingkan gerakan aktor dengan gerakan alien di komputer.

Aktor juga memakai pakaian yang dilengkapi reflektor kecil, semua gerakan aktor direkam oleh 140 kamera digital. Data ini menjadi sumber membuat gerakan grafis yang natural.

Tiap aktor memakai kamera kecil yang dikaitkan di kepala untuk merekam ekspresi wajah, mata, bibir, dan semua gerakan di muka. Data kemudian dipetakan di grafis agar mimik wajah hasil rekaan komputer mirip aslinya.

Sebenarnya, sejak lama, para pencipta video game sudah menggunakan teknik ini untuk membuat gerakan tokoh di video game lebih nyata. Namun, kehadiran Avatar telah membuat penyadaran luas soal kekuatan teknologi.

Terlepas suka atau tidak suka dengan Avatar, film ini telah menjadi kunci dimulainya teknologi inovatif. Dengan revolusi 3D yang modifikasi peralatannya ia rancang sendiri, Cameron telah memberikan kontribusi akan harapan masa depan film.

Ke depannya, jika sepakat teknologi 3D adalah sebuah standar format yang harus ada, problem pembajakan bisa diminimalkan mengingat teknologi 3D tak bisa dihadirkan secara murah di ruang teater rumah. (AP/AFP)

Sabtu, 09 Januari 2010

"In Memoriam": Frans Seda


Sabtu, 9 Januari 2010 | 03:20 WIB

Toeti Heraty N Roosseno

Tahun 1956 seorang putra Flores Indonesia lulus sarjana ekonomi Belanda, Universitas Katolik Tilburg. Lulusan Belanda masih langka sejak penyerahan kedaulatan Belanda-Indonesia, dan Frans memanfaatkan beberapa waktu untuk menikmati sisa waktu sebelum kembali ke Indonesia dengan idealisme tinggi.

Ia antara lain pernah menghadiri suatu pementasan drama oleh mahasiswa Indonesia: naskahnya ciptaan Basuki Gunawan dan sutradaranya Iwan Simatupang. Persoalannya, siapa yang akan memperoleh peran utama.

Konon kabarnya ini selalu diperebutkan setiap tahun antara dua tokoh berposisi primadona ialah Titi Sutan Assin atau Nora Panggabean–Waney, jadi akhirnya yang beruntung adalah pendatang baru di Amsterdam, ialah Toeti Heraty, aku sendiri.

Judul naskah ”Hujan Tak Datang Juga”, temanya tentang kehilangan cinta. Latihan dimulai di Michel-Angelo straat 39, tempat tinggalku. Iwan Simatupang berkunjung dengan jas korduroi merah menyala: temperamen artistik dan meyakinkan, tetapi konflik tak terabaikan antara penulis naskah dan sutradara. Kami pemain akhirnya ditinggalkan tanpa arahan dan terpaksa maju ke pentas. Untung berhasil!

Lalu aku diwawancarai di radio Hilversum oleh Frans Seda sendiri karena pemerananku yang disebut oleh resensi liputan media sebagai grandioos en ongeposeerd ! Mengagumkan dan alamiah.

Pertemuan dengan Frans tidak berakhir di situ; menonton pentas, berwawancara, dan kunjungan ke Amsterdam untuk membantuku pindah alamat dan belanja buku. Sederet buku Margareth Mead dan satu buku tentang kematian dibelikan olehnya untuk tanda mata, sebelum Frans kembali ke Tanah Air. Lalu dari jauh aku saksikan kesuksesannya dalam berkarier dan bermasyarakat.

CATATAN 1956

untuk Frans

pasar malam terang, keriuhannya!

balon aneka warna, lepas satu meluncur

ke langit

manusia mencari, menjulurkan leher

berdesakan di atas tumit

gelisah mimpi, hidup ibarat pelita

nyamuk pun enggan menyentuhnya

pagar rotan berpindah tangan, selendang leher

yang ketinggalan

beberapa buku berjejer di papan, salah satu

ajarkan manusia

bagaimana seharusnya ia hadapi mautnya

keriuhan pasar di malam hari, tersesat hati

bagaimana temukan cinta kembali

perahu layar bergetar meriah, arah tujuan

belum pasti

angin pun tak sabar, (di karang mana terdampar nanti)

terbangun dari mimpi, - esok tak dapat dielakkan lagi -

kuseka air mata dari pipi

Sepuluh tahun kemudian, aku sudah kembali ke Indonesia, Frans telah menjadi salah satu menteri, dan dengan Ibu Jo, istrinya, terkadang menunjukkan perhelatan di rumah orangtuaku di Jalan Imam Bonjol. Suatu pasangan yang serasi dan menyejukkan hati. Sempat masih bertemu untuk acara makan dan berdialog. Dia sudah berhasil menerapkan idealismenya secara nyata dan aku kagumi. Mungkin juga sedikit iri.

Tetapi waktu berlanjut, dan terakhir di Katedral pada tanggal 2 Januari 2010 aku mengucapkan selamat berpisah, selamat jalan kepada Frans. Menyampaikan belasungkawa kepada istrinya, Jo, yang tabah, pula kepada Eri dan Nessa. Suatu era telah lewat, kesaksian masa lalu dengan idealisme masing-masing, lalu ditinggalkan dalam kekalutan negara, khususnya di bidang hukum yang tentu terkait dengan ekonomi, bidang pergulatannya hingga 83 tahun.

Frans, istirahatlah dengan damai, senantiasa.

DIALOG

untuk Frans

di atas meja

antara mereka berdua

vas besar dengan kembang kembang

kembang kertas menutupi pandang

belum ada yang menyisihkan

kata dan pandanglah

yang melintasi kembang

sementara itu sembunyi diam karena

pertemuan yang terlampau telanjang

dan tiba tiba

harus diatasi

tak ada malam tapi bulan turut bicara

dan kerlap kerlip bintang meluncur karena

kapal terlalu lancar tahu benar

apa yang dituju

asing dari kegagalan –

di atas meja

kini terang

dengan kelangsungan kata dan pandang

bunga-bunga,

telah disingkirkan olehnya

Juni ’67

Toeti Heraty N Roosseno Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia

Gus Dur dan Politik Multikulturalisme


Sabtu, 9 Januari 2010 | 02:53 WIB

A SONNY KERAF

Banyak yang telah ditulis tentang keberpihakan Gus Dur terhadap pluralisme dan multikulturalisme. Harus diakui bahwa komentar, tafsir, dan berbagai teks tentang Gus Dur akan terus mengalir tiada henti. Ini konsekuensi logis dari dua hal.

Pertama, pluralisme bagi Gus Dur bukan sebuah wacana dan bukan pula sekadar sebuah perjuangan untuk menjadi realitas kehidupan bersama. Bagi Gus Dur, pluralisme adalah eksistensi kehidupan dan menjadi sebuah penghayatan eksistensial bagi dirinya. Karena itu, kedua, konsekuensi logisnya, ia menerima adanya tafsir beragam-ragam atas sikap eksistensi hidupnya. Hidupnya adalah sebuah teks multitafsir yang beragam. Yang berarti kontroversi, perbedaan, dan keragaman tafsir atas sikap dan penghayatan hidup Gus Dur sudah menjadi konsekuensi logis dari eksistensi Gus Dur.

Tulisan ini ingin mengangkat tiga aspek penting dari sikap eksistensial Gus Dur sebagai penghayatan hidupnya akan multikulturalisme. Ketiga aspek itu kiranya dapat menjadi landasan bagi terbangunnya sebuah politik multikulturalisme di Indonesia, yaitu terbangunnya penghayatan hidup bersama akan keberagaman sebagai bagian dari hidup bersama yang perlu dihayati secara konsekuen.

Pengakuan

Aspek pertama dari multikulturalisme yang dengan gigih dihayati oleh Gus Dur adalah pengakuan akan adanya pluralitas atau perbedaan cara hidup, baik secara agama, budaya, politik, maupun jenis kelamin. Menerima dan menghayati multikulturalisme berarti pertama-tama ada pengakuan mengenai adanya orang lain dalam keberbedaan dan keberlainannya. Inilah yang disebut Will Kymlicka sebagai the politics of recognition: sikap yang secara konsekuen mengakui adanya keragaman, keberbedaan, dan kelompok lain sebagai yang memang lain dalam identitas kulturalnya.

Konsekuensi lebih lanjut dari pengakuan ini, semua orang dan kelompok masyarakat yang beragam-ragam itu harus dijamin dan dilindungi haknya untuk hidup sesuai dengan keunikan dan identitasnya. Dasar moral dari pengakuan, jaminan, dan perlindungan ini adalah humanisme: setiap orang hanya bisa berkembang menjadi dirinya sendiri dalam keunikannya: agama, suku, jenis kelamin, aliran politik.

Pemaksaan terhadap cara hidup yang berbeda dari yang dianutnya adalah sebuah pelanggaran atas harkat dan martabat manusia yang unik, dan sekaligus juga pengingkaran atas identitas dan jati diri setiap orang sebagai pribadi yang unik. Demikian pula sebaliknya, penghambatan terhadap orang lain dalam melaksanakan identitas agama, budaya, jenis kelamin, dan aliran politiknya yang berbeda sejauh tidak mengganggu tertib bersama adalah juga sebuah pelanggaran atas harkat dan martabat manusia yang unik.

Ini semua dihayati oleh Gus Dur secara konsekuen, termasuk bahkan dianggap nyeleneh dan kontroversial. Namun, itu adalah risiko dari pilihan politik atas multikulturalisme.

Toleransi

Konsekuensi logis dari pilihan politik seperti itu adalah toleransi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik pengakuan. Akibat logis yang masuk akal dari politik pengakuan adalah membiarkan orang lain berkembang dalam identitasnya yang unik. Memaksa orang lain menjadi kita, atau menghambat orang lain menjadi orang lain, sama artinya dengan membangun monokulturalisme. Yang berarti antimultikulturalisme.

Hanya saja, yang menarik pada Gus Dur, toleransi pertama-tama dihayati oleh beliau bukan secara negatif-minimalis: sekadar membiarkan orang lain menjalankan identitas kulturalnya (dalam pengertian luas mencakup agama, adat istiadat, jenis kelamin, dan aliran politik). Toleransi yang negatif-minimalis adalah sekadar tidak melarang, tidak menghambat, tidak mengganggu, dan tidak merecoki orang lain dalam penghayatan identitas kulturalnya. Toleransi negatif-minimalis inilah yang masih menjadi perjuangan berat bagi kita semua.

Gus Dur justru menghayati dan mempraktikkan toleransi yang berbeda dan sudah satu langkah lebih maju dari toleransi negatif-minimalis di atas. Yang dihayati dan dipraktikkan beliau adalah toleransi positif-maksimal: membela kelompok mana saja—termasuk khususnya minoritas—yang dihambat pelaksanaan identitas kulturalnya. Bahkan, lebih maksimal lagi, ia mendorong semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas kulturalnya secara konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak mengganggu dan menghambat kelompok lain. Maka, ia mendorong orang Kristen menjadi orang Kristen sebagaimana seharusnya seorang Kristen yang baik. Ia mendorong orang Papua menjadi orang Papua dalam identitas budayanya yang unik. Dan seterusnya.

Toleransi positif-maksimal ini bahkan dihayati Gus Dur secara konsekuen tanpa kalkulasi politik dan tanpa dipolitisasi untuk kepentingan politik apa pun selain demi humanisme: mendorong semua manusia menjadi dirinya sendiri yang unik tanpa merugikan pihak lain.

Kian jadi diri sendiri

Aspek ketiga dari multikulturalisme Gus Dur adalah semakin ia mengakui kelompok lain dalam perbedaannya dan mendorong kelompok lain menjadi dirinya sendiri, semakin Gus Dur menjadi dirinya sendiri dalam identitas kultural dan jati dirinya. Semakin Gus Gur mendorong umat dari agama lain menghayati agamanya secara murni dan konsekuen, beliau justru semakin menjadi seorang Muslim yang baik dan tulen.

Ini hanya mungkin terjadi karena Gus Dur sendiri sudah oke dengan jati dirinya sendiri, dengan identitas kulturalnya, dan menjalankan identitas kulturalnya secara murni dan konsekuen sebagaimana ia menghendaki orang lain melakukan hal yang sama. Itu disertai dengan keyakinan yang teguh bahwa semakin orang menjadi dirinya sendiri dalam identitas kulturalnya, maka semakin terjamin tertib sosial. Sebab, ketika seseorang melaksanakan identitas kulturalnya sampai merusak tertib sosial, ia merusak citra diri dan identitasnya, serta identitas semua kelompok kultural terkait.

Artinya, multikulturalisme bukan sebuah ancaman terhadap tertib sosial. Multikulturalisme dengan politik pengakuan dan toleransinya yang dihayati secara konsekuensi sebagai eksistensi manusia akan justru menjamin tertib sosial dan melalui itu setiap orang akan bisa menjadi dirinya sendiri dalam keragamannya yang unik.

Proyek besar yang ditinggalkan Gus Dur, yang sekaligus menjadi tantangan kita bersama, adalah bahwa kita masih berbicara tentang multikulturalisme pada tingkat wacana. Kita belum benar-benar menghayati dan melaksanakannya secara konsekuen sebagaimana Gus Dur. Hal itu, antara lain, karena kita terhambat oleh ketakutan kita sendiri.

Pertama, kita takut tidak diterima orang lain dalam keberbedaan dan keunikan identitas kultural dan jati diri kita. Kedua, kita takut akan bayangan kita sendiri yang kita proyeksikan pada orang lain seakan orang lain akan menolak segala praktik kultural kita karena kita sendiri tidak benar-benar oke dengan identitas kultural dan jati diri kita. Ketiga, kita takut kalau-kalau dengan mengakui identitas kultural pihak lain, kita sendiri terbawa hanyut dalam identitas kultural pihak lain lalu kehilangan jati diri.

Minimal Gus Dur telah mengajarkan dan meninggalkan warisan bagi kita bahwa ternyata menghayati dan mempraktikkan multikulturalisme secara murni dan konsekuen itu tidak repot. ”Betul, Gus. Gitu aja kok repot.”

A SONNY KERAF Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Pemerintahan Presiden Gus Dur (1999-2001) dan Pengajar Universitas Atma Jaya, Jakarta