Jumat, 27 Februari 2009

Ki Enthus Susmono, Kreativitas Tiada Henti




Jumat, 27 Februari 2009 | 00:13 WIB

Siwi Nurbiajanti

Dalang wayang kulit dan wayang golek asal Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Ki Enthus Susmono, berusaha mengikuti persoalan yang dihadapi masyarakat. Kelebihannya berimprovisasi dan menciptakan kreasi wayang membuat dia diperhitungkan di dunia seni pewayangan.

Akhir Januari lalu, karya wayang terbarunya, wayang Rai Wong atau wayang berwajah orang, dipamerkan di Museum Rotterdam, Belanda. Pameran yang rencananya berlangsung selama enam bulan itu bertajuk Wayang Superstar The Theaterworld of Ki Enthus Susmono. Pameran ini menampilkan wayang kulit dan wayang golek karya Enthus yang dimiliki Museum Tropen.

Jumlah wayang yang dipamerkan sebanyak 57 buah, di antaranya wayang berwajah George Bush, Saddam Hussein, dan Osama bin Laden. Seusai pameran Juni nanti, Enthus akan mementaskan wayang kulit Rai Wong dengan lakon Dewa Ruci di Amsterdam, Dohctrect, dan Paris.

Popularitas Enthus sebagai dalang tak diperoleh dengan mudah, meski darah seni sang ayah, Soemarjadiharja, yang berprofesi sebagai dalang wayang kulit dan wayang golek, mengalirinya.

Meskipun lahir dari keluarga dalang, Enthus tidak diizinkan oleh ayahnya menjadi dalang. ”Alasan ayah saya, dadi dalang kuwi abot sanggane (menjadi dalang itu berat bebannya),” kata Enthus.

Ketika itu dia tak begitu mengerti makna ucapan sang ayah. Seiring berjalannya waktu, ia mulai memahami maksud sang ayah. Katanya, hal paling pokok yang sering terjadi pada dalang adalah manajemen keuangan yang salah. Dalang sering menggunakan manajemen ayam, yaitu langsung menghabiskan uang yang diperolehnya.

Oleh karena itulah, ayahnya tak ingin Enthus menjadi dalang. Dia diharapkan belajar sampai perguruan tinggi agar mempunyai bekal hidup cukup. Namun, sejak masih kecil ia justru sering mencuri kesempatan memainkan wayang milik ayahnya.

”Saya memainkan wayang kalau ayah saya sedang tidur, seusai pentas. Kalau beliau bangun, semua perlengkapan sudah saya rapikan lagi,” ujarnya.

Disindir guru

Semangat Enthus untuk menggeluti dunia wayang terusik ketika ia disindir salah seorang gurunya. Saat itu ia duduk di bangku SMP Negeri 1 Tegal. Gurunya mengatakan, sebagai anak dalang kok dia tak bisa memainkan gending.

Merasa tertantang, ia lalu mengikuti kegiatan ekstra kulikuler karawitan. Enthus dibimbing gurunya, Prasetyo. Menurut dia, ilmu dari gurunya itu yang menjadi dasar kemahirannya memainkan gamelan dan mendalang.

”Bisa dikatakan, ilmu itu yang membuat saya bisa makan sampai sekarang,” tuturnya.

Berkat latihan rutin karawitan, Enthus menjadi mahir memainkan kendang, hingga ia dijuluki teman-teman sebagai Enthus tukang kendang. Lulus SMP, ia bisa memainkan kendang untuk mengiringi tari Eko Prawiro.

Selepas SMPN 1 Tegal, ia melanjutkan belajar di SMAN 1 Tegal. Saat duduk di bangku SLTA inilah, ia mulai mendalang. Ini berawal dari acara lomba karya penegak pandega dalam kegiatan ekstra kulikuler pramuka.

Enthus mendalang menggunakan wayang dari batang pohon pisang, dengan gamelan cangkem (suara mulut). Layar atau geber diikatkan pada tongkat pramuka yang dipegangi teman-temannya.

”Lampu untuk penerangan dengan obor. Wayang yang dimainkan Punokawan,” ceritanya.

Ternyata pentas sederhana itu mendapat sambutan para guru dan teman-temannya. Sejak itu ia sering diminta mendalang pada acara pramuka di sekolah-sekolah lain.

Melihat potensi Enthus dalam dunia pewayangan, salah seorang guru SMA-nya, Marwadi, mendatangi ayah Enthus untuk memintakan izin agar anak itu diperbolehkan mendalang. Dari sinilah hati ayahnya luluh, bahkan membuatkan geber kecil untuknya. Untuk latihan ia membuat wayang dari kertas yang diwarnai dengan cat air.

Saat lustrum V SMAN 1 Tegal pada 24 Agustus 1983, Enthus diminta mendalang selama dua jam. Ketika itu sang ayah menyaksikan pementasannya. Setelah itu, tak hanya mengizinkan, ayahnya pun mewisuda Enthus sebagai dalang di hadapan warga setempat.

”Dia hanya berpesan agar saya memahami pakem kehidupan lebih dulu, sebelum belajar pakem wayang,” katanya. Sejak itu, Enthus menjadi dalang yang sesungguhnya. Ia kerap diminta pentas di balai desa dan acara hajatan.

Ekonomi keluarga

Februari 1984, Soemarjadiharja wafat dalam usia 55 tahun, karena sakit. Ketika itu Enthus duduk di kelas II SMA. Kepergian sang ayah mengakibatkan ekonomi keluarga itu terseok-seok.

Enthus pun mengambil alih peran sebagai kepala keluarga, untuk menghidupi ibu dan membiayai sekolahnya. Ia juga harus menghidupi 11 anak pungut sang ayah. Jadilah dia bersekolah pada pagi hari, dan malamnya mendalang untuk mendapat penghasilan.

Selepas SMA ia diterima di Jurusan Biologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo lewat jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Mengingat keterbatasan dana, kesempatan itu tak diambilnya. Ia juga mendaftar di Akabri, tapi tak diterima.

Memanfaatkan relasi sang ayah, Enthus terus mendalang. Ia pernah menjadi pembuat minuman di Akademi Seni dan Karawitan Indonesia (ASKI) Solo selama 1984-1986. Di sini pula ia belajar banyak hal dengan melihat bagaimana mahasiswanya berlatih.

”Di sini (ASKI), saya ketemu Pak Bambang Suwarno. Dia dosen yang mengajari saya menggambar,” kenangnya.

Nama Enthus berkibar setelah ia memenangi Festival Dalang Remaja Tingkat Jawa Tengah di Wonogiri tahun 1988. Ia juga terus berkreasi mengembangkan berbagai jenis wayang, sampai wayang Rai Wong.

Wayang Rai Wong dia buat untuk mengenalkan wayang klasik kepada orang yang baru mengenal wayang. Enthus mengakui, sebagai dalang ia tak terikat pakem sehingga dalam pementasan lebih sering menyesuaikan pada situasi dan suka memakai bahasa sehari-hari.

Hal itu dia lakukan sejak awal mendalang, mengingat banyak orang yang menjadi tanggungannya. ”Jadi, wayang saya harus laku. Kalau ikut pakem, saya ada di urutan ke berapa?” tambahnya.

Namun, justru dari kondisi seperti itulah Enthus merasa lebih bebas bereksplorasi. Sanggar Satria Laras yang dikelolanya pun makin berkembang, dengan lebih dari 200 orang terlibat di dalamnya.


DATA DIRI

Nama: Enthus Susmono

Lahir: Tegal, 21 Juni 1966

Istri:

- Romiyati (40), menikah 1990 dan bercerai 1995

- Nur Laelah (33), menikah 1997-kini

Anak:

- Firman Jindra Satria (18)

- Firman Haryo Susilo (15)

- Firma Nur Jannah (11)

- Firman Jafar Tantowi (5)

Penghargaan:

- Juara I Festival Dalang Remaja Tingkat Jawa Tengah di Wonogiri, 1988

- Dalang Terbaik se-Indonesia pada Festival Wayang Indonesia, 2005

- Gelar doktor honoris causa bidang seni budaya dari International University Missouri AS, Laguna College of Business and Arts, Calamba, Filipina, 2005

- Rekor Muri sebagai dalang terkreatif dengan kreasi jenis wayang terbanyak (1.491 wayang), 2007

- Pemuda Award Bidang Seni dan Budaya dari DPD Hipmi Jateng, 2005

Senin, 23 Februari 2009

Yasir, Melestarikan Mi Lethek di Bantul


Senin, 23 Februari 2009 | 00:47 WIB

Eny Prihtiyani

Di rumah yang sederhana itu, sekitar 22 tenaga kerja menggantungkan nasib pada usaha mi lethek. Kenyataan itu membuat Yasir Feri Ismatrada tetap mempertahankan metode produksi tradisional. Meski memakai peralatan tradisional, kapasitas produksinya bisa mencapai 10 ton per bulan.

Yasir Feri Ismatrada adalah warga Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia memulai usaha membuat mi sejak tahun 2002, meski mi lethek sebenarnya adalah usaha turun-temurun keluarga yang mulai diproduksi sejak tahun 1940-an. Tahun 1982 usaha tersebut sempat terhenti karena kesulitan ekonomi.

Setelah lama produksi mi lethek terhenti, Yasir mulai tergelitik untuk menggerakkan kembali usaha keluarganya. Ide itu muncul setelah dia mendengar informasi dari seorang dokter tentang khasiat singkong. Yasir pun teringat akan mi lethek produksi keluarganya yang dibuat dengan bahan dasar singkong.

”Penjelasan dokter itu membuat saya tergugah. Saya sekaligus merasa tertantang untuk mengembangkan kembali mi lethek. Saya yakin mi produksi saya bisa menguasai pasar karena rasanya berbeda dengan mi pada umumnya. Saya juga percaya khasiat singkong sangat baik untuk kesehatan tubuh,” katanya.

Mi lethek terbuat dari bahan dasar tepung tapioka atau tepung singkong yang dicampur dengan gaplek. Kedua bahan itu diaduk dengan menggunakan alat berbentuk silinder. Silinder tersebut digerakkan oleh tenaga sapi. Setelah bahan baku diaduk, dimasukkan ke tungku kukusan, lalu diaduk lagi untuk mengatur kadar airnya. Kemudian adonan tersebut dipres dan dikukus lagi. Proses terakhir berupa pencetakan dan penjemuran mi hingga kering.

Produk ini disebut mi lethek karena warna mi ini tidak secerah mi pada umumnya, yakni putih atau kuning. Warna mi ini butek atau keruh karena tidak menggunakan bahan pemutih, pewarna, ataupun pengawet. Lethtek dalam bahasa Jawa artinya kotor.

Justru warna mi lethek benar-benar alami muncul dari proses produksi. Meski diolah secara tradisional, mi lethek bisa bertahan hingga tiga bulan apabila disimpan dalam ruangan yang tidak lembab.

Langganan Presiden

Konsumen awam yang melihat wujud mi lethek mungkin tidak akan tertarik karena tampilannya memang kurang menarik. Namun, begitu tahu rasanya, banyak orang yang langsung ketagihan.

Di Bantul tidak banyak orang yang membuat mi lethek karena proses produksinya dinilai terlalu rumit. Bisa dikatakan hanya Yasir bersama pamannya yang memproduksi mi lethek.

Dalam satu bulan Yasir bisa memproduksi 10 ton mi lethek. Dari jumlah itu, 50 kilogram di antaranya dikirim ke Departemen Pertanian untuk disalurkan ke Cikeas, kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

”Bapak Presiden sudah menjadi pelanggan tetap saya. Selain Pak SBY, sejumlah pejabat juga menjadi pelanggan setia,” cerita Yasir tentang sebagian penggemar mi letheknya.

Bisa menggaet presiden sebagai pelanggan tetap tidak membuat Yasir berpuas diri. Ia ingin dapat mengalahkan mi produksi pabrikan yang lebih banyak menggunakan terigu.

”Tepung terigu kan harus impor, sedangkan singkong tidak, ini produksi lokal. Terigu hanya menguntungkan penduduk di negara lain, sedangkan singkong bisa mengangkat derajat petani lokal,” katanya.

Untuk mendapatkan 10 ton mi, Yasir membutuhkan sekitar 10,5 ton tepung tapioka dan 20 ton gaplek. Bahan-bahan itu diperolehnya dari para petani lokal di Bantul dan beberapa daerah di Indonesia.

”Untuk tapioka, yang paling bagus itu produksi Banjarnegara, sedangkan gaplek biasa saya beli di Gunung Kidul,” tutur bapak dua anak itu.

Mi lethek dijual seharga Rp 6.600 per kilogram. Dalam sebulan Yasir bisa mengantongi laba bersih sekitar Rp 6 juta. Selain kalangan istana, pelanggan tetapnya adalah para pedagang di pasar tradisional. Menurut dia, tingkat permintaan dan kapasitas produksi masih timpang. Banyak pelanggan yang tidak kebagian mi karena Yasir kesulitan menambah kapasitas produksi.

Penggunaan peralatan tradisional yang menggunakan tenaga manusia menjadi penyebab keterbatasan kapasitas produksi tersebut. Meski begitu, ia tak tertarik mengganti peralatannya dengan mesin pembuat mi modern. Selain akan mengurangi tenaga kerja, produksi lewat mesin juga berpengaruh terhadap rasa.

”Kalau saya ganti dengan mesin, tenaga kerja usaha ini akan kehilangan pekerjaan. Padahal, mereka sudah ikut mengembangkan usaha keluarga saya sejak awal. Peralihan pembuatan mi dari tangan ke mesin juga dikhawatirkan mengubah cita rasa mi,” kata pria yang sempat mengikuti pelatihan pembuatan mi di Pabrik Tepung Sriboga ini.

Dari sang kakek

Usaha mi lethek keluarga Yasir berawal ketika sang kakek yang berasal dari tanah Arab bertemu dengan neneknya, perempuan keturunan China, di daerah Srandakan, Bantul. Ketika itu Srandakan dikenal sebagai kampung pecinan. Memasuki tahun 1940-an terjadi penggusuran dan pengusiran terhadap etnis Tionghoa di daerah tersebut. Beruntung keluarga Yasir bisa lolos.

Pascapenggusuran, keluarga Yasir mulai menata ekonomi mereka. Keahlian sang nenek yang terbiasa membuat mi sewaktu di daratan China pun dimanfaatkan.

”Saat itu, banyak orang yang membuat mi dari campuran beras dan jagung. Untuk bisa bersaing, Nenek mencoba-coba membuat mi dari bahan singkong dan rasanya ternyata lebih enak,” ujarnya.

Menurut Yasir, mengolah singkong menjadi mi berarti menambah nilai ekonomi singkong. Selama ini singkong selalu dianggap sebagai makanan ndeso yang sulit diadaptasi masyarakat perkotaan. Padahal, singkong bisa dikembangkan menjadi pangan alternatif selain beras.

Yasir berharap kebutuhan akan singkong pabriknya bisa dipenuhi petani lokal Bantul agar dampak positif usaha ini lebih terasa. Sayangnya, minat petani di Bantul untuk menanam singkong bisa dikatakan tergolong rendah.

Petani hanya menanam singkong di lahan-lahan marjinal, seperti daerah pegunungan. Di Bantul ada lima kecamatan yang memiliki wilayah pegunungan, yakni Dlingo, Imogiri, Pajangan, Pundong, dan Piyungan.

Minimnya lahan yang dimanfaatkan untuk menanam singkong juga diperparah dengan rendahnya tingkat produktivitas. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul, rata-rata produktivitas ketela di Bantul sekitar enam ton per hektar.

Padahal, angka itu masih bisa ditingkatkan sampai sekitar enam ton per hektar. Rendahnya produktivitas ketela itu karena petani cenderung membiarkan tanaman tersebut tumbuh begitu saja. Mereka tidak memberikan asupan pupuk sehingga produknya pun tidak maksimal.


DATA DIRI

Nama: Yasir Feri Ismatrada

Lahir: Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 6 Februari 1975

Alamat: Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul

Istri: Indri Istiyantun

Anak:

1. Ismet Al Malik (8)

2. Zaki Yasir (5)

Pendidikan:

- SD Muhammadiyah Ngupasan, Yogyakarta

- SMP Muhammadiyah 3 Wirobrajan, Yogyakarta

- SMA Muhammadiyah 3 Wirobrajan, Yogyakarta

Rabu, 18 Februari 2009

Noura al-Faez, Pembuka Jalan bagi Wanita


Rabu, 18 Februari 2009 | 00:10 WIB

Mustafa Abdul Rahman

”Ini baru awal perjalanan bagi kaum wanita Arab Saudi untuk mencapai karier yang lebih tinggi,” kata Noura al-Faez (53) begitu mengetahui berita soal penunjukan dirinya sebagai Deputi Menteri Pendidikan Arab Saudi, Sabtu (14/2).

Al-Faez adalah wanita Arab Saudi pertama yang dipercaya menduduki jabatan tinggi di negara itu. Televisi Al Arabiya melukiskan, penunjukan wanita untuk menduduki posisi tinggi di negara lain adalah hal biasa, tetapi di Arab Saudi adalah sebuah revolusi.

Kaum wanita di Arab Saudi selama ini mendapat pembatasan sedemikian rupa di berbagai bidang, seperti dalam urusan perjalanan, pengobatan, kepemilikan, kawin dan cerai, bahkan hingga saat ini dilarang mengemudikan kendaraan.

Jabatan-jabatan penting di berbagai bidang hanya bisa dijabat kaum pria. Ini terjadi karena fatwa dari kaum ulama menolak pencampurbauran antara kaum lelaki dan wanita. ”Saya mendapat berita lewat telepon tentang penunjukan saya,” ungkapnya.

Sudah menduga

Dia sudah menduga akan ada perombakan kabinet dan kaum wanita akan menduduki posisi penting dalam kabinet berikutnya. Namun, dia tidak menduga akan ditunjuk menduduki posisi penting itu. Al-Faez berjanji akan melakukan perubahan dalam tata cara pendidikan terhadap kaum wanita, sesuai nilai-nilai dan prinsip Arab Saudi.

Menurut dia, itu adalah sebuah pesan pada dunia tentang apa yang kini telah dicapai kaum wanita di Arab Saudi. ”Pesan itu khususnya terhadap dunia Barat yang selalu mempertanyakan proses reformasi yang dijanjikan pimpinan Arab Saudi dan selalu mengkritik nasib kaum wanita di Arab Saudi,” kata Noura al-Faez.

Dia menegaskan, misi besar terpenting pada masa mendatang adalah ingin mengantarkan kaum wanita di Arab Saudi mencapai pendidikan dan pengetahuan lebih baik di segala bidang. Namun, ia mengakui, masa depan kaum wanita di Arab Saudi masih sulit digambarkan karena tradisi menyangkut kaum wanita di negara itu telah sangat mengakar.

”Peran saya saat ini adalah terus memperjuangkan hak-hak kaum wanita di negeri ini hingga mereka lebih terlibat dalam mengambil keputusan, terutama di bidang pendidikan,” ujarnya.

Aktivis wanita Arab Saudi, Hatun al-Fasi, menyatakan bahagia karena Al-Faez dipercaya menduduki posisi penting. Ia berharap akan ada wanita-wanita lain yang ditunjuk menduduki posisi strategis.

Al-Faez mengatakan lagi, ”Saya yakin ini merupakan langkah awal yang akan diikuti masuknya kaum wanita pada posisi tinggi di kementerian lain. Merupakan kehormatan bagi saya ditunjuk menduduki posisi tinggi yang tak pernah dipegang kaum wanita sebelumnya,” kata Noura al-Faez di harian Asharq Al Awsat, Minggu (15/2).

Ditambahkan, ini juga merupakan kehormatan bagi kaum wanita di Arab Saudi. Noura al-Faez lahir di Provinsi Syaqra, Arab Saudi, tahun 1956. Ia adalah ibu dari lima anak, yakni tiga putra dan dua putri.

Dalam jenjang pendidikan, ia meraih gelar master pendidikan Jurusan Teknologi Pendidikan di Universitas Utah, AS, tahun 1982. Sarjana (S-1) Jurusan Sosiologi diraihnya dari Universitas Raja Al Suud, Riyadh, tahun 1978.

Ia juga mengambil diploma komputer di Lembaga Administrasi Negara, Arab Saudi, tahun 1984 dan master manajemen di Akademi Arab untuk Sains dan Teknologi, Alexandria, Mesir, tahun 1997.

Ia memberi pelatihan dan mengajar di Lembaga Administrasi Negara Arab Saudi tentang manajemen waktu, manajemen dalam tekanan kerja, manajemen pengembangan kemampuan berunding, manajemen kepemimpinan, kreasi administrasi, analisis problem, dan seni mengambil keputusan. Sejak Juni tahun 2001 ia menjabat Direktur Urusan Wanita di Lembaga Administrasi Negara.

Sejak Juni 2000 hingga Mei 2001, ia menjabat Direktur Sekolah Khusus Wanita di seluruh Arab Saudi. Dari tahun 1989 hingga 1993, Al-Faez menjabat sebagai penasihat dan pengarah tentang teknik pengajaran pada lembaga pengajaran khusus di Kementerian Kebudayaan.

Noura al-Faez memiliki karya ilmiah di bidang pendidikan, pelatihan, dan administrasi.

Dari tahun 1989 hingga 1995, ia diminta sebagai asisten profesor di Fakultas Pendidikan Universitas Raja Al Suud.

Dari tahun 1984 hingga 1988, ia menjabat sebagai pengajar dan ketua pada Pusat Teknik Pelatihan di Seksi Wanita Lembaga Administrasi Negara.

Ia juga tercatat sebagai anggota di beberapa lembaga di negara itu, di antaranya anggota Dewan Pimpinan Fakultas Sastra, anggota Dewan Pimpinan Pendidikan Kaum Wanita, anggota Komite Wanita di Universitas Raja Abdel Aziz, anggota Komite Wanita dalam panitia peringatan 100 tahun berdirinya negara Arab Saudi, konsultan di Lembaga Sosial Pangeran Salman, konsultan di Ikatan Perpustakaan Wanita, dan Ketua Komite Wanita di Forum Pengembangan Sumber Daya Manusia di Riyadh.

Tantangan tugas

Al-Faez menegaskan, dalam posisi sebagai Deputi Menteri, dia akan melaksanakan banyak program dalam pengembangan pendidikan kaum wanita dan akan membentuk tim kerja terpadu dengan dipimpin Menteri Pendidikan dan para deputinya untuk mencapai tujuan tersebut.

”Saya sadar tentang tantangan besar masa sekarang serta besarnya tanggung jawab dan obsesi yang ingin dicapai para pimpinan. Saya akan bekerja untuk mewujudkan obsesi itu di bidang pengembangan pendidikan dengan kerangka perencanaan yang tepat dan jelas,” tandas Al-Faez.

Al-Faez menyatakan pula, pengalamannya dalam pengajaran di institut-institut administrasi serta pelatihan dan birokrasi akan membantu dalam meletakkan strategi pendidikan dan pengajaran kaum wanita di Arab Saudi secara umum.

Tentang program unggulan yang akan segera dilaksanakan, Al-Faez mengatakan, ”Bicara tentang program mendatang masih terlalu dini. Masalah masa mendatang, kita harus memahami realitas dulu, baru kemudian melakukan pembaruan dan pengembangan tanpa harus menodai prinsip-prinsip yang sudah berjalan selama ini.”

Ia mengakui, tidak mengikuti semua perkembangan dan kondisi di bidang pendidikan di Arab Saudi, tetapi hanya mengetahui sebagian dari perkembangan bidang pendidikan itu. Karena itu, katanya, dia harus mempelajari dan memahami dulu realitas kondisi di bidang pendidikan dan setelah itu baru bisa bicara tentang masa mendatang yang kemungkinan besar akan terjadi pengembangan dan pembaruan.

Ia berjanji akan melanjutkan dan mengembangkan apa yang telah dilakukan para pejabat terdahulu di bidang pendidikan. ”Mereka telah berhasil mengatasi kesulitan dan problem,” tambahnya.

”Sedangkan tugas saya selanjutnya adalah melakukan pengembangan dan pembaruan karena keduanya sangat penting dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pengembangan adalah sebuah keharusan, sedangkan pembaruan adalah konsekuensi dari proses pengembangan itu,” kata Al-Faez.

Selasa, 17 Februari 2009

Hillary Clinton

Nama Hillary Clinton amat dikenal di Indonesia, jauh sebelum menjadi Menteri Luar Negeri AS. Selain istri mantan Presiden AS Bill Clinton, ia juga merupakan senator dari New York yang kemudian menjadi kandidat Presiden AS dalam pemilihan awal calon presiden negara adidaya itu. ”Lawan”-nya, Barack Obama, sama-sama dari Partai Demokrat.

Besok, Rabu (18/2), sebagai Menlu AS dia akan mengawali tugasnya di Asia dengan mengunjungi Jakarta. Tentu banyak pelajaran yang bisa ditarik dari Bu Clinton ini, baik perjuangannya sebagai kandidat Presiden AS maupun masalah pribadinya. Apalagi Indonesia bakal menyelenggarakan pemilu dan pemilih presiden. Coba perhatikan, saat berkampanye sebagai calon presiden tentu ada persaingan dengan Obama. Saling serang menyangkut kebijakan masing-masing terjadi antarkubu mereka.

Obama akhirnya memenangi pemilihan itu. Namun, sesudahnya bersalaman, akrab lagi, dan hadir pada pelantikan Obama. Para elite kita, misalnya, bisa mengajukan pertanyaan untuk Hillary, ” Mengapa anda mengucapkan selamat dan bahkan mau menjadi Menlu AS? Kenapa enggak hadir saja dan menyatakan diri oposisi?” Atau, ”Ketika anda kalah dari Obama, mengapa tidak membikin Partai Demokrat Baru AS?” ”Mengapa sesudah kalah dari Obama tidak melakukan demo ke KPU AS?” Kita pun bisa bertanya bagaimana AS memperlakukan para golputwan-goputwati? Apakah di AS ada juga fatwa yang mengharamkan orang yang tidak menjalankan haknya untuk memilih?

Pilar demokrasi adalah liberty (kebebasan), egality (persamaan), dan fraternity (persaudaraan). Rupanya, di Indonesia yang masih amat menonjol baru liberty. Kebebasan. Malah sering kebablasan. Adapun persamaan atau persaudaraan sering kali dilupakan. Bukan hal aneh dan menjadi rahasia umum jika ”kalah” bersaing dalam proses demokrasi, pihak yang kalah malah membuat tandingan. Bahkan, ada loh elite yang saling musuhan segala dan tidak bertegur sapa.

Barangkali KPU bisa bertanya soal isu jender kepada Hillary menyangkut rencana kebijakan afirmatif untuk caleg perempuan terkait putusan MK tentang suara terbanyak. Mungkin Hillary bisa memberi solusi. Kita tahu, Hillary berusaha keras untuk menjadi perempuan presiden pertama AS. Namun, setelah kalah dalam konvensi partai, dia segera menyatakan mendukung dan akan habis-habisan melakukan apa pun agar Obama menjadi Presiden AS. Hillary adalah sosok cerdas, humanis, antirasis, antikomunis, dan antiperang. Orang menjulukinya Hillary yang simpatik.

Atau, boleh juga ditanyakan hal-hal yang bersifat pribadi. Misalnya, apakah tugasnya sebagai Menlu—yang tentu banyak bepergian ke luar negeri—tidak khawatir meninggalkan Mr Clinton yang tampan itu kesepian di rumah.

Boleh juga Menlu kita, Pak Hassan Wirajuda mengajak Hillary berkeliling dan menjelaskan bagaimana demokrasi Indonesia. Tentu sambil melihat ribuan poster dan baliho-baliho caleg—lengkap dengan potret diri caleg dan janji-janji gombalnya—yang bertaburan tak beraturan di mana-mana.

Saya teringat pada peristiwa kunjungan Menlu AS Condoleezza Rice ke Indonesia beberapa waktu lalu, Di layar televisi terlihat para pejabat tinggi Indonesia berjejer dekat pintu menantikan sang tamu, seperti akan ada inspeksi dari komandan upacara. Jangan begitu lagi, ah! Berdiri tegaklah, kita bangsa yang merdeka bukan? Wilujeng sumping, Bu Hillary. Mari kita bangun dunia yang lebih beradab dan sejahtera.

Rabu, 11 Februari 2009

Evolusi Darwin 150 Tahun Kemudian

Charles Darwin


Rabu, 7 Januari 2009 | 07:34 WIB

Oleh NINOK LEKSONO

Seorang amatir (dari zaman) Victorian mengabdikan diri untuk pengamatan yang pelan dan saksama dan berpikir tentang jagat alam sepanjang hidup, lalu mencetuskan satu teori 150 tahun silam, yang masih menggerakkan agenda ilmiah dewasa ini.”

Gary Stix, ”Scientific American”, 12/2008

Membaca jurnal sains Cosmos (Desember 2008/Januari 2009), yang secara khusus mengupas masalah evolusi, pembaca diajak menjelajahi seluk-beluk evolusi - bagaimana riwayat kelahiran teori yang terus menggerakkan debat ilmiah hingga hari ini, bukti-bukti evolusi, dan juga pandangan mutakhir yang menyebut evolusi tampaknya telah berakhir.

Selain Cosmos, jurnal lain yang mengupas evolusi secara mendalam, juga warisan ilmiah yang ditinggalkan Charles Darwin, adalah Scientific American (Desember 2008), yang intronya dikutip di bagian awal tulisan ini. Keduanya mengangkat Darwin dan evolusi bertepatan dengan peringatan 200 tahun Darwin dan 150 tahun teori evolusi yang ia kemukakan.

Orang kini menyebut teori evolusi secara begitu saja, tetapi tak disangsikan lagi, inilah teori yang mengalami ujian paling dahsyat sepanjang masa. Atas dasar itu pula, orang melihat Darwin sebagai salah satu sosok yang menjulang di dunia sains, yang idenya telah mengubah dunia.

Kini teori evolusi sudah bertahan 150 tahun, dan pada sisi lain teori itu telah bertambah luas seiring dengan berkombinasinya ide yang dicetuskan Darwin dan genetika.

Darwin berangkat untuk pelayaran ke Kepulauan Galapagos tahun 1835 dengan kapal HMS Beagle. Kepulauan yang masuk dalam wilayah Ekuador ini terletak 1.000 kilometer dari Amerika Selatan. Lokasi yang dianggap sebagai ”museum hidup dan lemari pajangan evolusi” ini telah dinyatakan sebagai pusaka dunia oleh UNESCO. Wilayah yang terisolasi secara ekstrem ini—dan ditandai oleh aktivitas seismik dan vulkanik - menyimpan kehidupan yang unik. Antara lain iguana darat, kura-kura raksasa, dan sejenis burung gelatik (finch) yang menjadi subyek pengamatan Darwin.

Meski dikelompokkan sebagai burung yang sama, atas bantuan ahli burung dan seniman John Gould, berikutnya diketahui bahwa finch yang dibawa Darwin sebenarnya merupakan spesies yang berlainan.

Dari pekerjaan Gould, Darwin mengerti bahwa ukuran paruh finch berubah generasi demi generasi sesuai dengan ukuran biji-bijian atau serangga yang mereka makan di pulau-pulau - di Galapagos ada 19 pulau - yang berlainan.

Apa yang ia amati itu ia catat dalam ”The Voyage of The Beagle” yang diterbitkan setelah Darwin kembali ke Inggris tahun 1839. Darwin 22 tahun kemudian menerjemahkan pemahamannya atas adaptasi finch tersebut ke dalam satu teori evolusi. Teori ini menegaskan adanya seleksi alam untuk memastikan bahwa ada sifat-sifat lebih unggul yang bertahan dari generasi ke generasi.

Fitur inti Teori Darwin - seperti telah disinggung di muka - telah bertahan dari kajian kritis dari kritikus ilmiah dan religius.

Sisi lain Teori Darwin

Pada satu hari di bulan Juni 150 tahun silam, di rumahnya di dekat London, Darwin membuka amplop surat yang dikirim dari satu pulau yang kini ada di Indonesia. Pengirim surat itu adalah Alfred Russel Wallace, kenalan muda yang menambah penghasilan dengan menjadi kolektor biologi, yang rajin mengirim kupu-kupu, burung, dan spesimen lain ke Inggris. Namun, kali itu, Wallace mengirim serta manuskrip 20 halaman, sambil meminta Darwin memperlihatkannya kepada anggota lain komunitas ilmiah Inggris.

Darwin membaca manuskrip tersebut dengan horor karena Wallace juga sampai pada teori evolusi seperti yang dikerjakannya, tanpa menerbitkan satu kata pun, selama dua dekade terakhir. Darwin dilanda kebimbangan hebat, dan sempat terpikir olehnya untuk memusnahkan karyanya sendiri.

Pemikiran evolusi Darwin acap disebut sebagai ”Darwinisme”, yang juga melambangkan pandangan sekitar evolusi. Namun, seperti dicatat Richard Conniff di Cosmos, awal mula pandangan ini bukan dari Darwin atau Wallace. Pandangan tentang asal-usul manusia dari primata, misalnya, sudah muncul sejak 1699, ketika seorang dokter asal London, Edward Tyson, membedah simpanse dan mendapati anatomi makhluk ini amat mirip dengan manusia.

Kakek Darwin sendiri, Erasmus Darwin, di tahun 1770-an sudah menyatakan bahwa berbagai spesies yang berbeda-beda berkembang dari satu leluhur yang sama. Ia bahkan memasang moto Latin ”E conchis omnia” (Segalanya berasal dari kerang) di kereta kudanya.

Bisa pula dicatat bahwa pada tahun 1801 naturalis Perancis, Jean-Baptiste Lamarck, mengajukan bahwa spesies-spesies bisa berubah merespons kondisi lingkungan. (Ada yang bisa bertahan dari penyakit, kelaparan, pemangsaan, dan faktor lain, tapi ada juga yang tak bisa bertahan, oleh Darwin disebut dengan ”seleksi alam”, sementara oleh Wallace disebut sebagai ”perjuangan untuk eksistensi”).

Tahun 1840-an, ide evolusi lolos dari ranah komunitas ilmiah semata, dan merebak menjadi debat publik. Sementara itu, Darwin terus mengembangkan studinya tentang evolusi, antara lain dengan mempelajari karya demograf TR Malthus mengenai faktor yang membatasi perkembangan manusia. Tahun 1844, ia telah mengembangkan ide dalam manuskrip setebal 200 halaman.

Seperti kita tahu, naskah Darwin yang lengkap akhirnya terbit 24 November 1859 dalam wujud buku berjudul On the Origin of Species by Means of Natural Selection. Dengan itu, hal yang tak terpikirkan, yakni manusia berasal dari satwa, menjadi lebih dari ”terpikirkan”.

Dalam hal ini Darwin tak saja menyuplai unsur ”bagaimana” dari evolusi. Karyanya yang mendalam atas kijing dan spesies lain membuat ide evolusi lebih bisa dicerna.

Pemikiran baru

Dari uraian tersebut, kesan yang muncul memang teori evolusi Darwin telah lulus dari ujian waktu. Namun, pada sisi lain, kini juga muncul pandangan baru bahwa evolusi sendiri kini telah berakhir, setidaknya bagi manusia. Inilah yang juga dilaporkan oleh Steve Jones di Cosmos. Umat manusia, tulis Jones, kini mengalami apa yang ia sebut sebagai ”pemerataan besar” (grand-averaging).

Sekadar contoh, warga Amerika-Afrikan kini sudah merasa, sejarah mereka telah tercuri. Kromosom mereka sebagian Afrika, sebagian Eropa, dan sebagian lain Asia. Gejala percampuran gen, lalu pemerataan, kini berlangsung lebih deras dibanding tahun 1950. Tiga faktor yang dibutuhkan untuk terjadinya evolusi - variasi di antara orang, tekanan seleksi via perbedaan dalam tingkat kematian, dan jumlah keturunan dan isolasi geografik - banyak yang telah lenyap. Bagi manusia, daya evolusi tampaknya kini telah punah.

Stop Perdebatan Teori Darwin!


Charles Darwin
Selasa, 10 Februari 2009 | 14:14 WIB

BEIJING, SELASA — Tokoh agama dan ilmuwan kenamaan bersatu menyerukan diakhirinya perdebatan mengenai warisan Charles Darwin, demikian laporan media, Senin (9/2).

Tahun ini adalah peringatan ke-200 kelahiran Darwin, dan ulang tahun ke-150 teori evolusinya. Namun, pergolakan antara pendukung teori Darwin dan pendukung konsep penciptaan jauh dari selesai dan berlangsung secara penuh.

Tokoh agama dan ilmuwan memperingatkan sebelum acara peringatan bahwa kaum ateis militan akan menggunakan teori evolusi sebagai senjata guna menyerang agama sehingga membuat banyak orang berpaling dari agama.

Sementara itu, di dalam satu surat yang disiarkan The Daily Telegraph, mereka juga mendesak orang yang percaya pada penciptaan untuk mengakui setumpuk bukti yang kini ada guna mendukung teori Darwin mengenai bagaimana Bumi berkembang.

Mereka menulis, "Evolusi, kami percaya, telah terperangkap dalam baku hantam pergolakan agama, yang justru tak terlalu diperhatikan oleh Darwin sendiri."

"Kami dengan hormat mendorong mereka yang menolak evolusi guna mempertimbangkan bukti yang sekarang berlimpah, yang makin diperkuat oleh kemajuan baru-baru ini di bidang genetika, yang menguji keabsahan teori tersebut."

"Pada saat yang sama, kami dengan hormat meminta mereka yang saat ini menjadi pengikut Darwin yang tampaknya ingin menggunakan teori Darwin sebagai kendaraan guna mendorong agen anti-theistik agar menahan diri dari tindakan semacam itu sehingga mereka, sekalipun secara tidak sengaja, menjauhkan orang dari teori itu."

"Tahun ini, kita mesti merayakan prestasi besar Darwin di bidang biologi dan bukan berperang mengenai warisannya sebagai sejenis konsep antiteologi," kata mereka.

On the Origin of Species adalah studi paling penting Darwin yang disiarkan dalam teori evolusi. Konsepnya mengenai seleksi alam terus menuai perdebatan, yang kebanyakan berpusat pada masalah apakah hidup adalah, atau tidak, hasil dari keberuntungan dan proses alamiah atau keinginan Tuhan.(ANTARA/Xinhuanet-OANA)

Mengenang 200 Tahun Charles Darwin


Charles Darwin

Rabu, 11 Februari 2009 | 10:30 WIB

Oleh NINOK LEKSONO

"Darwin melengkapi Revolusi Copernicus dengan memperkenalkan pemahaman alam sebagai sistem materi yang bergerak mengikuti kaidah hukum yang bisa dijelaskan oleh nalar manusia tanpa berpaling ke lembaga supernatural." (Francisco J Ayala, pakar biologi evolusioner University of California, Irvine, 2007)

Esok, Kamis, 12 Februari 2009, dunia memperingati 200 tahun Charles Robert Darwin. Sejak akhir tahun lalu, pelbagai penerbitan ilmiah menurunkan laporan mengenai ilmuwan Inggris yang telah mengubah cara pandang manusia tentang jagat natural ini. Berbagai universitas dan badan penelitian juga menyelenggarakan seminar dan pameran untuk menghormati tokoh besar ini.

Peletak dasar teori evolusi ini lahir di Shrewsbury, Shropshire, Inggris, dari satu keluarga kaya tahun 1809. Kakek dari ayahnya, Erasmus Darwin, adalah salah seorang intelektual terkemuka Inggris pada abad ke-18. Semula Darwin ingin belajar kedokteran dan masuk ke Universitas Edinburgh, tapi kemudian minatnya beralih ke teologi dan belajar di Cambridge.

Sosok dan pandangannya pun berubah setelah ia mengikuti ekspedisi ilmiah selama 5 tahun dengan kapal HMS Beagle yang meninggalkan Inggris tahun 1831. Saat itu, sebagian besar orang Eropa masih berpikiran bahwa dunia diciptakan Tuhan dalam tujuh hari.

Sebagaimana dikutip dalam Historic Figures BBC, dalam perjalanan Darwin membaca buku Prinsip-prinsip Geologi karya Charles Lyell yang menyarankan bahwa fosil yang ditemukan di bebatuan sebenarnya adalah binatang yang hidup ribuan, bahkan jutaan, tahun silam. Argumen Lyell ini tertanam, bahkan diperkuat, dalam pikiran Darwin melalui berbagai kehidupan satwa dan fitur geologi yang ia lihat sepanjang perjalanan.

Darwin mendapatkan pencerahan besar setelah mengunjungi Kepulauan Galapagos, sekitar 800 kilometer sebelah barat Amerika Selatan. Di sana, antara lain, ia mengamati bahwa setiap pulau mendukung berkembangnya burung finch (sejenis kutilang) yang khas untuk pulau itu. Burung-burung dari berbagai pulau di sana tampak mirip, tapi juga berbeda dalam banyak hal.

Teori evolusi

Sekembali ke Inggris tahun 1836, Darwin berusaha memecahkan teka-teki atas apa yang ia amati, juga yang menyangkut pertanyaan bagaimana spesies berevolusi. Dengan berbekal pemikiran Malthus, Darwin mengusulkan teori evolusi yang terjadi dengan proses seleksi alam. Hewan–atau tumbuhan–yang paling bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya paling besar peluangnya untuk bertahan hidup dan bereproduksi, sambil meneruskan karakteristik yang membantunya bertahan ke keturunannya.

Darwin mengerjakan teorinya itu selama 20 tahun. Di tengah jalan ia mendapat informasi bahwa naturalis Inggris lainnya, Alfred Russel Wallace, juga sampai pada ide yang sama. Kedua ilmuwan Inggris itu pun lalu menggelar pengumuman bersama mengenai penemuan mereka pada tahun 1858. Darwin sendiri, pada tahun 1859, menerbitkan mahakaryanya yang sangat masyhur, On the Origin of Species by Means of Natural Selection (Tentang Asal-usul Spesies Melalui Seleksi Alam).

Dari studinya, Darwin menyimpulkan bahwa 1) evolusi terjadi di alam; 2) perubahan evolusioner terjadi secara perlahan-lahan (gradual) dalam tempo ribuan sampai jutaan tahun; 3) mekanisme utama dalam terjadinya evolusi adalah satu proses yang disebut seleksi alam; dan 4) jutaan spesies yang hidup dewasa ini berasal dari satu bentuk kehidupan asli tunggal melalui proses pencabangan yang dikenal dengan nama spesiasi (speciation) (Lucidcafe Library).

Buku itu di satu sisi demikian masyhur, tapi pada sisi lain juga menjadi sangat kontroversial. Ini karena kelanjutan logis Teori Darwin adalah bahwa manusia (Homo sapiens) hanyalah wujud lain hewan. Melalui teori itu lalu jadi tidak mustahil bahwa manusia telah mengalami evolusi–mungkin dari kera–dan dengan itu menghancurkan keyakinan yang diajarkan agama tentang asal-usul penciptaan. Darwin diserang dengan dahsyat.

Namun, apa yang dicetuskan Darwin tak lama kemudian juga mendapat banyak dukungan dan malah kemudian menjadi ortodoksi baru.

Darwin wafat tanggal 19 April 1882 dan dimakamkan di Westminster Abbey, London, bersama dengan ilmuwan Inggris terkemuka lain, seperti Sir Isaac Newton.

Perkembangan mutakhir

Seiring dengan peringatan dua abad Darwin, diakui bahwa teori evolusi sendiri sudah bertahan selama 150 tahun di tengah berbagai kritik dan kecaman. Pada sisi lain, wacana tentang evolusi sendiri kini telah jauh melebar dan berubah seiring dengan makin luasnya campur tangan ilmu genetika. Adapun ilmu biologi evolusi sendiri hingga kini masih harus bergulat menjawab pertanyaan yang dulu juga sudah menyibukkan Darwin: Jadi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan spesies?

Kini, para ahli biologi juga sedang mencari hasil eksperimen yang bisa menjelaskan bagaimana seleksi alam berlangsung pada level molekuler–dan bagaimana hal itu memengaruhi perkembangan spesies-spesies baru (Scientific American, 12/2008).

Pada sisi lain, biolog evolusioner seperti Peter Grant dan Rosemary Grant dari Universitas Princeton yang mempelajari 20.000 burung kutilang di Galapagos menemukan bahwa sekali waktu, evolusi juga bisa berlangsung bak letupan, dengan jangka waktu beberapa tahun saja, tidak ribuan atau jutaan tahun. Ini bertentangan dengan pemahaman Darwin mengenai evolusi yang berlangsung secara lambat. Pasangan Grant yang beruntung bisa menyaksikan evolusi ”in action” juga berhasil menuturkan secara runut waktu (chronicle) apa yang diduga merupakan spesies baru yang sedang dalam proses muncul, seperti yang tampak dari pengamatan katak Eleutherodactylus dari Amerika Tengah dan Selatan serta Karibia.

Diakui bahwa pemikiran awal mengenai evolusi–bahkan ide bahwa hanya yang paling tangguh yang akan bertahan–sudah ada sejak zaman kuno, lebih awal dari Socrates. Spekulasi mengenai bagaimana kehidupan berevolusi juga bermunculan pada abad ke-18. Namun, apa yang dicetuskan Darwin-lah yang bisa bertahan dari ujian ilmiah pada abad ke-19 dan sesudahnya.

Kini, penyelidik modern yang dilengkapi dengan kamera canggih, komputer, dan alat pemeriksa DNA menghasilkan temuan yang tetap mendukung karya Darwin. Karya Darwin dipandang tetap memiliki relevansi dengan sains dasar dan tujuan praktis –mulai dari bioteknologi hingga ilmu forensik– dan karena itu pula hari lahir Sang Naturalis besar ini, yang bertepatan dengan 150 tahun kelahiran karya agungnya, lalu dirayakan di seluruh dunia.

Teori Darwin dewasa ini menjadi satu pilar dasar sains modern, berjajar di samping relativitas dan mekanika kuantum. Seperti halnya Copernicus yang menggeser Bumi dari pusat semesta, semesta Darwin menggeser manusia sebagai episenter jagat alam. Seleksi alam bertanggung jawab atas lahirnya apa yang disebut Ayala ”desain tanpa desainer”, istilah yang mematahkan upaya keras yang kini masih dilakukan oleh sejumlah teolog untuk menjatuhkan teori evolusi.