Senin, 18 Mei 2009

Anak Pedagang Batik itu Pendiam


Sabtu, 16 Mei 2009 | 11:35 WIB

TEMPO Interaktif, BLITAR: - Dilahirkan dari keluarga pedagang batik, Boediono tumbuh sebagai pribadi yang sederhana. Dia cenderung pendiam, tak banyak tingkah, dan kurang suka bergaul. Namun begitu, otak cerdasnya di bidang ilmu ekonomi telah nampak sejak duduk di bangku SMA Jurusan C (ilmu sosial) Kota Blitar.

Putra pertama pasangan Ahmad Siswa Sarjono dan Samilah ini lahir pada tanggal 25 Februari 1942 di Lingkungan Magersaren, Kelurahan Kepanjen Lor, Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar. Bersama dua adiknya Tutik dan Kuncoro, Budiono menjalani kehidupan di rumah sederhana ukuran 8 x 25 meter di Jalan Wahidin nomor 6 milik orang tuanya.

Rumah yang masih tampak bagus tersebut difungsikan sebagai toko sekaligus tempat tinggal. Sepekan sekali ayahnya bertandang ke Solo dan Yogyakarta untuk mengambil kain batik. Selanjutnya kain tersebut dipajang di ruang tamu rumahnya yang disulap menjadi toko kecil. “Tak banyak keuntungan yang diambil dari dagangan batik,” kata Bambang Heri Subeno, saudara sepupu Boediono yang dipercaya merawat rumah tersebut, Jumat (15/5).

Karena itulah Ny Samilah memutuskan membantu nafkah suaminya dengan berjualan perhiasan emas. Berbeda dengan toko emas besar, Ny Samilah hanya menerima titipan emas dari kawan-kawannya untuk dijual di toko.

Hal itu dibenarkan oleh rekan sekolah Boediono, Ny Syamsiah Syafaat, 69 tahun, warga Jl Musi nomor 6 yang berteman akrab sejak kecil. Menurut pengakuannya, kedua orang tuanya cukup dekat dengan orang tua Boediono. Hal ini lebih dikarenakan profesi orang tua Ny Syamsiah yang kerap mengambil kain batik dari toko Ahmad Siswa. “Biasanya kita ambil dulu, bayarnya belakangan. Jadi keuntungan mereka cukup kecil,” ujarnya tersenyum.

Sebagai teman sekelas, Ny Syamsiah mengakui kecerdasan rekannya itu. Boediono selalu unggul pada mata pelajaran bahasa Inggris dan ilmu ekonomi meski jarang terlihat belajar. Dari posisi tempat duduk di deretan bangku belakang, Boediono dengan cepat mampu menyerap materi pelajaran. Kemampuan itulah yang tidak dimiliki 39 siswa lainnya di Program Pendidikan Ilmu Sosial SMA Blitar.

Kemampuan akademik ini dibuktikan dengan dengan nilai rapor yang tercantum dalam buku induk kesiswaan. Dalam buku besar ini tertulis jika Mantan Gubernur Bank Indonesia itu masuk sebagai siswa kelas satu SMA Blitar pada tanggal 1 Agustus 1957. Dia tercatat sebagai murid termuda dengan rata-rata usia siswa sekelasnya dua tahun lebih tua.

Namun begitu, berdasarkan buku tersebut, nilai ujian Boediono jauh mengungguli rekan-rekannya. Diantaranya adalah nilai mata pelajaran Ilmu Hitung Dagang dan Ilmu Perekonomian yang meraih angka delapan. Sementara puluhan siswa lainnya hanya meraih nilai antara 3 – 4. Demikian pula dengan Ilmu Pelajaran Bangsa-bangsa dan Bahasa asing yang meliputi Bahasa Jerman, Prancis, dan Inggris. “Nilai akademis ini menjadi bukti otentik kecerdasan Pak Boediono,” kata Kepala Sekolah SMA 1 Blitar Puryono.

Karena itu, begitu berhembus kabar dipilihnya dia sebagai calon wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono, tidak terlintas sedikitpun keraguan para alumnus SMA 1 Blitar kepada Boediono. Sebagai pribadi yang santun dan cerdas, dia dianggap figur pemimpin yang bersih. “Kami akan memberikan dukungan kepada beliau jika benar-benar maju menjadi wakil presiden,” kata Puryono.

HARI TRI WASONO

Selasa, 12 Mei 2009

Kisah "Besar" Keluarga Toer

NIRWAN AHMAD ARSUKA

data buku

• Judul: Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer • Penulis: Koesalah Soebagyo Toer dilengkapi Soesilo Toer • Penerbit: KPG, Jakarta, 2009 • Tebal: 505 halaman (termasuk lampiran)

Sebagai karangan yang banyak bertumpu pada ingatan, memoar adalah ragam karya yang bergerak di antara dua kutub: sejarah dan sastra. Jika ingatan itu ditopang sekaligus dijaga ketat oleh catatan kejadian nyata, disusun mengikuti arus waktu yang bergerak lurus kronologis, karangan itu akan menjadi biografi atau otobiografi penting.

Jika ingatan tak harus tunduk sepenuhnya pada catatan ketat kejadian sejarah dan karangan disusun tak harus mengikuti aliran waktu yang lurus, tak jarang bahkan membiarkan diri terseret oleh arus kesadaran yang berkelok-kelok, karangan itu bisa menjadi novel besar.

Memoar ini memang disusun mengikuti arus waktu linier, tetapi terasa agak menjauh dari ”riwayat hidup” Pramoedya Ananta Toer yang ”seharusnya” menjadi pusat cerita dari awal hingga akhir. Pram memang tampil juga dalam karangan ini, tetapi cukup sering ia hadir agak jauh di latar belakang. Kita harus menempuh sekitar 100 halaman untuk sampai pada momen penting yang bisa mengoreksi, setidaknya memperkaya, pemahaman kita tentang Pram.

Momen-momen penting itu, antara lain, pertemuan Pram dengan ayahandanya yang sekarat, tekadnya membangun kembali rumah warisan yang telantar, atau pilihannya pada keris pusaka ayahandanya saat terjadi pembagian warisan.

Buat saya, kisah kecil itu mengubah kesan tentang Pram yang pendendam, yang tak bisa melupakan perlakuan ayahnya yang menyakitkan karena menganggap dia dungu dan harus mengulang sekolah. Kesan pendendam ini mencuat dalam prosa awal Pram sendiri, yang kemudian banyak dikutip dan disebarkan sejumlah pengkaji Pram.

Kisah kecil lain, seperti tekad Pram menyekolahkan adik-adiknya dan merawat yang sakit, kegundahannya menumpang sementara di rumah adik ipar yang kurang ia sukai, menunjukkan Pram, meski punya cita-cita kebangsaan besar, memang hanya manusia biasa saja yang tak perlu ditakuti. Maka, memang ada yang luar biasa ganjil jika pemerintah resmi negara besar yang punya angkatan bersenjata paling kuat di Asia Tenggara begitu takut kepada seseorang sehingga ia harus dicurigai dan diawasi terus dan seluruh karyanya digolongkan terlarang.

Pisau lipat

Cerita tentang Pram yang sempat membawa pisau lipat ke tempat kerja, prinsipnya untuk harus selalu menang dalam perdebatan, dan bahwa kepentingan bangsa lebih tinggi daripada kepentingan keluarga dan anak, semua ini mempertegas apa yang dengan mudah kita temui pada karya sastranya: ketangguhan tak tertandingi dalam memperjuangkan sesuatu yang dianggap berharga dan kesediaan menanggung seluruh akibat dari perjuangan tersebut.

Membaca memoar dua adik Pram ini dan mengingat apa yang telah diberikan Pram kepada bangsanya, kita memang bisa kecut melihat ketimpangan yang mencolok mata itu. Pram telah mempersembahkan begitu banyak buat bangsanya dan begitu sedikit yang dia peroleh.

Dari Pram, kita memperoleh karya yang bisa membangunkan pembaca menyadari sisi kelam masyarakat sembari menghamparkan wawasan sejarah dan dunia rasional buat bangsa belia yang tengah menjadi. Jika Raja Ali Haji dengan karya sastranya, misalnya, bisa diperjuangkan menjadi pahlawan nasional, Pram dengan anak-anak rohaninya jelas sangat layak (kalau bukannya lebih) juga dihormati sebagai putra terbaik bangsa.

Sambil menunggu berubahnya sikap resmi pemerintah terhadap Pram, saya membayangkan ada penulis yang bekerja mengolah lagi dengan sungguh-sungguh memoar setebal 500 halaman ini. Bahan yang disajikan bisa tumbuh menjadi novel bagus, di mana Blora bisa menjadi sejajar dengan Combray (Marcel Proust), Yoknapatawpha (William Faulkner), atau Macondo (Gabriel Garcia Marquez). Bedanya, Combray, Yoknapatawpha, atau Macondo adalah tempat fiktif meski mengambil ilham dari tempat nyata, sementara Blora sepenuhnya tempat yang benar-benar nyata.

Buat saya, Mastoer Imam Badjoeri, ayahanda Pram bersaudara itu, menduduki posisi yang agak mirip dengan Jose Arcadio Buendia dalam Seratus Tahun Kesunyian. Tentu saja Jose Arcadio Buendia, yang lahir dari tangan seorang tukang cerita piawai pemenang Hadiah Nobel, akan terasa lebih mencengangkan dibandingkan Mastoer. Tetapi, ada pola yang mirip di antara kedua kepala keluarga ini.

Memang, Mastoer tak membangun permukiman baru surgawi, yang ia namakan dengan kata yang tak pernah ia dengar sebelumnya, yang tak punya arti sama sekali, sebuah gema adikodrati dari mimpinya. Tetapi, Mastoer juga adalah seorang patriarkh yang melalui masa mudanya sebagai seorang penuh semangat, pekerja keras yang setia pada impiannya—membangun pendidikan dan menyebarkan pengetahuan ilmiah di kalangan pribumi yang tertinggal dan tertindas. Jika Jose Arcadio Buendia menjalani masa tuanya sebagai patriarkh linglung dan bertahun-tahun terikat pada pohon chestnut raksasa di halaman, Mastoer menghabiskan masa akhir hidupnya sebagai kepala sekolah yang kecewa, penjudi tangguh, sebelum akhirnya terpacak di tempat tidur dengan paru-paru remuk dimakan TBC.

Kisah Mastoer dan sejumlah tokoh kecil dalam memoar ini membuat saya sadar bahwa cara baca yang suntuk mencari Pram ternyata keliru. Pembacaan yang terpaku pada Pram, yang diarahkan judul memoar ini, mencegah saya larut sepenuhnya sejak dari halaman pertama. Buku ini harusnya dibaca tanpa perhatian yang memusat pada satu tokoh. Ia mesti dibaca dengan keterbukaan yang setara pada semua karakter yang muncul. Pram memang tokoh yang sangat menarik, tetapi buku ini menghidangkan sesuatu yang lebih kaya ketimbang ingatan pada seorang sosok istimewa.

Pada akhirnya, buku tebal ini adalah cerita tentang keluarga dengan anggota yang bergerak mencapai impian masing-masing, menanggapi zaman yang kadang bergejolak di luar kendali, dan kadang berselisih karena sejumlah hal yang mungkin penting mungkin sepele. Mereka menempuh berbagai gerak turun dan naik zaman yang berlalu, dari zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Terbawa arus waktu tak menentu, keluarga dengan patriarkh yang begitu peduli pada pendidikan bangsanya itu dihantam prasangka umum dan gejolak politik: hampir separuh anak sang patriarkh dituduh sebagai musuh negara. Tetapi, keluarga yang guncang dan terburai terjangan sejarah ini pelan-pelan berusaha menyembuhkan diri sembari membela dan meraih kembali martabatnya yang terampas.

Kisah keluarga Blora dengan segenap warnanya yang tak semua amat memikat ini adalah juga kisah orang-orang Indonesia—kisah yang mirip dengan yang dialami ribuan keluarga di Tanah Air. Setidaknya, kisah dengan pola seperti ini mungkin terjadi pada keluarga yang beberapa anggotanya punya nalar yang bermimpi kelewat aktif, mimpi tentang revolusi yang dapat mengubah nasib bangsanya dengan cepat. Sayangnya, mimpi itu tertabrak berbagai mimpi lain yang mungkin saja tak kalah aktifnya, tetapi telah diracuni berbagai prasangka dan kepicikan kolektif.

Nirwan Ahmad Arsuka Penulis Esai

Jumat, 08 Mei 2009

"Cinta Segitiga" Pep Guardiola



"Cinta Segitiga" Pep Guardiola

JAKARTA -- Dengan bermodal satu sayap terkoyak, cinta dari pemilik nama lengkap Josep "Pep" Guardiola i Sala - yang kerap disingkat IPA - melanglang buana dengan bermodal tritunggal, yakni keteguhan hati, kepercayaan akan keindahan kasih, serta kekerasan hati untuk terus bekerja dengan ikhtiar tanpa henti.

Jagat bola, bagi Pep Guardiola, yang lahir pada 18 Januari 1971 di Santpedor, Barcelona, Catalonia, "nyerempet" petualangan cinta segitiga antar anak manusia. Kecintaan Pep akan bola, bukan semata tereduksi pada keinginan memiliki tetapi terjelma pada rajutan persahabatan tiada henti. Yang ia inginkan, berkubang dalam misteri cinta segitiga.

Pep tidak tidak ingin terengah bahkan terpedaya oleh ujaran klasik bahwa cinta berasal dari mata turun ke hati. Cinta akan bola seakan mengobarkan bara hati, bara kasih, dan bara asa bagi Pep. Pengalamannya sebagai pemain boleh dibilang segudang, dari FC Barcelona, sampai Brescia Calcio, A.S. Roma, Al-Ahli dan Dorados de Sinaloa.

Modal Pep relatif sederhana. Ia mengenal dan mengetahui paradoks jagat bola, yakni berlari, berkejaran bersama lawan, berjuang mencetak gol beralaskan keindahan cinta yang bukan semata mengharapkan balasan, tetapi ingin memberi, memberi dan memberi. Cinta yang diintroduksi Pep bukan sebatas mabuk kepayang, tetapi mabuk keindahan dan keteguhan hati.

Sejak meneken kontrak untuk melatih Barca pada 5 Juni 2008, Pep yang menggantikan Frank Rijkaard, tiada henti mendapat kepercayaan dari Presiden FC Barcelona Joan Laporta.

Bukankah jagat cinta menyimpan formasi tritunggal, dari ketiadahentian dan kepercayaan sampai kecintaan yang terbalut keindahan? Jawabnya, Pep mengetahui, memahami dan mempraktekkan sepakbola menyerang yang memuat ketiga unsur tritunggal itu.

Tidak ada serangan ke jantung pertahanan lawan, bila tidak ada jalinan kepercayaan antar sesama pemain. Jangan sesekali berharap kemenangan bila terbersit keraguan. Yang tidak kalah pentingnya, menaruh hati kepada keindahan persahabatan yang ditawarkan laga bola, meski di seberang sana ada lawan yang siap menerkam dan pendukung tim lawan yang siap meneror. Antusiasme laga tandang adalah kekuatan ekstra bagi skuad Barca.

Buktinya, dalam duel semifinal kedua Liga Champions antara Chelsea dan Barcelona, Rabu (6/5) di Stamford Bridge, Barca akhirnya menang dan berhak melaju ke final dengan keunggulan gol tandang. Energi cinta terus terkuras lantaran Barcelona yang tampil memikat di leg pertama lagi-lagi kehilangan ide membongkar kedisiplinan pemain "The Blues".

Energi cinta pasukan Pep tergetar oleh gol aduhai yang diciptakan oleh Michael Essien pada ke-9. Chelsea di bawah arsitek Guus Hiddink berhasil unggul 1-0. Energi cinta skuad Barca tergerus oleh ulah wasit Tom Henning Ovrebo yang mengeluarkan kartu merah langsung kepada Eric Abidal di menit ke-66.

Peristiwa serupa terulang ketika Ovrebo meloloskan sejumlah pelanggaran yang menuai protes dari kedua kubu. Tetapi cinta pasukan Guardiola tidak bertepuk sebelah tangan. Dewi Fortuna membayar kontan cinta Barca. Andres Iniesta menyamakan skor menjadi 1-1 dan membawa Barca ke panggung final.

Empat hari sesudah tim asuhannya melumat musuh bebuyutan Barca, Real Madrid dengan skor 6-2 di Bernabeu, Pep kian merebut hati pecandu sepakbola La Liga. Ketika memasuki musim kompetisi domestik, ia melepas sejumlah pemain bintang antara lain Ronaldinho, Deco, Samuel Eto`o. Yang tersisa tanda tanya, ada apa dengan Pep?

"Sebagai tim, kami tampil lepas bebas menjalani laga di La Liga. Coba meraih kemenangan di ajang Piala Raja pekan berikutnya ketika melawan Bilbao kemudian berpikir untuk melaju ke final di Roma," katanya. Saat menghadapi final yag akan digelar pada 27 Mei 2009 di Stadio Olimpico, Roma, Pep tetap menjanjikan sepakbola menyerang.

"Kami konsisten, tampil dengan menyerang, dengan didukung kekuatan penuh, keberanian dan ketenangan dalam memanfaatkan setiap peluang gol," kata Pep. Untuk mendulang optimisme, Iniesta pun tidak ingin ketinggalan kereta.

"Kami telah memberi segalanya. Kami menarik segala pelajaran dari setiap laga di musim kompetisi. Inilah roh dari tim ini," kata Iniesta kepada Canal Plus.

Komentar Pep bukan bermula dari khayalan setinggi langit, tetapi berasal dari sederet pengalaman yang ditimba dari bawah. Ia bukan pelatih karbitan. Kalau bintangnya terus bersinar, itu karena ia paham dan tahu bahwa prestasi adalah sebuah simbol.

Simbol adalah tanda yang tidak hanya melulu menunjukkan (indikatif) tetapi lebih mengartikan. Manusia adalah "animal symbolicum", kata filsuf Ernst Cassirer, artinya manusia menciptakan dan membebaskan unsur "kebinatangan" (animalitas) dalam dirinya. Manusia mengonstruksikannya ke dalam bentuk bahasa, mitos, seni dan agama. Dan Guardiola terpapar sebagai anak kandung dari animal symbolicum.

Guardiola terlahir sebagai produk asali dari Akademi Sepakbola FC Barcelona, kemudian meniti karier di tingkat junior bersama dengan Gimnastic de Manresa and FC Barcelona B. Antara 1990 dan 2001, ia tampil sebanyak 379 bersama Barca, mencakup 263 di ajang La Liga.

Sejak 16 Desember 1990, ia memulai debut bersama Barcelona dalam pertandingan yang dimenangkan Barca 2-0 melawan Cadiz CF. Bermain sebagai gelandang bertahan, ia bergabung bersama The Dream Team di bawah asuhan pelatih Johan Cruijff.

Pada 1997, ia mengenakan ban kapten menggantikan Jose Mari Bakero. Akan tetapi, cedera lutut membekap Pep yang membuat dirinya absen selama setahun. Pada 17 Juni 2001, ia mengucapakan selamat berpisah kepada Barca dalam pertandingan melawan Valencia CF yang berakhir 3-2 untuk kemenangan klubnya. Ia membetot perhatian publik setempat dengan menyabet predikat sebagai Legenda Camp Nou.

Setelah meninggalkan Barca pada 2001, ia menambatkan hati kepada Newcastle United, West Ham United, Tottenham Hotspur dan Liverpool, ditambah AC Milan and Internazionale. Ia tidak menemukan hakekat cinta di Italia. Dewi Amor tidak menyambangi dirinya karena terlibat dugaan kasus doping. Enam tahun kemudian, ia
dinyatakan bebas.

Pada 1992, Guardiola ditunjuk sebagai kapten timnas Spanyol. Tim Matador merebut medali emas di Olimpiade Barcelona. Antara 1992 dan 2001, Guardiola tampil sebanyak 47 kali dan menyarangkan lima gol bagi timnas negaranya. Pada 14 November 2001, ia menutup lembaran indah untuk kali terakhir bersama Spanyol dalam laga persahabatan melawan Meksiko yang berakhir 1-0 bagi negaranya.

Sejak menangani Barca, Pep mendatangkan Dani Alves dan Seydou Keita dari FC Sevilla, Martin Caceres dari Villareal CF, Gerard Pique, dan Henrique Adriano Buss dari Palmeiras meski akhirnya dijual ke Bayer Leverkusen.

Guardiola cenderung memainkan formasi 4-3-3, berpadanan dengan sistem yang digunakan pelatih sebelumnya Frank Rijkaard. Ini bukti dari kecintaannya akan rajutan historis yang dijalani Barca.

Ketika menghadapi final Liga Champions, cinta segitiga Pep Guardiola mengalir dari oase kehidupan yang tiada henti mengalir, mengalir dan mengalir. Tujuannya tunggal. Ia ingin menciptakan dunia simbolis dengan menampilkan idea-idea sederhana dalam nilai praktis untuk bertindak secara ekspresif. Inilah misteri cinta dari Pep.

"Kami terus mencoba untuk memenangi setiap laga. kami coba mencipta," katanya dalam jumpa pers setelah pertandingan. "Saya punya kepercayaan penuh kepada tim ini. Kami tetap konsisten," katanya pula. Tembang cinta segitiga Pep Guardiola teruntai dalam nada dan lagu: "jangan pernah kau coba untuk berubah.". AA Ariwibowo/ant/kpo

Martinelli, Jutawan Jadi Presiden


Lima tahun lalu, Ricardo Martinelli mencalonkan diri sebagai Presiden Panama. Kandidat dari golongan konservatif yang probisnis itu ada di tempat terakhir dari empat kandidat dengan 5,3 persen suara.

Pada tahun 2004 itu, Martinelli nyaris tak bisa mempertahankan partainya, Cambio Democratico (Perubahan Demokratis), dalam pemilu. Namun, siapa menyangka kalau lima tahun kemudian dia kembali menang telak.

Multijutawan pemilik rangkaian pasar swalayan Super 99 dan mantan Menteri Urusan Terusan Panama itu menang besar. Martinelli mengalahkan Balbina Herrera, calon Partai Demokrat Revolusioner (PRD) yang berkuasa, dalam pemilu hari Minggu, 3 Mei, itu.

Dia menjanjikan membentuk sebuah pemerintah persatuan nasional, karena itulah yang diharapkan oleh negerinya.

”Esok kita semua akan menjadi orang Panama, dan kita akan mengubah negara ini sehingga mempunyai sistem kesehatan yang baik, pendidikan yang baik, transportasi yang baik, serta keamanan yang baik,” kata Martinelli dalam pidato kemenangannya.

Kemenangan Martinelli itu menandai dimulainya sebuah masa konservatif dalam politik Panama. Peralihan arah ke kanan dengan menangnya jutawan itu berarti Panama melawan gelombang yang terjadi di Amerika Latin dengan terpilihnya pemimpin-pemimpin kiri.

Namun, semua ini tidak akan banyak artinya secara diplomatis di kawasan itu, selain dari kemungkinan Presiden Panama dan Presiden Venezuela akan saling sindir.

Kecewanya rakyat kepada pemerintah yang sekarang diperkirakan menjadi sebab mengapa Martinelli mendapatkan 61 persen suara, sedangkan Herrera hanya 37 persen.

Selama lima tahun terakhir perekonomian Panama tumbuh rata-rata 8,7 persen dan angka pengangguran turun dari 12 persen menjadi 5,6 persen. Namun, rakyat menganggap pemerintahan Presiden Martin Torrijos tidak cukup adil mendistribusikan hasil pertumbuhan itu.

Perbedaan pendapatan sangat lebar di Panama dengan 28 persen penduduk yang lebih dari 3 juta itu masih hidup dalam kemiskinan.

Terlebih dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Para ahli ekonomi meramalkan pertumbuhan tahun ini hanya 3 persen sampai 4 persen. Popularitas pemerintah digerogoti oleh melambatnya pertumbuhan, krisis ekonomi global, dan meningkatnya kejahatan.

Martinelli memanfaatkan ketidakpuasan rakyat itu dengan menjanjikan memosisikan diri sebagai warga negara biasa yang telah terpukul oleh naiknya harga-harga.

Soal harga mahal

Panama yang menggunakan dollar AS sebagai mata uangnya tahun lalu menderita tingkat inflasi tertingginya sejak awal 1980-an. Inflasi telah dijinakkan, sementara pertumbuhan ekonomi melambat. Namun, para pemilih marah pada kenaikan harga yang terus bertahan.

”Setiap 15 hari saya pergi ke pasar dan harga makanan naik terus. Anda tidak bisa lagi membeli daging,” kata Oreida Sanchez (36), seorang guru, setelah memberikan suara untuk Martinelli di kawasan Calidonia, Panama City.

”Masalah kami yang paling serius adalah biaya hidup. Ini yang menyebabkan kriminalitas karena orang tidak punya cukup uang untuk makan,” kata penyemir sepatu, Aladino Inestrosa (67), di San Miguelito, pinggiran Panama City, di mana Herrera pernah menjadi wali kota.

”Sebuah pisang sekarang harganya 45 sen, sebelumnya 10 sen. Itu sebabnya saya memilih Martinelli,” kata Inestrosa.

Berpenghasilan rendah

Martinelli, multijutawan yang juga bergerak di bidang bisnis perbankan, pertanian, dan media itu, mendekati hati pemilih dengan menyatakan kepeduliannya pada masalah mereka. Dia berhasil merebut dukungan dari banyak pemilih berpenghasilan rendah. ”Kita tidak bisa terus mempunyai negara di mana 40 persen warganya miskin,” katanya ketika terpilih.

Walau bukan berasal dari keluarga miskin seperti saingannya, Herrera, informasi dalam situs internetnya, Martinelli2009.com, memperlihatkan bahwa dia ingin memberi kesan peduli kepada rakyat kecil. Menurut situs itu, sejak kecil dia ingin tahu mengapa anak-anak dari Distrik Sona, Provinsi Veraguas, tempat asalnya, bekerja begitu berat dan harus membantu mencari uang untuk pendapatan keluarga.

Menurut pengasuh masa kecilnya, Ny Emilia Garcia, Martinelli adalah ”seorang anak yang tidak bisa diam dan pemberani yang selalu memimpikan untuk berbuat hal-hal besar bagi Panama”.

Martinelli Berrocal, menurut situsnya, ”adalah seorang pria pekerja, sederhana, punya visi, pemimpin, humanis dan dengan sebuah hati yang besar”.

Dia menjanjikan sebuah program pekerjaan umum besar-besaran untuk mengembalikan pertumbuhan Panama. Martinelli ingin membangun pelabuhan-pelabuhan, jalan-jalan raya, dan sebuah kereta bawah tanah Panama City.

Namun, sebagian orang mengkhawatirkan Martinelli mungkin tidak bisa menjaga kehidupan bisnisnya terpisah dari menjalankan negara.

”Saya mempunyai keraguan mengenai biaya hidup karena dia di bisnis bahan pangan. Dia tidak akan berminat menurunkan harga,” kata Gabriel Tunon (59), seorang akuntan.

Investasi asing

Urusan Martinelli setelah dia dilantik tanggal 1 Juli nanti tentu saja tak hanya urusan harga pisang. Hal yang pasti, dia akan mengawasi pelaksanaan proyek perluasan Terusan Panama senilai 5,25 miliar dollar AS, berupa penambahan seperangkat kunci ketiga yang bisa menangani kapal sampai masing-masing 12.000 kontainer.

Dia berjanji menarik investasi asing dan meningkatkan perdagangan bebas, terutama dengan mitra dagang utama Panama, AS. Panama telah menyetujui sebuah kesepakatan perdagangan bebas dengan AS, tetapi pakta itu tertahan di Kongres AS oleh kekhawatiran mengenai hak-hak buruh dan peraturan perbankan yang bisa membantu para penghindar pajak.

Presiden terpilih itu menyatakan akan menyelesaikan kesepakatan perdagangan bebas dengan AS itu sebagai prioritas utama. Namun, dia menolak tuduhan AS bahwa negaranya merupakan tempat berlindung para penghindar pajak.

”Itu akan menjadi prioritas nomor satu kami,” kata Martinelli.

Para pemilih jelas terkesan dengan ketajaman bisnis Martinelli dan kritik tajamnya pada pemerintah yang sekarang sehingga dia menang dengan angka yang sangat meyakinkan. Namun, di tengah keadaan ekonomi yang sulit ini, diperkirakan masa bulan madunya begitu menjadi presiden akan sangat singkat. Dia harus segera membuktikan bahwa dirinya mampu mengatur sebuah negara.(AP/AFP/Reuters/DI)

Selasa, 05 Mei 2009

Jejak Pemimpin dalam Lintasan Zaman



Salahuddin Wahid
(Pengasuh Pesantren Tebuireng)

TV kabel C-SPAN meminta 65 sejarawan untuk menilai siapa presiden AS terbaik dengan skala 1 (tidak efektif) sampai 10 (sangat efektif) terhadap 10 aspek kepemimpinan, termasuk hubungan dengan kongres dan kemampuan persuasif terhadap masyarakat dan otoritas moral.

Dari 43 presiden AS, Abraham Lincoln dinyatakan sebagai presiden terbaik. Berikutnya ialah George Washington, Franklin D Rosevelt (FDR), Theodore Rosevelt, dan Harry S Truman. Presiden terburuk adalah James Buchanan, Andrew Johnson, dan Franklin Pierce.

Dibanding penilaian C-SPAN terdahulu (2000), Clinton naik dari peringkat 21 ke 15. Reagan dari urutan 11 ke 10. Bush Sr dari urutan 20 ke 18. Bush Jr pada urutan 36. Dalam hubungan internasional, ia berada pada urutan ke-41 dan dalam pengelolaan ekonomi berada pada urutan ke-40. Ia juga berada pada urutan ke-25 kepemimpinan krisis dan penyusunan visi serta agenda. Lincoln berada pada urutan tiga besar dari tiap aspek yang dinilai.

Perubahan penilaian itu terjadi karena kepedulian terhadap kondisi kekinian yang memengaruhi penilaian para ahli dan juga masyarakat terhadap apa yang dilakukan pemimpin masa lalu. Di Rusia, kini mayoritas masyarakat kembali menilai tinggi Joseph Stalin.

Majalah Time (1998) menugasi sembilan ahli sejarah untuk memilih siapa presiden terbaik AS pada abad 20. Yang terbaik adalah Franklin Roosevelt, disusul oleh Theodore Roosevelt. Pada urutan ke-15 adalah Nixon dan yang terburuk adalah Herbert Hoover.

Versi masyarakat vs versi ahli
Tentu, ada jajak pendapat tentang siapa presiden terbaik AS yang tidak kita ketahui. Tidak semua nama pilihan ahli bisa tetap di peringkat lima teratas dalam jajak pendapat. Tampaknya, beberapa nama, seperti Kennedy, tidak mendapat tempat teratas dalam penilaian ahli, tetapi bisa mendapatkannya pada jajak pendapat. Walaupun demikian, Kennedy akan dikenang di masa depan dan memberi ilham kepada Clinton. Sejumlah nama akan tetap berada pada peringkat teratas pada kedua cara itu, seperti Lincoln, Washington, dan FDR.
Washington adalah presiden pertama AS. Dia membentuk peradilan federal dan bank nasional. Dia menolak untuk dipilih ketiga kalinya. Dalam pidato perpisahannya, dia meminta rakyat Amerika untuk meninggalkan fanatisme kepartaian dan kedaerahan.

Terpilihnya Lincoln hanya didukung negara-negara bagian utara, negara-negara bagian selatan menyatakan keluar dari AS sehingga terjadi perang saudara. Pada 1863, Lincoln mengeluarkan Proklamasi Emansipasi yang menyatakan bahwa budak di wilayah negara bagian selatan yang masih menerapkan perbudakan sepenuhnya bebas. Ia juga secara resmi menghapus serta melarang perbudakan di seluruh wilayah Amerika Serikat. Lincoln berhasil mempersatukan kembali AS setelah perang saudara.

FDR berhasil membawa AS keluar dari depresi ekonomi dengan memberikan bantuan pemerintah untuk meringankan penderitaan rakyat. Dia memperkenalkan empat kemerdekaan, yaitu bebas berbicara, hak beribadah, bebas berkeinginan, dan bebas dari rasa takut. FDR adalah satu-satunya presiden AS yang terpilih empat kali. Partai Demokrat meminta Truman menjadi cawapres FDR (1944), tapi dia lebih suka tetap menjadi senator karena banyak tugas yang harus diselesaikannya. FDR sendiri memintanya sehingga dia terpaksa menerima.

Truman menggantikan FDR yang wafat (April 1945). Truman mendesak Belanda untuk mengakui Indonesia. Dia menyetujui militer menjatuhkan bom atom di Jepang. Dalam pemerintahannya, Marshall Plan dijalankan untuk membantu negara Eropa agar dapat memperbaiki ekonominya. Dia menyetujui pembentukan negara Israel. Tahun 1948, dia menjadi presiden atas usahanya sendiri, mengalahkan Thomas Dewey.

Pengalaman Indonesia
Selama 53 tahun merdeka, Indonesia hanya punya dua presiden dan satu presiden pada masa PDRI. Keduanya turun dari jabatan secara terpaksa. Selama 11 tahun berikutnya, Indonesia punya empat presiden. Presiden kelima berhenti secara tidak terduga. Baru presiden keenam dan ketujuh yang berhenti pada waktunya. Belum ada upaya dari para ahli sejarah atau ahli politik untuk membuat kajian guna menentukan siapakah presiden terbaik di Indonesia tampaknya sesuatu yang wajar.

Jajak pendapat (2008) tentang presiden terbaik di Indonesia diadakan Laksnu (Lembaga Kajian dan Survey Nusantara) dengan 1000 responden dari 33 provinsi. Jawabannya menarik. Urutannya adalah Soeharto, Soekarno, SBY, Habibie, Megawati, dan Abdurrahman Wahid. Harian Kompas mengadakan jajak pendapat serupa (2008) dengan hasil yang sama. Kalau kita meminta penilaian sejumlah ahli (sejarah, politik, ekonomi, hukum, dan militer), hasilnya bisa berbeda.

Sudah waktunya ada prakarsa untuk melakukan penilaian bersama siapa yang terbaik terhadap para pemimpin Pemerintahan Indonesia (presiden dan PM) oleh sejumlah ahli. Kita perlu mengetahui bagaimana sebenarnya posisi para pemimpin kita dalam perjalanan panjang bangsa, mengetahui apa sumbangsih mereka bagi pembangunan bangsa dan negara, serta mengetahui juga apa kesalahan yang telah mereka lakukan.

Akan lebih baik apabila sumbangsih para tokoh, seperti Jenderal Sudirman dan tokoh di luar pemerintahan, juga dikemukakan secara terbuka kepada masyarakat. Rakyat kita sudah cukup dewasa untuk bisa menerima dengan utuh dan secara seimbang para pemimpin kita. Tidak ada pemimpin yang sempurna dan tidak ada yang sepenuhnya salah. Yang baik bisa kita jadikan acuan dan yang buruk bisa kita hindari supaya tidak terulang lagi.

Perlu dikemukakan terbitnya buku rekam jejak para menteri agama Indonesia sejak 1946-1998 yang digarap dengan baik oleh para penulis yang mengenal Departemen Agama. Dr Taufik Abdullah memberi kata pengantar yang amat baik. Dalam buku itu, dapat dibaca perkembangan Departemen Agama dan masalah yang dihadapi dari tahun ke tahun. Buku itu amat bermanfaat bagi menteri yang akan menjabat dan juga bagi anggota DPR yang tugasnya berkaitan dengan Departemen Agama.

Saya pernah usul kepada pejabat dari Departemen Kesehatan dan Departemen Pekerjaan Umum untuk membuat buku seperti itu guna memperkenalkan perjalanan departemen itu dan para menterinya kepada masyarakat dan pihak terkait, yang juga menguraikan perubahan struktur dan latar belakangnya. Departemen lain, TNI, dan Polri perlu melakukan hal yang sama. Yang penting ialah membuat kajian yang objektif dan tidak memihak sehingga masyarakat mengetahui sebanyak mungkin fakta. Tidak boleh ada kultus individu dan pemojokan terhadap tokoh tertentu.

Upaya semacam ini akan mencerdaskan dan mendewasakan bangsa kita. Juga, menyadarkan kita bahwa kita punya banyak putra terbaik bangsa yang bisa kita teladani dan supaya tidak selalu mengambil acuan (referensi) dari mancanegara.

Minggu, 03 Mei 2009

Febri Mengangkat Martabat Singkong

Selama ini singkong identik dengan makanan orang ndeso, jauh dari kesan ”wah” , sehingga sering disepelekan. Namun, di tangan Febri Triyanto (27) dan teman-temannya, umbi tanaman khas tropis bernama Inggris cassava itu berubah menjadi ladang emas yang menjanjikan.

Melalui usaha Tela Tela, singkong diolah menjadi kudapan dengan berbagai jenis rasa, mirip kentang goreng yang hadir di tiap restoran cepat saji. Dalam waktu empat tahun, Tela Tela menjadi merek waralaba populer, yang tersebar di 182 kota, dari Banda Aceh hingga Papu, dengan 1.650 gerai.

Dengan harga jual satu pak Rp 3.000-Rp 6.000, omzet usaha ini Rp 2,5 miliar-Rp 3 miliar per bulan. Tenaga kerja yang terserap sekitar 3.500 orang. Tak mengherankan bila Febri terpilih menjadi salah satu Wirausaha Muda Terbaik 2008-2009 pada Dji Sam Soe Award.

Febri bersama Eko Yulianto, Ashari Tamimi, dan Fath Aulia Muhammad memulai usaha Tela Tela pada September 2005. Saat itu, Febri dan Eko, yang bersaudara kandung, mencari usaha yang bisa mengatasi masalah keuangan keluarga mereka. ”Waktu itu ibu kami terlilit utang. Berbagai usaha kami coba, mulai ngasih les anak SD, membuka warnet dan warung bubur kacang ijo. Hasilnya tidak mencukupi,” kata Febri di kantor pusat Tela Tela di Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (26/4).

Bersama dua teman kuliah Eko, yaitu Ashari dan Fath, empat anak muda ini menjual singkong goreng. ”Kami coba buat singkong goreng dengan potongan kecil yang lebih praktis,” kata Febri. Mereka mengajukan pinjaman Rp 3,5 juta ke bank, untuk membuat gerobak dan perlengkapan lainnya.

Pertama berjualan di lingkungan Kampus Universitas Gadjah Mada. Pembeli, yang kebanyakan mahasiswa, memberi respons positif. Namun, mereka tidak lama berjualan di sana karena diusir satpam kampus.

Febri lalu memindahkan dagangan di dekat rumahnya, yang berada di lingkungan kos-kosan mahasiswa di Tambak Bayan, Caturtunggal, Depok, Sleman.

Peluang mengembangkan usaha datang saat mendapat tawaran ikut Atmajaya Expo 2005 di Yogyakarta. ”Dari situ, kami sukses besar, bisa menjual 4-5 kuintal singkong dalam lima hari. Selain itu, banyak yang ingin ikut berbisnis Tela Tela. Namun, saat itu kami belum mengenal sistem franchise,” kata Febri.

Setelah Atma Jaya Expo, Febri mulai menata usahanya, antara lain dengan mendesain kemasan dan gerobak, selain mulai mengadopsi sistem waralaba.

Setiap orang yang berminat membuka usaha Tela Tela cukup menyediakan modal Rp 12 juta untuk dua gerai. Selanjutnya, para agen mesti menyetorkan tiga persen dari omzet kotor tiap gerai per bulan.

Pengolahan produk dilakukan para agen dengan bumbu yang disediakan Tela Tela, ”Mereka terlebih dahulu mengikuti pelatihan dari kami,” kata Febri. Salah satunya, tentang seluk-beluk singkong yang bisa diolah untuk Tela Tela.

”Harus jenis singkong ketan dan baru dicabut,” katanya. Untuk urusan singkong, pasokan diperoleh dari Kecamatan Kalasan dan Tempel di Sleman, sebanyak 5 kuintal per hari untuk 52 gerai yang ada di Yogyakarta.

Kini, Febri dan teman-temannya memimpikan bisa membawa Tela Tela go international. ”Kami sudah menerima banyak aplikasi, seperti dari Kamboja dan Malaysia. Karena birokrasi berbelit-belit, maka belum bisa direalisasikan,” tuturnya.

Mimpi lain adalah menembus pasar ritel modern. Untuk itu, mereka harus terus mengembangkan diri dan berinovasi terhadap semua aspek bisnis, terutama produk, strategi pemasaran, dan pelayanan pelanggan.

”Kalau berhenti berinovasi, jangankan berkembang, bisa-bisa bisnis tidak berumur panjang,” katanya. (Mohamad Final Daeng)