Senin, 29 Juni 2009

Pangeran Alwaleed bin Talal

Sukses Tanpa Menggantungkan Kekayaan Orangtua


Pantas sekiranya bila Majalah Forbes menyebutkan Pangeran Alwaleed bin Talal adalah orang terkaya nomor 13 di dunia dan urutan pertama untuk level Arab .Dengan total kekayaan bersihnya mencapai 23 miliar dolar (Rp 215,4 triliun) sampai 2007, dia merupakan pemilik saham terbesar Citigroups dan 95% saham Kingdom di Amerika.

Di atas kertas, imperium Alwaleed terdiri atas 42 investasi di 10 sektor dari Apple Computers dan Citigroup sampai ke Four Seasons dan News Corporation. Dalam praktiknya, jangkauan investasinya jauh lebih besar dan sebagian besar tak terlihat dunia luar.

Meski baru saja mengalami kerugian 2,5 miliar dolar AS akibat krisis perkreditan di AS, kerajaan bisnisnya tak bergoyang. Nama sang miliarder dari Arab Saudi tersebut malah semakin melambung. Bahkan ia menjadi orang pertama yang memiliki pesawat super mewah A380 Super Jumbo. Baru-baru ini Alwaleed menyuntikkan dana baru ke bank terbesar AS.

Di samping itu, pangeran kaya Arab tersebut juga punya tujuan lain. Yakni meningkatkan kepemilikan sahamnya yang saat ini kurang dari empat persen agar bisa menjadi lima persen. Strateginya berhasil mulus.

Saham Citigroup yang sebelumnya anjlok hingga 23% akhirnya bisa naik 21% menjadi 6,61 dolar pada transaksi pra pembukaan. Bagi Alwaleed, yang telah memiliki saham Citi sejak awal 1990-an dan ikut merancang program penyelamatan bank, langkahnya itu merupakan salah satu bagian dalam mempertahankan prosi kepemilikan di bawah lima persen untuk menghindari penyelidikan regulator.

Bemula dari modal pinjaman 30 ribu dolar AS dari sang ayah, Pangeran yang dijuluki Istana Terbang itu kini menjadi salah satu investor terbesar dunia. Bagaimana bisa si putra Arab tersebut menanjak ke posisi tinggi sedemikian cepat? Banyak yang menduga bahwa pria langsing itu punya fungsi sebagai ujung tombak investasi buat para pangeran Saudi lainnya yang kurang suka publisitas.

Ada pula yang menyebarkan gosip tentang kontrak membangun pangkalan militer rahasia di Arab Saudi atau bahkan komisi-komisi melimpah dari pengapalan minyak.

Tak Pernah Miskin

Dari latar belakang keluarganya, Alwaleed memang tidak pernah miskin. Lahir di Riyadh pada 7 Maret 1955, ayahnya, Pangeran Talal, adalah putra Abdulaziz. Ibunya, Mona El-Solh, adalah putri perdana menteri pertama Lebanon modern, Riad El-Sohl. Saat pangeran itu lahir, Riyadh masih merupakan kota gurun yang terlarang buat orang asing.

Meski berlimpah harta, Alwaleed bertekad ingin menunaikan misi untuk sukses di bisnis secara mandiri. Ia tak ingin bergantung seperti saudara-saudaranya yang lebih suka menghabiskan jatah dari istana.

Baginya lebih indah memiliki sesuatu yang didapat dari jerih payah sendiri.
Sejak usia 16 tahun, Alwaleed memang telah memimpikan untuk memiliki sebuah pesawat, sebuah perahu, dan menghasilkan uang. Ia pun bertekad bulat untuk mewujudkan semua itu tanpa sedikit pun menggunakan uang istana.

Sekolah bagi Alwaleed adalah modal utama untuk meraih kesuksesan. Tahun 1976 ia mendarat di San Francisco untuk memulai kuliah Administrasi Bisnis. Studi tersebut ia tempuh dengan baik.

Tepat di usia 24 tahun, Alwaleed meraih gelar Bachelor of Science bidang Administrasi Bisnis di Menlo College, dengan spesialisasi Manajemen.
Kemudian, gelar MA bidang Ilmu Sosial di Syracuse University, Negara Bagian New York, pada 1985. Sementara keahlian finansial ia peroleh melalui pekerjaan, bukan dari buku kuliah.

Setelah seluruh pendidikan terselesaikan, akhir 1979 Alwaleed pulang ke Riyadh. Sebuah keadaan menguntungkan saat itu untuk memulai bisnis. Harga minyak mencapai rekor dan pemerintah memompa miliaran dolar uang ke sektor konstruksi, dari jalan tol dan gedung-gedung kementerian baru hingga skadron-skadron pesawat tempur teranyar.

Alwaleed memulai karier bisnisnya dengan mempialangi transaksi perusahaan asing yang ingin berbisnis di Arab Saudi. Ini berkembang ke transaksi-transaksi tanah pada 1980-an, di samping investasi di perbankan Saudi, yang terbukti undervalue pada masa itu.

Pada 1982, dua tahun setelah mendirikan perusahaan bernama Kingdom Establishment di sebuah kantor mungil di Riyadh, Alwaleed menggolkan transaksi pertamanya: proyek 8 juta dolar AS untuk membangun klub bujangan di sebuah akademi militer dekat Riyadh. Ia mewakili kontraktor kecil dari Korea Selatan.

Dari situ, bisnis Alwaleed tumbuh pesat dan menjadi lebih canggih. Tidak sekadar bertindak sebagai agen, ia meningkatkan keuntungannya dengan mendirikan perusahaan sendiri, dan membentuk usaha patungan dengan orang asing. (Sasi/Pusdok SM-59)

Minggu, 21 Juni 2009

Meretas Batas (Anis Baswedan)

Toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman merupakan pengalaman sepanjang hidup Anies Baswedan. Pengalaman masa kecil telah melepaskan dia dari kotak-kotak yang diciptakan untuk menekankan perbedaan yang satu dari yang lain.

Anies tak hanya dilahirkan dari kalangan terpelajar, tetapi juga menemukan keteduhan dan ”lahan subur” untuk menyemai bibit toleransi dan keberagaman melalui berbagai kegiatan orangtua dan kakeknya. Itulah yang kemudian mengendap di ruang batinnya dan menyatu sebagai prinsip dan sikap hidup.

”Saya merasa sangat dirahmati oleh suasana di mana saya tumbuh dan berkembang,” ujar anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Drs Rasyid Baswedan dan Prof Dr Aliyah Rasyid MPd yang dibesarkan di Kota Yogyakarta itu.

Anies kecil sangat dekat dengan kakeknya, Abdurrahman Baswedan, lebih dikenal sebagai AR Baswedan, pendiri Partai Arab Indonesia pada tahun 1930-an, dan menteri penerangan pada zaman revolusi.

”Almarhum kakek saya sangat dekat dengan Ahmad Wahib almarhum,” ungkap Anies mengenai Wahib, aktivis dan pemikir Islam pada akhir tahun 1960-an.

Dalam pengantarnya pada buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (1981), intelektual Muslim, Djohan Effendi, menulis, AR Baswedan adalah satu dari dua orang yang disebut sering dikunjungi Wahib. Bahkan, Wahib boleh dibilang anak muda kesayangannya.

Salah satu sahabat dekat kakeknya adalah biarawan dan budayawan Katolik (alm) Romo Mangunwijaya. ”Teman diskusinya sehari-hari adalah (alm) Romo Dick Hartoko,” kenang Anies.

Ketika kakeknya meninggal di Jakarta, menurut Anies, pada pengajian hari ketiga, Romo Mangun khusus datang dari Yogya untuk hadir di acara pengajian dan berbicara di situ. ”Orang yang datang waktu itu bertanya-tanya, tetapi kami malah heran kenapa dipertanyakan,” Anies melanjutkan.

Menemui harapan

Begitulah kakek dan orangtuanya mengajarkan nilai-nilai keagamaan yang kuat, yang dalam keseharian mewujud sebagai persahabatan, penghargaan pada perbedaan, toleransi kejujuran, dan ketulusan. Menjumpai Anies sekarang terasa seperti menjumpai harapan akan masa depan Indonesia.

Masa kecilnya terkesan menyenangkan. Ayah-ibunya adalah ”arsitek” yang membentuk Anies menjadi pembaca buku. Sejak kecil ia sudah menjadi anggota perpustakaan Kedaulatan Rakyat, koran tertua di kota gudeg itu. ”Seminggu sekali naik sepeda ke kantor KR, diantar ayah dan ibu, pinjam buku,” ia mengenang.

Biografi menjadi buku favoritnya. ”Karena bercerita tentang kehidupan seorang tokoh sejak kecil. Jadinya nyambung dengan saya yang masih kecil. Cita-cita saya juga berubah-ubah, sesuai buku yang sedang dibaca. Misalnya, saya ingin jadi insinyur setelah baca biografinya Thomas Alva Edison.”

Pengalaman menetap setahun di Milwaukee, Wisconsin, AS, dalam Program Pertukaran Pelajar AFS saat duduk di bangku SMA membukakan perspektif yang lebih luas. Di situ ia tinggal dengan keluarga Katolik Jerman yang taat.

”Ketika kita hidup berdampingan, sebenarnya kita memiliki perasaan damai yang lebih. Suasana yang terbangun adalah kesalingpengertian yang dalam.” (MH)

Anies Rasyid Baswedan PhD

• Tempat/Tanggal Lahir: Cirebon, 7 Mei 1969

• Status: Menikah dengan Fery Farhati, SPsi, MSc, dengan empat anak, Mutiara Annisa (12), Mikail Azizi (9), Kaisar Hakam (4), dan Ismail Hakim (2 bulan).

• Pendidikan:PhD, Departemen Ilmu Politik Northern Illinois University, AS (2005), Master of Public Management, International Security and Economic Policy University of Maryland School of Public Policy, College Park, AS (lulus tahun 1998), Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (lulus tahun 1995), Kajian Asia, Sophia University, Tokyo, Jepang (non-degree, 1993).

• Beasiswa dan penghargaan:Gerald Maryanov Fellow, Northern Illinois University (2004-2005), Indonesian Cultural Foundation Scholarship (1999-2003), William P Cole III Fellowship, Universitas Maryland (1998), Fulbright Scholarship (1997-1998), ASEAN Students Assistance Awards Program (1998), JAL Scholarship (1993), AFS Intercultural Program, SMA di Milwaukee, Wisconsin, AS (1987).

• Pengalaman kerja, antara lain:Rektor Universitas Paramadina, Jakarta (sejak Mei 2007), Direktur Riset The Indonesian Institute Center for Public Policy and Analysis, Jakarta (sejak November 2005), Kemitraan untuk Reformasi Tata Kelola Pemerintahan (Januari 2006-Mei 2007), peneliti pada Pusat Penelitian, Evaluasi, dan Kajian Kebijakan, Northern Illinois University (tahun 2000), Pusat Antar Universitas, UGM (1994-1996).

Kesantunan Anies R Baswedan

Maria Hartiningsih

Kesantunan dinilai menyebabkan absennya perdebatan dalam acara debat tiga calon presiden di satu stasiun televisi swasta. Namun, menurut Anies Rasyid Baswedan PhD (40), pemandu acara itu, Kamis (18/6) malam, yang menyebabkan absennya debat adalah keterusterangan dalam mengekspresikan ide dan gagasan.

”Jangan tidak terus terang dengan alasan kesantunan,” ujar Anies mengenai debat tiga capres bagian pertama, yang bertema tata kelola pemerintahan itu. Acara bersejarah ini masih akan berlangsung empat kali dengan tema-tema berbeda dan pemandu berbeda-beda pula.

Anies menilai, yang tertangkap malam itu dari jawaban para capres sebagian lebih pada to impress (memberi kesan), bukan to express (mengungkapkan pendirian secara terus terang).

Bagi intelektual, pemikir, dan Rektor Universitas Paramadina itu, ”Pemimpin harus bicara secara terus terang dan lugas, tetapi santun. Itu gaya komunikasi politik modern.”

Pertanyaan yang diajukan Anies, yang tampil santun dan bersahaja, mencakup beberapa isu peka yang masih terus menjadi persoalan, seperti penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu karena peristiwa politik, masalah tenaga kerja Indonesia di luar negeri, serta lumpur Lapindo yang menyengsarakan ribuan warga.

”Pertanyaan saya buat setelah mengadakan diskusi tertutup dengan dosen-dosen Paramadina dan beberapa kolega analis serta tokoh-tokoh muda untuk mendapatkan masukan tema-tema tentang tata kelola pemerintahan dan penegakan hukum yang layak didiskusikan,” tutur Anies.

Dari masukan-masukan itu, Anies memilih 15 tema, kemudian ia mencari data-data dan menyusun pertanyaan secara serius. ”Tugas ini adalah amanat yang mulia,” ujarnya.

Untuk acara itu, ia mempersiapkan 15 pertanyaan, meski hanya enam yang kemudian dipakai. Kata Anies, ”Pemilihan pertanyaan baru dilakukan saat acara berlangsung.”

Satu dari 100

Nama Anies Baswedan tercantum sebagai orang Indonesia pertama di antara 100 public intellectuals dunia pilihan majalah yang berwibawa, Foreign Policy, edisi April 2008. Di antara para tokoh lainnya adalah tokoh perdamaian, Noam Chomsky, para penerima penghargaan Nobel, seperti Shirin Ebadi, Al Gore, Muhammad Yunus, dan Amartya Sen, serta Vaclav Havel, filsuf, negarawan, sastrawan, dan ikon demokrasi dari Ceko.

Anies ditemui suatu siang pekan lalu di ruang kerjanya di Universitas Paramadina, Jakarta. Ruang kerja seluas empat kali empat meter persegi itu dulu juga menjadi ruang kerja almarhum Nurcholish Madjid, tokoh demokrasi, pemikir, dan intelektual Muslim, serta pendiri dan rektor pertama Universitas Paramadina. Tak ada yang berubah di ruangan itu, kecuali tambahan rak buku.

Ketika diangkat menjadi rektor, Mei tahun 2007, usianya baru 38 tahun, menjadikannya rektor termuda di Indonesia. Ia merintis Program Paramadina Scholarship dengan mengadopsi konsep yang biasa digunakan di universitas-universitas di Amerika Utara dan Eropa, yakni mencantumkan sponsor kuliah ataupun riset sebagai predikat penerima beasiswa.

Jika mahasiswa A mendapat beasiswa dari The Jakarta Post, yang memang menjadi salah satu sponsor, di belakang nama mahasiswa dicantumkan nama sponsor, menjadi A, Paramadina, The Jakarta Post Fellow. Predikat itu wajib digunakan dalam berbagai publikasi dan tulisan.

Paramadina mengumpulkan sponsor dari berbagai lembaga dan menyiapkan suatu tim, terdiri dari para dosen, untuk menyeleksi siswa terbaik—tak hanya dari segi intelektualitas—langsung ke berbagai kota. Mahasiswa penerima beasiswa tidak lepas hubungan dengan pemberi beasiswa sehingga tercipta jejaring lintas generasi, lintas strata sosial ekonomi, dan lintas geografi. Lewat program beasiswa ini jejak untuk masa depan dibangun bersama.

”Beasiswanya Rp 110 juta per mahasiswa dari luar Jakarta untuk empat tahun kuliah. Kami menyediakan asrama dan membebaskan mereka dari tuition fee,” jelas Anies. Saat ini terjaring 69 mahasiswa dari seluruh Indonesia.

Bagaimana Anda sampai pada gagasan itu?

Saya tak mungkin mendapatkan yang saya dapatkan sekarang tanpa beasiswa. Para deputi saya juga bersekolah dengan beasiswa. Sekarang inilah waktu untuk membayar kembali semua yang pernah kita dapatkan.

Hubungan mahasiswa dan perguruan tinggi tak boleh dipandang sebagai hubungan transaksional komersial. Selama universitas memandang dirinya sebagai ”penjual” jasa pendidikan dan memandang mahasiswa sebagai ”pembeli” jasa pendidikan, komersialisasi pendidikan akan terjadi. Pendidikan tinggi di Indonesia harus memandang dirinya sebagai pendorong kemajuan bangsa dan memandang mahasiswa sebagai agent of change, karena anak-anak muda bangsa ini yang akan meneruskan peran kita. Universitas Paramadina memilih mengambil peran menghasilkan agent of change.

Pengelolaan pendidikan memang mahal. Itu tantangan bagi pimpinan universitas untuk kreatif membuat model-model pendanaan alternatif, baik dari pemerintah maupun swasta. Tantangan seperti ini tidak baru. Di negara-negara kapitalis saja pendidikan tinggi tetap dikelola sebagai pendorong kemajuan masyarakat.

Bagaimana manajemen pembiayaannya?

Dari Rp 110 juta, kita keluarkan Rp 20 juta per tahun, sisanya di deposito. Di ujung tahun terakhir tersisa Rp 30 juta. Itu masuk endowment fund sehingga setelah 10 tahun, program itu tak perlu sponsor lagi. Mahasiswa penerima beasiswa juga bisa menyumbang. Caranya dengan menyelesaikan kuliah lebih cepat.

Menciptakan harapan

Anies terlibat dalam gelombang demokratisasi sejak mahasiswa. Ia menolak otoritarianisme Orde Baru. Meski aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam, temannya berasal dari berbagai kalangan.

Anies yang pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada itu memahami Indonesia sebagai negara dengan keberagaman yang tinggi, ”Baik dari suku, etnis, agama, kelompok, maupun geo-sosial-ekologi,” ujarnya.

Menurut Anda, bagaimana mengelola keberagaman?

Kita buat pameran masjid di Jerman bekerja sama dengan Goethe Institute. Kita ingin menyampaikan pesan, untuk mampu berbuat fair, adil, kita harus mampu melihat dari perspektif minoritas. Warga Muslim di Jerman tak akan bisa membangun masjid kalau tak ada penghargaan akan hak-hak beragama, penghargaan pada keberagaman, dan toleransi.

Dengan mempresentasikan kehidupan warga Muslim sebagai minoritas untuk menyadarkan Muslim mayoritas. Dengan begitu, ketika kita membuat aturan dan kesepakatan, harus digunakan perspektif sebagai mayoritas ataupun minoritas. Agama dan budaya harus dipandang sebagai sumber nilai yang tinggi, tak bisa direduksi dan disederhanakan menjadi hukum teknis.

Bolehkah agama dibawa ke ranah politik?

Begitu agama dibawa ke ranah politik, segera terjadi distorsi. Wilayah politik adalah tempat menegosiasikan perundingan, dan karena itu, akan ada banyak kompromi. Itu wajar. Kalau kita mencampuradukkan antara agama dan politik, dalam arti negara dipaksa menjadi representasi agama, ya bagaimana, karena negara berhadapan dengan kesejahteraan rakyat.

Yang menjadi jembatan antara nilai agama dan realitas adalah manusia. Maka, manusia harus mampu menerjemahkan gagasan-gagasan dari nilai ke dalam realitas, dan bukan sebaliknya. Kalau seseorang menjalankan hidupnya dengan andap asor, rendah hati, santun, dalam Islam namanya tawadu’, tak harus bilang, ”Saya melakukan ini karena agama saya mengajarkan itu”, tetapi just do it. Dengan demikian, nilai-nilai itu menjadi universal dan dapat diterima oleh semua.

Berpolitik dengan etika, dengan nilai, menurut saya, hanya terjadi kalau mampu menerjemahkan nilai-nilai ke dalam bahasa universal yang dapat dinegosiasikan. Sekarang ini agama, etnis, dan apa pun bercampur dalam isu identitas. Politik bukan soal itu, tetapi soal nilai-nilai, yang tak hanya bersumber dari agama, tetapi juga adat dan budaya.

Kita harus mulai berpikir melampaui simbol-simbol, logo. Masyarakat Indonesia ke depan harus mampu mengekspresikan itu. Ini yang diperlukan untuk merawat keberagaman kita.

Anda optimis?

Dalam setiap tantangan, selalu ada jalan keluar. Optimisme. Tuhan mengajarkan untuk memandang dunia dengan optimisme. Sejak kecil, ibu dan bapak saya selalu menekankan soal optimisme ini.

Jumat, 19 Juni 2009

Buya Syafii


Oleh: Azyumardi Azra


Tidak mudah menulis sebuah buku utuh, yang dirancang sejak semula sebagai buku; bukan buku kumpulan tulisan. Kesulitan itu terjadi bukan hanya menyangkut soal substansi, yang bisa menyangkut bidang-bidang sangat luas, tetapi juga karena sulitnya ketersediaan waktu dan bahkan dana yang perlu untuk menunjang penelitian dan penyediaan bahan kepustakaan yang dibutuhkan. Karena itu, karya yang lahir dari tangan seorang pengarang, yang kita tahu menghadapi kesibukan luar biasa, sepatutnyalah kita berikan apresiasi selayaknya.

Saya bisa membayangkan dan merasakannya secara persis kesulitan semacam itulah yang dihadapi Prof Dr Ahmad Syafii Maarif ketika menyiapkan bukunya, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (Mizan, 2009), yang diluncurkan pekan silam. Seperti yang dia tulis, buku ini sudah terbayangkan sejak 2 Mei 2006; dan karena perhatian dan kesibukannya juga terpecah kepada hal-hal lain yang perlu pula ia tangani, proses penulisan menjadi tersendat. Tapi, naskah lengkap masterpiece , karya besar, ini akhirnya selesai juga pada 9 Februari 2009. Sebelum naik ke percetakan, manuscript buku ini dibahas dalam sebuah panel khusus untuk penyempurnaan lebih lanjut.

Secara profesi keilmuan, Buya Syafii--begitu dia akrab dipanggil--memang dikenal sebagai sejarawan yang berbasis di kampus. Dan, jika Maarif seperti ia sering menyebut dirinya adalah sejarawan murni yang hanya 'bertungkus lumus' (istilah Melayu yang sering dia pakai) di kampus, pastilah ia punya lebih banyak kesempatan untuk menulis; meski kebanyakan orang kampus dengan gelar yang gagah-gagah tidak pernah menulis karya substantif dan signifikan.

Tapi, Maarif lebih daripada sekadar sejarawan kampus. Kita mengenalnya aktif dalam dunia keilmuan lebih luas; menjadi pemakalah dan narasumber berbagai seminar dan konferensi, baik di dalam maupun di luar negeri. Di atas segalanya, dia juga aktif di Muhammadiyah, sehingga pernah menjadi orang nomor satu di organisasi pendidikan modern Islam terbesar di Dunia Muslim ini; jelas bahwa mengurus organisasi sebesar Muhammadiyah menyita banyak waktu. Belum lagi aktivismenya dalam berbagai organisasi atau kelompok yang peduli dengan masalah tertentu, sejak dari demokrasi, kerukunan hidup beragama, dan seterusnya.

Dengan segala kiprah akademik dan sosialnya, Ahmad Syafii Maarif adalah sosok penuh integritas yang hidup sederhana dan qana'ah. Ia tidak pernah tergoda dengan politik kekuasaan; bahkan ia tak jarang mengkritik mereka yang hanya berorientasi kepada kekuasaan. Dengan orisinal dia memperkenalkan, misalnya, istilah 'syahwat politik', yang kemudian menjadi sangat populer dalam kosakata perpolitikan Indonesia. Tanpa lelah Buya Syafii mengkritik perkembangan politik dan juga demokrasi yang tidak selalu sesuai dengan harapan; dan semua ini dia lakukan tanpa pretensi apa-apa.

Sebab itulah Buya Syafii menjadi salah seorang dari sedikit 'guru bangsa' yang kita miliki hari ini. Dalam kapasitas ini, ia sekaligus menjadi 'intelektual publik' yang selalu menyuarakan nurani anak negeri. Sekali lagi, tidak mudah menjadi 'publik intelektual', karena sangat boleh jadi ada pihak-pihak yang tersinggung dan tidak menerima apa yang dia suarakan. Tetapi, terlepas dari ketidaksenangan kalangan tertentu terhadap pandangan-pandangannya, Buya Syafii tetap adalah ' man of integrity ' yang tidak pernah menyerah pada keadaan. Dan, tidak jarang ia menjadi ' solitary public intellectual ', intelektual publik yang sendirian, karena memang hanya dia sendiri yang berani bersuara di tengah cenderung membisunya banyak kalangan masyarakat lainnya ketika sebuah respons diperlukan masyarakat luas.

Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan adalah sebuah refleksi kerisauan dan kepedulian intelektual seorang guru bangsa terhadap masa depan bangsa yang sekitar 88 persen penduduknya memeluk Islam. Judul karya ini saja secara jelas menunjukkan kepedulian seumur hidup ( lifetime concern ) seorang Syafii Maarif; persisnya tentang integrasi keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Dan secara implisit, ini mengindikasikan masih terjadinya 'tarik-menarik' di kalangan masyarakat kita dalam hubungan ketiga entitas tersebut.

Kerisauan dan kegundahan Buya Syafii terlihat dalam kata-katanya sendiri: ''Sebagai penduduk mayoritas di Nusantara semestinya umat Islam tidak lagi sibuk mempersoalkan hubungan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga konsep ini haruslah diembuskan dalam satu napas, sehingga Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara; sebuah Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, subkultur, dan agama kita yang beragam; sebuah Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara ini tanpa diskriminasi apa pun agama yang diikutinya atau tidak diikutinya. 

Sebuah Islam yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat miskin, sampai kemiskinan itu berhasil dihalau sampai ke batas-batas yang jauh di negeri kepulauan ini. Dalam usianya yang sudah lebih 70 tahun, Buya Syafii tidak hanya terus berkarya, tetapi sekaligus tetap dengan kritisismenya. Selamat untuk Buya, semoga tetap sehat wal'afiat agar dapat terus memberikan kontribusi untuk kemajuan bangsa dan negara.
(-) 
Index Koran

Rabu, 17 Juni 2009

Arsene Wenger, "Profesor" Sepak Bola



ADI PRINANTYO

Meskipun bergelar master ekonomi lulusan Robert Schuman University, Perancis, Arsene Wenger lebih tersohor sebagai pelatih sepak bola. ”The Gunners” Arsenal, salah satu klub kontestan Liga Inggris, di antarnya meraih tiga gelar juara Liga Primer dan empat trofi Piala FA.

Pelatih berjuluk ”The Professor” itu bakal sibuk saat Piala Dunia 2010 berlangsung di Afrika Selatan (Afsel), terkait Castrol Index yang dimotorinya.

Kesibukan Wenger, yang 22 Oktober nanti genap 60 tahun, mulai terasa Selasa (9/6) lalu, saat ia hadir di lapangan Dataran Merdeka, Kuala Lumpur, Malaysia. Sore itu, Wenger yang menjadi duta Castrol, sponsor resmi Piala Dunia 2010, mengadakan coaching session dengan tim sepak bola yunior Malaysia, berpedoman pada Castrol Challenge Test, salah satu bagian dari Castrol Index.

”Tes ini kelihatannya sederhana, tetapi jangan diragukan urgensinya. Uji sprint 20 meter bagi pemain sepak bola layak dilakukan karena pemain yang berlari lebih cepat dalam sekian meter pertama dan bisa mempertahankan performa itu akan lebih sukses dalam berebut bola. Jarak 20 meter signifikan, sesuai riset pergerakan pemain sepak bola dalam pertandingan elite. Jarak rata-rata pemain berlari itu sejauh 20 meter,” ujar Wenger.

Lebih detail lagi ia menjelaskan, pemain harus berjuang untuk lebih cepat menguasai bola. Bagi pemain bertahan, lebih cepat merebut bola sama artinya bisa segera menggagalkan serangan tim lawan. Untuk striker, lebih dulu merebut bola berarti ia berpeluang lebih besar menciptakan gol. Tentu saja, potensi kecepatan lari itu harus disempurnakan dengan polesan teknik dan ketangguhan mental.

Penjelasan Wenger membawa pengertian bahwa usaha pelatih untuk mengukur kualitas pemain seharusnya berpijak pada data, bukan atas perkiraan kasar. Pesan yang penting untuk siapa pun pelatih di dunia karena kadang ada unsur like and dislike di hati terdalam pelatih, saat ia harus menentukan 11 pemain yang tampil di lapangan hijau.

Pendekatan Wenger bahwa ”kualitas pemain adalah segalanya” membawa konsekuensi penolakan terhadap konsep Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA), yang berusaha memproteksi pemain domestik. Konsep FIFA itu biasa dikenal 6 + 5, penerjemahan sederhana dari enam pemain domestik plus lima pemain asing. Jika pola ini diberlakukan, klub-klub kaya Eropa hanya bisa memainkan maksimal lima pemain asing.

Wenger menolak dari sisi ide dan telah menerjemahkan sikap itu selama bertahun-tahun di Arsenal. ”Sepak bola modern harus terbuka. Setiap saat harus selalu dibangun upaya meningkatkan kualitas permainan. Oleh sebab itu, menetapkan aturan semu seperti 6 + 5, yang tak lain proteksi terhadap pemain lokal di mana kompetisi berlangsung di sebuah negara, bukan langkah yang tepat,” ujarnya.

Tak heran jika Arsenal jarang memainkan pemain asal Inggris sebagai starter. Paling hanya gelandang serang Theo Walcott dan bek Kieran Gibbs. Selebihnya, pemain The Gunners justru berasal dari Afrika, seperti Kolo Toure yang asal Pantai Gading, atau Emmanuel Adebayor dari Togo. Andalan lain dari sesama negara Eropa, sebut saja Cesc Fabregas dari Spanyol, Robin van Persie (Belanda), juga Andrey Arshavin (Rusia) dan Samir Nasri (Perancis).

”Sepak bola membawa pesan tentang pentingnya memadukan pemain terbaik dengan pemain terbaik lainnya di dunia. Definisi pemain terbaik sebaiknya tidak dihalangi kewarganegaraan seorang pemain. Menghentikan persaingan pemain terbaik dunia untuk berlaga di klub-klub elite, sama artinya dengan menolak berlangsungnya kompetisi yang sehat,” katanya.

Dari klub amatir

Wenger dilahirkan pasangan Alphonse dan Louise, pebisnis suku cadang mobil di Strasbourg. Karier panjang sepak bolanya dimulai saat ia kuliah di Robert Schuman University, ketika bermain untuk klub amatir sampai menjelang lulus pada 1971. Ia mulai berkiprah di jalur profesional pada 1978, membela RC Strasbourg, dengan laga debut melawan Monaco. Ia tampil 12 kali untuk Strasbourg, termasuk dua kali saat mereka merebut juara Liga pada 1978 dan satu partai Piala UEFA.

Tiga tahun kemudian ia memperoleh gelar diploma kepelatihan sepak bola dan langsung melatih tim yunior Strasbourg. Tim senior yang pertama kali ditangani Wenger adalah Nancy, namun ia tak meraup sukses berarti selama tiga tahun itu, periode 1984-1987.

Kesuksesan mulai lekat dengannya sejak dipercaya mengasuh AS Monaco, ketika ia membawa klub Perancis itu juara Liga Perancis 1988. Sukses itu makin mengilap karena itulah pencapaian musim pertamanya di Monaco. Satu gelar lagi yang dicapai adalah French Cup 1991. Di Monaco, ia merekrut sejumlah bintang, seperti Glenn Hoddle, George Weah, dan Juergen Klinsmann.

Kejeliannya terhadap bakat pemain muda sudah terlihat sejak di Monaco, sewaktu ia memboyong Youri Djorkaeff yang berusia 23 tahun, dari Strasbourg. Pada musim paripurna Wenger di Liga Perancis, 1993-1994, Djorkaeff menjadi pencetak gol terbanyak dengan 20 gol. Pada 1998 publik dunia tahu, Djorkaeff pilihan Wenger ikut membawa Perancis menjadi juara dunia 1998.

Ia lantas hijrah ke Jepang, menangani Nagoya Grampus Eight. Kebersamaan Nagoya-Wenger selama 18 bulan terasa manis karena mereka menjuarai Emperor’s Cup dan mengangkat derajat klub yang semula berada di tiga urutan terbawah Liga Jepang, ke urutan kedua klasemen akhir.

Wenger hijrah ke Arsenal pada 28 September 1996, diiringi tanda tanya pers Inggris soal kemampuannya menangani Arsenal. Ia menjawab cibiran itu dengan mempersembahkan dua gelar juara sekaligus, Liga Primer dan Piala FA, pada musim 1997-1998, tahun kedua Wenger di Highbury Park (home base Arsenal sebelum kini di Stadion Emirates).

Oktober 2009 nanti, ia genap 13 tahun bersama The Gunners dan memenangi tujuh trofi, tiga Liga Primer dan empat Piala FA. Dia menjadi satu-satunya pelatih Liga Inggris yang memimpin tim tanpa pernah kalah dalam satu musim, yakni total dalam 49 laga.

Selalu berpijak pada data statistik dan berupaya memahami kondisi psikis pemain dalam menyiapkan tim sebelum pertandingan menjadi ciri Wenger. Dia pula yang ”menyulap” Arsenal menjadi tim dengan permainan positif (tak pernah tampil defensif) dan enak ditonton. Umpan-umpan pendek pemain Arsenal menjadikan serangan The Gunners mengalir tenang untuk kemudian mencetak gol jika lawan lengah.

Tentang Arsenal yang tak pernah juara lagi sejak 2004, Wenger optimistis. ”Kami punya tim dengan pemain muda yang menjanjikan. Saya yakin dalam beberapa tahun ke depan mereka pasti bisa juara lagi,” kata The Professor.

Pada musim 2008-2009 yang berakhir Mei lalu, Arsenal mengakhiri penampilan di Liga Inggris pada posisi keempat, di bawah Manchester United (MU), Liverpool, dan Chelsea. Keyakinan Wenger, lagi-lagi, berdasar data bahwa Arsenal tampil cukup baik dalam laga sesama the big four, setelah Liverpool. Sedangkan MU, meski juara liga, justru menjadi tim dengan performa terburuk saat menghadapi tim empat besar.

Mohamad Roem, Pemimpin Tanpa Dendam


KOMPAS/DUDY SUDIBYO
Mohamad Roem

Semua tergelak ketika Butet dalam monolognya di depan ketiga pasang capres mengatakan, Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri berjabat tangan dengan mesra. Maklumlah, semua tahu, kedua capres ini sudah cukup lama tak bertegur sapa.

Berkaca pada para pemimpin masa lalu, agaknya sikap itu kurang pas, tidak menampakkan sikap kenegarawanan. Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, pernah mengatakan, Presiden Soekarno menanggapi kritik pedas Sutan Sjahrir dengan mengatakan, ”Kalau saya rotan, rotan itu melengkung, tetapi tidak patah.” Para pemimpin itu memiliki kecerdasan hingga mampu membuat metafora.

Kecerdasan seperti itu pun menjadi milik Mohamad Roem, Menteri Luar Negeri Indonesia dalam kabinet Natsir. Ia tidak pernah menyimpan dendam kepada Soekarno yang telah memenjarakannya di Madiun. Ia memang menyebut Soekarno oligarkis dan feodal.

Hal itu terungkap dalam pembukaan Annual Lecture bertajuk ”Mengenang Tokoh Diplomasi Mohamad Roem”, Selasa (16/6) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan, dalam pertemuannya dengan Mohamad Roem, Hassan sempat menanyakan apakah Roem sakit hati saat dipenjarakan Soekarno. Jawaban Roem kala itu, dalam politik, menang atau kalah merupakan hal biasa. Perbedaan tajam tidak pernah menghalangi hubungan baik antarpribadi.

Sebagai diplomat, kala itu, Mohamad Roem memang tidak semenonjol Sutan Sjahrir. Ia bukanlah pemikir seperti Sjahrir. Namun, perannya dalam kemerdekaan Indonesia tidak kecil.

Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Belanda yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Roem-Roijen adalah sebagian kecil dari kiprahnya di dunia diplomasi. Perjanjian tersebut menjadi tapak penting bagi lahirnya perjanjian Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Perjanjian tersebut telah mengantarkan lahirnya pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia.

Upaya kerasnya dalam berdiplomasi mengantarkan Indonesia dalam ruang kemerdekaan. Meski pada satu masa Soekarno memenjarakannya, tidak pernah sedetik pun ia menyimpan dendam kepada proklamator itu. Ia berani mengambil risiko dan tetap berjiwa besar, ciri yang selayaknya dimiliki para pemimpin Indonesia saat ini jika mereka ingin menjadi negarawan. (B Josie Susilo)

Kamis, 11 Juni 2009

Air Mata Roger Federer

Oleh ANTON SANJOYO

Untuk ketiga kalinya sepanjang tahun ini, Roger Federer menangis di hadapan orang banyak. Pertama setelah dikalahkan Rafael Nadal di final Australia Terbuka, kedua di altar gereja Basel saat mengucapkan janji perkawinan dengan Miroslava Vavrinec, dan ketiga di lapangan berdebu Roland Garros. Dalam tiga kesempatan berbeda, air mata menjadi tonggak paling penting dalam kehidupan petenis Swiss tersebut.

Di Rod Laver Arena, Federer tak kuasa menahan rasa kecewa yang teramat dalam setelah Nadal untuk ketiga kali beruntun mengalahkannya di final grand slam. Sebelumnya, dalam laga yang dijuluki sebagai ”yang terakbar sepanjang sejarah tenis”, Nadal juga mendepak Federer di final Wimbledon. ”Saya akan kembali tahun depan dan menjadi juara,” ujar Federer dengan suara parau dan air mata masih menggenang.

Kita tahu, di usianya yang tidak muda lagi untuk seorang petenis profesional—menjelang 28 tahun— Federer tak pernah kehilangan energi untuk selalu menjadi yang terbaik. Bahkan, setelah gelar petenis nomor satunya dirampas Nadal selepas Olimpiade Beijing, Federer tak sedetik pun mengendurkan semangatnya untuk berkompetisi dengan para rising star, Nadal, Novak Djokovic, Andy Murray, dan Juan Martin del Potro.

Tahun lalu memang menjadi periode berat bagi petenis yang mulai mengayun raket pada usia delapan tahun itu. Selain kehilangan gelar nomor satu, Federer juga mengalami kekalahan final grand slam paling menyakitkan setelah hanya diberi empat game oleh Nadal di Roland Garros.

Dilanjutkan dengan kekalahan di Wimbledon, banyak orang mengira ”the legend in the making” ini sudah kehilangan gairah untuk berkompetisi. Namun, Federer menjawab tuntas keraguan itu dengan merebut gelar kelimanya di Flushing Meadows, sekaligus gelar grand slam-nya yang ke-13.

Sukses di Amerikat Serikat Terbuka membuat Federer makin bersemangat untuk menyamai rekor Pete Sampras, perebut 14 gelar grand slam. Namun, kampanye Federer pada 2009 diawali oleh mimpi buruk dan Nadal kemudian membuatnya menangis di hadapan publik Rod Laver Arena.

Sampai sebelum Madrid Masters, perjalanan Federer untuk menjadi legenda tampaknya akan terhenti. Tak satu gelar pun yang didapat, dan pernikahannya dengan Vavrinec yang dipacarinya sejak tahun 2000 membuat para penggemarnya ragu. Tapi Federer tak pernah sedikit pun kehilangan keyakinan. Dia lantas menjungkalkan Nadal di Madrid, sepekan sebelum Perancis Terbuka.

Jika diamati, penampilan Federer sangat konstan sepanjang 2009 meski baru merebut gelar pertamanya di Madrid. Dia tampil stabil di Indian Wells dan Miami sebelum berjumpa dengan Murray dan Djokovic. ”Orang bilang, saya sudah kehilangan sentuhan. Pada banyak hal ya, tapi saya tak pernah kehilangan kepercayaan diri,” ujar Federer seusai mengalahkan Robin Soderling di final Perancis Terbuka.

Bagi Federer, sukses di Roland Garros adalah ”kemenangan terbesar sepanjang kariernya”. Sebelum hari Minggu yang dingin dan mendung itu, lapangan tanah liat paling masyhur itu selalu menjadi mimpi buruk Federer. Seakan, 13 gelar grand slam yang sudah diraihnya—5 di Wimbledon, 5 di AS Terbuka, dan 3 di Australia—tak berarti apa-apa. Maka, dia langsung berlutut, mengepalkan kedua tangannya, lantas bangkit dengan mata basah begitu merebut poin terakhir dari Soderling.

Benar, Federer tak pernah kehilangan keyakinan. Tiga kali beruntun tumbang di tangan Nadal di final Perancis Terbuka tak membuatnya patah arang. Federer mengakhiri seluruh perdebatan tentang siapa petenis terbesar sepanjang sejarah. ”Apa yang dia (Federer) lakukan dalam lima tahun terakhir sulit disamai. Bahkan tak akan pernah ada yang menyamai,” ujar Sampras, yang tak pernah merasakan nikmatnya mengangkat piala di Roland Garros. ”Federer adalah petenis terhebat sepanjang sejarah,” lanjut Sampras.

Dengan merebut gelar Perancis Terbuka, selain menyamai rekor Sampras, Federer juga menyejajarkan diri dengan lima legenda tenis lain yang sukses menjuarai empat seri grand slam: Don Bunge, Fred Perry, Rod Laver, Roy Emerson, dan Andre Agassi.

Kebahagiaan Sampras

Jika Bjorn Borg begitu gembira rekornya di Perancis Terbuka gagal dilampaui Nadal—sampai berkali-kali mengirim pesan singkat kepada Soderling yang mengandaskan Nadal di babak keempat— tidak demikian dengan Sampras. Pria yang santun berhati lembut itu justru mengaku ikut bahagia atas prestasi Federer. ”Saya berbahagia untuk Roger,” ujar Sampras yang mengikuti pertandingan lewat layar kaca di rumahnya di Los Angeles.

Sampras pantas mengakui itu. Selain tak pernah juara di Garros, Federer memang lebih unggul. Pada laga terakhirnya, Sampras mengalahkan Agassi pada final AS Terbuka 2002, saat usianya 31 tahun, pada pertandingannya yang ke-52 di ajang grand slam. Federer usianya baru akan 28 tahun, Agustus nanti, dan menyelesaikan 40 laga grand slam.

Lepas dari tekanan luar biasa dan terutama mimpi buruk Perancis Terbuka, Federer sulit dibendung untuk merebut gelar grand slam-nya yang ke-15 di Wimbledon, 22 Juni mendatang. Lapangan rumput All England Club adalah permukaan favoritnya, dan tahun lalu dia hanya kalah oleh ketidakberuntungan yang setipis rambut.

Petenis nomor satu Rafael Nadal masih tetap akan jadi batu sandungan paling besar, tapi yang pasti, sukses atau tidak, kita akan kembali melihat air mata Federer di Wimbledon nanti.

Selasa, 09 Juni 2009

Roger Federer, Terbaik Sepanjang Masa



Yulia Sapthiani

Di tengah prestasi yang tidak lagi segemilang pada tahun 2004-2007, Roger Federer menciptakan sejarah. Gelar juara yang untuk pertama kalinya dia dapatkan dari Roland Garros, Paris, Perancis, setelah mengalahkan Robin Soderling di final, Minggu (7/6). Pencapaian ini mengukuhkan dirinya sebagai petenis terbaik sepanjang masa.

Meski status petenis terbaik sepanjang masa ini sekadar pendapat yang dikemukakan para pengamat tenis, tetapi data dan fakta memang menunjukkan hal seperti itu. Federer, yang memulai kariernya sebagai petenis profesional sejak tahun 1998, sampai sekarang telah mengumpulkan 14 gelar juara grand slam.

Pencapaian Federer itu sama seperti yang diperoleh Pete Sampras. Jumlah ini merupakan yang terbanyak dari turnamen tenis dengan level paling bergengsi.

Namun, dibandingkan Sampras, prestasi Federer sebenarnya lebih istimewa. Sebanyak 14 gelar grand slam yang dikumpulkannya sejak tahun 2003 ini didapat lengkap dari empat turnamen di tiga jenis lapangan berbeda, yakni lapangan keras di Australia dan AS Terbuka, rumput (Wimbledon), dan tanah liat (Perancis Terbuka).

Adapun Sampras memiliki ”cacat” dalam prestasinya karena dia belum pernah menjadi jawara di Perancis Terbuka.

Seperti Sampras, sejumlah nama besar di dunia tenis juga tidak memiliki gelar juara selengkap Federer. Bjorn Borg yang memiliki 11 gelar grand slam, misalnya, tidak pernah bisa menjadi juara di Australia dan AS Terbuka. Demikian pula dengan enam trofi grand slam kepunyaan John McEnroe, tidak ada yang diperolehnya dari Australia dan Perancis Terbuka.

Percaya diri

Petenis terakhir yang bisa mengumpulkan secara lengkap gelar juara dari empat turnamen grand slam adalah Andre Agassi pada era 1990-an. Agassi pula yang menyerahkan trofi kepada Federer di Lapangan Philippe Chatrier, Roland Garros, hari Minggu lalu, hingga membuat Federer menitikkan air mata.

”Saya memang selalu percaya pada diri sendiri kalau suatu saat saya bisa menjadi juara di Roland Garros. Saya tidak pernah menghilangkan kepercayaan diri itu,” kata Federer yang selalu gagal di final pada tiga tahun sebelumnya karena kalah dari Rafael Nadal.

Dengan modal tersebut, Federer berhasil mematahkan keraguan banyak pihak di tengah prestasinya yang dinilai terus menurun sejak tahun 2008. Sebagai akibatnya, peringkat nomor satu dunia yang ditempati Federer selama 237 pekan sejak tahun 2004 itu berpindah ke tangan Rafael Nadal pada 18 Agustus 2008.

Hingga awal tahun 2009, prestasi Federer juga belum meyakinkan. Meski dia bisa tampil di final Australia Terbuka, untuk dua tahun berturut-turut, Federer gagal menjadi yang terbaik. Gelar di Melbourne awal tahun ini diperoleh Rafael Nadal. Adapun pada tahun lalu gelar di Melbourne tersebut didapat Novak Djokovic.

Akurasi dan emosi Federer pun mulai labil. Puncaknya ketika dia membanting raket hingga patah saat melawan Djokovic pada semifinal ATP Masters 1000 di Miami pada bulan Maret lalu.

Kejadian itu mengejutkan para pemerhati tenis karena selama ini Federer terkenal sebagai petenis yang berpenampilan tenang.

”Orang-orang berbicara kalau saya sudah kehilangan gaya permainan. Pada tingkat tertentu, pendapat mereka ada benarnya. Tetapi, hingga sekarang ini saya belum terlempar dari peringkat 10 besar dunia. Itu artinya, saya masih konsisten, terutama untuk turnamen grand slam,” kata Federer.

Federer memang tidak pernah tersisih sebelum semifinal grand slam sejak Wimbledon tahun 2005. Finalnya di Roland Garros, hari Minggu lalu, bahkan menjadi final ke-19 bagi Federer di ajang grand slam.

Pada usianya yang akan menginjak 28 tahun pada 2009 ini, Federer dinilai masih bisa menambah koleksi gelar grand slam-nya. Apalagi, jika dibandingkan dengan Andre Agassi yang masih bisa menjadi juara di Australia Terbuka 2003, sewaktu dia berusia 33 tahun. Begitu pula dengan Pete Sampras, yang menjadi juara AS Terbuka 2002 pada usia 31 tahun.

”Saya memang akan terus mencoba bermain sebaik mungkin selama saya belum pensiun. Saya pikir, saya masih memiliki kesempatan untuk menang. Tentang hasilnya, saya serahkan kepada orang lain. Apakah mereka akan menilai saya sebagai petenis besar, cukup bagus, atau biasa-biasa saja,” kata Federer.

Tiga bahasa

Federer, yang mulai berlatih tenis sejak usia delapan tahun, sebenarnya tumbuh di sebuah kota kecil dekat Basel yang bernama Munchenstein. Wilayah ini berdekatan dengan perbatasan Perancis dan Jerman. Tidak mengherankan jika kemudian Federer fasih berbahasa Perancis, Swiss-Jerman, dan bahasa Inggris.

Dalam setiap jumpa pers, misalnya, Federer selalu menjawab pertanyaan wartawan dalam tiga bahasa tersebut. Setelah melakukan tanya jawab dalam bahasa Inggris, petenis yang merupakan suporter klub sepak bola FC Basel ini akan menyediakan waktu khusus bagi mereka yang mau bertanya dalam bahasa Perancis dan Swiss-Jerman.

Meskipun memiliki talenta bermain tenis sejak kecil, Federer, yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Robert Federer dan Lynette Durand ini, terbilang tidak mudah dalam mengawali kariernya sebagai petenis.

Dalam film dokumenter tentang Federer yang berjudul Making of A Champion dikisahkan, Federer kecil pernah merasa frustrasi ketika dia harus mulai berlatih di sebuah klub tenis di Basel.

Hobinya bermain sepak bola bahkan pernah membuat Federer berpikir untuk menjadi pesepak bola profesional, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk fokus dalam tenis pada usia 12 tahun. Pada usia 14 tahun, Federer menjadi juara nasional dan setahun berikutnya dia mulai mengikuti sirkuit tenis yunior Federasi Tenis Internasional (ITF).

Kecintaan Federer pada dunia tenis membuat suami dari mantan petenis Miroslava Vavrinec ini belum berniat untuk pensiun.

”Saya selalu mengatakan, tidak masalah kapan pun saya harus pensiun. Tetapi, saya tidak akan memilih jalan itu sekarang karena saya sangat mencintai permainan ini. Saya tahu, menjadi petenis tidak akan selamanya saya jalani. Tetapi, saya akan menikmatinya selama mungkin,” kata Federer yang akan menjadi seorang ayah pada tahun ini.

Mike Lazaridis, Sang Pendiri BlackBerry



AMIRSODIKIN

Anak dari Turki ini dapat merealisasikan mimpi guru SMA-nya bahwa suatu hari nanti fungsi elektronik, komputer, dan wireless akan menjadi satu. Lewat temuannya, Mike Lazaridis berhasil menggabungkan teknologi yang unik dan gaya hidup menjadi satu: BlackBerry.

Di sela-sela kesibukannya menerima tamu dari sejumlah negara pada acara Wireless Enterprise Symposium (WES) 2009 di Orlando, Florida, Amerika Serikat, awal Mei 2009, akhirnya Mike Lazaridis, sang pendiri BlackBerry, bisa meluangkan waktu untuk Kompas. ”Apa yang bisa saya sampaikan? Saya mulai saja dengan kondisi BlackBerry kini,” katanya.

Tak seperti yang dibayangkan sebelumnya, dari alotnya mengatur jadwal dengan pihak perwakilan BlackBerry, sosok Lazaridis terlihat kalem, rendah hati, dan apa adanya. Wawancara digelar di sebuah hotel di Orlando.

Tak ada pengawal, tak ada pendamping atau yang berada di sekitarnya. Salah satu orang paling berpengaruh di dunia versi majalah Time tahun 2005 itu tampil layaknya orang biasa.

Bersahaja, tetapi justru wibawa sebagai inventor penting dekade ini makin terpancar. Pagi itu, Lazaridis melayani wawancara sambil sarapan sandwich.

Upps...,” sergahnya saat sandwich yang dipegangnya jatuh ke lantai. Dengan santai Presiden dan Co-Chief Executive Officer and Director Research In Motion (RIM) ini memungutnya kembali.

Dia membuka dialog dengan angka-angka. ”Saat ini jumlah subscriber BlackBerry ada 25 juta orang,” katanya sambil menyodorkan buku Life on BlackBerry, RIM 2009 Annual Report.

”Ini laporan terbaru,” katanya. Doktor bidang engineering yang tak menamatkan kuliah ini tak hanya mengawal RIM dari sisi teknologi. Dia juga menguasai manajemen, pemasaran, dan strategi invasi produk ke penjuru dunia.

Poin terakhir itulah yang menciptakan fenomena baru dunia: masyarakat di 160 negara yang gandrung dengan cara baru berkomunikasi dan berkirim data. Dialah yang bertanggung jawab atas mewabahnya ”virus” teknologi dan gaya hidup itu.

Menurut peringkat Milward Brown Top 100 Most Powerfull Brands, BlackBerry urutan ke-51 dunia dan disebut sebagai yang tercepat pertumbuhannya dengan angka kenaikan 390 persen.

Pentingnya riset

Dengan kondisi global yang lesu, tahun 2009 telah mengirim 26 juta BlackBerry ke sejumlah negara. Januari 2009, BlackBerry sudah membuat perangkat BlackBerry ke-50 juta.

”Pendapatan RIM tahun fiskal 2009 naik 84 persen dari 6 miliar dollar AS menjadi 11 miliar dollar AS,” ujarnya.

Tahun 2009, BlackBerry mendapat penghargaan GSMA Chairman’s Award untuk kategori pionir bidang wireless. Di tengah stagnannya penemuan baru, bisa dibilang Lazaridis mendominasi sebagai inventor pada dekade ini.

Lazaridis menyadari, kesuksesan RIM merupakan dampak dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dia yakin ilmu pengetahuan yang didorong universitas bisa diharapkan membawa perubahan.

Dukungannya terhadap dunia penelitian tak tanggung-tanggung. Oktober 2000 dia mendirikan Perimeter Institute for Theoretical Physics dengan dana 100 juta dollar AS yang diambil dari kantong pribadinya.

April 2004, bersama istrinya dia mendonasikan 33,3 juta dollar AS untuk Institute for Quantum Computing di University of Waterloo. Mei 2005, dia memberi tambahan lagi 17,2 juta dollar AS untuk membangun gedung Institute for Quantum Computing dan Waterloo Institute for Nanotechnology.

Lazaridis tak hanya penemu BlackBerry. Sekitar 50 hak paten miliknya berkisar pada wireless dan sistem display industri. DigiSync, pembaca barcode untuk industri film, ternyata juga di bawah hak paten dia, yang membuatnya mendapatkan penghargaan Emmy dan Academy Award tahun 1999.

Sejarah

Lazaridis bukan asli Kanada. Dia lahir 14 Maret 1961 di Istanbul, Turki. Kedua orangtuanya yang berasal dari Yunani membawa Lazaridis ke Kanada saat usianya lima tahun.

Tahun 1966 Lazaridis tinggal di Windsor, Ontario. Bakatnya mulai tampak sejak dia bersekolah di Windsor. Kutu buku ini menghabiskan banyak waktunya di perpustakaan.

Umur 12 tahun dia mendapat penghargaan Windsor Public Library karena telah melahap semua buku ilmu pengetahuan di perpustakaan itu. Di SMA, minat terhadap elektronik terfasilitasi karena bertemu dengan guru-guru hebat. Dalam setiap wawancara dia selalu merujuk pada guru-guru SMA yang menjadi motivator paling baik.

Tahun 1979 dia memutuskan kuliah di University of Waterloo jurusan Electrical Engineering bidang ilmu komputer. Saat menjadi mahasiswa, dia mendapat kontrak 500.000 dollar dari General Motors (GM) untuk membangun display kontrol jaringan komputer.

Dari dana kontrak dengan GM itu, ditambah pinjaman 15.000 dollar dari orangtuanya, Lazaridis yang masih mahasiswa mendirikan RIM. Dia keluar dari universitas dua bulan sebelum lulus.

RIM bergerak di bidang teknologi barcode untuk film. Lambat laun, RIM merambah ke wireless dan tahun 1999 memperkenalkan BlackBerry.

Walau akhirnya drop out dari universitas, berkat dedikasinya, pada Oktober 2001 dia meraih penghargaan Doctor of Engineering dari University of Waterloo. Pada Juni 2003 ia bahkan ditunjuk menjadi chancellor kedelapan universitas itu.

BlackBerry unik karena punya sistem sendiri dalam mengelola e-mail, terutama teknologi server yang tak dimiliki perusahaan lain. Di saat produsen telepon genggam lainnya puas dengan memanfaatkan sistem yang sudah ada, Lazaridis berpikir lain.

”Kami sangat hati-hati dalam mengembangkan perangkat ini. BlackBerry punya sistem yang unik, inilah yang membuat layanan kami akan unggul di mata konsumen,” katanya.

Dia yakin, ke depannya kebutuhan akan transmisi data makin tinggi dan wireless akan menjadi solusi. ”Kami menggabungkan fungsi perangkat bergerak dengan fungsi komputer,” katanya.

Apakah BlackBerry akan menggantikan komputer desktop atau laptop? Apakah BlackBerry juga punya ambisi mengambil alih sistem telekomunikasi GSM yang populer saat ini?

”Tidak, kami juga terlibat dalam pengembangan teknologi lain,” katanya. Teknologi GSM, misalnya, jaringannya masih bisa kita manfaatkan dengan berbagai pengembangan riset.

Di balik ambisi membuat BlackBerry mewabah, Lazaridis tetap lari ke dunia riset, mengembangkan berbagai kemungkinan teknologi yang tersedia. Jadi, tak harus menjadi dominan dan membunuh yang lain jika ingin sukses.

Biodata

• Nama: Michael Lazaridis

• Lahir: Istanbul, Turki, 14 Maret 1961

• Tempat Tinggal: Waterloo, Kanada

• Pendidikan: Electrical Engineering, University of Waterloo (tak lulus, keluar tahun 1984, mendapat gelar penghargaan doktor di bidang Electrical Engineering pada 2000)

• Jabatan: Presiden dan Co-Chief Executive Officer and Director Research In Motion

• Pencapaian: Selain mendirikan RIM pada 1984, tahun 2000 ia mendirikan dua institusi riset, Perimeter Institute for Theoretical Physics dan Institute for Quantum Computing di University of Waterloo

• Penghargaan: - Peringkat 397 orang terkaya dunia tahun 2009 versi ”Forbes” - Gelar Officer of the Order of Canada dan anggota Order of Ontario, 2006 - 100 Orang Paling Berpengaruh di dunia versi ”Time”, 2005 - Chancellor kedelapan University of Waterloo, 2003 - Canada’s Nation Builder of the Year 2002 dari Globe and Mail