Kamis, 08 Januari 2009

Siti Musdah Mulia:


Tidak Ada Contoh Negara Islam Ideal

BANYAK orang menyebutnya muslimah yang ”mau dan berani bersuara” untuk mewujudkan Islam sebagai ajaran yang teduh, dialogis, dan inklusif. Sebutan itu terdengar lagi ketika Yayasan Pusat Hak Asasi Manusia menganugerahinya Penghargaan Yap Thiam Hien, pertengahan Desember lalu.

Penghargaan itu bukan yang pertama bagi Siti Musdah Mulia. Pada Hari Perempuan Dunia, 8 Maret 2007, ia juga menerima anugerah Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice, di Washington, DC. Gagasan dan aktivitasnya membuat dia dianggap wanita Asia pemberani.

Memang, pemikiran dan sepak terjang perempuan asal Sulawesi Selatan ini akhirnya kerap bertabrakan dengan pandangan ulama pada umumnya. Semasa bertugas di Departemen Agama, ia menyusun Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang tegas menyatakan kesetaraan pria dan wanita. Dia juga melakukan pembelaan terhadap kaum minoritas, seperti Ahmadiyah dan kelompok gay.

”Saya sering menerima teror lewat telepon dan pesan pendek setelah berbicara di radio atau televisi,” katanya ketika menerima Nugroho Dewanto, Arif A. Kuswardono, dan Gabriel Wahyu Titiyoga dari majalah Tempo, pertengahan Desember lalu. Ia juga dicopot dari posisi staf ahli Menteri Agama. Akademisi yang mengaku terpengaruh Harun Nasution, Mohammad Arkoun, dan Haikal itu menjelaskan pemikirannya yang kadang disalahpahami. Perbincangan berlangsung hangat di kantornya, Indonesian Conference on Religion and Peace, di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Kenapa belakangan ini umat Islam di Indonesia menjadi lebih radikal dibanding masa sebelumnya?

Saya melihat fenomena ini sebagai pengaruh kebijakan Amerika terhadap negara-negara Islam, yang menimbulkan kebencian umat Islam Indonesia. Ketika saya menerima penghargaan pada 2007 itu, Condoleezza Rice bertanya, ”Apa yang bisa saya bantu untuk Indonesia?” Jawab saya, ”Stop violence sebagai solusi di negara-negara Islam. Sebab, kebijakan kalian itu kontraproduktif dengan usaha membangun demokrasi di Indonesia.”

Anda kecewa terhadap George Bush yang ”mendakwahkan” demokrasi dengan cara kekerasan?

Orang memandang demokrasi itu identik dengan Amerika, dengan cara-cara George Bush yang penuh kekerasan itu. Padahal, itu cuma cara Bush, dan bukan hakikat demokrasi. Demokrasi juga tidak identik dengan kebijakan Amerika.

Apakah ada faktor dalam negeri yang juga berpengaruh?

Sampai sekarang pemerintah kita selalu dianggap sekuler. Pemerintah ini gagal menyejahterakan masyarakat. Itu membuat masyarakat kita tidak percaya terhadap nilai-nilai demokrasi. Dalam sebuah diskusi, Abubakar Ba’asyir mengatakan kepada saya, ”Musdah, satu-satunya cara membangun Indonesia adalah meninggalkan sekularisme, melepaskan diri dari Pancasila, dan kembali ke dasar Islam.” Lalu saya tanya, ”Islam yang seperti apa?” Saya beri contoh Saudi: apa yang bisa kita ambil dari Saudi? Juga Pakistan, negara yang tercabik-cabik oleh perang saudara? Dia jawab, ”Kita masih pikirkan, tapi bukan itu.” Kok, masih mikir? Lebih baik yang sudah ada saja kita perbaiki.

Adakah contoh negara Islam yang cukup ideal dalam relasi agama, negara, dan pembangunan untuk dijadikan model bagi Indonesia?

Kita mau cari ke mana? Sudah lama saya meneliti, bahkan disertasi saya tentang negara Islam. Tidak ada contohnya.

Bagaimana dengan contoh di periode awal sejarah Islam?

Mungkin prinsip-prinsip demokrasi yang hakiki ada pada Khulafah Rasyidin, ketika penghargaan terhadap manusia ditegakkan, prinsip persamaan dibangun. Tapi masa itu kan tidak lama, hanya 30 tahun. Dari pengalaman kita, misalnya, pada masa Wali Songo, mereka mampu mempribumikan Islam, berdakwah dengan pendekatan sosiologi. Mungkin itu point yang bisa diambil.

Jadi, kita harus membentuk masa depan Islam Indonesia sendiri?

Ya. Tapi, ada unsur-unsur yang bisa diambil, misalnya toleransi, kebinekaan, dan semacamnya.

Benarkah kelompok-kelompok radikal Islam juga memanfaatkan demokrasi untuk mengekspresikan diri?

Sejak keran reformasi dibuka, dari masa Gus Dus hingga Yudhoyono, kesempatan ini digunakan oleh kelompok Islam yang pada masa Soeharto tidak punya kesempatan mengekspresikan opini dan ideologi mereka. Mereka pikir, sekarang ini era demokrasi, jadi berhak, dong. Kelompok seperti Majelis Mujahiddin dan Hizbut Tahrir bahkan hidup di Indonesia. Padahal kelompok seperti itu tidak ada di negara-negara Islam.

Apakah di sana mereka dilarang?

Kelompok seperti Hizbut Tahrir selalu merongrong ideologi sebuah negara. Mana ada kepala negara yang suka? Di Mesir, organisasi ini dikejar-kejar seperti tikus. Tapi, di Indonesia, kok bisa organisasi seperti ini hidup atas nama demokrasi? Bahkan Partai Keadilan Sejahtera, menurut saya, bertentangan dengan demokrasi. PKS mengakui demokrasi hanya secara prosedural, tidak substansial. Itu ada dalam visi dan misi partai mereka. Padahal, dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Partai Politik jelas ditegaskan bahwa demokrasi itu dalam arti substansial, bukan sekadar prosedural. Sebuah partai yang tidak menyetujui demokrasi yang substansial di Indonesia seharusnya tidak boleh berdiri.

Kalau mereka menang, demokrasi akan dihapus?

Tujuan mereka kan teokrasi? Jadi, kalau bentuknya negara Islam, pilihannya hanya dua: teokrasi atau demokrasi dengan tangan besi.

Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah menunjukkan pluralisme tidak berkembang di level masyarakat. Apa sesungguhnya yang terjadi?

Masyarakat kita sebenarnya dari dulu tidak rukun. Di daerah-daerah, perekatan antara orang-orang yang berbeda agama tidak kuat. Pendidikan agama kita justru sejak kecil mengajarkan bahwa kita berbeda. Kepada kita diajarkan lebih banyak masalah ritual, lalu ”kamu Islam, kamu Kristen”. Mana pernah diajarkan, jika melihat gereja, sinagog, kita harus menghormati karena itu rumah ibadah. Kalau mau jujur, semua yang terbangun dalam pikiran umat Islam ketika melihat gereja adalah pandangan yang menakutkan. Bahwa gereja itu isinya orang kafir. Begitu juga orang Kristen ketika melihat masjid.

Agama seolah menjadi sumber konflik?

Agama itu punya dua fungsi: sumber konflik dan integrasi. Tapi yang lebih banyak dipakai masyarakat adalah sumber konflik, karena paling mudah dan andal. Kasus Poso, misalnya. Masalahnya adalah soal ekonomi, pertikaian lahan, dan sumber alam. Agama dijadikan alat pemicunya.

Sejarah Indonesia terbiasa dengan pemimpin perempuan, baik Islam maupun Kristen. Mengapa kini pemimpin perempuan dipermasalahkan?

Pemimpin perempuan itu sudah ada sejak zaman Majapahit. Bahkan sudah muncul di kerajaan-kerajaan kecil sebelumnya. Tapi pemahaman keagamaan kita itu tetap saja tradisional.

Bagaimana perkembangan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang pernah Anda susun?

Karena Pengadilan Agama dialihkan ke Mahkamah Agung sejak 2004, urusan undang-undang perkawinan bukan lagi wewenang Departemen Agama. Selama dua tahun ini ada draf Undang-Undang Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Enam puluh persen isinya diambil dari Kompilasi Hukum Islam. Misalnya, perubahan umur cakap, dari 16 ke 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Poligami yang melanggar aturan akan dikenai sanksi. Buat saya itu sebuah progress, ketimbang undang-undang yang sekarang.

Apa kelemahan undang-undang perkawinan yang berlaku sekarang?

Di Indonesia ada dua undang-undang tentang perkawinan, yakni Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Undang-Undang Perkawinan Kompilasi Hukum Islam. Isi keduanya tidak jauh berbeda. Hanya dalam Kompilasi lebih njelimet, karena menyangkut fikih. Misalnya, soal wanita yang bercerai sebelum duhul (hubungan seksual), maskawinnya dikembalikan setengah. Menurut saya, ini undang-undang yang sangat primitif. Perkawinan itu bukan hanya urusan seks. Ada tidak di masyarakat orang yang hendak bercerai ditanya: ”Kamu sudah duhul belum?” (Musdah tertawa). Hal penting lain, dalam kedua undang-undang ini tidak ada sanksi untuk memberikan perlindungan kepada perempuan. Misalnya, jika terjadi perkawinan dini seperti dilakukan Syekh Puji itu, enggak ada sanksinya, kan?

Bagaimana contoh di negara Islam lain?

Di Mesir, boleh poligami, tapi dengan izin istri. Izinnya harus lisan dan tertulis oleh si istri, di depan pengadilan. Pengadilan akan melihat struk gaji, cukup atau tidak untuk menafkahi istri lebih dari satu. Kalau melanggar, akan dipidanakan. Begitu juga kalau perkawinan tidak dilakukan penghulu yang berwenang, maka yang kawin, yang dikawinkan, para saksi, dan wali bisa dipidanakan. Di Indonesia, orang kawin di mana-mana enggak ada yang ngurusin. Negara kita seperti tidak ada hukum sama sekali.


Prof Dr Siti Musdah Mulia MA

  • Tempat dan tanggal Lahir: Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1958 | Pendidikan: - Sarjana bahasa dan sastra Arab, Institut Agama Islam Negeri Alaudin, Makassar, 1982 - Magister bidang sejarah pemikiran Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1992 - Doktor bidang pemikiran politik Islam, IAIN Syarif Hidayatullah, 1997 | Karier: - Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 1997-sekarang - Visiting professor di EHESS Paris, 2006 - Tim ahli Menteri Tenaga Kerja, 2000-2001 - Staf ahli Menteri Agama Bidang Pembinaan Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional, 2001-2007 - Sekretaris Jenderal Indonesian Conference on Religion and Peace, 2001-sekarang - Wakil Sekjen Pengurus Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama, 2000-2005 - Ketua Panah Gender Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, 2002-2005
  • Kamis, 01 Januari 2009

    Habib Luthfi bin Ali bin Yahya:

    Nabi Tak Pernah Mengislamkan dengan Pedang 


    Murid Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, yang lebih dikenal sebagai Habib Luthfi Pekalongan, tersebar ke berbagai daerah—bahkan mancanegara. ”Enggak bisa ngitung lagi,” kata Ketua Jam’iyyah Ahlith ath-Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah, perkumpulan tarekat yang diakui (mu’tabar) di bawah Nahdlatul Ulama, ini.

    BILA jadwal pengajian tiba, seperti Reboan atau Jumat Kliwonan, ribuan orang datang ke Kanzus Shalawat (Gedung Shalawat), pusat kegiatan Tarekat Syadziliah, di Kampung Noyontaan, Pekalongan, Jawa Tengah, persis di tepi jalan raya lama Jakarta-Semarang. Banyak yang percaya Habib Luthfi bisa menjadi wasilah (penghubung) doa manusia kepada Tuhan. 

    Karisma Habib Luthfi pulalah yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri datang ke Kampung Noyontaan pada acara Maulid Nabi lalu. Perayaan Maulid merupakan puncak acara Tarekat Syadziliah karena mencakup 68 kegiatan di berbagai tempat di seantero Pekalongan, yang berlangsung selama hampir setengah tahun. 

    Habib yang memiliki lima cucu ini juga dikenal terbuka dan inklusif sehingga diterima berbagai kalangan. Sampai sekarang, dia masih mengajar santri di rumahnya, di belakang Kanzus Shalawat. Rabu pekan lalu, Arif A. Kuswardono dan Sohirin dari Tempo menemui Habib Luthfi seusai salat tarawih di rumah tersebut. 

    Wawancara sempat terputus oleh kegiatannya mengajarkan kitab selama Ramadan. Ada puluhan orang yang mengikuti irsyadat dan taklimat yang digelar tiap malam selepas tarawih selama satu jam. Ditambah tamu yang juga berlipat jumlahnya, Ramadan adalah bulan yang sibuk buat sang Habib. ”Saya hanya tidur tiga-empat jam sehari,” katanya. 

    Sekitar pukul 23.00, percakapan dilanjutkan di studio musik miliknya yang berisi delapan organ bersusun dan dilengkapi tata suara elektronik. Habib yang dikenal pandai memainkan sejumlah alat musik ini sudah melahirkan beberapa komposisi. ”Umumnya instrumen,” katanya seraya menggelitik bilah organ. ”Kalau lagu dengan syair, baru dua.” 

    Tak lama kemudian, melantunlah lagu Cinta Tanah Air, ciptaannya. Liriknya memuji cinta tanah air yang menjadi cerminan iman seseorang. Musiknya campuran Melayu, dangdut, tarling, dan irama padang pasir. ”Supaya anak muda suka,” katanya. Dengan suara kalem, terkadang diselingi humor, Habib Luthfi menjawab semua pertanyaan Tempo. 

    Saat ini ulama menjadi rebutan para politikus. Apa sikap Anda?
    Saya terima semuanya. Sebab, dalam partai-partai terdapat aset bangsa. Nah, aset itu wajib kita junjung tinggi dan kita hormati. Tentang pilihan, itu rahasia masing-masing.

    Banyakkah pejabat dan politikus yang mengunjungi Anda? 
    Banyak. (Orang dekatnya menyebut nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir, Ketua Partai Bulan Bintang M.S. Kaban, dan sejumlah jenderal polisi.)

    Anda setuju dengan partai yang menggunakan asas agama? 
    Di Indonesia ini dasar pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita kembali saja ke situ dulu, kemudian diwarnai oleh agama masing-masing. Saya secara pribadi menginginkan penganut agama, agama apa pun, menaati ajaran agama untuk bekal kehidupan sehari-hari, sehingga kita bisa ikut membangun bangsa ini. Sebab, kita sama sekali tidak ikut andil mendirikan bangsa ini, kita tidak ikut berjuang zaman dulu. Kita hanya bisa andil menjaga kemerdekaan ini. Caranya membekali mental kita dengan agama yang baik, sehingga kita bisa menjawab tantangan umat. 

    Ada kalangan Islam yang berpendapat syariah Islam wajib diakomodasi karena selama ini kita justru memakai hukum Belanda yang tidak mewadahi aspirasi penduduk yang mayoritas muslim. 

    Negara kita negara kesatuan yang terdiri atas berbagai agama, kepercayaan, dan suku. Sangat heterogen. Saya kira tidak semudah itu membungkus sesuatu. Kita sudah mempunyai Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang menjamin kebebasan beragama. Itu saja yang kita amalkan dengan didukung keyakinan agama masing-masing. Mari kita membangun bangsa ini ke depan. 

    Menurut Anda, syariat Islam sudah cukup diakomodasi?
    Syariat Islam sudah banyak dijalankan dalam undang-undang pemerintah kita. Lihatlah: kantor agama ada, pengadilan agama ada, pernikahan dilindungi, Maulid Nabi Muhammad juga diperingati. Semuanya itu tidak bertentangan dengan Islam. Nah, inilah yang harus kita pelihara.

    Muslim Indonesia kerap dianggap muslim kelas dua karena banyak mistiknya dan tidak radikal. Seharusnya kita seperti muslim Timur Tengah yang militan?
    Apakah itu ajaran Nabi? Apakah Nabi pernah mengislamkan seseorang dengan pedang? Tidak pernah! Saya baca hadis, tidak ada yang menyebutkan itu. Bahkan Nabi menjaga hak-hak ekonomi kaum Yahudi. Kalau ada yang bilang begitu, berarti dia tidak kenal Indonesia. Di Indonesia, yang mau dilawan siapa? Apakah kita harus mengangkat senjata kepada orang yang tidak melawan kita? Orang tidak salah kita tempeleng; apakah itu ajaran Islam? Militan itu ideologinya yang kuat. Rasa kebangsaannya yang kuat.

    Konteks Indonesia berbeda dengan Timur Tengah?
    Apa yang dihadapi di Indonesia berbeda dengan di Timur Tengah. Mestinya Anda bertanya kepada Suudi (Arab Saudi): mengapa orang-orang Suudi yang konon radikalnya luar biasa itu kok tidak pernah mengirimkan pasukannya untuk membela Palestina?

    Tentang Ahmadiyah, apakah sikap pemerintah sudah tepat?
    Saya kira penerbitan surat keputusan bersama sudah bijaksana. Sejahat apa pun mereka, (Ahmadiyah) adalah bangsa kita. Ahmadiyah kan masih bertuhan? Kalau PKI, kan, tidak bertuhan? Lebih jahat mana antara bertuhan dan yang tidak bertuhan? Mengapa PKI masih kita wong-kan, kok, Ahmadiyah tidak?

    Kesalehan individual di Indonesia terus meningkat. Kuota haji selalu terlampaui, pengajian ramai, tayangan agama begitu banyak, tapi kenapa korupsi meruyak dan perbaikan di masyarakat tetap lambat?
    Masyarakat awam itu sebenarnya mencari tuntunan. Mereka mencari figur pemimpin yang bisa membimbing rohaninya, sehingga apa yang ada di dalam ajaran agama itu, di samping diyakini, dijadikan keperluan untuk kehidupan sehari-hari. 

    Apakah tuntunan Islam belum cukup?
    Ajaran Islam sangat kompleks. Selain menanamkan akidah pada umatnya, seperti percaya kepada Allah, Nabi, malaikat, dan seterusnya, Islam mengatur cara makan, bergaul, dan sebagainya. Misalnya pakaian, Islam mengajarkan bagaimana seseorang terjaga kehormatannya karena pakaian itu. Jadi, Islam tidak hanya mengatur kesehatan fisik, tapi juga kesehatan rohani atau kesehatan batin. Seperti lagu Indonesia Raya, ”bangunlah jiwanya” lebih dulu, baru ”bangunlah badannya”.

    Jadi, kalau ada yang melenceng di masyarakat, jiwanya belum beres?
    Saya kira tidak perlu sejauh itu, karena hati orang kita tak tahu. Bangunan jiwa ini sudah diatur. Islam setelah mengatur arkanul iman (rukun Iman), lalu arkanul Islam (rukun Islam), selanjutnya baru ihsan. Dari ihsan kita diajari ”bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya”. Kalau tidak mampu merasa melihat Tuhan, kita harus merasa menjadi bagian yang dilihat dan didengar oleh Tuhan.

    Jadi, perubahan itu memang bertahap?
    Pertama kali mungkin kita belum bisa merasakan dampaknya. Tapi, kalau kita terus-menerus merasa menjadi bagian yang dilihat dan didengar Tuhan, akan timbul perubahan. Sebagai contoh, seorang pesilat, kalau sering latihan, pasti akan mempunyai gerak refleks. Sehingga, kalau dia terpeleset, paling tidak 85 persen dia akan selamat dan tidak cedera. Sebaliknya, bagi yang tidak pernah latihan, jika dia terpeleset, akan lebih banyak cederanya ketimbang selamat. 

    Apa perubahan terbesar bila sudah merasa dekat dengan Tuhan?
    Kalau kita sering merasa menjadi bagian yang dilihat Tuhan, akan timbul reaksi. Di antaranya rasa malu. Malu karena perbuatan kita selalu dilihat dan didengar Allah. Malu adalah sebagian tanda iman. Malu akan menambahkan kesempurnaan dalam beriman. Dari malu kepada Allah, malu kepada Nabi, kepada ulama, pahlawan, orang tua, guru, hingga terakhir malu kepada sesama. 

    Mungkinkah seseorang yang sudah dekat jiwanya dan malu kepada Tuhan malah terus didera kesulitan? 
    Kesulitan yang diberikan Allah pada hakikatnya adalah untuk pembekalan. Jika mau menengok ke belakang, akan timbul perubahan. Kalau kemarin kita berdagang terus merugi, kita harus melihat apakah servis atau mutu kita sudah bagus atau belum. Jadi, majunya ke depan karena kita mau menengok ke belakang.

    Bagaimana rasa malu bisa memperbaiki kualitas kehidupan sosial?
    Taruhlah seseorang tidak puasa karena memang pekerjaannya sangat berat. Misalnya pekerja fisik. Kalau tidak bekerja, hari itu mereka tidak bisa makan. Tapi, jika sadar bahwa dirinya menjadi bagian yang akan dilihat Allah, dia tidak akan seenaknya berjalan sambil merokok di bulan puasa. Ini contoh sederhana. Jika rasa malu sudah hidup, perlahan tapi pasti akan mengubah perilaku kita. 

    Apa rasa malu bisa mendorong disiplin? 
    Ya, mestinya, setelah muncul rasa malu, meningkat menjadi takut kepada Tuhan. Kalau takut, kita akan bertakwa dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Di sinilah rasa takut menjelma menjadi takwa. 

    Apa peran tarekat dalam memunculkan rasa malu kepada Tuhan?
    Kita membangun jiwa dengan menyebut nama Allah dalam berzikir, sambil merasa dilihat dan didengar oleh Allah. Secara tidak langsung kita selalu diingatkan kepada Allah. Lalu, saat kita membaca selawat, kita diingatkan kepada Muhammad. Apakah tidak malu kalau tidak bisa meniru keteladanan Muhammad? Secara umum, kita juga harus menghormati orang tua dan guru. Rasanya malu kalau sudah dibesarkan orang tua dan diajari oleh guru tapi tidak menuruti nasihatnya.

    Malu juga dituding menjadi biang kemunduran. Seperti apakah rasa malu yang bisa menghambat kemajuan? 
    Malu itu ibarat cangkir. Kalau diisi susu, kan, tidak ada yang salah? Kalau diisi minuman keras, baru dosa. Kalau malu dianggap penyebab kemunduran, apa salah ungkapan al haya’ minal iman (malu sebagian dari iman)?

    Jadi, menumpuknya masalah bangsa salah satunya karena kita krisis malu?
    Saya tidak mau mengatakan bangsa ini krisis akhlak atau krisis malu…. Tapi inilah di antara kelemahan-kelemahan kita.

    Bila syariah Islam sudah diterapkan tapi musibah terus mendera, apa yang salah?
    Saya tidak mau mengungkap cacatnya salah satu wilayah atau keturunan karena seluruh Islam adalah bersaudara.

    Mengapa muncul Islam yang radikal bila dasarnya adalah rasa malu?
    Saya tidak mau terpengaruh dengan mereka (radikal). Saya punya konsep sendiri untuk mendidik santri, khususnya santri tarekat, sesuai dengan ajaran al-salafu al-shalihin (ulama pendahulu) yang sudah membuatkan satu konsep yang luar biasa dalam memahami Al-Quran dan hadis. Kita juga belajar dari dinamika yang telah diajarkan oleh para imam mazhab seperti Syafii, Maliki, dan Hambali. Para imam mazhab itu sangat menguasai ilmu agama, tapi meski mempunyai perbedaan, mereka saling menghormati. 

    Para imam mazhab tak mengklaim pendapatnya sendiri yang paling benar.…
    Dinamika antar-ulama ini indah. Ibarat musik, meski ada perbedaan alat musik dan aliran musik, musiknya bisa dinikmati. Ada harmoni. Masing-masing juga tidak bisa mengklaim paling benar karena jumlah nada atau not musik cuma 12. Antara satu dan yang lain pasti bersinggungan.

    Bagaimana supaya kita tidak keliru arah menjadi radikal? 
    Harus ada transformasi dan pembekalan. Kalau tidak bisa, ya, ikuti yang baik, yang bisa dipercaya, tidak asal.

    Bagaimana supaya puasa atau ibadah tidak sekadar ritual saja, tapi juga berpengaruh pada kehidupan sosial? 
    Kita ambil contoh yang ringan saja. Bagaimana kita merasakan lapar dan dahaga? Ternyata setetes air dan sebutir nasi sangat bermanfaat. Kita harus menghormati sang pencipta nasi dan setetes air. Secara proses, sebutir nasi itu melibatkan banyak orang, dari ditanam hingga tersaji. Secara sosial, kita harus menghormati orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan nasi. Itu baru sebutir nasi, belum lagi tentang air, lauk, dan sebagainya.

    Ada contoh lain?
    Soal wudu, misalnya. Tiap hari anggota tubuh lima kali dibasuh wudu. Masing-masing tiga kali. Berapa kali satu anggota badan dibasuh dalam sebulan? 450 kali. Setahun? 5.400 kali. Itu baru yang wajib saja. Pertanyaannya: sejauh mana bekasnya kita membasuh anggota tubuh sebanyak itu? Apa ”buah” wudu yang kita dapat? Mestinya mata kita bisa menutupi aib orang lain, mulut kita mengucapkan yang baik-baik, tangan kita juga tidak mengambil yang bukan hak. Karena berkah dari wudu, secara sosial kita juga harus lebih baik.

    Bagaimana proses puasa ”membersihkan” tubuh?
    Anda bayangkan perut kita seperti bejana yang tidak pernah dicuci, padahal digunakan untuk memasak aneka makanan selama sebelas bulan. Kira-kira bisa tidak pencernaan kita melakukan metabolisme tubuh dan menghasilkan darah yang baik kalau tidak dibersihkan? Padahal darah tadi akan memasok makanan ke otak. Obat cuci perut hanya terbatas, tidak bisa sampai ke dasar pencernaan tempat virus dan kotoran. Hanya puasa yang bisa menjangkaunya. Jadi, puasa juga berdampak pada pencerdasan kehidupan bangsa.[]

     

    MUHAMMAD LUTHFI BIN ALI BIN YAHYA 
    Tempat dan tanggal lahir: Pekalongan, 10 November 1946 
    Pendidikan: 
    Pondok Pesantren Bondokerep, Cirebon, Jawa Barat 
    Belajar ke Hadramaut, Yaman 
    Pondok Pesantren Kliwet Indramayu, Tegal (Kiai Said) 
    Belajar kepada Kiai Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Ali di Purwokerto 

    Pekerjaan: 
    Rais Am Jam’iyyah Ahlith ath-Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah 2005-2010 (periode kedua) 
    Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah (2005-2010) 
    Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Kota Pekalongan (2005-2010) 
    Paguyuban Antar Umat Beriman (Panutan) Kota Pekalongan