Jumat, 31 Juli 2009

Malalai Joya, Perempuan Berani Mati Afganistan

Malalai Joya

Jumat, 31 Juli 2009 | 04:21 WIB

Lima kali menghadapi percobaan pembunuhan tak membuat Malalai Joya menyerah. Perempuan anggota parlemen Afganistan ini terus melawan, bahkan mengabadikan sikap perlawanannya dalam buku Raising My Voice yang tengah dipromosikan di berbagai negara. Rakaryan Sukarjaputra

Ketika mempromosikan bukunya di Inggris, Selasa (28/7), seperti ditulis The Telegraph, ia mengatakan, ”Kami tak menerima pendudukan asing. Tiga kali Pemerintah Inggris menduduki negeri kami dan menghadapi perlawanan dari rakyat.”

Terpilih sebagai anggota Wolesi (Loya) Jirga (parlemen nasional Afganistan), September 2005, sebagai wakil Provinsi Farah, Joya mengalami pahitnya masa pendudukan. Ketika Soviet menginvasi negerinya, dia (saat itu berusia 4 tahun) mengungsi keluar negeri pada 1982, dan bergabung dengan sejumlah warga Afganistan di kamp pengungsian di Iran, lalu pindah ke kamp pengungsian di perbatasan Pakistan.

Ia menyelesaikan pendidikan di Pakistan, dan mengajar kesusastraan kepada perempuan, saat berusia 19 tahun.

Ketika Soviet hengkang, Joya kembali ke negerinya pada 1998, saat Taliban berkuasa. Ia mendirikan klinik kesehatan, lalu perlahan menjadi penentang rezim Taliban.

”Saya tak tahu berapa hari lagi bisa hidup. Saya katakan kepada mereka yang mau membunuh suara saya, ’Saya siap kapan pun, di mana pun kamu menyerang. Kamu bisa memotong bunga, tetapi tak ada yang bisa menghentikan datangnya musim semi’,” tegas Joya kepada kolumnis London Independent, Johann Hari.

Tak pernah aman

Pertama kali menginjakkan kaki di Loya Jirga, Joya mengatakan, hal pertama yang dilihat adalah barisan panjang pelanggar hak asasi manusia yang pernah dikenal di negerinya. Mereka adalah para panglima perang, penjahat perang, dan fasis.

Ia melihat orang yang mengundang Osama bin Laden ke negerinya, orang yang mengenalkan aturan hukum, yang menanamkan kebencian terhadap perempuan. Banyak di antara mereka bisa masuk ke Jirga karena mengintimidasi para pemilih atau mencurangi kertas suara. Banyak juga yang masuk dengan cara mudah, ditunjuk Hamid Karzai, yang kini menjadi Presiden Afganistan.

Para panglima perang itu tak sanggup menghadapi seorang perempuan muda yang bicara kebenaran. Mereka mencemooh, menyebutnya ”wanita tunasusila” dan ”dungu”, bahkan melemparkan botol kepadanya.

”Sejak saat itu saya tak pernah aman. Bagi para fundamentalis, seorang perempuan adalah setengah seorang lelaki. Perempuan artinya memenuhi semua keinginan lelaki, menghasilkan anak-anak, dan tinggal di rumah. Mereka tak percaya perempuan bisa membuka kedok mereka di depan mata rakyat,” ungkapnya.

Berbagai bentuk serangan dihadapi Joya, mulai dari kedatangan segerombolan fundamentalis ke rumah, berteriak hendak memerkosa dan menghabisinya. Ia lalu ditempatkan dalam perlindungan pasukan bersenjata, tetapi menolak berada di bawah perlindungan tentara AS.

Gagal dengan upaya itu, usaha pembunuhan terus dilakukan dengan menggunakan penembak gelap. Namun, Sang Pencipta masih melindungi dia. ”Saya ingin para panglima perang itu tahu, saya tak takut.”

Keberanian Joya membuahkan dukungan simpati banyak rakyat. Suatu ketika seorang nenek berusia hampir 100 tahun menggunakan kursi roda reyot mendatanginya. Dia bercerita, kehilangan dua anak lelaki, satu pada masa Soviet dan satu lagi oleh kelompok fundamentalis.

Dia mengatakan kepada Joya, ”Ketika mendengar tentang kamu, saya tahu harus menemuimu. Tuhan melindungimu, sayangku.” Nenek itu memberinya cincin emas, satu-satunya barang berharga miliknya, dan mengatakan, ”Kamu harus menerima ini. Saya telah menderita sepanjang hidup. Saya hanya ingin kamu menerima pemberian ini.”

Bukan demokrasi

Sebagai salah seorang dari sejumlah kecil orang yang terpilih melalui pemilihan umum, Joya tak ragu menyatakan, demokrasi belum ada di Afganistan. Karena itu, menjelang pemilihan presiden Afganistan, 20 Agustus nanti, dia bersuara keras dan meyakini hasilnya tak akan berbeda.

Hamid Karzai yang melindungi sejumlah panglima perang dan kepala suku yang telah menindas rakyat hampir pasti kembali terpilih.

”Pemerintah asing hanya membuang uang dan darah mereka di Afganistan. Setelah pemungutan suara, hasilnya tetap ’keledai’ yang sama, dengan kursi baru,” tegasnya.

Tak sulit membayangkan, kertas suara yang dikirim sampai ke pelosok itu hanya akan diisi para penguasa perang dan orang-orangnya. Mereka tentu memilih orang yang ”bisa melindungi” mereka, dan Karzai telah menunjukkannya.

Di wilayah yang jauh dari rasa aman, perjuangan untuk sekadar memberikan suara tak sebanding dengan nyawa yang dipertaruhkan. Meski terdaftar 17 juta pemilih, rakyat yang benar-benar bisa memberikan suara secara aman dan jujur sangat kecil jumlahnya. Sisanya adalah suara fiktif untuk keuntungan calon tertentu. Ini bukanlah demokrasi.

Ia menegaskan, semua informasi kemajuan di Afganistan setelah tumbangnya Taliban hanyalah mitos. Dalam bukunya, dia mengungkapkan, kebebasan media yang digembar-gemborkan hanya jika media tak mengkritik para panglima perang dan pejabat.

”Jika kamu menulis sesuatu mengenai dia (panglima perang yang namanya disebut dalam buku Joya), hari berikutnya kamu disiksa atau dibunuh oleh aliansi panglima perang wilayah utara,” tulisnya.

Soal kebebasan bersekolah bagi perempuan di luar ibu kota Kabul pun sama. ”Hanya 5 persen anak perempuan, menurut PBB, bisa meneruskan pendidikan hingga tingkat 12 (lulus SMA),” katanya.

Demokrasi Afganistan, kata Joya, terperangkap di antara dua musuh, yakni pasukan pendudukan yang menjatuhkan bom renteng dari udara dan di darat ada pasukan panglima perang dan Taliban dengan senjata mereka.

Perjuangan Joya masih panjang. Ia terus berjuang untuk demokrasi Afganistan di luar parlemen, sejak dihukum tak boleh hadir di parlemen mulai Mei 2007.

Joya juga terus memperjuangkan kehidupan kaum perempuan di negerinya melalui Organization of Promoting Afghan Women’s Capabilities (OPAWC) di wilayah Provinsi Herat dan Farah, di barat Afganistan. (malalaijoya.com)

Biodata

• Nama: Malalai Joya • Lahir: 25 April 1978 • Keluarga: Memiliki 3 saudara laki-laki dan 6 saudara perempuan • Pekerjaan: - Anggota parlemen mewakili Provinsi Farah pada September 2005, tetapi dikenai sanksi tak boleh menghadiri persidangan selama 3 tahun sejak Mei 2007. Ia dinilai menghina anggota parlemen lainnya - Direktur Organization of Promoting Afghan Women’s Capabilities • Pencapaian: - Ia disejajarkan dengan tokoh demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi

Maharani Gayatri Devi Mengantar Sang Maharani Terakhir


Jumat, 31 Juli 2009 | 03:29 WIB

Maharani Gayatri Devi (90) telah menutup perjalanan hidupnya sebagai ratu yang glamor dan penuh warna. Kepergiannya menjadi akhir dari era aristokrat India.

Dalam sebuah penghormatan kematiannya, Amit Roy, seorang komentator veteran, mengatakan, ”Wafatnya Maharani Gayatri Devi meniadakan ratu sejati terakhir India.”

Terlahir dari keluarga bangsawan, Devi tumbuh di istana di Jaipur dengan 500 pelayan. Dalam otobiografinya yang populer, A Princess Remembers, Devi menuturkan masa kecil yang dikelilingi 100 mahout (pawang gajah), 20 tukang kebun, 20 tukang kuda, seorang pelatih tenis, serta pelayan dan juru masak yang banyak jumlahnya.

Devi sangat dekat dengan keluarga kerajaan Inggris. Oleh kalangan internasional, dia dikenal sebagai ratu jet set yang mengobrol dengan Ratu Elizabeth dari Inggris pada permainan polo, berdansa di kelab malam, dan mengatur kehidupan di Istana Jaipur.

Setelah India merdeka dari Inggris tahun 1947, Devi meniti karier sebagai politisi yang sukses. Dia tiga kali terpilih sebagai anggota parlemen. Dia juga pernah dipenjara selama lima bulan tahun 1975 atas tuduhan penggelapan pajak yang tidak terbukti menyusul perseteruan dengan perdana menteri waktu itu, Indira Gandhi.

The Times of India menggambarkan Devi sebagai ”bocah berusia empat tahun yang tinggal di London dan sering berbelanja sendiri di Harrods”. Pada usia 21 tahun, dia telah punya pesawat jet pribadi.

Mail Today mengenang Devi yang makan kaviar saat di penjara dan mengendarai Jaguar putih. Perkawinannya dengan Maharaja Jaipur tercatat dalam Guinness Book of World Records sebagai yang paling mahal sepanjang masa.

Devi mewakili sejumlah tradisi kebangsawanan, yaitu maharani cantik yang berkuasa, kaum jet set dunia, teman dekat keluarga Kerajaan Inggris, dan politisi kuat. Demikian digambarkan Hindustan Times.

Pada usia 14 tahun, Devi jatuh cinta kepada Maharaja Jaipur dan menikah sebagai istri ketiga. Kehidupannya menjadi lebih mewah kendati harus memenuhi sejumlah larangan bagi kaum perempuan bangsawan India, termasuk periode purdah atau dipingit.

Dari situ, dia berjuang agar perempuan diberi lebih banyak kebebasan. Tahun 1943, Devi membuka Sekolah Perempuan Gayatri Devi, yang hingga kini masih menjadi salah satu sekolah terbaik di India.

Setelah wafatnya sang suami tahun 1970, Devi kian aktif dalam kehidupan sosial. Waktunya terbagi antara musim panas di London dan musim dingin di India hingga jatuh sakit beberapa pekan lalu.

Jenazah Devi disemayamkan di City Palace di Jaipur, Kamis (30/7), dan akan dikremasi. (afp/fro)

Senin, 13 Juli 2009

La Toya: Michael Jackson "Dibunuh"

AP PHOTO
La Toya Jackson

Senin, 13 Juli 2009 | 04:24 WIB

London, Minggu - La Toya Jackson (53), saudari mendiang Raja Musik Pop, Michael Jackson, menuding bahwa saudaranya dibunuh oleh sekumpulan pengikut yang tamak. La Toya mengungkapkan soal kematian adiknya dan masa-masa sesudahnya kepada surat kabar Inggris, The Mail, dan mingguan News of the World, Minggu (12/7).

”Saya yakin Michael dibunuh. Saya merasakannya sejak awal,” ujar La Toya.

”Tak hanya satu orang yang terlibat, tetapi lebih pada persekongkolan orang-orang. Dia dikelilingi lingkaran (orang-orang) jahat,” katanya.

Michael, lanjut La Toya, adalah orang yang lembut hati, pendiam, dan amat penyayang sehingga orang-orang mengambil keuntungan darinya.

”Kurang dari satu bulan yang lalu saya mengatakan bahwa Michael akan meninggal sebelum pertunjukannya di London karena dia dikelilingi orang-orang yang tidak memiliki ketertarikan yang sama di hati mereka,” tuturnya.

La Toya mengatakan, dialah yang meminta dilakukan otopsi privat terhadap jenazah Jackson. Otopsi pertama oleh kantor koroner Los Angeles belum bisa mengungkap penyebab kematian Raja Musik Pop itu pada 25 Juni lalu.

”Michael berharga lebih dari satu miliar dollar AS. Saat seseorang berharga sebanyak itu, selalu ada orang tamak di sekelilingnya,” kata La Toya.

”Saya bilang kepada keluarga saya bulan lalu, ´Dia (Michael) tidak akan pernah sampai di London´. Dia lebih berharga saat mati daripada hidup,” lanjutnya.

Bayang-bayang

La Toya menuduh sebuah kelompok ”bayang-bayang” yang memutus saudaranya itu dari keluarga dan teman-temannya dan memaksa dia untuk menggelar 50 konser kembalinya sang bintang bertajuk ”This Is It” di O2 Arena di London. Konser itu sedianya dimulai pada 13 Juli ini.

Mereka melihat Jackson seperti ”sapi perah”, kata La Toya, dan membuat dia bergantung pada obat-obatan.

”Saya tidak akan berhenti sampai saya menemukan siapa yang bertanggung jawab. Mengapa mereka menjauhkan keluarganya? Ini bukan soal uang. Saya ingin keadilan bagi Michael. Saya tidak akan istirahat sampai saya tahu apa dan siapa yang membunuh saudara saya,” ujarnya.

Soal saat-saat sekitar kematian Jackson, La Toya menuturkan, Jackson ditemukan di ruang tidur dokter pribadinya, Conrad Murray. ”Michael berjalan dari kamarnya ke kamar dokter Murray. Apa yang terjadi di sana, kita tidak tahu,” ujarnya.

Dia tengah mengendarai mobil saat ibunya, Katherine, berteriak di telepon, ”Dia meninggal!”

”Saya hampir mengalami kecelakaan. Kaki saya lemas. Mereka membawa saya ke tempat di mana Michael dibawa. Ibu menangis, anak-anak Michael menangis,” ujarnye mengenang.

Dia juga mengaku bahwa sejumlah perhiasan hilang dari rumah Michael. Tidak ada uang tunai ditemukan meskipun biasanya Michael secara teratur menyimpan sekitar 1 juta dollar AS di rumah itu.

Mengenai pemakaman Jackson, La Toya mengatakan, saudaranya pasti tidak akan dimakamkan di Neverland, lahan peternakan luas milik sang bintang di utara Los Angeles.

Dia menambahkan, otak Jackson, yang diambil dari tubuhnya untuk otopsi dan uji racun, telah dikembalikan ke jenazah Jackson. Keluarga Jackson pernah menyatakan bahwa Raja Musik Pop itu tidak akan dimakamkan tanpa otaknya.

La Toya mengenang salah satu impian Jackson yang ingin berhenti dari dunia musik dan ingin menjadi sutradara film. ”Film pertama yang akan disutradarainya adalah sebuah film horor berjudul Thriller,” tuturnya.

Thriller adalah juga salah satu judul album Jackson.

”´This Is It´ benar-benar sebuah akhir. Dia tidak ingin pentas lagi,” kata La Toya.

Kini, keluarga Jackson tengah menunggu surat wasiat terbaru Jackson, yang diperbarui setiap lima tahun, pada tahun 2007. Surat wasiat yang diungkapkan dibuat tahun 2002. (AFP/FRO)

PROFIL Rebiya, Ibu Pejuang Uighur

AP PHOTO
Rebiya Kadeer


Tokoh Uighur di pengasingan sering dituduh sebagai motor penggerak kerusuhan di dalam negeri China, tidak terkecuali Rebiya Khadeer. Pemerintah China menuduh Rebiya sebagai dalang di balik kerusuhan di Urumqi, ibu kota Provinsi Xinjiang, pekan lalu, bahkan ketika Rebiya berjarak ribuan kilometer dari Urumqi.

Rebiya lahir 21 Januari 1947. Dia merupakan aktivis politik dan perempuan pebisnis tangguh dari Provinsi Xinjiang. Dia ditangkap Pemerintah China pada 1999. Rebiya juga dikenal sebagai pegiat hak asasi manusia dan sering disebut ”pemimpin” rakyat Uighur.

Pemerintah China menangkapnya dengan tuduhan membocorkan rahasia negara kepada pihak asing. Dia bertemu dengan anggota Kongres AS. Pemerintah China pun berang.

Selain itu, dia juga mengirimkan kliping surat kabar kepada suaminya, Sidik Rouzi, yang tinggal di AS dan terus aktif memprotes tindakan pemerintah pusat terhadap masyarakat Uighur.

Atas kesalahan itu, Rebiya dijatuhi hukuman delapan tahun penjara pada Maret 2000. Pada awal 2004 Pemerintah China mengurangi hukumannya satu tahun.

Pemerintah AS dan kelompok hak asasi manusia di segala penjuru dunia menekan Pemerintah China untuk membebaskannya. Dia dilepaskan pada 14 Maret 2005. Rebiya lalu pergi ke Virginia Utara untuk bergabung dengan keluarganya yang sudah terlebih dahulu tinggal di sana. Dua anak lelakinya masih tetap ditahan di penjara, di China.

Perjuangan Rebiya tidak terlepas dari sejarah hubungan Xinjiang dengan pemerintah pusat. Sejak akhir 1980-an, kebijakan pemerintah dan faktor lain membuat kesenjangan etnis di Uighur yang memiliki status daerah otonomi. Dalam beberapa tahun, ribuan orang menjadi korban kekerasan hak asasi manusia, perlakuan tidak adil, dan lainnya.

Rebiya lahir dalam keluarga miskin, tetapi dapat menapaki kariernya dan sukses sebagai pengusaha. Usahanya dimulai dari jasa binatu dan terus berkembang menggurita hingga akhirnya dia memiliki perusahaan dagang dan toko serba ada yang sangat besar di Xinjiang.

Banyak korban tewas

Sebagai pengusaha sukses, Rebiya juga melaksanakan berbagai pelayanan sosial melalui yayasannya. Kegiatan yayasan itu membantu perempuan Uighur memulai bisnis sendiri, seperti yang telah dia lakukan. Sebenarnya, aktivitas sosial Rebiya ini juga mendapat penghargaan dari Pemerintah China. Dia ditunjuk sebagai anggota Kongres Konsultatif Politik dan anggota delegasi China pada Konferensi Perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1995.

Pada awalnya, sepak terjang ibu dari 11 anak (dari dua perkawinan) ini bertujuan mengubah keadaan masyarakat Uighur dengan bekerja pada sistem yang telah digariskan pemerintah pusat. Dia berupaya membujuk para petinggi China, termasuk presiden, untuk mengubah pendekatan mereka yang keras terhadap rakyat Uighur.

Namun, pemerintah pusat kemudian menganggap Rebiya terlalu banyak mengkritik dan merupakan ancaman. Sebaliknya, rakyat Uighur menganggapnya sebagai ibu yang selalu memperjuangkan nasib mereka agar berubah.

Di Washington, AS, Jumat (10/1), Rebiya prihatin. ”Menurut informasi tak resmi, korban tewas mencapai 3.000 orang. Aparat bertindak berlebihan. Korban tewas bukan saja di Urumqi, tetapi juga di seantero Xinjiang,” katanya. (AP/AFP/JOE)

Minggu, 12 Juli 2009

Persona "Passion" Meuthia Ganie-Rochman

persona
"Passion" Meuthia Ganie-Rochman

Minggu, 12 Juli 2009 | 03:42 WIB

Maria Hartiningsih

Orang baik saja tak cukup untuk membawa perbaikan berarti bagi pemajuan bermasyarakat dan bernegara kalau sistem untuk menghentikan tawar-menawar politik tidak terbangun dengan baik melalui serangkaian norma, aturan, dan hukum yang diterapkan secara ketat. Begitu diyakini Dr Meuthia Ganie-Rochman.

Menurut ahli sosiologi organisasi dari Universitas Indonesia ini, sistem di lembaga legislatif saat ini membuat pemerintahan dari presiden terpilih mana pun harus benar-benar kuat dan punya political cunning, yaitu cerdik secara politik untuk menghentikan tawar-menawar politik.

”Untuk melakukan perubahan, dibutuhkan dukungan dari kekuatan di dalam masyarakat,” ujar Meuthia yang ditemui di Jakarta, pekan lalu. ”Karena itu, arenanya harus dibuka.”

Arena itu, misalnya, perbaikan pelayanan publik yang langsung menyentuh persoalan paling riil dalam masyarakat, seperti pembuatan kartu tanda penduduk dan pelayanan kesehatan.

Kalau birokrasi di arena itu dibenahi, dukungan akan datang. ”Itu akan sangat mengurangi tekanan politik di belakang layar,” lanjut Meuthia, yang ditemui pekan lalu.

Alternatif lain adalah pembaruan kelembagaan dan membuka komunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat. Ini penting untuk membangkitkan pertukaran argumen secara bertanggung jawab menuju pada konsensus pemikiran terbaik.

”Artinya, ada semangat di masyarakat untuk terlibat memikirkan secara bersama suatu sistem yang lebih baik,” lanjut Meuthia. ”Komunikasi dibuka untuk menyerap ide politik terbaik, sekaligus dukungan yang lebih luas sehingga arena gelap yang belum terlihat akan tertangani, bisa jauh berkurang.”

Meuthia menilai, pemerintahan kemarin belum mampu mengambil strategi itu dan tidak tahu cara membuka dukungan.

”Meski di atas baik, tetapi tak bisa melakukan perubahan sistem sampai ke bawah dan kadang dia dijegal, perubahan tak akan terjadi. Padahal, perubahan itu sangat penting untuk menghadapi para politisi, yang tak terlihat akan lebih terkontrol dan lebih akuntabel dalam membuat kebijakan publik.”

Sepanjang lima tahun kemarin, Meuthia mengamati, kebijakan yang diproduksi Dewan Perwakilan Rakyat, kalau tidak merugikan, tak jelas arahnya untuk perbaikan kesejahteraan. Argumentasinya tidak bermutu dan perangkat penunjang komunikasi dengan rakyat sangat lemah. Banyak peraturan dihasilkan tanpa melalui pembahasan yang terbuka.

Persepsi tentang ”rakyat”

Ilmuwan yang sangat teliti menyikapi diksi itu menelisik pemaknaan kata ”rakyat” oleh para capres melalui artikelnya dalam suasana pemilu putaran kedua tahun 2004.

Dari program-program yang ditawarkan, Meuthia membaca persepsi para capres tentang ”rakyat” sebatas pihak yang harus dipenuhi kebutuhannya. Rakyat sebagai subyek dalam kerangka yang ditawarkan, menghilang di keriuhan.

Rakyat tidak digambarkan sebagai sesuatu yang potensial ikut melakukan perbaikan melalui jaringan sosialnya, gagasan moralnya, atau organisasinya. Persoalan rakyat seolah bukan persoalan peradaban dan keadaban terkait dengan kemampuan suatu bangsa untuk ikut dalam kehidupan global dan kemampuan bersosial membangun kemaslahatan bersama (Kompas, 2 september 2004)

”Sampai sekarang persepsinya masih sama, malah makin kacau,” ujar Meuthia, yang juga kritis mengamati bagaimana kata ”rakyat” menjadi seperti mantra dalam kampanye pemilihan para calon anggota legislatif.

Maksudnya?

Program bantuan langsung tunai (BLT) tidak membuat keadaan rakyat lebih baik. Tak ada nilai tambah untuk peningkatan kapasitas sosial dari suatu bantuan program sosial. Bantuan semacam itu juga cenderung mendorong orang melakukan manipulasi agar mendapat BLT. Persoalannya bukan hanya soal membantu orang miskin, tetapi juga bagaimana menciptakan lapangan kerja lebih luas supaya mereka bisa bekerja dan bagaimana kapasitas ekonomi rakyat diperkuat.

Kadang memang tercapai konsensus atas kebijakan tertentu yang tak bisa ditolak, seperti alokasi dana pemerintah untuk pendidikan dasar sembilan tahun. Kebijakan itu sebenarnya jauh dari kebutuhan suatu bangsa untuk melakukan perbaikan. Yang dibutuhkan adalah bagaimana sistem pendidikan diarahkan untuk memecahkan masalah-masalah kita sekarang; kapasitas manusia macam apa yang mau dihasilkan, apakah lewat pendidikan formal atau apa, yang jelas bukan sekadar alokasi dana.

Orang miskin menghadapi ketidakpastian yang tinggi akan nasib mereka. Mereka adalah sasaran premanisme dan organized crime. Mengurangi kemiskinan tak cukup dengan BLT dan pendidikan dasar sembilan tahun. Harus dilakukan perubahan dasar-dasar institusional organisasi masyarakat kita dan itu terkait dengan kebijakan ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain-lain. Belum ada kebijakan yang semendalam itu karena pemerintah terlalu diganggu oleh permainan politik di arena-arena itu.

Tak ada kemajuan

Meuthia yang melakukan penelitian selama bertahun-tahun mengenai kondisi organisasi masyarakat sipil di berbagai wilayah di Indonesia menyimpulkan, masyarakat sipil yang sehat harus terdiri dari organisasi-organisasi (formal dan informal) yang berfungsi mengolah tantangan dan persoalan dalam masyarakat sehingga dapat menghasilkan gagasan tentang solusi, norma, dan nilai baru. Selain itu, juga menjadi jembatan atas konflik dan tensions dalam masyarakat dan menjadi jembatan yang efektif sebagai komunikator langsung untuk disalurkan dalam saluran pengambilan kebijakan publik.

”Arah masyarakat sipil, bagaimanapun bisa dipengaruhi lembaga negara atau kekuatan lain dalam masyarakat, seperti parpol dan kelompok bisnis,” ujar Meuthia.

Institusi negara seharusnya memperkuat masyarakat sipil, misalnya dengan membuat kebijakan yang mengurangi ketimpangan, memperkuat perekonomian rakyat, dan mengembangkan teknologi tepat guna. Dengan itu, masyarakat sipil dapat memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan inovasi.

Negara harus memberikan keamanan dalam arti luas terhadap berbagai kelompok sehingga energi dan sumber daya kelompok masyarakat tak harus dihabiskan untuk mempertahankan keamanan, menjaga identitas, dan lain-lain. Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) harus lebih transformatif dan mendukung organisasi masyarakat, misalnya dalam gerakan bersama melawan korupsi.

Bagaimana kemajuan masyarakat sipil kita terkait pemilu kemarin?

Belum ada kemajuan, dalam arti bertanggung jawab sebagai warga negara yang ikut memikirkan berbagai hal di luar diri kita. Warga negara yang bertanggung jawab tak sekadar lahir dari gagasan menjadi orang baik. Banyak orang dengan niat baik tak bisa menerjemahkan gagasan itu sehingga akhirnya menjadi pragmatis lagi. Ini terjadi di semua level.

Saya pikir dan ini passion saya, orang harus menyadari kelemahan dalam organisasi-organisasi masyarakat kita, termasuk bisnis dan birokrasi pemerintah, dan mulai memperbaikinya, dengan mengembangkan pengetahuan baru dan inovatif sesuai keberagaman masyarakat Indonesia.

Semua gagasan, pengaturan sumber daya, niat baik, solidaritas, dan trust harus ada normanya dalam kehidupan sehari- hari. Norma itu menjadi landasan aturan main yang dibuat bersama. Dengan cara itu, sedikit demi sedikit bisa terjadi peningkatan, misalnya dalam pengelolaan solidaritas sosial. Trust tak bisa dibentuk dari angan-angan, tetapi harus dibangun dari aturan main yang ditetapkan bersama dan harus terus diuji untuk menjaga kekonsistenan karena kita ini manusia biasa.

Kalau tak ada aturan main untuk saling menghormati dan membantu orang lain agar kinerjanya dalam kehidupan sosial menjadi lebih baik, niat menjadi orang baik hanya berhenti pada angan-angan. Organisasi sosial yang punya berpengaruh besar dalam masyarakat sangat bertanggung jawab dalam pembaruan masyarakat sipil. Sayangnya, pola komunikasi dan pengambilan keputusan organisasi- organisasi tua itu masih terikat pada pola-pola lama sehingga tidak responsif terhadap persoalan-persoalan kontemporer dalam masyarakat.


Jejaring Kesalingterkaitan



Pilihan-pilihan dalam hidup senantiasa berakar pada pengalaman panjang. Pun pada Meuthia Ganie-Rochman. Dia tumbuh dalam keluarga yang mengajarinya melihat bagaimana struktur sosial membangun pembedaan dan perbedaan di masyarakat.

”Kalau sejak dini, anak dibimbing untuk peka pada kehidupan di sekitarnya, melalui buku, film, dan kegiatan apa pun, dia akan belajar tentang kesalingterkaitannya dengan orang lain, juga lingkungan, dan berbagai dimensi kehidupan sehingga dia peduli dan tak mudah menghakimi orang lain,” ujar anak kedua dari lima bersaudara itu.

Sejak kecil, Meuthia menyadari bahwa setiap orang memiliki sisi baik dan buruk. ”Kita hidup dengan itu. Dari yang buruk, manusia mengenali kebaikan. Tugas kita adalah mengembangkan sisi baik sehingga menghasilkan yang terbaik dalam hidup untuk diri kita dan orang lain.”

Pengalaman mengantarkan Meuthia pada keyakinan akan jaring kehidupan, yang mengharuskan setiap orang maupun kelompok saling peduli agar fungsi-fungsi positif berkembang. Kebaikan bersama tak mungkin tercapai dalam kotak-kotak perbedaan.

”Maka, pendidikan sejak kecil idealnya berada dalam kerangka meletakkan diri berkaitan dengan fungsi kebaikan orang lain supaya peduli kalau orang lain mempunyai fungsi positif yang harus dibantu,” tutur Meuthia.

Kesadaran

Kesadaran akan kesalingterkaitan akan berimbas pada pengembangan ilmu pengetahuan yang terfokus pada keterhubungan antara satu komponen dan komponen lain dalam masyarakat.

Itulah filosofi yang melandasi passion dalam dirinya untuk menyebarkan gagasan tentang organisasi yang baik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

”Kita harus terdorong untuk tak hanya memikirkan organisasi sendiri, tetapi dalam kaitannya dengan organisasi lain supaya terjadi pemanfaatan yang lebih baik dan sumber-sumber daya material dan pun modal sosial,” kata Meuthia.

Yang terjadi sekarang justru sebaliknya. ”Ego yang begitu besar membuat orang maupun organisasi berebut sumber daya dan berkompetisi secara tidak sehat,” lanjut Meuthia. ”Dengan situasi seperti itu, perbaikan masyarakat adalah ilusi.”

Meuthia meyakini, kesadaran akan kesalingterkaitan akan mengantarkan pada penghormatan kepada manusia lain dan kesadaran akan suatu proses pencapaian; bukan hasil akhir, tetapi cara mencapainya.

”Semua itu bukan hanya dalam pemikiran, tetapi juga terumuskan cara-caranya dengan baik dalam norma, aturan, dan hukum agar energi kita tidak terserap pada penonjolan keberhasilan material yang sering kali tidak dicapai dengan cara yang baik.” (MH)

Jumat, 10 Juli 2009

Roger "The Greatest" Federer

Oleh Anton Sanjoyo

Roger Federer adalah sederet rekor. Dalam namanya yang biasa disingkat RF, ada 15 gelar grand slam, 77 games laga final, rating televisi tertinggi, dan sejumlah catatan menakjubkan lain. Pete Sampras, legenda tenis Amerika Serikat yang rekor perolehan grand slam-nya dipatahkan Federer di All England Club hari Minggu lalu, tak ragu berujar, ”Ia (Federer) adalah yang terbesar sepanjang sejarah tenis.”

Perdebatan tentang siapa the greatest dalam sejarah tenis praktis berhenti di All England Club saat Federer mengangkat trofi Wimbledon-nya yang keenam. Sebelumnya, perdebatan tentang siapa yang terbesar selalu menyeruak, terutama membandingkan pemain-pemain beda generasi: Rod Laver, Bill Tilden, Sampras, atau Federer. Namun jelas, gelar ke-14 di Roland Garros dan ke-15 di Wimbledon menghentikan semuanya.

Namun, Federer menjadi yang terbesar bukan sekadar karena sederet gelar, bukan pula karena catatan dan rekornya. Federer yang sejak tiga tahun lalu sudah disebut sebagai the legend in the making ini menjadi yang terbesar karena tak pernah sedetik pun kehilangan hasrat dan passion untuk menjadi yang terbaik. Ia juga menjadi sejarah karena punya rivalitas indah dengan Rafael Nadal.

Tahun lalu, selepas dipermalukan Nadal di Roland Garros, banyak orang menduga karier hebat Federer akan selesai. Lagi pula, apa lagi yang harus dikejar? Dengan total prize money mencapai hampir 50 juta dollar AS, usia menjelang 28 tahun, dan menantikan kelahiran anak pertamanya musim panas ini, apa lagi yang ingin diraih Federer? Bahkan, Federer pun tak mampu menjawabnya. Petenis yang menguasai enam bahasa Eropa itu hanya berujar, ”Saat terbangun saya tersadar, saya melakukannya lagi (menjadi juara),” ujar Federer yang tertidur selama dua jam setelah laga 4 jam 16 menit yang melelahkan melawan Andy Roddick.

Faktor Rafael Nadal

Federer memang menorehkan sejarah di Wimbledon 2009 dengan mematahkan rekor Sampras. Namun, semuanya bermula di Madrid Masters, medio April lalu. Di turnamen pemanasan menjelang Perancis Terbuka itu, Federer mengalahkan ”Raja Tanah Liat” Nadal di laga puncak.

Menjadi juara seri Masters adalah hal biasa bagi Federer, tetapi mengalahkan Nadal di lapangan clay menjelang Roland Garros adalah luar biasa. Selepas itu, Federer melenggang menjadi juara dan mengakhiri semua mimpi buruknya tentang Perancis Terbuka. Sepanjang kariernya, Perancis terbuka memang menjadi beban hidupnya. Namun, beban itu tak seberat rivalitasnya dengan Nadal. Federer takluk di tangan Nadal dalam tiga final grand slam terakhir yang mempertemukan keduanya.

Nadal ada dan menjadi ”hantu” dalam pikiran Federer, bukan sekadar lawan di seberang jaring. Vic Baden, seorang pelatih tenis yang juga psikolog, punya penemuan menarik tentang ini.

Mengamati rekaman pertandingan Federer, layar demi layar, Baden menemukan bahwa melawan pemain lain, mata Federer terbuka lebar, sangat fokus dengan gerakan bibir mengarah ke depan. Namun, melawan Nadal—dan hanya melawan Nadal—mata Federer redup, dan segala hal di wajah Federer tampak kelu. Bukan hanya saat laga, bahasa tubuh Federer terlihat gamang bahkan saat pemanasan. ”Nadal tidak hanya berada di kepala Federer, bahkan di wajahnya,” papar Baden.

Di final Madrid, seluruh bahasa tubuh Federer berubah drastis. Ia lantas mengakhiri 18 bulan tanpa menang lawan Nadal, sekaligus menyudahi 33 kemenangan beruntun petenis Spanyol itu di lapangan tanah liat. Federer membuka lebar pintunya untuk mencatat sejarah menjadi yang terbesar. Persaingannya dengan Nadal-lah yang merevitalisasi spirit dan passion Federer.

Nadal memang tak tampil di Wimbledon 2009. Cedera lutut memaksa sang juara bertahan mundur sebelum kejuaraan. Namun, tentu itu tak mengurangi nilai sejarah yang dicatat Federer yang tahun lalu meneteskan air matanya setelah kalah melawan Nadal dalam final lima set.

Di tempat sama, lapangan utama All England Club tahun lalu, Federer mengalami kondisi yang nyaris serupa. Tahun lalu, ia selamat dari match point di set keempat, tetapi terpeleset 7-9 di tie game set penentuan melawan Nadal. Tahun ini, Federer selamat dari set point Roddick di tie break set kedua, untuk kemudian menang 16-14 di tie game set kelima.

”Saat posisi 13-13 di set penentuan, saya hanya berpikir positif, saya hanya beberapa menit menjelang kemenangan. Saya percaya mampu melakukannya,” ujar Federer.

Kepercayaan diri juga yang terlihat saat Federer tertinggal 2-6 di tie break set kedua. Sebagian orang mengira titik balik Federer adalah saat Roddick melakukan kesalahan fatal dengan backhand volley-nya saat unggul 6-5.

Namun, jauh sebelum itu, saat Roddick masih unggul 6-2 dan tinggal satu poin untuk unggul dua set, Federer menunjukkan kelasnya sebagai yang terbesar. Roddick melepas pukulan forehand dahsyat. Bola meluncur deras tepat di depan kaki Federer di sisi backhand. Dengan instingnya yang luar biasa, Federer melakukan half volley, menyilangkan bola ke wilayah tak bertuan di sisi permainan Roddick. Selepas itu, Federer merebut lima poin beruntun untuk merebut set kedua.

Sang Nemesis Nadal memang tak tampil. Namun, Roddick memberikan perlawanan terbaik sepanjang hidupnya. Itulah mengapa Federer tetap menjadi yang terbesar sepanjang sejarah tenis karena ia tetap akan merebut grand slam-nya yang ke-16, 17, bahkan yang ke-18.

MENGENANG RAJA MUSIK POP Michael Jackson, "Daddy" yang Terbaik...

GETTY IMAGES/KEVORK DJANSEZIAN
Paris Katherine Jackson, putri Michael Jackson, berbicara tentang ayahnya pada acara penghormatan terakhir di Staples Cent e r, Los Angel e s, California, Selasa (7/7). Ia dikelilingi oleh keluarga besar Jackson, Marlon, Tito, Jermaine, Randy, Rebbie, dan Janet.

Kamis, 9 Juli 2009 | 04:45 WIB

Suasana hening penuh haru menyelimuti Staples Center, Los Angeles, California, Amerika Serikat, ketika putri mendiang Michael Jackson, Paris Katherine Jackson (11), mengucapkan salam perpisahan kepada ayah tercintanya, Selasa (7/7) pagi. ”Saya hanya mau bilang...,” kata Paris dengan suara lirih berusaha menahan tangis. Di sampingnya berdiri tantenya, Janet Jackson. ”Ayo sayang, bicara saja,” kata Janet sambil mengusap pelan rambut panjang Paris.

Paris kemudian memegang tengkuknya dan mikrofon. ”Sejak saya lahir, Daddy adalah ayah yang terbaik yang tidak pernah bisa kalian bayangkan. Saya hanya ingin bilang, saya mencintainya... amat sangat,” kata Paris yang segera menghambur ke pelukan Janet dan menangis.

Seketika itu dunia tersentak. Jackson bukan hanya Raja Musik Pop atau ”Wacko Jacko”, julukan negatif yang kerap diberikan media tabloid. Terlepas dari segala anggapan negatif dan persoalan yang melingkupi Jackson, seperti tuduhan pelecehan seksual terhadap anak, ia tetap seorang ”daddy”.

Paris yang mengenakan rok hitam semula diam menunduk mendengarkan paman-pamannya, Jermaine dan Marlon Jackson, mengucapkan salam perpisahan. Tiba-tiba Paris mengutarakan keinginannya untuk ikut bicara kepada Janet. Untuk pertama kalinya, Paris dan dua putra Jackson—Michael Joseph Jr atau kerap dipanggil Prince Michael (12) dan Prince Michael II atau Blanket (7)—muncul di hadapan publik tanpa selubung.

Untuk melindungi ketiga anaknya dari sorotan media dan kejaran paparazi, Jackson kerap menutup wajah anak-anaknya dengan kain atau topeng. Jackson tidak mau anak-anaknya menjadi konsumsi media seperti yang ia alami sejak masih berusia lima tahun.

Kini selubung Prince Michael, Paris, dan Blanket terbuka di hadapan ribuan orang di Staples Center dan masyarakat dunia. Karena duduk di deretan kursi paling depan, ketiga anak Jackson itu disorot terus-menerus oleh kamera. Prince Michael sibuk dengan permen karet di mulutnya dan Blanket memeluk erat boneka Michael Jackson. Ketiga anak itu duduk diapit kakek-neneknya, Joe dan Katherine Jackson, tepat di depan peti jenazah emas 14 karat.

Pakar media di Syracuse University, Robert Thompson, menilai Paris sudah ”terbebas” dari segala selubung yang harus dikenakan. ”Bagi banyak orang, ini menggembirakan. Namun, ketika ia mulai bicara, kita semua diingatkan bahwa ia telah kehilangan ayahnya,” ujarnya.

Tetap tegar

Paris beberapa kali mengusap air matanya sepanjang prosesi mengenang ayahnya yang berlangsung sekitar dua jam. Namun, Paris sontak berdiri dan bertepuk tangan ketika pejuang hak-hak sipil Al Sharpton menyampaikan pesan kepada ketiga anak Jackson. ”Tidak ada yang aneh dari ayahmu. Yang aneh justru lingkungan yang dihadapi ayahmu. Namun, ia tetap menghadapinya,” kata Sharpton dengan suara tinggi.

Kepada stasiun TV CNN, Sharpton menjelaskan lingkungan ia maksud adalah ketidakadilan sosial yang harus dihadapi Jackson, seperti melawan ketidakadilan ras dan hambatan sosial lain di industri musik. ”Penting menjelaskan konteks masalah yang dihadapi Jackson kepada ketiga anaknya dan apa yang ia lakukan. Suatu hari nanti tiga anak itu akan ingat pemakaman ayahnya ini. Saya ingin mereka memahami konteks situasi yang dihadapi Jackson,” ujarnya.

Sharpton juga menegaskan pentingnya proses perjalanan Jackson hingga sukses di dunia musik, bukan hanya menyoroti persoalan yang melingkupinya. ”Setiap kali didorong hingga jatuh, ia bangkit lagi. Michael tak pernah putus asa,” ujarnya.

Sharpton juga mengingatkan jasa-jasa Jackson menyingkap ”tirai warna” melalui pesan-pesan cinta kasih dan perdamaian dalam lagu-lagunya. ”Michael berhasil menyatukan kulit hitam dan putih serta Asia dan Latin,” kata Sharpton.

Acara mengenang Jackson telah berakhir meski lokasi makam Jackson belum diketahui. Namun, Prince Michael, Paris, dan Blanket harus menghadapi persoalan baru, yakni ”pertarungan” hak asuh antara Katherine Jackson dan Debbie Rowe yang menginginkan Prince Michael dan Paris kembali ke pangkuannya.

Rowe mengaku masalah hak asuh kedua anaknya ini belum selesai. Rowe yang menikah dengan Jackson (1996-1999) adalah ibu biologis Prince Michael dan Paris. Sementara ibu kandung Blanket sampai sekarang belum diketahui identitasnya.(REUTERS/AFP/AP/LUK)

Selasa, 07 Juli 2009

Paris Tak Ingin Serius dengan Ronaldo




Paris Hilton (Reuters)
New York -



Hubungan antara Cristiano Ronaldo-Paris Hilton ternyata tak akan berumur lama. Paris sudah berjanji bahwa hubungan dengan Ronaldo tidak akan pernah ke jenjang yang lebih serius. Ada apa?



Paris Hilton, selama ini dekat dengan kehidupan yang penuh glamor. Pria-pria rupawan dan tajir, pernah menjalin hubungan khusus dengannya.



Tak terkecuali Ronaldo. Pemain Real Madrid bernomor punggung sembilan ini sudah pasti masuk dalam kategori Paris. Kedua insan berstatus selebritis ini sempat berkencan pada bulan lalu. Keduanya sempat digosipkan memiliki hubungan khusus.



Namun bila ditanya soal apakah hubungan itu akan berlanjut menjadi sesuatu yang serius, Paris menepisnya. "Orang kebanyakan mengatakan kami adalah pasangan Posh dan Becks jilid dua. Namun bahwa kami adalah Posh-Becks jilid dua, itu tak benar," kata Paris merujuk pada pasangan Victoria dan David Beckham.



"Saya tidak ingin berkencan dengan Ronaldo karena saya tidak punya rencana untuk menjadi pasangan pesepakbola," ujar pesohor yang dikenal doyan party itu, kepada People.



Selebritis berusia 28 tahun ini menyatakan alasan di balik keenggananya menjadi bagian dari WAG's. "Beberapa wanita akan menjadi terkenal bila menjadi pasangan pesepakbola. Saya tidak ingin mendompleng ketenaran seperti mereka," tutupnya..



Jadi selama ini status kalian apa dong? TTM (Teman Tapi Mesra) atau HTS (Hubungan Tanpa Status), atau … ?



( nar / a2s )

Senin, 06 Juli 2009

IRAK Kisah Saddam di Akhir Hidupnya

Senin, 6 Juli 2009 | 03:31 WIB

Setelah invasi di Irak pada 19 Maret 2003, Saddam Hussein bertahan di Baghdad hingga dia melihat ibu kota Irak itu segera jatuh. Beberapa bulan kemudian dia kepergok bersembunyi di sebuah ladang yang sama, tempat pelariannya tahun 1959, setelah turut ambil bagian dalam upaya pembunuhan terhadap PM Irak Abdul-Karim Qassim.

Wawancara Biro Investigasi Federal AS (FBI) berlangsung saat dia berada dalam tahanan tentara AS. Dari sini muncul cerita Saddam dalam pelarian, sebelum dan setelah dijungkalkan.

Dokumen itu juga mengkonfirmasikan laporan sebelumnya bahwa Saddam sengaja membuat dunia percaya bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, salah satu faktor pendorong invasi AS. Kepemilikan senjata pemusnah massal itu sengaja dia tiupkan untuk membuat Iran yakin Irak memiliki senjata kuat. Saat itu Irak beranggapan Iran lebih berbahaya ketimbang AS.

Saddam ditangkap tentara AS pada 13 Desember 2003, delapan bulan setelah invasi. Pengadilan Irak menuduhnya berbuat kejahatan terhadap kemanusiaan dan dihukum gantung pada akhir 2006.

Saddam mengatakan, dia tidak pernah berada di sekitar Baghdad saat bom berdentuman di Baghdad. Saat itu tentara AS yakin Saddam ada di sekitar Baghdad.

Saddam terakhir kali tampil di depan publik di Azamiyah pada 9 April, sehari sebelum patung perunggu bergambarkan dirinya dijungkalkan di pusat kota Baghdad.

Saddam mengatakan sempat kembali ke Baghdad sekitar 10 atau 11 Aril 2003 ketika kota itu hendak jatuh. Saat itu dia bertemu dengan para pemimpin Irak dan mengatakan, ”Kita berjuang secara tersembunyi.”

Namun, tak lama kemudian Saddam meninggalkan Baghdad. Dia mengurangi tenaga pengamanan pribadi untuk mengelabui tentara AS yang memburunya. Kepada penjaganya, dia mengatakan mereka telah menunaikan tugas dengan bagus.

Ini semua terungkap dalam dokumen lebih dari 100 halaman ditulis George Piro, seorang agen FBI. Piro mewawancarai Saddam setelah Saddam ditemukan dalam sebuah lubang di sebuah lahan pertanian di Tikrit, kota asalnya, yang berjarak sekitar 80 km di utara Baghdad.

Wawancara itu tersedia untuk publik pada Rabu, 1 Juli, lalu oleh National Security Archive.

Saddam membantah kepercayaan luas bahwa dia menggunakan orang yang mirip dengannya untuk menghindari penyergapan. ”Ini tipuan film, bukan kisah nyata,” kata Saddam.

Saddam mengatakan, dia menghindari musuh dengan menggunakan telepon hanya dua kali dalam satu dekade. Saddam terus berpindah-pindah tempat. Dia berkomunikasi dengan kerabat melalui kurir atau bertemu secara pribadi. ”Dia sangat sadar kecanggihan teknologi AS,” demikian salah satu kutipan tulisan Piro.

Dalam rangkaian wawancara antara Februari dan Juni 2004, Saddam membantah bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Hal itu sengaja ditiupkan sebelumnya untuk membuat Iran ketakutan. Iran berperang dengan Irak pada periode 1980-1988.

Meski demikian, Saddam menolak kunjungan tim PBB untuk memeriksa keberadaan senjata tersebut selama 1998-2002. Tim pemeriksa kembali berkunjung ke Irak pada November 2003 dan tetap menyimpulkan bahwa Irak tidak kooperatif. ”Demi Tuhan, jika saya punya senjata itu, saya sudah pasti menggunakannya untuk melawan AS,” kata Saddam kepada Piro.

Mantan Presiden AS, George W Bush, memutuskan untuk menginvasi Irak dengan alasan bahwa Saddam punya senjata pemusnah massal. Bush juga yakin senjata pemusnah massal itu bisa disebarkan kepada para teroris.

Alasan ini terbukti salah total, tetapi tak pernah dipertanggungjawabkan oleh Bush, ataupun Tony Blair, PM Inggris yang berkolaborasi dengan AS saat invasi.

Tak bertemu Bin Laden

Bush juga yakin Saddam merupakan orang yang dekat dengan Osama bin Laden, pemimpin Al Qaeda. Ini juga memperkukuh niat Bush menginvasi Irak. Ini pun terbukti tak benar. Saddam mengatakan sama sekali tak pernah bertemu dengan Bin Laden secara pribadi. Saddam juga mengatakan Irak sama sekali tak pernah bekerja sama dengan kelompok teroris mana pun untuk melawan AS.

Data dari The National Security Archive ini diperoleh berdasarkan Freedom of Information Act yang dimintakan The New York Daily News.

Saddam juga mengatakan bahwa Bush telah memanipulasi serangan 11 September 2001 sebagai alasan kuat untuk menginvasi Irak. Saddam mengatakan, AS telah kehilangan nalar karena 9/11, julukan terkenal bagi serangan itu.

Piro telah pernah bertutur soal wawancaranya dengan televisi CBS dalam program “60 Minutes” tahun lalu.

Kepadanya Saddam mengatakan, dia salah perhitungan dengan Bush, yang dia kira tak akan menginvasi Irak, paling-paling hanya melakukan serangan terbatas. ”Saddam mengatakan seharusnya Irak bisa bertahan dalam serangan AS kedua dengan anggapan serangan AS tidak segencar yang diduga,” kata Piro.

Saddam mengira, Iran-lah yang lebih berbahaya ketimbang AS, berdasarkan wawancara pada 11 Juni 2004.

Saddam juga bertutur soal keadaan menjelang invasi AS tahun 1991, yang didorong oleh invasi Irak ke Kuwait, negara sahabat AS. Hal ini membuat AS kukuh untuk menginvasi Irak.

Saddam mengutip peringatan Menlu AS saat itu, James A Baker III, kepada Menlu Irak Tariq Aziz pada Januari 1991. Kalimat Baker, ”Jika Irak tak memenuhi permintaan AS, kami akan membuat Anda kembali ke situasi negara terbelakang.”

Saddam mengaku pihaknyalah yang memerintahkan peluncuran rudal Scud ke Israel saat invasi AS tahun 1991. Alasan Saddam, Israel-lah yang memengaruhi AS untuk semua prahara di dunia Arab. (AP/MON)