Tokoh Uighur di pengasingan sering dituduh sebagai motor penggerak kerusuhan di dalam negeri China, tidak terkecuali Rebiya Khadeer. Pemerintah China menuduh Rebiya sebagai dalang di balik kerusuhan di Urumqi, ibu kota Provinsi Xinjiang, pekan lalu, bahkan ketika Rebiya berjarak ribuan kilometer dari Urumqi.
Rebiya lahir 21 Januari 1947. Dia merupakan aktivis politik dan perempuan pebisnis tangguh dari Provinsi Xinjiang. Dia ditangkap Pemerintah China pada 1999. Rebiya juga dikenal sebagai pegiat hak asasi manusia dan sering disebut ”pemimpin” rakyat Uighur.
Pemerintah China menangkapnya dengan tuduhan membocorkan rahasia negara kepada pihak asing. Dia bertemu dengan anggota Kongres AS. Pemerintah China pun berang.
Selain itu, dia juga mengirimkan kliping surat kabar kepada suaminya, Sidik Rouzi, yang tinggal di AS dan terus aktif memprotes tindakan pemerintah pusat terhadap masyarakat Uighur.
Atas kesalahan itu, Rebiya dijatuhi hukuman delapan tahun penjara pada Maret 2000. Pada awal 2004 Pemerintah China mengurangi hukumannya satu tahun.
Pemerintah AS dan kelompok hak asasi manusia di segala penjuru dunia menekan Pemerintah China untuk membebaskannya. Dia dilepaskan pada 14 Maret 2005. Rebiya lalu pergi ke Virginia Utara untuk bergabung dengan keluarganya yang sudah terlebih dahulu tinggal di sana. Dua anak lelakinya masih tetap ditahan di penjara, di China.
Perjuangan Rebiya tidak terlepas dari sejarah hubungan Xinjiang dengan pemerintah pusat. Sejak akhir 1980-an, kebijakan pemerintah dan faktor lain membuat kesenjangan etnis di Uighur yang memiliki status daerah otonomi. Dalam beberapa tahun, ribuan orang menjadi korban kekerasan hak asasi manusia, perlakuan tidak adil, dan lainnya.
Rebiya lahir dalam keluarga miskin, tetapi dapat menapaki kariernya dan sukses sebagai pengusaha. Usahanya dimulai dari jasa binatu dan terus berkembang menggurita hingga akhirnya dia memiliki perusahaan dagang dan toko serba ada yang sangat besar di Xinjiang.
Sebagai pengusaha sukses, Rebiya juga melaksanakan berbagai pelayanan sosial melalui yayasannya. Kegiatan yayasan itu membantu perempuan
Pada awalnya, sepak terjang ibu dari 11 anak (dari dua perkawinan) ini bertujuan mengubah keadaan masyarakat
Namun, pemerintah pusat kemudian menganggap Rebiya terlalu banyak mengkritik dan merupakan ancaman. Sebaliknya, rakyat Uighur menganggapnya sebagai ibu yang selalu memperjuangkan nasib mereka agar berubah.
Di Washington, AS, Jumat (10/1), Rebiya prihatin. ”Menurut informasi tak resmi, korban tewas mencapai 3.000 orang. Aparat bertindak berlebihan. Korban tewas bukan saja di Urumqi, tetapi juga di seantero Xinjiang,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar