Jumat, 31 Juli 2009

Malalai Joya, Perempuan Berani Mati Afganistan

Malalai Joya

Jumat, 31 Juli 2009 | 04:21 WIB

Lima kali menghadapi percobaan pembunuhan tak membuat Malalai Joya menyerah. Perempuan anggota parlemen Afganistan ini terus melawan, bahkan mengabadikan sikap perlawanannya dalam buku Raising My Voice yang tengah dipromosikan di berbagai negara. Rakaryan Sukarjaputra

Ketika mempromosikan bukunya di Inggris, Selasa (28/7), seperti ditulis The Telegraph, ia mengatakan, ”Kami tak menerima pendudukan asing. Tiga kali Pemerintah Inggris menduduki negeri kami dan menghadapi perlawanan dari rakyat.”

Terpilih sebagai anggota Wolesi (Loya) Jirga (parlemen nasional Afganistan), September 2005, sebagai wakil Provinsi Farah, Joya mengalami pahitnya masa pendudukan. Ketika Soviet menginvasi negerinya, dia (saat itu berusia 4 tahun) mengungsi keluar negeri pada 1982, dan bergabung dengan sejumlah warga Afganistan di kamp pengungsian di Iran, lalu pindah ke kamp pengungsian di perbatasan Pakistan.

Ia menyelesaikan pendidikan di Pakistan, dan mengajar kesusastraan kepada perempuan, saat berusia 19 tahun.

Ketika Soviet hengkang, Joya kembali ke negerinya pada 1998, saat Taliban berkuasa. Ia mendirikan klinik kesehatan, lalu perlahan menjadi penentang rezim Taliban.

”Saya tak tahu berapa hari lagi bisa hidup. Saya katakan kepada mereka yang mau membunuh suara saya, ’Saya siap kapan pun, di mana pun kamu menyerang. Kamu bisa memotong bunga, tetapi tak ada yang bisa menghentikan datangnya musim semi’,” tegas Joya kepada kolumnis London Independent, Johann Hari.

Tak pernah aman

Pertama kali menginjakkan kaki di Loya Jirga, Joya mengatakan, hal pertama yang dilihat adalah barisan panjang pelanggar hak asasi manusia yang pernah dikenal di negerinya. Mereka adalah para panglima perang, penjahat perang, dan fasis.

Ia melihat orang yang mengundang Osama bin Laden ke negerinya, orang yang mengenalkan aturan hukum, yang menanamkan kebencian terhadap perempuan. Banyak di antara mereka bisa masuk ke Jirga karena mengintimidasi para pemilih atau mencurangi kertas suara. Banyak juga yang masuk dengan cara mudah, ditunjuk Hamid Karzai, yang kini menjadi Presiden Afganistan.

Para panglima perang itu tak sanggup menghadapi seorang perempuan muda yang bicara kebenaran. Mereka mencemooh, menyebutnya ”wanita tunasusila” dan ”dungu”, bahkan melemparkan botol kepadanya.

”Sejak saat itu saya tak pernah aman. Bagi para fundamentalis, seorang perempuan adalah setengah seorang lelaki. Perempuan artinya memenuhi semua keinginan lelaki, menghasilkan anak-anak, dan tinggal di rumah. Mereka tak percaya perempuan bisa membuka kedok mereka di depan mata rakyat,” ungkapnya.

Berbagai bentuk serangan dihadapi Joya, mulai dari kedatangan segerombolan fundamentalis ke rumah, berteriak hendak memerkosa dan menghabisinya. Ia lalu ditempatkan dalam perlindungan pasukan bersenjata, tetapi menolak berada di bawah perlindungan tentara AS.

Gagal dengan upaya itu, usaha pembunuhan terus dilakukan dengan menggunakan penembak gelap. Namun, Sang Pencipta masih melindungi dia. ”Saya ingin para panglima perang itu tahu, saya tak takut.”

Keberanian Joya membuahkan dukungan simpati banyak rakyat. Suatu ketika seorang nenek berusia hampir 100 tahun menggunakan kursi roda reyot mendatanginya. Dia bercerita, kehilangan dua anak lelaki, satu pada masa Soviet dan satu lagi oleh kelompok fundamentalis.

Dia mengatakan kepada Joya, ”Ketika mendengar tentang kamu, saya tahu harus menemuimu. Tuhan melindungimu, sayangku.” Nenek itu memberinya cincin emas, satu-satunya barang berharga miliknya, dan mengatakan, ”Kamu harus menerima ini. Saya telah menderita sepanjang hidup. Saya hanya ingin kamu menerima pemberian ini.”

Bukan demokrasi

Sebagai salah seorang dari sejumlah kecil orang yang terpilih melalui pemilihan umum, Joya tak ragu menyatakan, demokrasi belum ada di Afganistan. Karena itu, menjelang pemilihan presiden Afganistan, 20 Agustus nanti, dia bersuara keras dan meyakini hasilnya tak akan berbeda.

Hamid Karzai yang melindungi sejumlah panglima perang dan kepala suku yang telah menindas rakyat hampir pasti kembali terpilih.

”Pemerintah asing hanya membuang uang dan darah mereka di Afganistan. Setelah pemungutan suara, hasilnya tetap ’keledai’ yang sama, dengan kursi baru,” tegasnya.

Tak sulit membayangkan, kertas suara yang dikirim sampai ke pelosok itu hanya akan diisi para penguasa perang dan orang-orangnya. Mereka tentu memilih orang yang ”bisa melindungi” mereka, dan Karzai telah menunjukkannya.

Di wilayah yang jauh dari rasa aman, perjuangan untuk sekadar memberikan suara tak sebanding dengan nyawa yang dipertaruhkan. Meski terdaftar 17 juta pemilih, rakyat yang benar-benar bisa memberikan suara secara aman dan jujur sangat kecil jumlahnya. Sisanya adalah suara fiktif untuk keuntungan calon tertentu. Ini bukanlah demokrasi.

Ia menegaskan, semua informasi kemajuan di Afganistan setelah tumbangnya Taliban hanyalah mitos. Dalam bukunya, dia mengungkapkan, kebebasan media yang digembar-gemborkan hanya jika media tak mengkritik para panglima perang dan pejabat.

”Jika kamu menulis sesuatu mengenai dia (panglima perang yang namanya disebut dalam buku Joya), hari berikutnya kamu disiksa atau dibunuh oleh aliansi panglima perang wilayah utara,” tulisnya.

Soal kebebasan bersekolah bagi perempuan di luar ibu kota Kabul pun sama. ”Hanya 5 persen anak perempuan, menurut PBB, bisa meneruskan pendidikan hingga tingkat 12 (lulus SMA),” katanya.

Demokrasi Afganistan, kata Joya, terperangkap di antara dua musuh, yakni pasukan pendudukan yang menjatuhkan bom renteng dari udara dan di darat ada pasukan panglima perang dan Taliban dengan senjata mereka.

Perjuangan Joya masih panjang. Ia terus berjuang untuk demokrasi Afganistan di luar parlemen, sejak dihukum tak boleh hadir di parlemen mulai Mei 2007.

Joya juga terus memperjuangkan kehidupan kaum perempuan di negerinya melalui Organization of Promoting Afghan Women’s Capabilities (OPAWC) di wilayah Provinsi Herat dan Farah, di barat Afganistan. (malalaijoya.com)

Biodata

• Nama: Malalai Joya • Lahir: 25 April 1978 • Keluarga: Memiliki 3 saudara laki-laki dan 6 saudara perempuan • Pekerjaan: - Anggota parlemen mewakili Provinsi Farah pada September 2005, tetapi dikenai sanksi tak boleh menghadiri persidangan selama 3 tahun sejak Mei 2007. Ia dinilai menghina anggota parlemen lainnya - Direktur Organization of Promoting Afghan Women’s Capabilities • Pencapaian: - Ia disejajarkan dengan tokoh demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi

Tidak ada komentar: