Selasa, 09 Juni 2009

Roger Federer, Terbaik Sepanjang Masa



Yulia Sapthiani

Di tengah prestasi yang tidak lagi segemilang pada tahun 2004-2007, Roger Federer menciptakan sejarah. Gelar juara yang untuk pertama kalinya dia dapatkan dari Roland Garros, Paris, Perancis, setelah mengalahkan Robin Soderling di final, Minggu (7/6). Pencapaian ini mengukuhkan dirinya sebagai petenis terbaik sepanjang masa.

Meski status petenis terbaik sepanjang masa ini sekadar pendapat yang dikemukakan para pengamat tenis, tetapi data dan fakta memang menunjukkan hal seperti itu. Federer, yang memulai kariernya sebagai petenis profesional sejak tahun 1998, sampai sekarang telah mengumpulkan 14 gelar juara grand slam.

Pencapaian Federer itu sama seperti yang diperoleh Pete Sampras. Jumlah ini merupakan yang terbanyak dari turnamen tenis dengan level paling bergengsi.

Namun, dibandingkan Sampras, prestasi Federer sebenarnya lebih istimewa. Sebanyak 14 gelar grand slam yang dikumpulkannya sejak tahun 2003 ini didapat lengkap dari empat turnamen di tiga jenis lapangan berbeda, yakni lapangan keras di Australia dan AS Terbuka, rumput (Wimbledon), dan tanah liat (Perancis Terbuka).

Adapun Sampras memiliki ”cacat” dalam prestasinya karena dia belum pernah menjadi jawara di Perancis Terbuka.

Seperti Sampras, sejumlah nama besar di dunia tenis juga tidak memiliki gelar juara selengkap Federer. Bjorn Borg yang memiliki 11 gelar grand slam, misalnya, tidak pernah bisa menjadi juara di Australia dan AS Terbuka. Demikian pula dengan enam trofi grand slam kepunyaan John McEnroe, tidak ada yang diperolehnya dari Australia dan Perancis Terbuka.

Percaya diri

Petenis terakhir yang bisa mengumpulkan secara lengkap gelar juara dari empat turnamen grand slam adalah Andre Agassi pada era 1990-an. Agassi pula yang menyerahkan trofi kepada Federer di Lapangan Philippe Chatrier, Roland Garros, hari Minggu lalu, hingga membuat Federer menitikkan air mata.

”Saya memang selalu percaya pada diri sendiri kalau suatu saat saya bisa menjadi juara di Roland Garros. Saya tidak pernah menghilangkan kepercayaan diri itu,” kata Federer yang selalu gagal di final pada tiga tahun sebelumnya karena kalah dari Rafael Nadal.

Dengan modal tersebut, Federer berhasil mematahkan keraguan banyak pihak di tengah prestasinya yang dinilai terus menurun sejak tahun 2008. Sebagai akibatnya, peringkat nomor satu dunia yang ditempati Federer selama 237 pekan sejak tahun 2004 itu berpindah ke tangan Rafael Nadal pada 18 Agustus 2008.

Hingga awal tahun 2009, prestasi Federer juga belum meyakinkan. Meski dia bisa tampil di final Australia Terbuka, untuk dua tahun berturut-turut, Federer gagal menjadi yang terbaik. Gelar di Melbourne awal tahun ini diperoleh Rafael Nadal. Adapun pada tahun lalu gelar di Melbourne tersebut didapat Novak Djokovic.

Akurasi dan emosi Federer pun mulai labil. Puncaknya ketika dia membanting raket hingga patah saat melawan Djokovic pada semifinal ATP Masters 1000 di Miami pada bulan Maret lalu.

Kejadian itu mengejutkan para pemerhati tenis karena selama ini Federer terkenal sebagai petenis yang berpenampilan tenang.

”Orang-orang berbicara kalau saya sudah kehilangan gaya permainan. Pada tingkat tertentu, pendapat mereka ada benarnya. Tetapi, hingga sekarang ini saya belum terlempar dari peringkat 10 besar dunia. Itu artinya, saya masih konsisten, terutama untuk turnamen grand slam,” kata Federer.

Federer memang tidak pernah tersisih sebelum semifinal grand slam sejak Wimbledon tahun 2005. Finalnya di Roland Garros, hari Minggu lalu, bahkan menjadi final ke-19 bagi Federer di ajang grand slam.

Pada usianya yang akan menginjak 28 tahun pada 2009 ini, Federer dinilai masih bisa menambah koleksi gelar grand slam-nya. Apalagi, jika dibandingkan dengan Andre Agassi yang masih bisa menjadi juara di Australia Terbuka 2003, sewaktu dia berusia 33 tahun. Begitu pula dengan Pete Sampras, yang menjadi juara AS Terbuka 2002 pada usia 31 tahun.

”Saya memang akan terus mencoba bermain sebaik mungkin selama saya belum pensiun. Saya pikir, saya masih memiliki kesempatan untuk menang. Tentang hasilnya, saya serahkan kepada orang lain. Apakah mereka akan menilai saya sebagai petenis besar, cukup bagus, atau biasa-biasa saja,” kata Federer.

Tiga bahasa

Federer, yang mulai berlatih tenis sejak usia delapan tahun, sebenarnya tumbuh di sebuah kota kecil dekat Basel yang bernama Munchenstein. Wilayah ini berdekatan dengan perbatasan Perancis dan Jerman. Tidak mengherankan jika kemudian Federer fasih berbahasa Perancis, Swiss-Jerman, dan bahasa Inggris.

Dalam setiap jumpa pers, misalnya, Federer selalu menjawab pertanyaan wartawan dalam tiga bahasa tersebut. Setelah melakukan tanya jawab dalam bahasa Inggris, petenis yang merupakan suporter klub sepak bola FC Basel ini akan menyediakan waktu khusus bagi mereka yang mau bertanya dalam bahasa Perancis dan Swiss-Jerman.

Meskipun memiliki talenta bermain tenis sejak kecil, Federer, yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Robert Federer dan Lynette Durand ini, terbilang tidak mudah dalam mengawali kariernya sebagai petenis.

Dalam film dokumenter tentang Federer yang berjudul Making of A Champion dikisahkan, Federer kecil pernah merasa frustrasi ketika dia harus mulai berlatih di sebuah klub tenis di Basel.

Hobinya bermain sepak bola bahkan pernah membuat Federer berpikir untuk menjadi pesepak bola profesional, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk fokus dalam tenis pada usia 12 tahun. Pada usia 14 tahun, Federer menjadi juara nasional dan setahun berikutnya dia mulai mengikuti sirkuit tenis yunior Federasi Tenis Internasional (ITF).

Kecintaan Federer pada dunia tenis membuat suami dari mantan petenis Miroslava Vavrinec ini belum berniat untuk pensiun.

”Saya selalu mengatakan, tidak masalah kapan pun saya harus pensiun. Tetapi, saya tidak akan memilih jalan itu sekarang karena saya sangat mencintai permainan ini. Saya tahu, menjadi petenis tidak akan selamanya saya jalani. Tetapi, saya akan menikmatinya selama mungkin,” kata Federer yang akan menjadi seorang ayah pada tahun ini.

Tidak ada komentar: