Jumat, 19 Juni 2009
Buya Syafii
Oleh: Azyumardi Azra
Tidak mudah menulis sebuah buku utuh, yang dirancang sejak semula sebagai buku; bukan buku kumpulan tulisan. Kesulitan itu terjadi bukan hanya menyangkut soal substansi, yang bisa menyangkut bidang-bidang sangat luas, tetapi juga karena sulitnya ketersediaan waktu dan bahkan dana yang perlu untuk menunjang penelitian dan penyediaan bahan kepustakaan yang dibutuhkan. Karena itu, karya yang lahir dari tangan seorang pengarang, yang kita tahu menghadapi kesibukan luar biasa, sepatutnyalah kita berikan apresiasi selayaknya.
Saya bisa membayangkan dan merasakannya secara persis kesulitan semacam itulah yang dihadapi Prof Dr Ahmad Syafii Maarif ketika menyiapkan bukunya, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (Mizan, 2009), yang diluncurkan pekan silam. Seperti yang dia tulis, buku ini sudah terbayangkan sejak 2 Mei 2006; dan karena perhatian dan kesibukannya juga terpecah kepada hal-hal lain yang perlu pula ia tangani, proses penulisan menjadi tersendat. Tapi, naskah lengkap masterpiece , karya besar, ini akhirnya selesai juga pada 9 Februari 2009. Sebelum naik ke percetakan, manuscript buku ini dibahas dalam sebuah panel khusus untuk penyempurnaan lebih lanjut.
Secara profesi keilmuan, Buya Syafii--begitu dia akrab dipanggil--memang dikenal sebagai sejarawan yang berbasis di kampus. Dan, jika Maarif seperti ia sering menyebut dirinya adalah sejarawan murni yang hanya 'bertungkus lumus' (istilah Melayu yang sering dia pakai) di kampus, pastilah ia punya lebih banyak kesempatan untuk menulis; meski kebanyakan orang kampus dengan gelar yang gagah-gagah tidak pernah menulis karya substantif dan signifikan.
Tapi, Maarif lebih daripada sekadar sejarawan kampus. Kita mengenalnya aktif dalam dunia keilmuan lebih luas; menjadi pemakalah dan narasumber berbagai seminar dan konferensi, baik di dalam maupun di luar negeri. Di atas segalanya, dia juga aktif di Muhammadiyah, sehingga pernah menjadi orang nomor satu di organisasi pendidikan modern Islam terbesar di Dunia Muslim ini; jelas bahwa mengurus organisasi sebesar Muhammadiyah menyita banyak waktu. Belum lagi aktivismenya dalam berbagai organisasi atau kelompok yang peduli dengan masalah tertentu, sejak dari demokrasi, kerukunan hidup beragama, dan seterusnya.
Dengan segala kiprah akademik dan sosialnya, Ahmad Syafii Maarif adalah sosok penuh integritas yang hidup sederhana dan qana'ah. Ia tidak pernah tergoda dengan politik kekuasaan; bahkan ia tak jarang mengkritik mereka yang hanya berorientasi kepada kekuasaan. Dengan orisinal dia memperkenalkan, misalnya, istilah 'syahwat politik', yang kemudian menjadi sangat populer dalam kosakata perpolitikan Indonesia. Tanpa lelah Buya Syafii mengkritik perkembangan politik dan juga demokrasi yang tidak selalu sesuai dengan harapan; dan semua ini dia lakukan tanpa pretensi apa-apa.
Sebab itulah Buya Syafii menjadi salah seorang dari sedikit 'guru bangsa' yang kita miliki hari ini. Dalam kapasitas ini, ia sekaligus menjadi 'intelektual publik' yang selalu menyuarakan nurani anak negeri. Sekali lagi, tidak mudah menjadi 'publik intelektual', karena sangat boleh jadi ada pihak-pihak yang tersinggung dan tidak menerima apa yang dia suarakan. Tetapi, terlepas dari ketidaksenangan kalangan tertentu terhadap pandangan-pandangannya, Buya Syafii tetap adalah ' man of integrity ' yang tidak pernah menyerah pada keadaan. Dan, tidak jarang ia menjadi ' solitary public intellectual ', intelektual publik yang sendirian, karena memang hanya dia sendiri yang berani bersuara di tengah cenderung membisunya banyak kalangan masyarakat lainnya ketika sebuah respons diperlukan masyarakat luas.
Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan adalah sebuah refleksi kerisauan dan kepedulian intelektual seorang guru bangsa terhadap masa depan bangsa yang sekitar 88 persen penduduknya memeluk Islam. Judul karya ini saja secara jelas menunjukkan kepedulian seumur hidup ( lifetime concern ) seorang Syafii Maarif; persisnya tentang integrasi keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Dan secara implisit, ini mengindikasikan masih terjadinya 'tarik-menarik' di kalangan masyarakat kita dalam hubungan ketiga entitas tersebut.
Kerisauan dan kegundahan Buya Syafii terlihat dalam kata-katanya sendiri: ''Sebagai penduduk mayoritas di Nusantara semestinya umat Islam tidak lagi sibuk mempersoalkan hubungan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga konsep ini haruslah diembuskan dalam satu napas, sehingga Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara; sebuah Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, subkultur, dan agama kita yang beragam; sebuah Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara ini tanpa diskriminasi apa pun agama yang diikutinya atau tidak diikutinya.
Sebuah Islam yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat miskin, sampai kemiskinan itu berhasil dihalau sampai ke batas-batas yang jauh di negeri kepulauan ini. Dalam usianya yang sudah lebih 70 tahun, Buya Syafii tidak hanya terus berkarya, tetapi sekaligus tetap dengan kritisismenya. Selamat untuk Buya, semoga tetap sehat wal'afiat agar dapat terus memberikan kontribusi untuk kemajuan bangsa dan negara.
(-)
Index Koran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar