Oleh ANTON SANJOYO
Untuk ketiga kalinya sepanjang tahun ini, Roger Federer menangis di hadapan orang banyak. Pertama setelah dikalahkan Rafael Nadal di final Australia Terbuka, kedua di altar gereja Basel saat mengucapkan janji perkawinan dengan Miroslava Vavrinec, dan ketiga di lapangan berdebu Roland Garros. Dalam tiga kesempatan berbeda, air mata menjadi tonggak paling penting dalam kehidupan petenis Swiss tersebut.
Di Rod Laver Arena, Federer tak kuasa menahan rasa kecewa yang teramat dalam setelah Nadal untuk ketiga kali beruntun mengalahkannya di final grand slam. Sebelumnya, dalam laga yang dijuluki sebagai ”yang terakbar sepanjang sejarah tenis”, Nadal juga mendepak Federer di final Wimbledon. ”Saya akan kembali tahun depan dan menjadi juara,” ujar Federer dengan suara parau dan air mata masih menggenang.
Kita tahu, di usianya yang tidak muda lagi untuk seorang petenis profesional—menjelang 28 tahun— Federer tak pernah kehilangan energi untuk selalu menjadi yang terbaik. Bahkan, setelah gelar petenis nomor satunya dirampas Nadal selepas Olimpiade Beijing, Federer tak sedetik pun mengendurkan semangatnya untuk berkompetisi dengan para rising star, Nadal, Novak Djokovic, Andy Murray, dan Juan Martin del Potro.
Tahun lalu memang menjadi periode berat bagi petenis yang mulai mengayun raket pada usia delapan tahun itu. Selain kehilangan gelar nomor satu, Federer juga mengalami kekalahan final grand slam paling menyakitkan setelah hanya diberi empat game oleh Nadal di Roland Garros.
Dilanjutkan dengan kekalahan di Wimbledon, banyak orang mengira ”the legend in the making” ini sudah kehilangan gairah untuk berkompetisi. Namun, Federer menjawab tuntas keraguan itu dengan merebut gelar kelimanya di Flushing Meadows, sekaligus gelar grand slam-nya yang ke-13.
Sukses di Amerikat Serikat Terbuka membuat Federer makin bersemangat untuk menyamai rekor Pete Sampras, perebut 14 gelar grand slam. Namun, kampanye Federer pada 2009 diawali oleh mimpi buruk dan Nadal kemudian membuatnya menangis di hadapan publik Rod Laver Arena.
Sampai sebelum Madrid Masters, perjalanan Federer untuk menjadi legenda tampaknya akan terhenti. Tak satu gelar pun yang didapat, dan pernikahannya dengan Vavrinec yang dipacarinya sejak tahun 2000 membuat para penggemarnya ragu. Tapi Federer tak pernah sedikit pun kehilangan keyakinan. Dia lantas menjungkalkan Nadal di Madrid, sepekan sebelum Perancis Terbuka.
Jika diamati, penampilan Federer sangat konstan sepanjang 2009 meski baru merebut gelar pertamanya di Madrid. Dia tampil stabil di Indian Wells dan Miami sebelum berjumpa dengan Murray dan Djokovic. ”Orang bilang, saya sudah kehilangan sentuhan. Pada banyak hal ya, tapi saya tak pernah kehilangan kepercayaan diri,” ujar Federer seusai mengalahkan Robin Soderling di final Perancis Terbuka.
Bagi Federer, sukses di Roland Garros adalah ”kemenangan terbesar sepanjang kariernya”. Sebelum hari Minggu yang dingin dan mendung itu, lapangan tanah liat paling masyhur itu selalu menjadi mimpi buruk Federer. Seakan, 13 gelar grand slam yang sudah diraihnya—5 di Wimbledon, 5 di AS Terbuka, dan 3 di Australia—tak berarti apa-apa. Maka, dia langsung berlutut, mengepalkan kedua tangannya, lantas bangkit dengan mata basah begitu merebut poin terakhir dari Soderling.
Benar, Federer tak pernah kehilangan keyakinan. Tiga kali beruntun tumbang di tangan Nadal di final Perancis Terbuka tak membuatnya patah arang. Federer mengakhiri seluruh perdebatan tentang siapa petenis terbesar sepanjang sejarah. ”Apa yang dia (Federer) lakukan dalam lima tahun terakhir sulit disamai. Bahkan tak akan pernah ada yang menyamai,” ujar Sampras, yang tak pernah merasakan nikmatnya mengangkat piala di Roland Garros. ”Federer adalah petenis terhebat sepanjang sejarah,” lanjut Sampras.
Dengan merebut gelar Perancis Terbuka, selain menyamai rekor Sampras, Federer juga menyejajarkan diri dengan lima legenda tenis lain yang sukses menjuarai empat seri grand slam: Don Bunge, Fred Perry, Rod Laver, Roy Emerson, dan Andre Agassi.
Jika Bjorn Borg begitu gembira rekornya di Perancis Terbuka gagal dilampaui Nadal—sampai berkali-kali mengirim pesan singkat kepada Soderling yang mengandaskan Nadal di babak keempat— tidak demikian dengan Sampras. Pria yang santun berhati lembut itu justru mengaku ikut bahagia atas prestasi Federer. ”Saya berbahagia untuk Roger,” ujar Sampras yang mengikuti pertandingan lewat layar kaca di rumahnya di Los Angeles.
Sampras pantas mengakui itu. Selain tak pernah juara di Garros, Federer memang lebih unggul. Pada laga terakhirnya, Sampras mengalahkan Agassi pada final AS Terbuka 2002, saat usianya 31 tahun, pada pertandingannya yang ke-52 di ajang grand slam. Federer usianya baru akan 28 tahun, Agustus nanti, dan menyelesaikan 40 laga grand slam.
Lepas dari tekanan luar biasa dan terutama mimpi buruk Perancis Terbuka, Federer sulit dibendung untuk merebut gelar grand slam-nya yang ke-15 di Wimbledon, 22 Juni mendatang. Lapangan rumput All England Club adalah permukaan favoritnya, dan tahun lalu dia hanya kalah oleh ketidakberuntungan yang setipis rambut.
Petenis nomor satu Rafael Nadal masih tetap akan jadi batu sandungan paling besar, tapi yang pasti, sukses atau tidak, kita akan kembali melihat air mata Federer di Wimbledon nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar