Rabu, 17 Juni 2009

Arsene Wenger, "Profesor" Sepak Bola



ADI PRINANTYO

Meskipun bergelar master ekonomi lulusan Robert Schuman University, Perancis, Arsene Wenger lebih tersohor sebagai pelatih sepak bola. ”The Gunners” Arsenal, salah satu klub kontestan Liga Inggris, di antarnya meraih tiga gelar juara Liga Primer dan empat trofi Piala FA.

Pelatih berjuluk ”The Professor” itu bakal sibuk saat Piala Dunia 2010 berlangsung di Afrika Selatan (Afsel), terkait Castrol Index yang dimotorinya.

Kesibukan Wenger, yang 22 Oktober nanti genap 60 tahun, mulai terasa Selasa (9/6) lalu, saat ia hadir di lapangan Dataran Merdeka, Kuala Lumpur, Malaysia. Sore itu, Wenger yang menjadi duta Castrol, sponsor resmi Piala Dunia 2010, mengadakan coaching session dengan tim sepak bola yunior Malaysia, berpedoman pada Castrol Challenge Test, salah satu bagian dari Castrol Index.

”Tes ini kelihatannya sederhana, tetapi jangan diragukan urgensinya. Uji sprint 20 meter bagi pemain sepak bola layak dilakukan karena pemain yang berlari lebih cepat dalam sekian meter pertama dan bisa mempertahankan performa itu akan lebih sukses dalam berebut bola. Jarak 20 meter signifikan, sesuai riset pergerakan pemain sepak bola dalam pertandingan elite. Jarak rata-rata pemain berlari itu sejauh 20 meter,” ujar Wenger.

Lebih detail lagi ia menjelaskan, pemain harus berjuang untuk lebih cepat menguasai bola. Bagi pemain bertahan, lebih cepat merebut bola sama artinya bisa segera menggagalkan serangan tim lawan. Untuk striker, lebih dulu merebut bola berarti ia berpeluang lebih besar menciptakan gol. Tentu saja, potensi kecepatan lari itu harus disempurnakan dengan polesan teknik dan ketangguhan mental.

Penjelasan Wenger membawa pengertian bahwa usaha pelatih untuk mengukur kualitas pemain seharusnya berpijak pada data, bukan atas perkiraan kasar. Pesan yang penting untuk siapa pun pelatih di dunia karena kadang ada unsur like and dislike di hati terdalam pelatih, saat ia harus menentukan 11 pemain yang tampil di lapangan hijau.

Pendekatan Wenger bahwa ”kualitas pemain adalah segalanya” membawa konsekuensi penolakan terhadap konsep Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA), yang berusaha memproteksi pemain domestik. Konsep FIFA itu biasa dikenal 6 + 5, penerjemahan sederhana dari enam pemain domestik plus lima pemain asing. Jika pola ini diberlakukan, klub-klub kaya Eropa hanya bisa memainkan maksimal lima pemain asing.

Wenger menolak dari sisi ide dan telah menerjemahkan sikap itu selama bertahun-tahun di Arsenal. ”Sepak bola modern harus terbuka. Setiap saat harus selalu dibangun upaya meningkatkan kualitas permainan. Oleh sebab itu, menetapkan aturan semu seperti 6 + 5, yang tak lain proteksi terhadap pemain lokal di mana kompetisi berlangsung di sebuah negara, bukan langkah yang tepat,” ujarnya.

Tak heran jika Arsenal jarang memainkan pemain asal Inggris sebagai starter. Paling hanya gelandang serang Theo Walcott dan bek Kieran Gibbs. Selebihnya, pemain The Gunners justru berasal dari Afrika, seperti Kolo Toure yang asal Pantai Gading, atau Emmanuel Adebayor dari Togo. Andalan lain dari sesama negara Eropa, sebut saja Cesc Fabregas dari Spanyol, Robin van Persie (Belanda), juga Andrey Arshavin (Rusia) dan Samir Nasri (Perancis).

”Sepak bola membawa pesan tentang pentingnya memadukan pemain terbaik dengan pemain terbaik lainnya di dunia. Definisi pemain terbaik sebaiknya tidak dihalangi kewarganegaraan seorang pemain. Menghentikan persaingan pemain terbaik dunia untuk berlaga di klub-klub elite, sama artinya dengan menolak berlangsungnya kompetisi yang sehat,” katanya.

Dari klub amatir

Wenger dilahirkan pasangan Alphonse dan Louise, pebisnis suku cadang mobil di Strasbourg. Karier panjang sepak bolanya dimulai saat ia kuliah di Robert Schuman University, ketika bermain untuk klub amatir sampai menjelang lulus pada 1971. Ia mulai berkiprah di jalur profesional pada 1978, membela RC Strasbourg, dengan laga debut melawan Monaco. Ia tampil 12 kali untuk Strasbourg, termasuk dua kali saat mereka merebut juara Liga pada 1978 dan satu partai Piala UEFA.

Tiga tahun kemudian ia memperoleh gelar diploma kepelatihan sepak bola dan langsung melatih tim yunior Strasbourg. Tim senior yang pertama kali ditangani Wenger adalah Nancy, namun ia tak meraup sukses berarti selama tiga tahun itu, periode 1984-1987.

Kesuksesan mulai lekat dengannya sejak dipercaya mengasuh AS Monaco, ketika ia membawa klub Perancis itu juara Liga Perancis 1988. Sukses itu makin mengilap karena itulah pencapaian musim pertamanya di Monaco. Satu gelar lagi yang dicapai adalah French Cup 1991. Di Monaco, ia merekrut sejumlah bintang, seperti Glenn Hoddle, George Weah, dan Juergen Klinsmann.

Kejeliannya terhadap bakat pemain muda sudah terlihat sejak di Monaco, sewaktu ia memboyong Youri Djorkaeff yang berusia 23 tahun, dari Strasbourg. Pada musim paripurna Wenger di Liga Perancis, 1993-1994, Djorkaeff menjadi pencetak gol terbanyak dengan 20 gol. Pada 1998 publik dunia tahu, Djorkaeff pilihan Wenger ikut membawa Perancis menjadi juara dunia 1998.

Ia lantas hijrah ke Jepang, menangani Nagoya Grampus Eight. Kebersamaan Nagoya-Wenger selama 18 bulan terasa manis karena mereka menjuarai Emperor’s Cup dan mengangkat derajat klub yang semula berada di tiga urutan terbawah Liga Jepang, ke urutan kedua klasemen akhir.

Wenger hijrah ke Arsenal pada 28 September 1996, diiringi tanda tanya pers Inggris soal kemampuannya menangani Arsenal. Ia menjawab cibiran itu dengan mempersembahkan dua gelar juara sekaligus, Liga Primer dan Piala FA, pada musim 1997-1998, tahun kedua Wenger di Highbury Park (home base Arsenal sebelum kini di Stadion Emirates).

Oktober 2009 nanti, ia genap 13 tahun bersama The Gunners dan memenangi tujuh trofi, tiga Liga Primer dan empat Piala FA. Dia menjadi satu-satunya pelatih Liga Inggris yang memimpin tim tanpa pernah kalah dalam satu musim, yakni total dalam 49 laga.

Selalu berpijak pada data statistik dan berupaya memahami kondisi psikis pemain dalam menyiapkan tim sebelum pertandingan menjadi ciri Wenger. Dia pula yang ”menyulap” Arsenal menjadi tim dengan permainan positif (tak pernah tampil defensif) dan enak ditonton. Umpan-umpan pendek pemain Arsenal menjadikan serangan The Gunners mengalir tenang untuk kemudian mencetak gol jika lawan lengah.

Tentang Arsenal yang tak pernah juara lagi sejak 2004, Wenger optimistis. ”Kami punya tim dengan pemain muda yang menjanjikan. Saya yakin dalam beberapa tahun ke depan mereka pasti bisa juara lagi,” kata The Professor.

Pada musim 2008-2009 yang berakhir Mei lalu, Arsenal mengakhiri penampilan di Liga Inggris pada posisi keempat, di bawah Manchester United (MU), Liverpool, dan Chelsea. Keyakinan Wenger, lagi-lagi, berdasar data bahwa Arsenal tampil cukup baik dalam laga sesama the big four, setelah Liverpool. Sedangkan MU, meski juara liga, justru menjadi tim dengan performa terburuk saat menghadapi tim empat besar.

Tidak ada komentar: