Kamis, 08 Juli 2010

Otunbayeva, Perempuan Pendekar dari Kirgistan

Pascal S Bin Saju

Sejak mengambil alih kekuasaan dari Presiden Kirgistan Kurmanbek Bakiyev pada 7 April 2010, nama Roza Isakovna Otunbayeva terus melambung. Ibu dua anak ini adalah wanita satu-satunya yang amat berpengaruh di sentral geopolitik Asia Tengah. Setelah berada dalam ketidakpastian selama 2,5 bulan, pada 3 Juli ini dia pun dilantik menjadi Presiden Kirgistan.

Ia menyadari, kekuasaan yang dia peroleh selama ini dilakukan lewat sebuah kudeta ilegal. Tidak heran, setelah berhasil mengambil alih kekuasaan, pemerintahan ad interim terus dirongrong oleh massa pendukung Bakiyev di Kirgistan selatan, yakni di Jalalabad dan Osh.

Terlepas dari bagaimana ia mendapatkan kekuasaan itu, yang pasti Otunbayeva telah berada di puncak kekuasaan Kirgistan. Sejak memimpin gerakan oposisi melawan pemerintahan Bakiyev yang dinilai korup, nepotis, dan tidak memedulikan kepentingan rakyat, kiprah politiknya menanjak tajam membawa sejumlah agenda penting bagi perubahan yang lebih baik.

Agenda pertamanya, yakni menggelar referendum mengenai perubahan konstitusi, sudah dilakukan dan meraih mayoritas suara. Lebih dari 90 persen suara mendukung perlunya perubahan konstitusi yang antara lain akan membatasi kekuasaan seorang presiden dan memberikan kewenangan lebih pada parlemen.

Hal yang menarik, Otunbayeva hanya menjadi presiden sementara untuk jabatan enam bulan, yang akan berakhir pada awal 2011. Setelah berhasil menggelar referendum, agenda politik berikutnya adalah mempersiapkan pemilu parlemen yang dijadwalkan digelar 10 Oktober, lalu persiapan untuk pemilu presiden.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Kirgistan, bahkan di Asia Tengah, seorang pionir perempuan menentukan langkah sebuah negara. Ia telah menjadi toko sentral oposisi salah satu negara paling strategis di Asia Tengah itu.

”Otunbayeva memiliki reputasi yang baik di negaranya dan juga luar negeri, dan karena itu ia pantas berada di posisinya. Meski demikian, kalau hanya seorang diri dia tidak dapat melakukan apa pun,” kata pakar politik Kirgistan, Beate Eschment.

Tumbuh dari Komunis

Otunbayeva berasal dari era komunis negara itu. Ia lahir 23 Agustus 1950 di Osh, kota terbesar kedua di Kirgistan, yang juga daerah kelahiran Bakiyev. Osh dikenal sejak abad kedelapan sebagai pusat produksi sutra di sepanjang Jalan Sutra, rute perdagangan terkenal melintasi gunung Alay untuk mencapai Kashgar di timur.

Dari Osh kemudian ia mendalami filsafat di Universitas Moskwa dan tamat tahun 1972. Pada tahun 1980-an ia menjadi anggota Partai Komunis Kirgistan, lalu Duta Besar Uni Soviet di UNESCO, Paris, dan sempat pula menjadi Dubes Uni Soviet untuk Malaysia.

Setelah Kirgistan merdeka, ia menjadi Dubes negaranya untuk AS, Inggris, dan Kanada, lalu menjadi Menteri Luar Negeri dalam pemerintahan Presiden pertama Kirgistan, Askar Akayev. Jabatan itu dipangku selama tiga tahun, lalu ia kembali menjadi diplomat. Pada tahun 2005, bersama Bakiyev, dia menjadi otak Revolusi Tulip menggulingkan Akayev.

Bakiyev menjadi Presiden Kirgistan, tetapi Otunbayeva tetap berada di kubu oposisi. Ia tetap berada di luar kekuasaan untuk mengontrol pemerintah. Sejak awal ia berharap Bakiyev benar-benar bisa berpihak kepada rakyat dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

”Dalam perjalanannya tidak demikian, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme merusak tatanan pemerintahan. Dampak paling buruk bagi rakyat, harga berbagai kebutuhan pokok melambung tajam. Banyak rakyat jatuh miskin. Nurani saya mengatakan, perlawanan harus dilakukan untuk rakyat,” kata Otunbayeva.

Kecewa pada Bakiyev

Otunbayeva kecewa terhadap Bakiyev yang naik karena Revolusi Tulip. Ia memutuskan untuk bergabung dengan Partai Sosial Demokrat, partai oposisi yang didirikan 1 Oktober 1993. Di sini perempuan berperawakan pendek berusia 60 tahun ini melakukan manuver politik.

Aksi massa yang meluas mendesak Presiden Kurmanbek Bakiyev mundur. Puncaknya terjadi 7 April lalu, berupa gebrakan kedua terbesar setelah Revolusi Tulip. Bakiyev pun kabur dan kini berlindung di Belarus. Otunbayeva langsung menjalin hubungan dengan Rusia.

Mahir berbahasa Inggris dan Rusia menjadi modal kuatnya untuk mendobrak kebekuan komunikasi antara Bakiyev dengan Rusia dan AS, dua negara yang sama-sama memiliki pangkalan militer di Kirgistan. Referendum yang dilakukan pada 4 Juli justru mendapat dukungan dari PBB, Rusia, dan AS.

Otunbayeva benar-benar mencapai posisi strategis di Kirgistan. ”Setelah komisi pemilihan pusat mengumumkan hasil pasti referendum tentang perubahan konstitusi pada 2 Juli, Otunbayeva pun dilantik menjadi presiden pada 3 Juli,” kata juru bicara Pemerintahan Sementara Kirgistan, Farid Niyazov.

Tugas besar Otunbayeva belum selesai. Potensi konflik di selatan, yang menjadi basis pendukung Bakiyev, masih terbuka lebar. Ia sendiri mengakui hal itu, yang dibuktikan dengan masih diberlakukannya jam malam hingga awal Agustus mendatang, sejak pecah aksi pembantaian terhadap kelompok minoritas Uzbekistan pada 10-11 Juni lalu.

Jalan menuju pemilu parlemen masih panjang. Terbuka kemungkinan munculnya kelompok ekstremis yang akan berusaha merebut kekuasaan Otunbayeva, terutama dari selatan. Atau juga pertikaian etnis yang mematikan, seperti yang terjadi pada pekan kedua Juni lalu yang menewaskan 2.000 orang dan 400.000 orang mengungsi.

Otunbayeva mengaku tetap tegar menghadapi semua kemungkinan itu. Sebab hasil referendum memperlihatkan dukungan mayoritas warga terhadap perubahan konstitusi. Dukungan itu sekaligus berarti rakyat menyetujui pembatasan kekuasaan presiden, dan kewenangan lebih diberikan kepada parlemen kelak.

Di bawah kepemimpinan Otunbayeva, Kirgistan menjadi negara pertama di Asia Tengah yang menganut sistem demokrasi parlementer. Kekuasaan presiden dibatasi setiap lima tahun, sedangkan masa jabatan di parlemen enam tahun.

Referendum sekaligus menjadi ”stempel” yang punya legitimasi terhadap kudeta pada 7 April lalu sekaligus legitimasi internasional atas kekuasaan Otunbayeva. Inilah jalan yang disebutnya sebagai jalan menuju terciptanya ”demokrasi rakyat sejati”.

Kirgistan berpenduduk 5,3 juta jiwa itu memiliki potensi pertanian dan pertambangan yang besar, tapi lebih dari 70 persen rakyatnya masih miskin.

Krisis etnis antara suku Kirgistan yang mayoritas dan Uzbekistan yang minoritas tetapi menguasai ekonomi kini menjadi luka dalam. Presiden perempuan ini menghadapi ujian untuk menuntaskan hubungan etnis yang terkoyak itu.

Minggu, 21 Maret 2010

Sukowaluyo Mintorahardjo:


Semua Orangnya Taufiq Kiemas

RASA lapar mengusik perut Sukowaluyo Mintorahardjo. Di kantor LKaDe (Lembaga Kajian Demokrasi), politisi PDI Perjuangan itu meminta seorang pesuruh untuk mencarikan nasi bungkus. Pecel berlauk tempe dan kerupuk menjadi pilihannya. "Jangan lupa empal," katanya.

Siang itu rambut Koordinator Nasional Gerakan Pembaruan PDI Perjuangan ini acak-acakan. Matanya nanar. Gurat kelelahan tampak di wajahnya setelah ia mengikuti Kongres PDIP II di Bali. Memang, Kongres Partai Banteng Gemuk itu ditutup pada Kamis malam, tapi siang sebelum acara bubar, Sukowaluyo memilih kembali ke Jakarta. "Sudah seminggu lebih saya tidur cuma dua-tiga jam sehari," katanya.

Sesungguhnya, kelelahan tubuh Sukowaluyo tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan makan hati yang dideranya selama kongres. Menurut dia, PDIP sudah jauh dari demokrasi dan berada di ambang kehancuran. Kata dia, banyak orang di seputar Taufiq Kiemas yang bekerja keras mengultuskan Megawati, anak biologis Soekarno. "Pengurus PDIP sesak oleh orang-orang yang terus ingin berkuasa," ujarnya getir.

Suko, 56 tahun, adalah seorang dokter. Ia pernah menjadi Direktur Rumah Sakit Mardiwaluyo, Metro, Lampung, dan menjadi konsultan bidang kesehatan masyarakat Rumah Sakit PGI Cikini. Tapi politik membuatnya melepas stetoskop. Sejak 1987 hingga sekarang ia menjadi anggota DPR. Ketika PDI pecah, ia memilih bergabung dengan Megawati.

Tapi di perjalanan ia bersimpang arah dengan putri Bung Karno itu. Suko menilai Ketua Umum PDIP ini tak lagi menegakkan demokrasi. Ia memberontak dan mendirikan Gerakan Pembaruan PDI Perjuangan-wahana yang mengumpulkan orang yang kecewa terhadap Mega. Dalam Kongres PDIP II pekan lalu, ia ingin mendongkrak Mega, tapi gagal.

Dalam letih dan kecewa, Suko dua kali menerima wartawan Tempo untuk wawancara khusus. Pertama dengan Rofiqi Hasan sesaat sebelum ia meninggalkan arena kongres di Sanur, Bali, dan kedua dengan Sunudyantoro di kantor LKaDe, di lantai 11 Century Tower, Kuningan, Jakarta Selatan. Berikut petikannya.


Anda kecewa dengan hasil kongres PDIP?

Ya! Kongres PDIP II di Bali jauh dari harapan. Menurut laporan teman-teman di dalam, mereka diintimidasi, mike tak bisa digunakan, interupsi tak didengarkan. Kalau mau interupsi, dihalangi pecalang. Masa, pecalang punya kewenangan melebihi pimpinan sidang? Pecalang itu cuma satuan tugas PDIP atau polisi yang diberi pakaian pecalang untuk mengintimidasi dan menghalang-halangi utusan untuk menggunakan hak bicara dan hak suara. Ini kongres yang sama sekali jauh dari demokrasi.

Megawati melakukan itu hanya agar terpilih lagi sebagai ketua umum?

Saya tidak mengerti, dia itu tahu demokrasi atau tidak. Kita dulu berjuang meruntuhkan rezim Soeharto untuk membangun demokrasi. Sikap Mbak Mega dalam Kongres PDIP ini hampir mirip sikap Soeharto. Ini reinkarnasi rezim totaliter Soeharto.

Apakah sikap itu akibat orang-orang di sekelilingnya?

Kalau Mbak Mega tidak begitu, tentu ia tidak dikelilingi orang seperti itu.

Ia dipengaruhi Taufiq Kiemas?

Pengaruh Taufiq sangat besar. Ia mempengaruhi Mega dalam segala hal. Ambisi dan motivasi Taufiq banyak mewarnai Mega.

Betulkah sikap Mega bergantung pada pembisiknya?

Ah, tidak. Dia dengan senang hati mempertontonkan pertunjukan antidemokrasi di kongres. Bagi dia, kritik adalah perlawanan berbahaya. Dia bukan seorang demokrat.

Apa yang akan terjadi pada PDIP setelah kongres di Bali ini?

Kita memprediksi, kalau dengan kepengurusan biasa saja, 2009 PDIP hancur. Tahun 2004 sudah terbukti. Karena itu Gerakan Pembaruan ingin melakukan perubahan ke arah perbaikan. Kita memiliki empat "re". Pertama, harus ada regenerasi. Mbak Mega harus menyediakan diri, ini saatnya regenerasi. Jangan pegangi perahu yang hampir karam, berikan kepada nakhoda baru. Kedua, harus ada revitalisasi. Semua aset harus diberdayakan, bukannya aset positif disuruh pergi. Ketiga, rekonsiliasi. Dia harus membuka luas partisipasi berbagai macam orang yang berbeda, asalkan tujuannya membesarkan PDIP. Keempat, reorganisasi. Semua ditata. Jika peran ini menjadi suatu sinergi, organisasi menjadi efektif.

Apakah termasuk menampung orang yang telah keluar dari PDIP?

Tarik lagi saja. Mereka kan sesama teman perjuangan. Tapi Mega malah menciptakan musuh-musuh baru. Orang yang masih di dalam pun disuruh pergi. "Sana, bikin partai baru," katanya. Itu bukan sikap pemimpin. Dulu mitos Mega pemersatu partai. Tapi figur pemersatu sudah habis dihancurkannya sendiri. Kini ia pemecah belah partai.

Apa pendapat Anda tentang struktur pengurus nasional PDIP yang baru?

Struktur pengurus pusat PDIP sekarang kacau, tidak jelas. Ada wakil sekjen urusan internal, eksternal, dan sebagainya. Ada ketua-ketua bidang eksternal dan internal, ada juga bidang fungsi-fungsi pemerintahan, itu makin memberikan kekacauan dalam menata organisasi.

Bukankah itu maunya kepengurusan yang profesional?

Ya, kita buktikan saja, bagaimana amburadulnya tatanan struktur, fungsi, dan bidang tugas organisasi yang disusun di dalam kongres. Dalam perjalanan waktu akan kelihatan.

Bagaimana konstelasi orang-orang yang masuk pengurus nasional?

Orang-orang yang ditaruh adalah the looser team, para pecundang. Ketua umumnya figur yang kalah, pembantu-pembantunya tim yang kalah. Jadi secara keseluruhan PDIP dipimpin kumpulan orang kalah.

Melihat figur pengurus baru, tampaknya peran Taufiq Kiemas sangat besar?

Sudahlah, mereka semua orangnya Taufiq. Pramono Anung orangnya Taufiq dan Mega. Mangara Siahaan orangnya Taufiq, juga loyal ke Mega. Agnita Singedikane dekat dengan Mega. Sutradara Ginting orangnya Mega-Taufiq. Philip Wijaya lebih dekat ke Taufiq ketimbang ke Mega. Daniel Setiawan, Cahyo Kumolo, Murdaya Poo, Panda Nababan, Maruar Sirait, Dudi Makmun Murod, semua orang Taufiq. Taufiq juga menempatkan Daryatmo Mardiyanto, Emir Moeis, Arif Budimanto, Firman Jaya Daeli. Theo Syafei mencoba bermain dekat Mega. Soetjipto jelas ke Mega-Taufiq. Jadi ini DPP-nya Taufiq Kiemas.

Bagaimana dengan Suwarno dan Alex Litaay?

Dia orang lepas. Kedua orang itu relatif tidak berbau Taufiq, tetapi lebih dekat ke Mega. Jacob Nuwa Wea orang Taufiq-Mega. Guruh ke Mega. Mindo Sianipar ke Mega. Hamka Haque saya tidak tahu. Dia profesor dari Makassar, anggota baru.

Bagaimana Anda menilai Taufiq Kie-mas?

Siapa dia sebenarnya? Di mana dia ketika peristiwa 27 Juli 1996? Apa dia pernah tampil di mimbar demokrasi? Mega juga lupa, kita membesarkan partai bersama-sama dengan segala risiko. Dia kan simbol. Dulu kita melihat, untuk melawan rezim Soeharto kita butuh dia. Mega orangnya diam tapi kita bantu: dia kita blow up dan kita bicarakan di mana-mana. Kita buka akses ke kedutaan-kedutaan. Pers memihak kita. Kami bumbui macam-macam sehingga dia dianggap the rising leader.

Ternyata Mega kurang berkembang. Sikapnya yang tertutup dan malas omong terus berlanjut setelah menjadi ketua partai dan presiden. Seolah-olah semua pemerintahannya sendiri, urusannya sendiri. Teman-temannya tak diajak lagi. Dia malah menyingkirkan orang-orang yang mendukungnya. Setiap tahapan dirancang ada yang digusur. Misalnya, setelah menang di Pemilu 1999 justru dia menggelar kongres, mestinya lima tahun setelah 1998. Tujuannya cuma untuk menyingkirkan orang-orang dekatnya.

Padahal, kalau mengambil prinsip pertempuran, pasukan yang menang tak akan diganti. Saat itu Alex Litaay, Haryanto Taslam, Muchtar Buchori, dan yang lain malah digusur. Juga ketika berhasil menjadi presiden setelah Gus Dur diturunkan, teman-teman yang akrab dipanggil koboi Senayan juga ditinggalkan. Ini bukan persoalan balas budi, tapi soal moral kesetiakawanan dan dalam perjuangan.

Sempat ada tawaran rujuk dari Mega?

Kalaupun diminta, kita tidak mau bergabung dengan tim yang seperti itu.

PDIP akan menjadi partai oposisi, Anda yakin peran itu bisa dilakukan?

Itu mimpi di siang bolong. Secara keseluruhan, tahun 2004 Partai telah kehilangan kepercayaan publik, baik di eksekutif maupun legislatif. Mengapa PDIP ditinggalkan pemilihnya? Karena pemilih tidak percaya.

Pada Pemilu 1999 rakyat berbondong-bondong mendukung karena percaya dan berharap. Tahun 2004, 14 juta pemilih meninggalkan PDIP dan ketua umumnya dalam pemilu presiden. Sekarang Mega mengatakan akan menjadi pemimpin oposisi. Rakyat bertanya, kok baru sekarang membela rakyat. Dulu kekuasaan dan mandat diberikan, digunakan untuk apa?

Rakyat dengan lugu dan sederhana mengatakan, "Dulu sewaktu berkuasa tidak ingat kita. Kebijakan-kebijakan politiknya tidak membela kita." Sutiyoso menggusur rakyat diam saja, malah dijadikan gubernur atas perintah Mega. Pepatah mengatakan, sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Mega adalah pemimpin partai dan presiden yang lancung ke ujian. Megawati gagal menjalankan amanat yang sudah diberikan.

Jikapun PDIP dipimpin Gerakan Pembaruan, apakah tidak juga ditinggalkan rakyat karena pamor PDIP sudah merosot?

Justru akan naik. Karena kita melakukan empat "re" tadi. Keempatnya tidak bisa dipisahkan. Tanpa regenarasi, revitalisasi, rekonsiliasi, dan reorganisasi. Pimpinan harus memasukkan orang-orang yang konsisten terhadap rakyat, seperti Sophan Sophiaan. Ia mundur dari partai karena memprotes Mega yang tidak mempedulikan janji-janjinya kepada rakyat dalam kampanye.

Bukankah Puan Maharani, anak Mega, kini mulai dipersiapkan?

Ya, tetapi PDIP sudah menjadi partai nol koma sekian persen. Rakyat makin maju dan makin cerdas. Mereka tidak akan omong "pokoke anak Soekarno". Orang-orang tua yang bernostalgia terhadap Bung Karno sudah lewat. Pemilih pada Pemilu 2009 adalah anak-anak yang sekarang duduk di bangku SMP yang lahir tahun 1990-an ke sini. Mereka tidak kenal Soekarno dan kebesaran nama Bung Karno. Anak-anak itu makin rasional, aspirasi dan ekspektasinya terukur. Mereka ini tidak hanya omong, "Wah, hebat!" tapi juga bertanya, "Bisa apa dia?"

Apakah Gerakan Pembaruan akan mendirikan partai baru?

Kami akan berjuang di dalam PDIP. Kami tidak akan keluar. Bukan itu tujuan kami. Kami kader PDIP yang ingin berjuang membangun kembali kewibawaan dan kejayaan Partai melalui pembangunan sistem.

Caranya?

Aspirasi yang ada harus kami konsolidasikan agar menjadi bola salju di dalam Partai. Kami akan mengambil langkah-langkah organisatoris. Kami akan membentuk dewan pimpinan mulai tingkat nasional hingga tingkat cabang di kota dan kabupaten.

Jika Mega mencabut keanggotaan orang yang aktif di Gerakan Pembaruan?

Menjadi anggota partai itu sifatnya sukarela. Apa yang kami langgar dengan Gerakan Pembaruan? Buktikan pelanggaran kami? Mereka adalah utusan kongres yang memiliki legitimasi, kok. Mereka walk out di kongres dan itu tidak ada salahnya. Apakah kami akan dipecat karena tidak memilih Mega? Kalau itu Megawati yang melanggar aturan partai.

Kubu Mega menuding Gerakan Pembaruan disokong pemerintah?

Yudhoyono, Kalla, dan siapa pun calon presiden 2009 bertepuk tangan dengan hasil Kongres PDIP II, karena Gerakan Pembaruan kalah. Mereka akan mendapat lawan enteng. Mega terbukti berkali-kali gagal. Kalau Gerakan Pembaruan berhasil di kongres ini, mereka bilang berat yang akan dihadapi.

Menurut Anda, mengapa Guruh membelot ke Mega?

Dia berbeda pandangan dengan kami. Sebab, menurut dia, pembaruan jangan sampai menimbulkan perpecahan. Secara prinsip dia setuju dengan gagasan pembaruan. Bukan cuma Guruh, di kalangan pembaruan memang ada perbedaan di tingkat strategi. Roy Janis dan Noviantika, misalnya, minta agar pembentukan formatur pengurus tandingan ditunda dua-tiga hari. Tapi kami menganggap, mestinya pada hari kedua kongres (Selasa) sudah diumumkan karena desakan daerah begitu kuat. Kenyataannya Rabu, terlambat satu hari. Roy dan Novi juga menginginkan dewan diberi nama Dewan Penyelamat Partai, jadi lebih moderat kedengarannya. Tapi kami bilang, kalau namanya begitu, akan menjadi subordinat DPP Kongres.


Dr Sukowaluyo Mintorahardjo, M.Kes.

Tempat/tanggal lahir:

  • Wates, DI Yogyakarta, 3 Agustus 1949

Pendidikan:

  • Fakultas Kedokteran UGM

Karier:

Jumat, 19 Maret 2010

Rajmohan Gandhi, Penerus Ahimsa

Rajmohan Gandhi

Jumat, 19 Maret 2010 | 03:20 WIB

Oleh Fransisca Romana Ninik

Seperti sang kakek, Rajmohan Gandhi meyakini bahwa perlawanan tanpa kekerasan akan memakan waktu lama untuk mencapai tujuan. Akan tetapi, satu hal pasti: kekerasan tidak akan menuntun pada keberhasilan.

Keyakinan itulah yang membawa cucu Mahatma Gandhi ini mengampanyekan rasa saling percaya, rekonsiliasi, dan demokrasi selama lebih dari setengah abad.

”Tentu saya kadang merasa kecewa, frustrasi. Namun, selalu ada sesuatu yang membangkitkan semangat sehingga kekecewaan dan frustrasi itu hanya sebentar,” kata Rajmohan seusai memberikan ceramah di Gandhi Memorial International School, Jakarta, Jumat (12/3).

Dia melawat ke Jakarta dan sejumlah kota lain di dunia untuk mendorong perubahan positif bagi dunia, bersama lembaga nonpemerintah Initiative for Change International yang dipimpinnya. Khusus di Jakarta, dia membawakan pidato tentang mengapa Mahatma Gandhi memilih jalan nir-kekerasan.

”Mengapa saya di sini? Tentu karena saya cucu Mahatma Gandhi,” katanya, disambut tawa hadirin.

Menurut dia, sudah sifat alami manusia untuk berkuasa. ”Apakah Gandhi terlahir menolak kekerasan dan apakah Gandhi selalu nir-kekerasan?” tanyanya.

Rajmohan menuturkan, sebagai anak muda, Gandhi marah atas pendudukan Inggris. Namun, dari berbagai hal yang dialami, dilihat, didengar, dan dibaca Gandhi, akhirnya muncul pemahaman dirinya bahwa kekerasan tidak pernah berhasil.

”Gandhi melihat, pembalasan warga India terhadap pasukan Inggris sangat brutal, begitu juga sebaliknya. Saat seorang India melakukan hal buruk terhadap Inggris, tak hanya orang itu yang mendapat balasan, tetapi seluruh desanya. Ibu-ibu dan anak-anak tak bersalah pun menjadi korban,” katanya.

Terbukti dengan prinsip ahimsa atau nir-kekerasan, India berhasil lepas dari penjajahan Inggris.

Rajmohan menulis biografi tentang kakeknya, Mohandas: A True Story of a Man, His People and an Empire (2007). Buku itu merupakan kenangan Rajmohan terhadap salah seorang paling berpengaruh di dunia, tentang perjalanan hidup Gandhi dan kehidupan bersama orang-orang terdekatnya.

Melindungi kakek

Tentang sang kakek, Rajmohan mengenang saat dia duduk di samping Gandhi dalam doa bersama berbagai pemeluk agama. Gandhi biasa mengutip ayat-ayat dari berbagai kitab suci. Hal itu sering kali memunculkan keberatan dari kalangan pemeluk Hindu.

”Mereka sering marah kepada Gandhi. Saya, sebagai anak kecil yang duduk di sampingnya, hanya berpikir bagaimana bisa melindungi orang tua itu dari mereka yang marah. Ternyata, meskipun kurus, orang tua itu sangat berani,” ujar Rajmohan.

Rajmohan membawa buku itu serta satu buku karya terbarunya, A Tale of Two Revolts: India 1857 & the American Civil War (2009), dalam lawatannya ke sejumlah negara. Dari situlah Rajmohan meneruskan perjuangan Gandhi menebarkan prinsip nir-kekerasan kepada berbagai lapisan masyarakat dunia.

”Untuk mengubah dunia, kita harus mulai mengubah diri kita dulu. Ingat, saat kita menunjuk orang lain, satu jari menunjuk mereka dan tiga jari lain menunjuk balik kepada kita,” ujarnya.

Rajmohan secara konsisten bekerja untuk rekonsiliasi India-Pakistan. Dalam sebuah wawancara tahun 2009, dia menuturkan, saat berusia 16 tahun, tiga tahun setelah Gandhi dibunuh pada 1947 dan saat India-Pakistan sudah terpisah, dia mendengar berita bahwa Perdana Menteri Pakistan Liaquat Ali Khan ditembak. Kepada orang yang membawa berita itu, Rajmohan mengatakan, dia memperkirakan akan segera mendengar berita PM meninggal.

”Orang itu mematung, saya sangat malu dengan pernyataan konyol dan buruk tentang seseorang yang tidak melakukan hal buruk pada saya,” ujarnya tentang peristiwa waktu itu.

Sejak saat itulah, Rajmohan bekerja untuk mempromosikan hubungan yang lebih baik antara India dan Pakistan. Dia secara rutin berkunjung ke Pakistan. Pemikirannya tentang hal itu tertuang dalam dua buku, Eight Lives: A Study of Hindu-Muslim Encounter dan Reconciliation & Revenge: Understanding South Asian History.

India-Pakistan

Saat ditanya tentang kondisi hubungan India-Pakistan sekarang, Rajmohan dengan tegas mengatakan, hubungan itu bukanlah konflik, melainkan hanya sebuah rasa saling tidak percaya.

”Sekarang ini beberapa pembicaraan telah digelar, yang tentu saja bagus. Tetapi, seharusnya tidak hanya antara pemerintah dan pemerintah, juga harus antara masyarakat (India) dan masyarakat (Pakistan),” katanya.

Pembicaraan antara India dan Pakistan adalah sesuatu yang paling menimbulkan semangat Rajmohan. ”Kendati demikian, iklimnya belum bagus. Masih ada saling curiga. Saya ingin hal itu berubah,” tuturnya.

Pada Januari lalu, saat terjadi serangan teroris di Mumbai, India, yang disebut-sebut terkait dengan jaringan teroris di Pakistan, Rajmohan termasuk salah satu di antara para intelektual India dan Pakistan yang mengatakan perang bukanlah pilihan.

Di sebuah negara di mana Gandhi masih sangat dihormati, pernyataan Rajmohan patut diperhitungkan. Namun, nama besar Rajmohan bukan hanya karena dia adalah cucu Mahatma Gandhi. Kerja kerasnya sebagai wartawan, reformis sosial, dan akademisi, telah memberinya sederet penghargaan.

Tahun 1963, Rajmohan menggelar ”March on Wheel” di seantero India dan menginspirasi ribuan orang untuk bekerja demi India yang bersih, kuat, dan bersatu. Setelah itu, Rajmohan juga mengembangkan pusat pelatihan dan konferensi Initiatives of Change bernama Asia Plateau di Panchgani pada tahun 1968.

Sekarang ini, Rajmohan adalah profesor peneliti pada Center for South Asian and Middle Eastern Studies di University of Illinois, Amerika Serikat. Delapan buku telah lahir dari tangannya.

Senin, 08 Maret 2010

Jalan Paradoks Sjahrir


Senin, 8 Maret 2010 | 04:04 WIB

B Herry Priyono

Perkenankan saya mengaku, saya belum pernah bertemu muka dengan almarhum Sutan Sjahrir. Ketika beliau wafat di Zürich, Swiss, 9 April 1966, saya bahkan belum tahu membaca dan menulis. Tatkala menginjak dewasa, sayup-sayup saya mendengar orang sering menyebut namanya.

Tanpa tahu mengapa, ia terdengar sebagai satu di antara deretan nama yang menjulang tinggi ke angkasa Indonesia. Namun, lantaran jarak generasi, ia lebih terdengar sebagai gema ketimbang suara.

Ketika mulai melek-huruf, sesekali saya membaca renungan-renungannya dari penjara dan pembuangan. Sebagai anak muda, saya merasa renungan-renungan itu menyimpan teka-teki yang misterius tetapi menawan. Saya kadang membaca ulasan dari para ahli atau juga kenang-kenangan dari para muridnya, pengagum, dan kritikus Sjahrir. Namun, jauh dalam hati, saya merasa ada yang selalu saja lolos dari genggaman ulasan dan refleksi kenangan itu. Saya tidak mengerti apa. Mungkin itu suara keabadian yang tak pernah tertampung oleh keterbatasan. Mungkin juga karena Sjahrir terlalu besar untuk kita, atau kita terlalu kecil untuk Sjahrir.

Dilema pilihan

Sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasih kepada Sjahrir, perkenankan saya mengajukan satu kemungkinan memahami mengapa Sjahrir selalu lolos dari genggaman ideologi yang pasti. Ia seorang sosialis, tetapi corak sosialismenya terlalu licin untuk dipatok dalam kategori sosialisme yang luas dipahami. Dalam pemahaman sederhana saya, itu lantaran Sjahrir adalah seorang yang menghidupi dan memeluk erat-erat apa yang akan saya sebut ”jalan paradoks”.

”Paradoks” adalah posisi atau sikap yang kelihatan kontradiktif atau tidak masuk akal karena secara logis tampak tidak konsisten, tetapi sesungguhnya mengandung ”kebenaran” lebih tinggi karena didasarkan pada fondasi lebih kokoh dan lebih lengkap daripada yang tampak. Ambillah satu contoh kecil. Kita mungkin pernah mengalami luka batin yang dalam. Luka batin tidak akan sembuh dengan kita tolak, tetapi justru dengan kita peluk/terima sebagai bagian sejarah hidup, luka batin itu akan pergi/sembuh. Suatu X dicapai bukan dengan kategori yang sama (yaitu X), tetapi melalui non-X. Dalam ungkapan penyair Jerman, Friedrich Schiller, yang diangkat Ignas Kleden dalam pengantar buku Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan (2010), hidup hanya dimenangkan dengan mempertaruhkan hidup itu sendiri.

Paradoks tampil dalam berbagai wajah. Salah satunya adalah dilema pilihan. Namun, ada beda antara dilema praktis dan dilema eksistensial. Contoh dilema praktis adalah jika kita harus memilih salah satu dari dua acara yang diadakan pada waktu yang bersamaan karena secara fisik kita tak mungkin berada di dua tempat sekaligus. Ketidaksanggupan kita berada di salah satu acara bukan cacat atau ketidakmatangan pilihan, tetapi persis kelugasan pilihan praktis yang sederhana. Banyak dilema pilihan adalah dilema praktis seperti itu. Perkaranya kadang kecil, kadang besar. Putusan Sjahrir bekerja sama atau tidak bekerja sama dengan Jepang juga bercorak dilema praktis semacam itu.

Akan tetapi, mana yang dipilih Sjahrir: nasionalisme atau internasionalisme, kebebasan individual atau solidaritas sosial? Boleh juga itu berupa dilema aksi atau refleksi, spontanitas individu atau tertib tatanan, yang lokal atau yang global, roh atau materi, dan sebagainya? Itulah dilema-dilema eksistensial. Ia disebut ”eksistensial” sebab tegangan-tegangan itu secara niscaya senantiasa terlibat dalam perjuangan kita meraih kualitas hidup-personal ataupun hidup-bersama yang bermutu dan matang. Dengan kata lain, dilema memilih ”kebebasan individual atau solidaritas sosial” adalah oposisi semu. Memilih salah satu dengan menyingkirkan yang lain adalah resep pasti menuju kesesatan dan ketidakmatangan. Keduanya hanya perlu dipeluk erat-erat dan dihidupi dalam tegangan abadi sebagai paradoks eksistensial.

Jika alam tidak suka kehampaan, politik tidak suka kerumitan. Itulah mengapa dunia politik praktis berisi kelugasan kubu-kubu pilihan eksklusif ”ini atau itu”. Pilihan eksklusif itu tentu sering niscaya lantaran ia dilema praktis yang sederhana. Akan tetapi, pada banyak momen lain, dunia politik juga berisi dilema-dilema eksistensial: kebebasan atau solidaritas, nasional atau global?

Tergelincir ke salah satunya adalah resep pasti menuju kesesatan. Yang diperlukan adalah menghidupinya sebagai tegangan abadi. Itulah mengapa dalam diri Sjahrir, kita menemukan keengganan tetapi sekaligus kesediaan terhadap dunia politik. Dalam bahasa Sol Tas yang mengenal Sjahrir: ”Dia terlibat dalam politik dari rasa kewajiban, bukan dari minat”.

Mengenali patologi

Seperti apa Sjahrir menuliskan jalan paradoks itu? Dari serakan renungan-renungannya, beginilah contoh ia meyakini jalan paradoks itu:

”Hanya merekalah yang sudah matang dan mengerti akan kehidupan oleh pengalaman, tidak lagi menyobek kehidupan itu dalam dua bagian yang bertentangan satu dengan yang lain; tapi mereka itu melihat peralihan-peralihan, sambungan-sambungan, percampuran-percampuran dari kedua bagian itu” (Surat 16 Desember 1934).

Kali lain, Sjahrir menulis prinsip menghidupi tegangan antara individualitas dan sosialitas:

”Suatu perasaan yang luas dan dalam, suatu rasa bahagia yang sungguh-sungguh, tidak pernah eksklusif. Kita ingin membaginya kepada orang lain... Sebab itu kukira kebahagiaan pribadi yang setinggi-tingginya yang bisa kita raih, mestilah berbarengan dengan kebahagiaan umum umat manusia” (Surat 22 Juli 1934).

Sjahrir menulis, memilih salah satunya adalah ”gambaran manusia yang belum matang”.

Apa yang boleh kita pelajari dari keluhuran jalan paradoks Sjahrir itu? Pertama, silakan mengenali patologi apa yang sedang membusukkan periode sejarah kita dewasa ini? Apakah ia ekstremisme agama, ekstremisme pasar, globalisme, ataukah campuran semua itu? Menurut jalan paradoks Sjahrir, ekstremisme adalah buah busuk dari ketidakmatangan pribadi dan kolektif. Terhadap patologi itu, jalan menuju kematangan hidup pribadi dan berbangsa menuntut kita melancarkan gerakan balik. Kedua, jalan paradoks Sjahrir juga mengajar kita bahwa pemimpin politik sejati bukanlah mereka yang haus akan kursi dan kekuasaan, tetapi mereka yang justru punya sikap curiga dan skeptis terhadap kekuasaan dan jabatannya.

Saya belum pernah bertemu muka dengan Sjahrir. Pada hari pemakamannya, saya bahkan belum tahu menulis dan membaca. Akan tetapi, bahwa sekian tahun kemudian saya boleh belajar dari Sjahrir tentang rahasia kehidupan dan tentang ”jalan paradoks” bagi kematangan politik, ekonomi, budaya, dan intelektual suatu bangsa, itu sudah sebuah kegembiraan.

Sjahrir memang tidak bisa lagi bersuara, tetapi ia tetap nyaring bergema.

B Herry Priyono Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta.

Jumat, 05 Maret 2010


Bo Xilai, Bintang di Partai Komunis China

Kamis, 4 Maret 2010 | 05:39 WIB

Rakaryan Sukarjaputra

Partai Komunis China berkongres pekan ini dan menjadi peristiwa politik besar di negara komunis yang menjadi kekuatan ekonomi terkemuka dunia itu. Nama Bo Xilai pun banyak disebut sebagai calon pemimpin China baru.

Surat kabar resmi Partai Komunis China (PKC), People’s Daily, menobatkan Ketua PKC Provinsi Chongqing itu sebagai ”Tokoh Tahun Ini” dari hasil jajak pendapat. Kepopulerannya disetarakan dengan Rudy Giuliani, mantan Gubernur New York, yang populer di mata warganya. Akan tetapi, masih menjadi pertanyaan apakah Bo juga populer di mata para tokoh PKC.

Bo kelahiran Juli 1949 lulus dari Akademi Ilmu-ilmu Sosial China pada 1982 dengan gelar master. Pada tahun 1968 atau pada usia 19 tahun, dia sudah mulai bekerja di sebuah perusahaan perbaikan perangkat- perangkat keras bagian dari Biro Second Light Industry, Beijing.

Penghasilan dari pekerjaannya itu kemudian dijadikan bekal biaya kuliah di Universitas Peking jurusan sejarah (1977). Dia secara khusus memperdalam sejarah dunia hingga mendapat gelar sarjana pada 1979.

Bo adalah putra Bo Yibo, seorang tokoh gaek Revolusi Komunis. Dia mengikuti jalur politik ayahnya dengan bergabung ke PKC pada Oktober 1980. Dia mendapatkan penugasan pertama di Kantor Riset Sekretariat Komite Sentral PKC. Setelah itu, dia ditunjuk sebagai Wakil Ketua dan kemudian Ketua Komite PKC Kecamatan Jinxian, di Provinsi Liaoning.

Kariernya di PKC terus menanjak hingga kemudian ditunjuk sebagai penjabat Wali Kota Dalian, Distrik Jinzhou, pada 1992. Kemudian dia secara resmi menjadi Wali Kota Dalian sejak 1993 untuk dua kali masa jabatan.

Setelah itu, dia memegang jabatan Wakil Gubernur Provinsi Liaoning berada dalam genggamannya pada Januari 2001 dan sebulan kemudian dia langsung ditunjuk sebagai Gubernur Liaoning, yang lalu ditetapkan pada pemilihan umum PKC 2003.

Bo dianugerahi gelar Model Nasional untuk Penghormatan pada Orangtua pada 1995, kemudian disusul dengan penghargaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Habitat Scroll of Honor pada 1999, atas kontribusi briliannya pada konstruksi perumahan dan pembangunan berkelanjutan, sebuah karyanya sebagai Wali Kota Dalian yang dikenal sebagai kota tebersih di China pada saat itu.

Sadar media

Bo adalah gambaran generasi pemimpin baru China yang sangat sadar dan memanfaatkan media massa untuk membuat sosoknya dikenal luas. Reputasi dia cukup dikenal luas di China daratan, Hongkong, bahkan di luar China. Dia, bahkan, menjulang sebagai bintang politik China setelah menjabat sebagai Menteri Perdagangan 2004 hingga 2007.

Dengan kemampuan bahasa Inggris yang memadai, Bo ditunjuk sebagai Menteri Perdagangan pada kabinet Perdana Menteri Wen Jiabao, menggantikan Lu Fuyuan yang mengalami masalah kesehatan sehingga tidak mampu meneruskan tugasnya. Dengan penampilan yang selalu rapi, gaya bicara yang tegas dan jelas, etos kerja yang tinggi dan terbuka, setiap hari Bo bergelut dengan upaya menarik investasi asing masuk ke China. Media massa dia manfaatkan betul untuk menarik para investor asing masuk ke negerinya.

Hasilnya kemudian terlihat nyata, China menjadi negara tujuan investasi nomor satu di dunia. Perdagangan China-AS pun naik 67 persen dan terus meningkat. Semua itu tidak terlepas dari cara Bo menghadapi para pemimpin Eropa dan AS, yaitu dengan kepercayaan diri yang tinggi dan sikap yang tegas.

Prestasi sebagai Menteri Perdagangan kemudian mengorbitkan Bo sebagai Ketua PKC Provinsi Chongqing dan kemudian juga masuk ke dalam jajaran elite politbiro PKC pada kongres ke-17 PKC tahun 2007. Bo pun diberi tugas baru di wilayah barat daya China itu.

Sebagai Gubernur Chongqing, Bo berjuang memerangi kejahatan terorganisasi yang marak di wilayahnya. Sejak Juni 2009, tak kurang 2.000 orang telah ditangkap dan ditahan dalam operasi pembersihan kelompok-kelompok kejahatan di Chongqing. Kampanye antimafia dia jalankan bukan hanya menyasar kelompok-kelompok di kalangan warga, tetapi juga sejumlah pejabat pemerintahan yang membekingi kelompok-kelompok kriminal itu.

Sebagian pengamat politik China melihat pembasmian kelompok-kelompok mafia dan para pejabat yang melindunginya itu sebagai serangan tidak langsung terhadap Wang Yang, pesaing sekaligus sekutu dekat Presiden Hu Jintao yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur Chongqing.

Dituntut di AS

Bo yang berasal dan lahir dari Dingrang, Provinsi Shanxi, menikahi Gu Kailai pada 1986. Gu adalah seorang pengacara kawakan yang merupakan pengacara China pertama yang berhasil memenangi sebuah kasus publik di AS. Dia juga keturunan dari Perdana Menteri Dinasti Song yang juga seorang penyair, Fan Zhongyan. Mereka mempunyai seorang putra, Bo Guagua, yang merupakan putra dari China daratan pertama yang masuk ke sekolah khusus anak lelaki Harrow di Inggris. Dia juga kemudian diterima di Balliol College, Oxford University.

Di luar prestasinya yang mendapat pujian tinggi di negerinya, Bo juga menjadi target beberapa organisasi pejuang hak asasi manusia AS. Center for Investigative Reporting melaporkan, mereka memasukkan tuntutan terhadap Bo ke pengadilan AS, dengan dakwaan anggota elite politbiro itu mengoperasikan sejumlah kamp pekerja paksa di mana para pekerjanya dipukuli dan dibunuh. Bo dituduh melakukan aksi-aksi tersebut pada saat menjabat sebagai Gubernur Provinsi Liaoning antara 2001 dan 2004.

Akan tetapi, pemerintahan Presiden George Walker Bush ketika itu meminta hakim Richard J Leon, yang memimpin sidang kasus Bo itu di Pengadilan Federal Distrik Columbia, untuk mengabaikan kasus itu, dengan alasan tuntutan itu mempunyai ”konsekuensi-konsekuensi langsung atas kebijakan luar negeri”.

PBB dalam laporannya mengenai tindak penyiksaan di sejumlah negara, pada 2007 menuduh Bo membunuhi sejumlah anggota Falun Gong untuk diambil bagian jantung, liver, dan organ-organ tubuh lainnya, yang kemudian diberikan kepada para pasien yang membutuhkan transplantasi.

Akan tetapi, tuduhan itu langsung dibantah Pemerintah China dan menganggap tuduhan itu hanyalah ”desas-desus semata”. (AP/Reuters)

Mengenang Sutan Sjahrir


Jumat, 5 Maret 2010 | 04:40 WIB

Sabam Siagian

Perdana Menteri Republik Indonesia pertama (November 1945-Juni 1947), Sutan Sjahrir, lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909. Selama setahun sejak peringatan Seratus Tahun Sjahrir pada 5 Maret 2009, serangkaian acara diselenggarakan—baik di Jakarta maupun di beberapa daerah—dalam bentuk seminar, pameran foto, maupun malam peringatan.

Semuanya itu bermuara pada hari ini, 5 Maret 2010, bertepatan dengan 101 tahun Sutan Sjahrir, dengan diluncurkannya dua buku tentang Bung Sjahrir dalam suatu acara untuk para undangan. Buku pertama adalah terbitan baru berjudul Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan/True Democrat, Fighter for Humanity; 1909-1966. Buku ini unik karena diterbitkan dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) yang memuat tulisan esai biografis oleh wartawan senior Rosihan Anwar (87) dengan kata pengantar oleh Ignas Kleden.

Seratus foto tentang perjalanan hidup Sutan Sjahrir sejak ia di besarkan di kota Medan sampai dimakamkan di Taman Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan, menunjang dua tulisan tersebut. Buku kedua (tebalnya hampir 500 halaman!) sebenarnya merupakan cetak ulang dari buku Mengenang Sjahrir yang diterbitkan pada awal 1980, sehubungan dengan peringatan 14 tahun meninggalnya Sjahrir pada 9 April 1966 di Zurich saat masih sebagai tahanan politik rezim Presiden Soekarno.

Buku itu (editor Rosihan Anwar; kata pendahuluan oleh Soedjatmoko) memuat sumbangan tulisan dari sejumlah besar tokoh di dalam dan di luar negeri yang pernah bekerja sama atau pernah mengenal Sjahrir. Cetak ulang ini menjadi tebal karena ditambahkan dengan beberapa tulisan oleh peserta dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan di gedung Kompas, 2 Maret 2009, untuk memperingati Seratus Tahun Sutan Sjahrir. Cetak ulang ini atas dorongan Jakob Oetama dan St Sularto yang menulis 100 Tahun Sjahrir: Inspirator untuk Bangsanya.

Buku Sutan Sjahrir, Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan dikonsepsikan oleh Jaap Erkelens, warga Belanda, yang bertahun-tahun pernah bertugas sebagai Kepala Perwakilan Badan Riset dan Penerbitan Belanda, KITLV, di Jakarta. Ia fasih berbahasa Indonesia.

Cita-citanya adalah menerbitkan buku foto dengan esai biografis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tentang tiga tokoh utama Revolusi Indonesia pada HUT ke-100 mereka, yakni Soekarno (terbit tahun 2001), Mohammad Hatta (terbit tahun 2002), dan Sutan Sjahrir, yang seharusnya terbit pada tahun 2009, tetapi karena beberapa kendala teknis baru terbit tahun 2010.

Jaap Erkelens bertekad untuk menunjang setiap buku dengan 100 foto yang dipilih secara ketat. Untuk buku seratus tahun Sjahrir ini, ia memerlukan dua tahun menelusuri sejumlah arsip yang menyimpan foto-foto Sjahrir. Dan, kalaupun diketemukan, pemilik arsip minta harga yang cukup tinggi untuk setiap foto yang akan dimuat sehingga memerlukan pendekatan diplomasi yang agaknya dilakukan oleh Jaap Erkelens secara efektif. Beberapa dari foto dalam buku Sjahrir, Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan memang mengharukan dengan penulisan teks keterangan yang sarat dengan ungkapan khas (kadang-kadang teks dalam bahasa Inggris lebih menarik dibandingkan dengan versi Indonesia), seperti foto di halaman 94: Amir Sjarifoeddin dan Sutan Sjahrir berdiri di tangga Istana Rijswijk (sekarang Istana Negara), dua tokoh pemimpin Sosialisme Demokrasi yang kemudian berpisah haluan; dan di halaman 163: Sjahrir, dengan istri dan keluarga sedang menghirup udara segar di tepi Danau Zurich tahun 1966, beberapa bulan sebelum ia meninggal.

Ukuran buku baru tentang Sjahrir ini, hasil gagasan Jaap Erkelens, amat menarik: 21 x 21 cm, dicetak dengan kertas kualitas luks. Sejumlah foto tua berhasil ”diremajakan” oleh Penerbit Buku Kompas sehingga lebih cemerlang pantulannya. Dua tulisan dalam buku ini: kata pengantar oleh Ignas Kleden dan esai biografis oleh Rosihan Anwar (padat, tidak bertele-tele) mengesankan kualitasnya. Tulisan Ignas Kleden bukan saja mencerminkan didikan solid yang dialaminya di Jerman di bidang sosiologi dan filsafat, tetapi ia juga menguasai kerangka teoretis dari alam pemikiran Sjahrir.

Cita-cita Sjahrir

Rosihan Anwar dalam tulisannya memanfaatkan pengetahuan serta pengalamannya di bidang drama sehingga mampu menyajikan hidup Sjahrir dengan suasana suspense. Bung Rosihan meminjam alat utama untuk menganalisa drama, yaitu ”premis”. Tulisnya: ”Riwayat hidup Sjahrir, kita rumuskan premisnya sebagai berikut: Cita-cita yang luhur membawa kepada maut, tapi juga harapan.”

Dalam buku kedua, cetak ulang Mengenang Sjahrir (1980) dicantumkan subjudul yang tidak ada pada edisi aslinya, yakni kata-kata berikut: ”Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan”.

Label ”Tersisih dan Terlupakan” tampaknya sudah merupakan merek pada figur Sutan Sjahrir. Merek itu sudah diberikan pada tahun 1995 oleh penulis biografi Sjahrir, Rudolf Mrazek, Sjahrir, Politics and Exile in Indonesia. Dalam bab penutup, ia secara prematur berkonklusi bahwa Sjahrir mulai dilupakan karena mereka yang mengenal dan mengaguminya satu per satu meninggal.

Paradoksnya, usaha mencetak buku tebal Mengenang Sjahrir itu sendiri membuktikan bahwa tidak begitu akurat menyebut Sjahrir sebagai ”Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan”. Kalau demikian halnya, apa yang mendorong masyarakat, bahkandari generasi muda sekalipun, sekarang ini ingin mengetahui mengenai sosok, pemikiran, dan cita-cita Sutan Sjahrir?

Mungkin, seperti yang pernah dinyatakan Soedjatmoko, karena: ”Sjahrir, dalam tulisan-tulisannya, ataupun dalam tindakan-tindakannya, mencerminkan keyakinan bahwa kemerdekaan nasional hanya merupakan jembatan untuk tercapainya tujuan-tujuan perjuangan kebangsaan lainnya, yaitu kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan dan tekanan dan pengisapan, keadilan dan pembebasan bangsa dari genggaman sisa-sisa feodalisme, serta pendewasaan bangsa”.

Sepuluh tahun setelah reformasi merekah, tampaknya justru meningkat urgensi untuk menemukan kembali tujuan esensial dari kemerdekaan nasional. Mungkin karena itulah, memperingati dan mengenang Sutan Sjahrir bukanlah sekadar ritual hampa belaka.

Sabam Siagian Redaktur Senior The Jakarta Post

Kamis, 21 Januari 2010

James Cameron, Masa Depan Teknologi Film



Rabu, 20 Januari 2010 | 04:07 WIB

Amir Sodikin

Sutradara film yang juga mantan sopir truk, James Cameron (55), kini mewakili generasi yang yakin akan masa depan teknologi. Ia mampu mengelola dan mengulur waktu, rela menunda bertahun-tahun untuk tidak membuat film, hanya untuk menunggu berkembangnya teknologi.

Di film Avatar, Cameron sudah memulainya tahun 1994 dengan menulis naskah cerita 80 halaman. Setelah menyelesaikan film Titanic (1997), ia berjanji membuat Avatar yang mengandalkan aktor-aktor yang dihasilkan dari komputer dengan rencana rilis tahun 1999.

Namun, teknologi dirasa belum mampu memfasilitasi standar visual yang diinginkan Cameron. Sambil menunggu perkembangan teknologi, ia berkonsentrasi memperkaya dokumentasi Avatar. Film ini baru dirilis akhir 2009.

Avatar mengisahkan bangsa Na’vi yang menghuni satelit Pandora di bawah planet Polyphemus yang masuk tata surya Alpha Centauri. Dengan setting tahun 2154, bangsa Na’vi yang warna kulitnya biru ini kedatangan bekas personel angkatan laut Amerika, Jake Sully (Sam Worthington), yang menjalani program avatar, sebuah program yang bisa mengubah manusia menjadi Na’vi.

Istilah avatar diambil Cameron dari khazanah agama Hindu, yang berarti inkarnasi. Film berbiaya 280 juta-310 juta dollar AS ini fenomenal karena selain dirilis dalam versi 2D juga dirilis dalam format 3D, RealD 3D, Dolby 3D, dan IMAX 3D.

Kerja keras Cameron tak hanya memodifikasi sistem 3D, tetapi juga menciptakan lingkungan Pandora, mulai dari budaya, bahasa, hingga ekologi. Bahasa Na’vi diciptakan ahli bahasa University of Southern California, Dr Paul Frommer, dengan membuat kosakata 1.000 kata, sekitar 30 kata sumbangan Cameron.

Jodie S Holt, profesor fisiologi tumbuhan dari University of California, Riverside, juga dilibatkan memberi masukan.

Film sci-fi Avatar ini di sejumlah belahan dunia telah mendominasi box office dan meraup lebih dari 1,6 miliar dollar AS. Tak mengherankan jika perhelatan Golden Globes, Senin (11/1) lalu, menobatkan Avatar sebagai film terbaik drama sekaligus menjadikan Cameron sutradara terbaik.

Awalnya murahan

Cameron dilahirkan di sebuah kota Kapuskasing, dekat air terjun Niagara, Ontario, Kanada. Ayahnya, Phillip, adalah teknisi pabrik bubur kertas. Ibunya, Shirley, adalah seorang pelukis.

Cameron menganggap dirinya mewarisi sifat ibunya yang seniman-irasional dan sifat ayahnya yang rasional-disiplin. Karena itu, selain jago fisika, dia juga berminat pada teater. Selain analitis dan logis, dia juga punya khayalan tinggi.

”Saya menghabiskan waktu luang di perpustakaan dan selalu membaca buku-buku fiksi ilmiah, dari situ saya menyadari antara fantasi dan realitas itu tak jelas,” katanya. Bacaan yang ia senangi menyangkut biologi terutama mutasi genetik dan soal alien.

Cameron memulai kariernya sebagai pembuat film horor murahan. Namanya baru dikenal ketika membuat The Terminator (1984) yang naskah ceritanya ia tulis sendiri. Awalnya, tak ada studio yang mau karena disutradarai Cameron. Film inilah akhirnya yang mengangkat karier Cameron di dunia penyutradaraan.

Film Aliens (1986) dan True Lies (1994) semakin menguatkan posisi Cameron sebagai sutradara film aksi. Karakter Cameron yang mengambil gambar secara dekat dan dramatis membuat ia percaya diri membuat film romantis dramatis.

Maka, ia pun membuat Titanic (1997) dan menjadi orang pertama yang bisa menembus pendapatan 1 miliar dollar AS, tepatnya 1,8 miliar dollar AS.

Titanic juga mencetak penghargaan fantastis dengan mendapat 11 nominasi Academy Awards atau Oscar, di antaranya menang sebagai sutradara terbaik, penyuntingan terbaik, dan film terbaik.

Dalam hal pendapatan, pesaing Titanic hanya Avatar, yang ia sutradarai juga. Jika Titanic yang merajai Golden Globes akhirnya juga merajai Oscar, apakah Avatar yang merajai Golden Globes juga mampu mendominasi Oscar yang digelar Maret nanti?

Bisa jadi demikian, tetapi mengingat genre fiksi ilmiah jarang menyabet penghargaan di kategori bergengsi, tampaknya itu berat untuk Avatar. Cameron menyadarinya karena itu ia tak menyangka menyabet sutradara terbaik di Golden Globes mengalahkan mantan istrinya, Kathryn Bigelow (The Hurt Locker).

Cara kerja Cameron

Cameron memodifikasi sistem kamera sendiri dengan menggunakan kamera dengan satu body dilengkapi dua lensa high-definition agar bisa mengambil gambar 3D. Untuk menciptakan grafis presisi, aktor terlebih dulu memerankan aksi nyata, misalnya memanjat pohon.

Cameron melihat aksi itu dengan kamera, saat bersamaan para alien di lingkungan Pandora juga memainkan aksi di grafis komputer. Dengan cara ini, Cameron bisa langsung membandingkan gerakan aktor dengan gerakan alien di komputer.

Aktor juga memakai pakaian yang dilengkapi reflektor kecil, semua gerakan aktor direkam oleh 140 kamera digital. Data ini menjadi sumber membuat gerakan grafis yang natural.

Tiap aktor memakai kamera kecil yang dikaitkan di kepala untuk merekam ekspresi wajah, mata, bibir, dan semua gerakan di muka. Data kemudian dipetakan di grafis agar mimik wajah hasil rekaan komputer mirip aslinya.

Sebenarnya, sejak lama, para pencipta video game sudah menggunakan teknik ini untuk membuat gerakan tokoh di video game lebih nyata. Namun, kehadiran Avatar telah membuat penyadaran luas soal kekuatan teknologi.

Terlepas suka atau tidak suka dengan Avatar, film ini telah menjadi kunci dimulainya teknologi inovatif. Dengan revolusi 3D yang modifikasi peralatannya ia rancang sendiri, Cameron telah memberikan kontribusi akan harapan masa depan film.

Ke depannya, jika sepakat teknologi 3D adalah sebuah standar format yang harus ada, problem pembajakan bisa diminimalkan mengingat teknologi 3D tak bisa dihadirkan secara murah di ruang teater rumah. (AP/AFP)

Sabtu, 09 Januari 2010

"In Memoriam": Frans Seda


Sabtu, 9 Januari 2010 | 03:20 WIB

Toeti Heraty N Roosseno

Tahun 1956 seorang putra Flores Indonesia lulus sarjana ekonomi Belanda, Universitas Katolik Tilburg. Lulusan Belanda masih langka sejak penyerahan kedaulatan Belanda-Indonesia, dan Frans memanfaatkan beberapa waktu untuk menikmati sisa waktu sebelum kembali ke Indonesia dengan idealisme tinggi.

Ia antara lain pernah menghadiri suatu pementasan drama oleh mahasiswa Indonesia: naskahnya ciptaan Basuki Gunawan dan sutradaranya Iwan Simatupang. Persoalannya, siapa yang akan memperoleh peran utama.

Konon kabarnya ini selalu diperebutkan setiap tahun antara dua tokoh berposisi primadona ialah Titi Sutan Assin atau Nora Panggabean–Waney, jadi akhirnya yang beruntung adalah pendatang baru di Amsterdam, ialah Toeti Heraty, aku sendiri.

Judul naskah ”Hujan Tak Datang Juga”, temanya tentang kehilangan cinta. Latihan dimulai di Michel-Angelo straat 39, tempat tinggalku. Iwan Simatupang berkunjung dengan jas korduroi merah menyala: temperamen artistik dan meyakinkan, tetapi konflik tak terabaikan antara penulis naskah dan sutradara. Kami pemain akhirnya ditinggalkan tanpa arahan dan terpaksa maju ke pentas. Untung berhasil!

Lalu aku diwawancarai di radio Hilversum oleh Frans Seda sendiri karena pemerananku yang disebut oleh resensi liputan media sebagai grandioos en ongeposeerd ! Mengagumkan dan alamiah.

Pertemuan dengan Frans tidak berakhir di situ; menonton pentas, berwawancara, dan kunjungan ke Amsterdam untuk membantuku pindah alamat dan belanja buku. Sederet buku Margareth Mead dan satu buku tentang kematian dibelikan olehnya untuk tanda mata, sebelum Frans kembali ke Tanah Air. Lalu dari jauh aku saksikan kesuksesannya dalam berkarier dan bermasyarakat.

CATATAN 1956

untuk Frans

pasar malam terang, keriuhannya!

balon aneka warna, lepas satu meluncur

ke langit

manusia mencari, menjulurkan leher

berdesakan di atas tumit

gelisah mimpi, hidup ibarat pelita

nyamuk pun enggan menyentuhnya

pagar rotan berpindah tangan, selendang leher

yang ketinggalan

beberapa buku berjejer di papan, salah satu

ajarkan manusia

bagaimana seharusnya ia hadapi mautnya

keriuhan pasar di malam hari, tersesat hati

bagaimana temukan cinta kembali

perahu layar bergetar meriah, arah tujuan

belum pasti

angin pun tak sabar, (di karang mana terdampar nanti)

terbangun dari mimpi, - esok tak dapat dielakkan lagi -

kuseka air mata dari pipi

Sepuluh tahun kemudian, aku sudah kembali ke Indonesia, Frans telah menjadi salah satu menteri, dan dengan Ibu Jo, istrinya, terkadang menunjukkan perhelatan di rumah orangtuaku di Jalan Imam Bonjol. Suatu pasangan yang serasi dan menyejukkan hati. Sempat masih bertemu untuk acara makan dan berdialog. Dia sudah berhasil menerapkan idealismenya secara nyata dan aku kagumi. Mungkin juga sedikit iri.

Tetapi waktu berlanjut, dan terakhir di Katedral pada tanggal 2 Januari 2010 aku mengucapkan selamat berpisah, selamat jalan kepada Frans. Menyampaikan belasungkawa kepada istrinya, Jo, yang tabah, pula kepada Eri dan Nessa. Suatu era telah lewat, kesaksian masa lalu dengan idealisme masing-masing, lalu ditinggalkan dalam kekalutan negara, khususnya di bidang hukum yang tentu terkait dengan ekonomi, bidang pergulatannya hingga 83 tahun.

Frans, istirahatlah dengan damai, senantiasa.

DIALOG

untuk Frans

di atas meja

antara mereka berdua

vas besar dengan kembang kembang

kembang kertas menutupi pandang

belum ada yang menyisihkan

kata dan pandanglah

yang melintasi kembang

sementara itu sembunyi diam karena

pertemuan yang terlampau telanjang

dan tiba tiba

harus diatasi

tak ada malam tapi bulan turut bicara

dan kerlap kerlip bintang meluncur karena

kapal terlalu lancar tahu benar

apa yang dituju

asing dari kegagalan –

di atas meja

kini terang

dengan kelangsungan kata dan pandang

bunga-bunga,

telah disingkirkan olehnya

Juni ’67

Toeti Heraty N Roosseno Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia

Gus Dur dan Politik Multikulturalisme


Sabtu, 9 Januari 2010 | 02:53 WIB

A SONNY KERAF

Banyak yang telah ditulis tentang keberpihakan Gus Dur terhadap pluralisme dan multikulturalisme. Harus diakui bahwa komentar, tafsir, dan berbagai teks tentang Gus Dur akan terus mengalir tiada henti. Ini konsekuensi logis dari dua hal.

Pertama, pluralisme bagi Gus Dur bukan sebuah wacana dan bukan pula sekadar sebuah perjuangan untuk menjadi realitas kehidupan bersama. Bagi Gus Dur, pluralisme adalah eksistensi kehidupan dan menjadi sebuah penghayatan eksistensial bagi dirinya. Karena itu, kedua, konsekuensi logisnya, ia menerima adanya tafsir beragam-ragam atas sikap eksistensi hidupnya. Hidupnya adalah sebuah teks multitafsir yang beragam. Yang berarti kontroversi, perbedaan, dan keragaman tafsir atas sikap dan penghayatan hidup Gus Dur sudah menjadi konsekuensi logis dari eksistensi Gus Dur.

Tulisan ini ingin mengangkat tiga aspek penting dari sikap eksistensial Gus Dur sebagai penghayatan hidupnya akan multikulturalisme. Ketiga aspek itu kiranya dapat menjadi landasan bagi terbangunnya sebuah politik multikulturalisme di Indonesia, yaitu terbangunnya penghayatan hidup bersama akan keberagaman sebagai bagian dari hidup bersama yang perlu dihayati secara konsekuen.

Pengakuan

Aspek pertama dari multikulturalisme yang dengan gigih dihayati oleh Gus Dur adalah pengakuan akan adanya pluralitas atau perbedaan cara hidup, baik secara agama, budaya, politik, maupun jenis kelamin. Menerima dan menghayati multikulturalisme berarti pertama-tama ada pengakuan mengenai adanya orang lain dalam keberbedaan dan keberlainannya. Inilah yang disebut Will Kymlicka sebagai the politics of recognition: sikap yang secara konsekuen mengakui adanya keragaman, keberbedaan, dan kelompok lain sebagai yang memang lain dalam identitas kulturalnya.

Konsekuensi lebih lanjut dari pengakuan ini, semua orang dan kelompok masyarakat yang beragam-ragam itu harus dijamin dan dilindungi haknya untuk hidup sesuai dengan keunikan dan identitasnya. Dasar moral dari pengakuan, jaminan, dan perlindungan ini adalah humanisme: setiap orang hanya bisa berkembang menjadi dirinya sendiri dalam keunikannya: agama, suku, jenis kelamin, aliran politik.

Pemaksaan terhadap cara hidup yang berbeda dari yang dianutnya adalah sebuah pelanggaran atas harkat dan martabat manusia yang unik, dan sekaligus juga pengingkaran atas identitas dan jati diri setiap orang sebagai pribadi yang unik. Demikian pula sebaliknya, penghambatan terhadap orang lain dalam melaksanakan identitas agama, budaya, jenis kelamin, dan aliran politiknya yang berbeda sejauh tidak mengganggu tertib bersama adalah juga sebuah pelanggaran atas harkat dan martabat manusia yang unik.

Ini semua dihayati oleh Gus Dur secara konsekuen, termasuk bahkan dianggap nyeleneh dan kontroversial. Namun, itu adalah risiko dari pilihan politik atas multikulturalisme.

Toleransi

Konsekuensi logis dari pilihan politik seperti itu adalah toleransi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik pengakuan. Akibat logis yang masuk akal dari politik pengakuan adalah membiarkan orang lain berkembang dalam identitasnya yang unik. Memaksa orang lain menjadi kita, atau menghambat orang lain menjadi orang lain, sama artinya dengan membangun monokulturalisme. Yang berarti antimultikulturalisme.

Hanya saja, yang menarik pada Gus Dur, toleransi pertama-tama dihayati oleh beliau bukan secara negatif-minimalis: sekadar membiarkan orang lain menjalankan identitas kulturalnya (dalam pengertian luas mencakup agama, adat istiadat, jenis kelamin, dan aliran politik). Toleransi yang negatif-minimalis adalah sekadar tidak melarang, tidak menghambat, tidak mengganggu, dan tidak merecoki orang lain dalam penghayatan identitas kulturalnya. Toleransi negatif-minimalis inilah yang masih menjadi perjuangan berat bagi kita semua.

Gus Dur justru menghayati dan mempraktikkan toleransi yang berbeda dan sudah satu langkah lebih maju dari toleransi negatif-minimalis di atas. Yang dihayati dan dipraktikkan beliau adalah toleransi positif-maksimal: membela kelompok mana saja—termasuk khususnya minoritas—yang dihambat pelaksanaan identitas kulturalnya. Bahkan, lebih maksimal lagi, ia mendorong semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas kulturalnya secara konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak mengganggu dan menghambat kelompok lain. Maka, ia mendorong orang Kristen menjadi orang Kristen sebagaimana seharusnya seorang Kristen yang baik. Ia mendorong orang Papua menjadi orang Papua dalam identitas budayanya yang unik. Dan seterusnya.

Toleransi positif-maksimal ini bahkan dihayati Gus Dur secara konsekuen tanpa kalkulasi politik dan tanpa dipolitisasi untuk kepentingan politik apa pun selain demi humanisme: mendorong semua manusia menjadi dirinya sendiri yang unik tanpa merugikan pihak lain.

Kian jadi diri sendiri

Aspek ketiga dari multikulturalisme Gus Dur adalah semakin ia mengakui kelompok lain dalam perbedaannya dan mendorong kelompok lain menjadi dirinya sendiri, semakin Gus Dur menjadi dirinya sendiri dalam identitas kultural dan jati dirinya. Semakin Gus Gur mendorong umat dari agama lain menghayati agamanya secara murni dan konsekuen, beliau justru semakin menjadi seorang Muslim yang baik dan tulen.

Ini hanya mungkin terjadi karena Gus Dur sendiri sudah oke dengan jati dirinya sendiri, dengan identitas kulturalnya, dan menjalankan identitas kulturalnya secara murni dan konsekuen sebagaimana ia menghendaki orang lain melakukan hal yang sama. Itu disertai dengan keyakinan yang teguh bahwa semakin orang menjadi dirinya sendiri dalam identitas kulturalnya, maka semakin terjamin tertib sosial. Sebab, ketika seseorang melaksanakan identitas kulturalnya sampai merusak tertib sosial, ia merusak citra diri dan identitasnya, serta identitas semua kelompok kultural terkait.

Artinya, multikulturalisme bukan sebuah ancaman terhadap tertib sosial. Multikulturalisme dengan politik pengakuan dan toleransinya yang dihayati secara konsekuensi sebagai eksistensi manusia akan justru menjamin tertib sosial dan melalui itu setiap orang akan bisa menjadi dirinya sendiri dalam keragamannya yang unik.

Proyek besar yang ditinggalkan Gus Dur, yang sekaligus menjadi tantangan kita bersama, adalah bahwa kita masih berbicara tentang multikulturalisme pada tingkat wacana. Kita belum benar-benar menghayati dan melaksanakannya secara konsekuen sebagaimana Gus Dur. Hal itu, antara lain, karena kita terhambat oleh ketakutan kita sendiri.

Pertama, kita takut tidak diterima orang lain dalam keberbedaan dan keunikan identitas kultural dan jati diri kita. Kedua, kita takut akan bayangan kita sendiri yang kita proyeksikan pada orang lain seakan orang lain akan menolak segala praktik kultural kita karena kita sendiri tidak benar-benar oke dengan identitas kultural dan jati diri kita. Ketiga, kita takut kalau-kalau dengan mengakui identitas kultural pihak lain, kita sendiri terbawa hanyut dalam identitas kultural pihak lain lalu kehilangan jati diri.

Minimal Gus Dur telah mengajarkan dan meninggalkan warisan bagi kita bahwa ternyata menghayati dan mempraktikkan multikulturalisme secara murni dan konsekuen itu tidak repot. ”Betul, Gus. Gitu aja kok repot.”

A SONNY KERAF Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Pemerintahan Presiden Gus Dur (1999-2001) dan Pengajar Universitas Atma Jaya, Jakarta