Jumat, 19 Maret 2010 | 03:20 WIB
Oleh Fransisca Romana Ninik
Keyakinan itulah yang membawa cucu Mahatma Gandhi ini mengampanyekan rasa saling percaya, rekonsiliasi, dan demokrasi selama lebih dari setengah abad.
”Tentu saya kadang merasa kecewa, frustrasi. Namun, selalu ada sesuatu yang membangkitkan semangat sehingga kekecewaan dan frustrasi itu hanya sebentar,” kata Rajmohan seusai memberikan ceramah di Gandhi Memorial International School, Jakarta, Jumat (12/3).
Dia melawat ke Jakarta dan sejumlah kota lain di dunia untuk mendorong perubahan positif bagi dunia, bersama lembaga nonpemerintah Initiative for Change International yang dipimpinnya. Khusus di Jakarta, dia membawakan pidato tentang mengapa Mahatma Gandhi memilih jalan nir-kekerasan.
”Mengapa saya di sini? Tentu karena saya cucu Mahatma Gandhi,” katanya, disambut tawa hadirin.
Menurut dia, sudah sifat alami manusia untuk berkuasa. ”Apakah Gandhi terlahir menolak kekerasan dan apakah Gandhi selalu nir-kekerasan?” tanyanya.
Rajmohan menuturkan, sebagai anak muda, Gandhi marah atas pendudukan Inggris. Namun, dari berbagai hal yang dialami, dilihat, didengar, dan dibaca Gandhi, akhirnya muncul pemahaman dirinya bahwa kekerasan tidak pernah berhasil.
”Gandhi melihat, pembalasan warga India terhadap pasukan Inggris sangat brutal, begitu juga sebaliknya. Saat seorang India melakukan hal buruk terhadap Inggris, tak hanya orang itu yang mendapat balasan, tetapi seluruh desanya. Ibu-ibu dan anak-anak tak bersalah pun menjadi korban,” katanya.
Terbukti dengan prinsip ahimsa atau nir-kekerasan, India berhasil lepas dari penjajahan Inggris.
Rajmohan menulis biografi tentang kakeknya, Mohandas: A True Story of a Man, His People and an Empire (2007). Buku itu merupakan kenangan Rajmohan terhadap salah seorang paling berpengaruh di dunia, tentang perjalanan hidup Gandhi dan kehidupan bersama orang-orang terdekatnya.
Tentang sang kakek, Rajmohan mengenang saat dia duduk di samping Gandhi dalam doa bersama berbagai pemeluk agama. Gandhi biasa mengutip ayat-ayat dari berbagai kitab suci. Hal itu sering kali memunculkan keberatan dari kalangan pemeluk Hindu.
”Mereka sering marah kepada Gandhi. Saya, sebagai anak kecil yang duduk di sampingnya, hanya berpikir bagaimana bisa melindungi orang tua itu dari mereka yang marah. Ternyata, meskipun kurus, orang tua itu sangat berani,” ujar Rajmohan.
Rajmohan membawa buku itu serta satu buku karya terbarunya, A Tale of Two Revolts: India 1857 & the American Civil War (2009), dalam lawatannya ke sejumlah negara. Dari situlah Rajmohan meneruskan perjuangan Gandhi menebarkan prinsip nir-kekerasan kepada berbagai lapisan masyarakat dunia.
”Untuk mengubah dunia, kita harus mulai mengubah diri kita dulu. Ingat, saat kita menunjuk orang lain, satu jari menunjuk mereka dan tiga jari lain menunjuk balik kepada kita,” ujarnya.
Rajmohan secara konsisten bekerja untuk rekonsiliasi India-Pakistan. Dalam sebuah wawancara tahun 2009, dia menuturkan, saat berusia 16 tahun, tiga tahun setelah Gandhi dibunuh pada 1947 dan saat India-Pakistan sudah terpisah, dia mendengar berita bahwa Perdana Menteri Pakistan Liaquat Ali Khan ditembak. Kepada orang yang membawa berita itu, Rajmohan mengatakan, dia memperkirakan akan segera mendengar berita PM meninggal.
”Orang itu mematung, saya sangat malu dengan pernyataan konyol dan buruk tentang seseorang yang tidak melakukan hal buruk pada saya,” ujarnya tentang peristiwa waktu itu.
Sejak saat itulah, Rajmohan bekerja untuk mempromosikan hubungan yang lebih baik antara India dan Pakistan. Dia secara rutin berkunjung ke Pakistan. Pemikirannya tentang hal itu tertuang dalam dua buku, Eight Lives: A Study of Hindu-Muslim Encounter dan Reconciliation & Revenge: Understanding South Asian History.
Saat ditanya tentang kondisi hubungan India-Pakistan sekarang, Rajmohan dengan tegas mengatakan, hubungan itu bukanlah konflik, melainkan hanya sebuah rasa saling tidak percaya.
”Sekarang ini beberapa pembicaraan telah digelar, yang tentu saja bagus. Tetapi, seharusnya tidak hanya antara pemerintah dan pemerintah, juga harus antara masyarakat (India) dan masyarakat (Pakistan),” katanya.
Pembicaraan antara India dan Pakistan adalah sesuatu yang paling menimbulkan semangat Rajmohan. ”Kendati demikian, iklimnya belum bagus. Masih ada saling curiga. Saya ingin hal itu berubah,” tuturnya.
Pada Januari lalu, saat terjadi serangan teroris di Mumbai, India, yang disebut-sebut terkait dengan jaringan teroris di Pakistan, Rajmohan termasuk salah satu di antara para intelektual India dan Pakistan yang mengatakan perang bukanlah pilihan.
Di sebuah negara di mana Gandhi masih sangat dihormati, pernyataan Rajmohan patut diperhitungkan. Namun, nama besar Rajmohan bukan hanya karena dia adalah cucu Mahatma Gandhi. Kerja kerasnya sebagai wartawan, reformis sosial, dan akademisi, telah memberinya sederet penghargaan.
Tahun 1963, Rajmohan menggelar ”March on Wheel” di seantero India dan menginspirasi ribuan orang untuk bekerja demi India yang bersih, kuat, dan bersatu. Setelah itu, Rajmohan juga mengembangkan pusat pelatihan dan konferensi Initiatives of Change bernama Asia Plateau di Panchgani pada tahun 1968.
Sekarang ini, Rajmohan adalah profesor peneliti pada Center for South Asian and Middle Eastern Studies di University of Illinois, Amerika Serikat. Delapan buku telah lahir dari tangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar