Selasa, 18 Agustus 2009

Perginya Seorang WS Rendra



Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Di saat jenazah WS Rendra, penyair besar ini, mau dikebumikan sesudah salat Jumat 7 Agustus 2009, hanya seorang menteri yang saya lihat hadir dengan wajah duka yang dalam, seperti wajah-wajah lain juga yang sama larut dalam kepiluan. Menteri itu adalah Rahmat Witoelar.

Tampaknya, menteri lingkungan hidup ini hadir sebagai pribadi, bukan mewakili pemerintah. Bagi Rendra tentunya tidak penting, apakah negara menghormatinya atau tidak menghiraukannya, bukanlah bagian esensial dari filosofi hidupnya. Yang jelas, cinta Rendra kepada Indonesia sebagai bangsa sungguh berakar dalam. Rendra bukan hanya seorang penyair, dramawan, peminat sejarah, tetapi pemikir dan pengamat sosial yang tajam. Rendra adalah pribadi merdeka yang tidak bisa diam melihat segala ketidakberesan dan ketidakjujuran yang masih melilit sekujur tubuh bangsa dan negara tercinta ini. Saya banyak belajar langsung pada penyair dengan stamina spiritual yang mengagumkan ini.

Sudah lebih 10 tahun saya bersahabat dengannya, sesuatu yang terlambat. Hampir setiap berjumpa, ada saja lontaran pemikiran segar yang keluar dari tutur katanya. Forum AJ (Akademi Jakarta) bagi saya adalah di antara sarana yang cukup berjasa mempertemukan para anggotanya yang hadir dalam rapat dengan Rendra. Dalam beberapa tahun terakhir, dua kali Rendra mengundang saya berkunjung ke padepokannya. Di sana pasti disuguhi dengan makanan khas serbaalami. Sala, karyawan PP Muhammadiyah Jakarta, pernah mengantarkan saya ke padepokan itu. Dengan penuh bahagia, Sala menikmati suguhan keluarga Rendra yang beraneka itu. Ada nasi merah, pisang dan kacang rebus, dan beraneka macam makanan lainnya, yang diambil dari hasil tanah miliknya seluas enam hektare itu.

Entah karena apa Bung Sala pulalah yang mengantar saya bersama Asmul Khairi, putra sepupu saya, karyawan dephub, melayat Rendra sampai terkubur siang Jumat yang penuh sesak oleh para pelayat itu, termasuk Rosihan Anwar, Moerdiono, Eros Djarot, dan Sitor Situmorang. Sebelum Sala menjemput saya ke bandara Soekarno-Hatta, saya kirim SMS ini kepadanya: ''Terima kasih sekali, Bung Sala, seperti diatur Allah, kita pernah makan di rumah Rendra, sekarang kita akan ke sana lagi untuk berpisah selama-lamanya dengan sahabat kita ini, saya terpukul berat. Saya sampai di bandara jam 10.20 dengan GA.'' Seorang karyawan seperti Bung Sala merasakan benar betapa Rendra tidak membeda-bedakan siapa tamunya. Diplomat asing, duta besar, menteri, petani, jenderal, mahasiswa, dosen, atau siapa saja, bagi Rendra semuanya adalah manusia penuh yang diperlakukan sebagai manusia utuh. Filosofi politik Bung Hatta dalam formula ''Daulat Rakyat'' sebagai lawan ''Daulat Tuanku'' telah lama menjadi bagian menyatu dengan seluruh bangunan pandangan politik Rendra.

Untuk memanaskan kepekaan kita pada situasi bangsa yang kadang-kadang tidak menentu, simaklah baik-baik puisi Rendra dengan judul Kesaksian Bapak Saija yang saya kutip sebagian saja. Puisi ini betarikh 7 Juli 1994.

O, kali yang membawa kesuburan,
Akhirnya samudra menampung air mata.
Panen yang melimpah setiap tahun
bukanlah rezeki petani yang menanamnya.

O, Adipati Tanah Jawa!
Tatanan hidup yang kalian tegakkan
Ternyata menjadi tatanan kemandulan.
Tatanan yang tak mampu mencerdaskan bangsa.
Akhirnya kita dijajah Belanda.

Hidup tanpa pilihan
Adalah hidup penuh persoalan.

Rasa putus asa
menjadi bara dendam.
Dendam yang tak berdaya
membusukkan kehidupan.
Apa yang seharusnya diucapkan
tidak menemukan kata-kata.
Apa yang seharusnya dilakukan
tidak mendapat dorongannya.

Kesaksianku ini
kesaksian orang mati
yang terlambat diucapkan.
Hendaknya ia menjadi batu nisan
bagi mayatku yang dianggap hilang
karena ditendang ke dalam jurang
.

(Lih. Edi Haryono (ed.), Rendra Penyair dan Kritik Sosial. Jogjakarta: Kepel Press, 2001, hlm. 142-143).

Bisikan batin saya: Kesaksianmu Rendra, bukan kesaksian orang mati. Sekalipun negara tidak hirau dengan kepergianmu ini, jutaan anak bangsa sedang siap untuk terus membaca puisimu yang akan bertahan dalam lipatan kurun yang panjang, panjang sekali. Selamat jalan Rendra!

(-)

Tidak ada komentar: