Minggu, 9 Agustus 2009 | 03:26 WIB
Mengenang Rendra adalah mengenang keberaniannya menerobos batas dan kebebasannya berkreasi. Bukankah kebebasan berpikir dan keberanian melakukannya yang membawa perubahan?
Aktor Ikranegara telah bergaul dengan Rendra sejak 1960-an. Ketika Rendra pulang dari belajar di The American Academy of Dramatic Art di New York, Amerika, tahun 1967, Ikra melihat Rendra mengejutkan publik dengan mementaskan teater di luar cara yang dikenal selama ini.
”Dia membawa teater tanpa dialog dengan seminim mungkin menggunakan suara. Goenawan Mohamad kemudian memberi nama teater mini kata,” kata Ikra, yang saat itu menjadi wartawan lepas.
Dari wawancara Ikra dengan Rendra, dramawan dan penyair itu menyebut pentas itu sebagai ”bipbop” karena aktornya bergerak sambil mengucapkan ”bipbop”. Menurut Rendra, bentuk tersebut bermula dari kunjungannya ke Bali.
Dramawan dan novelis Putu Wijaya menilai, bunyi bipbop itu berasal dari hiphop, jenis musik jalanan yang melawan kemapanan. ”Itulah mengapa lahir istilah bipbop, tetapi Goenawan memberi nama teater mini kata” kata Putu.
Menurut Ikra, saat di Bali Rendra menyaksikan tari Cak dengan gerak dan vokal. ”Itulah yang menginspirasi Rendra membuat bipbop. Jadi, dia bukan orang yang antitradisi sebagaimana ditafsirkan banyak orang setelah pernyataan tentang kebudayaan Jawa hanyalah kasur tua,” kata Ikra.
Pemimpin Redaksi Majalah Prisma Daniel Dhakidae yang mengenal Rendra sejak awal 1967-an saat kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, melihat Rendra sebagai sosok yang melawan feodalisme yang kental di Yogyakarta, tempat Bengkel Teater berada. Karena itu, Rendra mengeluarkan pernyataan tentang kebudayaan Jawa seperti kasur tua yang harus dirombak. Tetapi, itu menurut Daniel menjadi energi kreatif Rendra yang melawan budaya yang dia anggap sebagai penghalang. Daniel mencontohkan puisi ”Khotbah” yang terdapat di dalam Blues untuk Bonnie (1971).
Periode Rendra dan Bengkel Teater di Yogya bagi Daniel, yang juga peneliti dan pemerhati sastra itu, adalah periode produktif Rendra yang menghasilkan karya paling hebat dan indah. Periode Yogya dan periode Jakarta tidak bisa dipisahkan tegas karena—seperti disebutkan anggota Bengkel Teater, Edi Haryono—Bengkel Teater boyong dari Yogya ke belakangan setelah Rendra mulai tinggal di Jakarta sejak 1978.
Sebagai penggiat dunia teater, Ikra melihat bipbop menjadi awal lahirnya teater kontemporer Indonesia. Sebelumnya, teater modern masuk ke Indonesia dengan realisme Barat sebagaimana dimainkan Teguh Karya. ”Rendra hadir dengan teater kontemporer yang meramu gerak dan vokal, Dan itu dipentaskan justru saat pernikahan Arief Budiman dan Leila di Jakarta,” kata Ikra.
Bagi sastrawan Danarto (69), Rendra adalah sosok seniman yang, selain menghasilkan bentuk-bentuk baru, juga mewakili suara hati masyarakatnya.
Danarto yang mengenal Rendra sejak 1958 terlibat dalam produksi Oedipus Rex pada tahun 1962 di Yogyakarta sebagai produser dan art director. Penerima Penghargaan Achmad Bakrie 2009 ini menyebut Rendra sebagai pujangga dengan semangat melakukan perubahan sosial.
Danarto ingat bagaimana pembacaan puisi oleh Rendra di Teater Terbuka TIM Jakarta pada 28 April 1978 dilempari amoniak oleh orang tak dikenal. ”Saya ingat Bang Ali waktu itu berteriak, ’Teruskan, teruskan’. Lalu acara diteruskan dan ada satu penonton pingsan karena mencium amoniak,” kata Danarto.
Lalu, apakah seorang seniman dapat mengubah kedaan, seperti yang dikhawatirkan pemerintahan Orde Baru sehingga perlu memenjarakannya selama enam bulan pada tahun 1978?
”Saya tidak percaya seniman akan mengubah keadaan, seperti yang terjadi pada revolusi. Peran Mas Willy sebagai seniman adalah memberi visi, arah perjalanan bangsnya,” kata Danarto.
Apabila pengaruh Rendra terasa begitu luas dan dalam, Danarto mengatakan, ”Karena nama Rendra sudah tertulis di langit.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar