Nama Hillary Clinton amat dikenal di Indonesia, jauh sebelum menjadi Menteri Luar Negeri AS. Selain istri mantan Presiden AS Bill Clinton, ia juga merupakan senator dari New York yang kemudian menjadi kandidat Presiden AS dalam pemilihan awal calon presiden negara adidaya itu. ”Lawan”-nya, Barack Obama, sama-sama dari Partai Demokrat.
Besok, Rabu (18/2), sebagai Menlu AS dia akan mengawali tugasnya di Asia dengan mengunjungi Jakarta. Tentu banyak pelajaran yang bisa ditarik dari Bu Clinton ini, baik perjuangannya sebagai kandidat Presiden AS maupun masalah pribadinya. Apalagi Indonesia bakal menyelenggarakan pemilu dan pemilih presiden. Coba perhatikan, saat berkampanye sebagai calon presiden tentu ada persaingan dengan Obama. Saling serang menyangkut kebijakan masing-masing terjadi antarkubu mereka.
Obama akhirnya memenangi pemilihan itu. Namun, sesudahnya bersalaman, akrab lagi, dan hadir pada pelantikan Obama. Para elite kita, misalnya, bisa mengajukan pertanyaan untuk Hillary, ” Mengapa anda mengucapkan selamat dan bahkan mau menjadi Menlu AS? Kenapa enggak hadir saja dan menyatakan diri oposisi?” Atau, ”Ketika anda kalah dari Obama, mengapa tidak membikin Partai Demokrat Baru AS?” ”Mengapa sesudah kalah dari Obama tidak melakukan demo ke KPU AS?” Kita pun bisa bertanya bagaimana AS memperlakukan para golputwan-goputwati? Apakah di AS ada juga fatwa yang mengharamkan orang yang tidak menjalankan haknya untuk memilih?
Pilar demokrasi adalah liberty (kebebasan), egality (persamaan), dan fraternity (persaudaraan). Rupanya, di Indonesia yang masih amat menonjol baru liberty. Kebebasan. Malah sering kebablasan. Adapun persamaan atau persaudaraan sering kali dilupakan. Bukan hal aneh dan menjadi rahasia umum jika ”kalah” bersaing dalam proses demokrasi, pihak yang kalah malah membuat tandingan. Bahkan, ada loh elite yang saling musuhan segala dan tidak bertegur sapa.
Barangkali KPU bisa bertanya soal isu jender kepada Hillary menyangkut rencana kebijakan afirmatif untuk caleg perempuan terkait putusan MK tentang suara terbanyak. Mungkin Hillary bisa memberi solusi. Kita tahu, Hillary berusaha keras untuk menjadi perempuan presiden pertama AS. Namun, setelah kalah dalam konvensi partai, dia segera menyatakan mendukung dan akan habis-habisan melakukan apa pun agar Obama menjadi Presiden AS. Hillary adalah sosok cerdas, humanis, antirasis, antikomunis, dan antiperang. Orang menjulukinya Hillary yang simpatik.
Atau, boleh juga ditanyakan hal-hal yang bersifat pribadi. Misalnya, apakah tugasnya sebagai Menlu—yang tentu banyak bepergian ke luar negeri—tidak khawatir meninggalkan Mr Clinton yang tampan itu kesepian di rumah.
Boleh juga Menlu kita, Pak Hassan Wirajuda mengajak Hillary berkeliling dan menjelaskan bagaimana demokrasi Indonesia. Tentu sambil melihat ribuan poster dan baliho-baliho caleg—lengkap dengan potret diri caleg dan janji-janji gombalnya—yang bertaburan tak beraturan di mana-mana.
Saya teringat pada peristiwa kunjungan Menlu AS Condoleezza Rice ke Indonesia beberapa waktu lalu, Di layar televisi terlihat para pejabat tinggi Indonesia berjejer dekat pintu menantikan sang tamu, seperti akan ada inspeksi dari komandan upacara. Jangan begitu lagi, ah! Berdiri tegaklah, kita bangsa yang merdeka bukan? Wilujeng sumping, Bu Hillary. Mari kita bangun dunia yang lebih beradab dan sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar