Senin, 2 November 2009 | 02:57 WIB
Nurcholish Madjid kecil. Demikian orang sering menyebut Yudi Latif. Perhatian Yudi yang besar terhadap Islam dan kebangsaan serta kemampuannya menggabungkan ilmu politik, sejarah, filsafat, dan sastra dalam melihat suatu fenomena memang akan langsung mengingatkan orang pada sosok Nurcholish Madjid.
Namun, berbagai kemampuan itu tidak hanya didapat Yudi dari pergaulannya yang intensif dengan Cak Nur, demikian Nurcholish Madjid sering dipanggil, setelah mereka bertemu muka untuk pertama kalinya pada tahun 1994, tetapi juga dibentuk oleh sejarah hidup Yudi sendiri.
Ayah Yudi, yaitu Utom Mulyadi, yang merupakan tokoh Nahdlatul Ulama, dan ibunya, Yuyun Mustika, yang nasionalis, telah mengajarkannya sejak kecil tentang Islam dan kebangsaan.
Garis pemikirannya makin dilengkapi oleh pengalamannya saat mondok di Pondok Pesantren Modern Gontor, Jawa Timur, petualangannya sebagai aktivis saat kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung, serta kehidupan dan pemikiran modern yang didapatnya ketika belajar di Australia.
Matangnya pemikiran Yudi membuat Cak Nur pada tahun 1996 memercayainya sebagai salah satu pembuat rencana induk Universitas Paramadina.
”Cak Nur lebih tertarik membuat kelompok yang kritis meski itu hanya berjumlah kecil dibandingkan massa yang besar sebab kelompok kritis ini yang akhirnya mewarnai wacana di publik. Sebagai universitas swasta, Cak Nur berharap Paramadina harus memiliki nilai tertentu, yaitu kekritisan, terutama di bidang kebangsaan dan Islam,” ungkap Yudi tentang tujuan Universitas Paramadina yang akhirnya berdiri pada tahun 1997/1998.
Bagaimana efektivitas dari massa yang kritis tersebut?
Cukup baik. Pemikiran tokoh seperti Abdurrahman Wahid atau Cak Nur selalu berpengaruh. Misalnya terlihat dari sejumlah partai yang meski menyatakan Islam sebagai identitasnya, mereka tetap terbuka terhadap pandangan dari luar.
Pemikiran tokoh-tokoh itu juga menjadi wacana yang cukup diminati dan berpengaruh di sejumlah simpul Islam yang pemahaman agamanya amat kuat, misalnya di kalangan mahasiswa IAIN atau Nahdlatul Ulama.
Perhatian Yudi terhadap wacana Islam dan kebangsaan tidak pudar meski sekarang dia tidak lagi aktif di Universitas Paramadina.
Bahkan, setelah Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 karena gangguan fungsi hati, Yudi bersama sejumlah orang, termasuk Ommy Komariah Madjid, istri Cak Nur, mendirikan Nurcholish Madjid Society.
Lewat yayasan yang ingin melestarikan gagasan Cak Nur ini, setiap enam bulan diterbitkan sebuah jurnal bernama Titik Temu.
Diilhami oleh harapan Cak Nur agar umat Islam jangan sampai menjadi tamu di negerinya sendiri, Yudi juga menggagas pertemuan mahasiswa dari 38 kampus di Indonesia untuk berdiskusi tentang Islam dan masalah lainnya.
”Nilai Islam harus menjadi bagian dari pengisian nilai keindonesiaan. Oleh karena menjadi bagian pengisian, Islam harus memberikan tempat bagi partisipasi kelompok lain. Oleh karena Islam kelompok mayoritas, wacana pluralisme juga akan dapat lebih tumbuh efektif jika berkembang di Islam,” kata dia.
Mengapa harus menggelar diskusi yang melibatkan 38 kampus?
Terbatasnya bacaan untuk mahasiswa selama ini menjadi salah satu masalah di kampus. Akibatnya, tidak banyak mahasiswa yang dapat membaca berbagai ajaran Islam dari buku aslinya.
Dalam diskusi ini, selain membebaskan pesertanya untuk bicara, juga dimaksudkan untuk membagikan pengetahuan tentang pemikiran Islam, langsung dari buku aslinya. Hasilnya ternyata cukup spektakuler. Banyak wacana dan pemahaman baru tentang Islam, pluralisme, dan kebangsaan muncul di diskusi-diskusi tersebut.
Di era demokratisasi dan globalisasi selama 10 tahun terakhir, seberapa penting isu pluralisme dan kebangsaan di Indonesia?
Globalisasi telah memperbaiki apresiasi terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, pada saat yang sama, globalisasi juga membangkitkan etnosentrisme.
Rivalitas yang melibatkan agama dan etnis makin menguat di Indonesia. Bahkan, dalam politik saat ini perlu diwaspadai munculnya anggapan bahwa agar identitasku ada, yang lain harus ditiadakan.
Apakah munculnya etnosentrisme ini karena kurangnya modal kita untuk berdemokrasi?
Indonesia sebenarnya telah memiliki prasyarat dan modal penting untuk menjadi negara demokrasi, yaitu adanya persatuan nasional dan persepsi tentang satu bangsa.
Namun, modal itu perlu dijamin dan terus dipupuk, antara lain dengan mewujudkan keadilan sosial. Tiadanya jaminan yang kuat ini membuat sebagian elemen kecil dari masyarakat terpancing untuk beralih dari politik nasional ke radikalisme agama atau etnis.
Kemunculan radikalisme ini juga dipicu oleh belum adanya upaya yang komprehensif untuk menyelesaikan hingga tuntas sejumlah memori kekerasan, khususnya pada masa Orde Baru.
Kondisi makin diperparah oleh masalah global, seperti dominasi ekonomi oleh dunia barat dan berbagai peristiwa di sejumlah negara, seperti Afganistan dan Irak.
Kompleksnya permasalahan yang melingkupi Islam dan kebangsaan di Indonesia membuat Yudi juga bergerak kompleks untuk menjaganya. Aktivitasnya tidak hanya sebatas di Nurcholish Madjid Society atau menggelar diskusi antarkampus. Dia juga aktif menulis di media massa dan membuat buku.
Yudi juga kerap bersuara untuk mengkritisi sejumlah upaya yang diduga berpotensi melemahkan bangunan demokrasi, yang antara lain terjadi dalam pemilihan umum lalu dan yang menimpa gerakan antikorupsi belakangan ini.
Dia juga khawatir jika sampai tidak muncul kekuatan penyeimbang dalam pemerintahan.
Akhirnya, mencermati langkah dan pemikiran Yudi seperti melihat Indonesia yang majemuk. Dengan demikian, untuk menjaga Indonesia ini juga dibutuhkan langkah yang majemuk dan yang berani keluar dari ”sekat-sekat tradisional” seperti etnis dan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar