Jumat, 8 Agustus 2008 | 00:47 WIB
Satu lagi orang ”gila” menyeruak di tengah kehidupan yang kian pengap. Seorang pedagang buku dari Yogyakarta, sejak tujuh tahun terakhir mewakafkan waktu dan tabungan yang ia kumpulkan selama 21 tahun untuk memuliakan sebuah peradaban.
Pemicunya hanya soal keris. Itu pun bukan jenis keris yang banyak dicari para kolektor lantaran mempunyai ”pamor” dan karena itu diyakini bertuah. Keris yang membuat hidupnya berputar haluan itu adalah keris melayu.
Mahyudin Al Mudra (50), lelaki kelahiran Tembilahan, Riau, yang masuk dalam jebakan tuah keris melayu itu. Sukses sebagai ”pedagang buku” di tanah perantauannya, Yogyakarta, lewat bendera Penerbit AdiCita Grup yang ia dirikan tahun 1987, tak membuat Mahyudin lupa pada puak Melayu yang mengalir dalam tubuhnya.
Cerita bermula dari hobinya mengoleksi keris dari berbagai daerah di Nusantara. Sekali waktu ia berkesempatan pulang ke kampung halamannya di Tembilahan. Dengan percaya diri, Mahyudin yakin akan mendapatkan dengan mudah keris melayu saat mampir di Pekanbaru.
Kenyataan yang ia temui justru sebaliknya. Bukan saja tak segampang mendapatkan keris jawa, orang-orang Melayu yang ditemuinya pun tak punya lagi ingatan akan keris melayu. Begitu pun di Tembilahan, Kampar, Inderagiri, dan Bengkalis.
”Di Tanjung Pinang, Bintan, yang disebut-sebut paling Melayu, sama saja. Juga di museum. Di Pekanbaru, kalau orang Melayu menikah, ya, pakai keris jawa,” tuturnya.
Perburuan Mahyudin menemukan keris melayu berlanjut dan menjadi semacam obsesi. Ada apa dengan Melayu? Pasti ada sesuatu yang salah, tetapi apa?
Dibalut rasa penasaran, dia pergi ke Malaysia, dan diborongnya 17 buku tentang kajian keris melayu. Ia kian kecut sekaligus kaget tatkala tahu sebagian besar buku tentang hal itu malah ditulis oleh orang Barat.
Berbekal setumpuk buku yang dibelinya di Malaysia tahun 2001, Mahyudin pergi ke tempat pembuatan keris di Imogiri, Bantul. Setelah empat-lima kali dirombak, keris ”langgam” melayu itu pun jadi.
MelayuOnline.com
Akan tetapi, pencarian Mahyudin ke akar budaya Melayu justru baru dimulai. ”Dari pengalaman mencari keris melayu, saya tersadar mengapa budaya Jawa masih terpelihara. Itu tak lain karena ada yang telaten mendokumentasikannya,” katanya.
Dokumentasi ternyata berperan besar dalam pelestarian peradaban. Ini yang diabaikan orang Melayu. Kalaupun ada, belum ada dokumentasi yang rapi. Warisan khazanah sejarah dan budaya Melayu masih berupa mosaik yang tersebar di mana-mana.
Berbekal semangat untuk menggali dan mendokumentasikan segala ihwal yang berkaitan dengan peradaban Melayu, tahun itu juga (2001) dia mendirikan Pusat Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (PKPBM). Enam tahun kemudian, setelah melalui pergulatan panjang, PKPBM melahirkan ”anak kandung” yang pertama berupa situs atau laman yang berisi pangkalan data tentang Melayu.
Sejak itu perhatian Mahyudin terbelah. Usaha penerbitan yang sudah ia tekuni sejak 1987 justru dijadikan ”sapi perah” untuk membiayai aktivitasnya merawat peradaban Melayu melalui jaringan internet.
Tak hanya itu. Tabungannya selama 21 tahun, senilai Rp 3 miliar lebih, tersedot untuk operasional portal MelayuOnline.com. Ia pun rela kehilangan dua bidang tanah, satu rumah, dan dua mobil yang turut dilego agar MelayuOnline.com tetap eksis.
Mahyudin mengakui memang berat membiayai kegiatan budaya seperti yang ia lakoni. Setiap bulan, sedikitnya Rp 75 juta harus tersedia. Alokasi terbesar untuk sewa satelit, Rp 19 juta. Selebihnya untuk gaji 24 tenaga profesional yang menangani operasional MelayuOnline.com, cetak buku, dan biaya lain, seperti pengumpulan bahan dari berbagai daerah di Nusantara.
”Tapi, ini konsekuensi dari suatu pilihan hidup. MelayuOnline.com yang beralamat di http://www.melayuonline.com (baca juga Menduniakan Melayu dari Yogya, hal 53) memang didedikasikan sepenuhnya bagi kegemilangan tamadun Melayu. Saya yakin investasi semacam ini akan berbuih meski bukan dalam bentuk materi,” ujarnya.
Adakah pihak yang tersentuh membantu? Dia cuma tertawa lantaran banyak pejabat yang menjanjikan angin surga, tetapi hasilnya nol besar. Bahkan, seorang menteri yang mengaku kagum pada MelayuOnline.com dan berjanji segera menurunkan bantuan juga setali tiga uang.
Iklan pun tak ada. Tapi, Mahyudin segera menukas, ”Sebetulnya ada yang membantu kami. Seorang guru SD di Pekanbaru yang sempat menengok portal MelayuOnline.com pernah mengirimkan uang Rp 100.000. Saya sangat terharu. Bayangkan, berapa sih gaji guru SD, tetapi dia rela mendermakan penghasilannya yang tak seberapa itu untuk kegiatan kebudayaan semacam ini.”
Titik balik
Sejak tamat SD (1970) dan ”terdampar” bersama orangtua di Yogyakarta, berbagai kesulitan hidup membelit keluarga mereka. Akan tetapi, anak dari pasangan Mudra Mukhlis dan Mulia ini bisa melewati masa sulit itu, hingga berhasil menyelesaikan pendidikan S-1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1984).
Seusai kuliah, ia tidak tertarik menjadi pamong di birokrasi pemerintahan. Ia juga tak tergiur terjun sebagai praktisi hukum. Mahyudin justru merintis karier di dunia bisnis dengan menjadi ”pedagang buku”.
”Ketika itu saya punya banyak opsi. Tetapi, saya memutuskan terjun jadi pedagang buku,” katanya.
Sejak mahasiswa, Mahyudin dikenal sebagai ”pengecer” buku dan jurnal terbitan LP3ES dan LSP. Tak ada kios, apalagi toko buku. Kampus di lingkungan almamaternya adalah pasar yang dibidik Mahyudin.
”Dosen-dosen saya todong agar beli buku dan jurnal Prisma. Karena yang maksa aktivis mahasiswa, atau mungkin karena takut dianggap tidak ilmiah, dagangan buku dan jurnal Prisma-ku laris manis,” tuturnya.
Persinggungan Mahyudin dengan dunia perbukuan dan pemikiran kebudayaan sesungguhnya berawal dari masa sulit saat ia masih di SMP. Berangkat dari keluarga yang secara ekonomi serba terbatas, tiap hari tak pernah ada uang jajan di kantongnya.
Agar bisa ikut menikmati semangkuk soto saja, baru terwujud bila ada teman sekolah yang mentraktirnya. Itu pun biasanya setelah sebelumnya ia mengerjakan pekerjaan rumah si teman.
”Semasa di SMP itu, saat istirahat, biasanya saya ke perpustakaan. Bukan karena saya kutu buku, tapi lantaran tak punya uang untuk ikut teman-teman ke kantin. Tapi belakangan saya bersyukur, berkat hidup dalam ketiadaan itulah saya banyak belajar, termasuk tentang hidup,” katanya.
Dari uang tabungan yang ia kumpulkan, laman MelayuOnline.com menorehkan andil Mahyudin untuk memuliakan tradisi besar peradaban Melayu. Akan tetapi, dengan modal yang kian menipis—sementara tawaran dari negeri serumpun yang berniat membeli laman MelayuOnline.com senilai satu juta ringgit sudah ditolak—sampai kapan ia bisa bertahan? (pra/ken)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar