Tidak Ada Contoh Negara Islam Ideal
BANYAK orang menyebutnya muslimah yang ”mau dan berani bersuara” untuk mewujudkan Islam sebagai ajaran yang teduh, dialogis, dan inklusif. Sebutan itu terdengar lagi ketika Yayasan Pusat Hak Asasi Manusia menganugerahinya Penghargaan Yap Thiam Hien, pertengahan Desember lalu.
Penghargaan itu bukan yang pertama bagi Siti Musdah Mulia. Pada Hari Perempuan Dunia, 8 Maret 2007, ia juga menerima anugerah Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice, di Washington, DC. Gagasan dan aktivitasnya membuat dia dianggap wanita Asia pemberani.
Memang, pemikiran dan sepak terjang perempuan asal Sulawesi Selatan ini akhirnya kerap bertabrakan dengan pandangan ulama pada umumnya. Semasa bertugas di Departemen Agama, ia menyusun Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang tegas menyatakan kesetaraan pria dan wanita. Dia juga melakukan pembelaan terhadap kaum minoritas, seperti Ahmadiyah dan kelompok gay.
”Saya sering menerima teror lewat telepon dan pesan pendek setelah berbicara di radio atau televisi,” katanya ketika menerima Nugroho Dewanto, Arif A. Kuswardono, dan Gabriel Wahyu Titiyoga dari majalah Tempo, pertengahan Desember lalu. Ia juga dicopot dari posisi staf ahli Menteri Agama. Akademisi yang mengaku terpengaruh Harun Nasution, Mohammad Arkoun, dan Haikal itu menjelaskan pemikirannya yang kadang disalahpahami. Perbincangan berlangsung hangat di kantornya, Indonesian Conference on Religion and Peace, di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Kenapa belakangan ini umat Islam di Indonesia menjadi lebih radikal dibanding masa sebelumnya?
Saya melihat fenomena ini sebagai pengaruh kebijakan Amerika terhadap negara-negara Islam, yang menimbulkan kebencian umat Islam Indonesia. Ketika saya menerima penghargaan pada 2007 itu, Condoleezza Rice bertanya, ”Apa yang bisa saya bantu untuk Indonesia?” Jawab saya, ”Stop violence sebagai solusi di negara-negara Islam. Sebab, kebijakan kalian itu kontraproduktif dengan usaha membangun demokrasi di Indonesia.”
Anda kecewa terhadap George Bush yang ”mendakwahkan” demokrasi dengan cara kekerasan?
Orang memandang demokrasi itu identik dengan Amerika, dengan cara-cara George Bush yang penuh kekerasan itu. Padahal, itu cuma cara Bush, dan bukan hakikat demokrasi. Demokrasi juga tidak identik dengan kebijakan Amerika.
Apakah ada faktor dalam negeri yang juga berpengaruh?
Sampai sekarang pemerintah kita selalu dianggap sekuler. Pemerintah ini gagal menyejahterakan masyarakat. Itu membuat masyarakat kita tidak percaya terhadap nilai-nilai demokrasi. Dalam sebuah diskusi, Abubakar Ba’asyir mengatakan kepada saya, ”Musdah, satu-satunya cara membangun Indonesia adalah meninggalkan sekularisme, melepaskan diri dari Pancasila, dan kembali ke dasar Islam.” Lalu saya tanya, ”Islam yang seperti apa?” Saya beri contoh Saudi: apa yang bisa kita ambil dari Saudi? Juga Pakistan, negara yang tercabik-cabik oleh perang saudara? Dia jawab, ”Kita masih pikirkan, tapi bukan itu.” Kok, masih mikir? Lebih baik yang sudah ada saja kita perbaiki.
Adakah contoh negara Islam yang cukup ideal dalam relasi agama, negara, dan pembangunan untuk dijadikan model bagi Indonesia?
Kita mau cari ke mana? Sudah lama saya meneliti, bahkan disertasi saya tentang negara Islam. Tidak ada contohnya.
Bagaimana dengan contoh di periode awal sejarah Islam?
Mungkin prinsip-prinsip demokrasi yang hakiki ada pada Khulafah Rasyidin, ketika penghargaan terhadap manusia ditegakkan, prinsip persamaan dibangun. Tapi masa itu kan tidak lama, hanya 30 tahun. Dari pengalaman kita, misalnya, pada masa Wali Songo, mereka mampu mempribumikan Islam, berdakwah dengan pendekatan sosiologi. Mungkin itu point yang bisa diambil.
Jadi, kita harus membentuk masa depan Islam Indonesia sendiri?
Ya. Tapi, ada unsur-unsur yang bisa diambil, misalnya toleransi, kebinekaan, dan semacamnya.
Benarkah kelompok-kelompok radikal Islam juga memanfaatkan demokrasi untuk mengekspresikan diri?
Sejak keran reformasi dibuka, dari masa Gus Dus hingga Yudhoyono, kesempatan ini digunakan oleh kelompok Islam yang pada masa Soeharto tidak punya kesempatan mengekspresikan opini dan ideologi mereka. Mereka pikir, sekarang ini era demokrasi, jadi berhak, dong. Kelompok seperti Majelis Mujahiddin dan Hizbut Tahrir bahkan hidup di Indonesia. Padahal kelompok seperti itu tidak ada di negara-negara Islam.
Apakah di sana mereka dilarang?
Kelompok seperti Hizbut Tahrir selalu merongrong ideologi sebuah negara. Mana ada kepala negara yang suka? Di Mesir, organisasi ini dikejar-kejar seperti tikus. Tapi, di Indonesia, kok bisa organisasi seperti ini hidup atas nama demokrasi? Bahkan Partai Keadilan Sejahtera, menurut saya, bertentangan dengan demokrasi. PKS mengakui demokrasi hanya secara prosedural, tidak substansial. Itu ada dalam visi dan misi partai mereka. Padahal, dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Partai Politik jelas ditegaskan bahwa demokrasi itu dalam arti substansial, bukan sekadar prosedural. Sebuah partai yang tidak menyetujui demokrasi yang substansial di Indonesia seharusnya tidak boleh berdiri.
Kalau mereka menang, demokrasi akan dihapus?
Tujuan mereka kan teokrasi? Jadi, kalau bentuknya negara Islam, pilihannya hanya dua: teokrasi atau demokrasi dengan tangan besi.
Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah menunjukkan pluralisme tidak berkembang di level masyarakat. Apa sesungguhnya yang terjadi?
Masyarakat kita sebenarnya dari dulu tidak rukun. Di daerah-daerah, perekatan antara orang-orang yang berbeda agama tidak kuat. Pendidikan agama kita justru sejak kecil mengajarkan bahwa kita berbeda. Kepada kita diajarkan lebih banyak masalah ritual, lalu ”kamu Islam, kamu Kristen”. Mana pernah diajarkan, jika melihat gereja, sinagog, kita harus menghormati karena itu rumah ibadah. Kalau mau jujur, semua yang terbangun dalam pikiran umat Islam ketika melihat gereja adalah pandangan yang menakutkan. Bahwa gereja itu isinya orang kafir. Begitu juga orang Kristen ketika melihat masjid.
Agama seolah menjadi sumber konflik?
Agama itu punya dua fungsi: sumber konflik dan integrasi. Tapi yang lebih banyak dipakai masyarakat adalah sumber konflik, karena paling mudah dan andal. Kasus Poso, misalnya. Masalahnya adalah soal ekonomi, pertikaian lahan, dan sumber alam. Agama dijadikan alat pemicunya.
Sejarah Indonesia terbiasa dengan pemimpin perempuan, baik Islam maupun Kristen. Mengapa kini pemimpin perempuan dipermasalahkan?
Pemimpin perempuan itu sudah ada sejak zaman Majapahit. Bahkan sudah muncul di kerajaan-kerajaan kecil sebelumnya. Tapi pemahaman keagamaan kita itu tetap saja tradisional.
Bagaimana perkembangan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang pernah Anda susun?
Karena Pengadilan Agama dialihkan ke Mahkamah Agung sejak 2004, urusan undang-undang perkawinan bukan lagi wewenang Departemen Agama. Selama dua tahun ini ada draf Undang-Undang Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Enam puluh persen isinya diambil dari Kompilasi Hukum Islam. Misalnya, perubahan umur cakap, dari 16 ke 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Poligami yang melanggar aturan akan dikenai sanksi. Buat saya itu sebuah progress, ketimbang undang-undang yang sekarang.
Apa kelemahan undang-undang perkawinan yang berlaku sekarang?
Di Indonesia ada dua undang-undang tentang perkawinan, yakni Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Undang-Undang Perkawinan Kompilasi Hukum Islam. Isi keduanya tidak jauh berbeda. Hanya dalam Kompilasi lebih njelimet, karena menyangkut fikih. Misalnya, soal wanita yang bercerai sebelum duhul (hubungan seksual), maskawinnya dikembalikan setengah. Menurut saya, ini undang-undang yang sangat primitif. Perkawinan itu bukan hanya urusan seks. Ada tidak di masyarakat orang yang hendak bercerai ditanya: ”Kamu sudah duhul belum?” (Musdah tertawa). Hal penting lain, dalam kedua undang-undang ini tidak ada sanksi untuk memberikan perlindungan kepada perempuan. Misalnya, jika terjadi perkawinan dini seperti dilakukan Syekh Puji itu, enggak ada sanksinya, kan?
Bagaimana contoh di negara Islam lain?
Di Mesir, boleh poligami, tapi dengan izin istri. Izinnya harus lisan dan tertulis oleh si istri, di depan pengadilan. Pengadilan akan melihat struk gaji, cukup atau tidak untuk menafkahi istri lebih dari satu. Kalau melanggar, akan dipidanakan. Begitu juga kalau perkawinan tidak dilakukan penghulu yang berwenang, maka yang kawin, yang dikawinkan, para saksi, dan wali bisa dipidanakan. Di Indonesia, orang kawin di mana-mana enggak ada yang ngurusin. Negara kita seperti tidak ada hukum sama sekali.
Prof Dr Siti Musdah Mulia MA
1 komentar:
Musdah TAK Mulia memang sudah saatnya bersyahadat lagi. Agama Islamnya sudah luntur. Begitu kok jadi dosen di UIN. Kawan2 kalau kuliah jangan ke UIN. Hati2 Liberalisme dosen2 didikan Amerika dan sekutunya merusak ajaran Islam dari dalam.
Awas musuh dalam selimut....!
Posting Komentar