Kamis, 08 Juli 2010

Otunbayeva, Perempuan Pendekar dari Kirgistan

Pascal S Bin Saju

Sejak mengambil alih kekuasaan dari Presiden Kirgistan Kurmanbek Bakiyev pada 7 April 2010, nama Roza Isakovna Otunbayeva terus melambung. Ibu dua anak ini adalah wanita satu-satunya yang amat berpengaruh di sentral geopolitik Asia Tengah. Setelah berada dalam ketidakpastian selama 2,5 bulan, pada 3 Juli ini dia pun dilantik menjadi Presiden Kirgistan.

Ia menyadari, kekuasaan yang dia peroleh selama ini dilakukan lewat sebuah kudeta ilegal. Tidak heran, setelah berhasil mengambil alih kekuasaan, pemerintahan ad interim terus dirongrong oleh massa pendukung Bakiyev di Kirgistan selatan, yakni di Jalalabad dan Osh.

Terlepas dari bagaimana ia mendapatkan kekuasaan itu, yang pasti Otunbayeva telah berada di puncak kekuasaan Kirgistan. Sejak memimpin gerakan oposisi melawan pemerintahan Bakiyev yang dinilai korup, nepotis, dan tidak memedulikan kepentingan rakyat, kiprah politiknya menanjak tajam membawa sejumlah agenda penting bagi perubahan yang lebih baik.

Agenda pertamanya, yakni menggelar referendum mengenai perubahan konstitusi, sudah dilakukan dan meraih mayoritas suara. Lebih dari 90 persen suara mendukung perlunya perubahan konstitusi yang antara lain akan membatasi kekuasaan seorang presiden dan memberikan kewenangan lebih pada parlemen.

Hal yang menarik, Otunbayeva hanya menjadi presiden sementara untuk jabatan enam bulan, yang akan berakhir pada awal 2011. Setelah berhasil menggelar referendum, agenda politik berikutnya adalah mempersiapkan pemilu parlemen yang dijadwalkan digelar 10 Oktober, lalu persiapan untuk pemilu presiden.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Kirgistan, bahkan di Asia Tengah, seorang pionir perempuan menentukan langkah sebuah negara. Ia telah menjadi toko sentral oposisi salah satu negara paling strategis di Asia Tengah itu.

”Otunbayeva memiliki reputasi yang baik di negaranya dan juga luar negeri, dan karena itu ia pantas berada di posisinya. Meski demikian, kalau hanya seorang diri dia tidak dapat melakukan apa pun,” kata pakar politik Kirgistan, Beate Eschment.

Tumbuh dari Komunis

Otunbayeva berasal dari era komunis negara itu. Ia lahir 23 Agustus 1950 di Osh, kota terbesar kedua di Kirgistan, yang juga daerah kelahiran Bakiyev. Osh dikenal sejak abad kedelapan sebagai pusat produksi sutra di sepanjang Jalan Sutra, rute perdagangan terkenal melintasi gunung Alay untuk mencapai Kashgar di timur.

Dari Osh kemudian ia mendalami filsafat di Universitas Moskwa dan tamat tahun 1972. Pada tahun 1980-an ia menjadi anggota Partai Komunis Kirgistan, lalu Duta Besar Uni Soviet di UNESCO, Paris, dan sempat pula menjadi Dubes Uni Soviet untuk Malaysia.

Setelah Kirgistan merdeka, ia menjadi Dubes negaranya untuk AS, Inggris, dan Kanada, lalu menjadi Menteri Luar Negeri dalam pemerintahan Presiden pertama Kirgistan, Askar Akayev. Jabatan itu dipangku selama tiga tahun, lalu ia kembali menjadi diplomat. Pada tahun 2005, bersama Bakiyev, dia menjadi otak Revolusi Tulip menggulingkan Akayev.

Bakiyev menjadi Presiden Kirgistan, tetapi Otunbayeva tetap berada di kubu oposisi. Ia tetap berada di luar kekuasaan untuk mengontrol pemerintah. Sejak awal ia berharap Bakiyev benar-benar bisa berpihak kepada rakyat dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

”Dalam perjalanannya tidak demikian, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme merusak tatanan pemerintahan. Dampak paling buruk bagi rakyat, harga berbagai kebutuhan pokok melambung tajam. Banyak rakyat jatuh miskin. Nurani saya mengatakan, perlawanan harus dilakukan untuk rakyat,” kata Otunbayeva.

Kecewa pada Bakiyev

Otunbayeva kecewa terhadap Bakiyev yang naik karena Revolusi Tulip. Ia memutuskan untuk bergabung dengan Partai Sosial Demokrat, partai oposisi yang didirikan 1 Oktober 1993. Di sini perempuan berperawakan pendek berusia 60 tahun ini melakukan manuver politik.

Aksi massa yang meluas mendesak Presiden Kurmanbek Bakiyev mundur. Puncaknya terjadi 7 April lalu, berupa gebrakan kedua terbesar setelah Revolusi Tulip. Bakiyev pun kabur dan kini berlindung di Belarus. Otunbayeva langsung menjalin hubungan dengan Rusia.

Mahir berbahasa Inggris dan Rusia menjadi modal kuatnya untuk mendobrak kebekuan komunikasi antara Bakiyev dengan Rusia dan AS, dua negara yang sama-sama memiliki pangkalan militer di Kirgistan. Referendum yang dilakukan pada 4 Juli justru mendapat dukungan dari PBB, Rusia, dan AS.

Otunbayeva benar-benar mencapai posisi strategis di Kirgistan. ”Setelah komisi pemilihan pusat mengumumkan hasil pasti referendum tentang perubahan konstitusi pada 2 Juli, Otunbayeva pun dilantik menjadi presiden pada 3 Juli,” kata juru bicara Pemerintahan Sementara Kirgistan, Farid Niyazov.

Tugas besar Otunbayeva belum selesai. Potensi konflik di selatan, yang menjadi basis pendukung Bakiyev, masih terbuka lebar. Ia sendiri mengakui hal itu, yang dibuktikan dengan masih diberlakukannya jam malam hingga awal Agustus mendatang, sejak pecah aksi pembantaian terhadap kelompok minoritas Uzbekistan pada 10-11 Juni lalu.

Jalan menuju pemilu parlemen masih panjang. Terbuka kemungkinan munculnya kelompok ekstremis yang akan berusaha merebut kekuasaan Otunbayeva, terutama dari selatan. Atau juga pertikaian etnis yang mematikan, seperti yang terjadi pada pekan kedua Juni lalu yang menewaskan 2.000 orang dan 400.000 orang mengungsi.

Otunbayeva mengaku tetap tegar menghadapi semua kemungkinan itu. Sebab hasil referendum memperlihatkan dukungan mayoritas warga terhadap perubahan konstitusi. Dukungan itu sekaligus berarti rakyat menyetujui pembatasan kekuasaan presiden, dan kewenangan lebih diberikan kepada parlemen kelak.

Di bawah kepemimpinan Otunbayeva, Kirgistan menjadi negara pertama di Asia Tengah yang menganut sistem demokrasi parlementer. Kekuasaan presiden dibatasi setiap lima tahun, sedangkan masa jabatan di parlemen enam tahun.

Referendum sekaligus menjadi ”stempel” yang punya legitimasi terhadap kudeta pada 7 April lalu sekaligus legitimasi internasional atas kekuasaan Otunbayeva. Inilah jalan yang disebutnya sebagai jalan menuju terciptanya ”demokrasi rakyat sejati”.

Kirgistan berpenduduk 5,3 juta jiwa itu memiliki potensi pertanian dan pertambangan yang besar, tapi lebih dari 70 persen rakyatnya masih miskin.

Krisis etnis antara suku Kirgistan yang mayoritas dan Uzbekistan yang minoritas tetapi menguasai ekonomi kini menjadi luka dalam. Presiden perempuan ini menghadapi ujian untuk menuntaskan hubungan etnis yang terkoyak itu.