Sabtu, 28 November 2009

Riezka, Pewaralaba Pisang Ijo

KOMPAS/STEFANUS OSA TRIYATNA
Riezka Rahmatiana
PROFIL USAHA
Riezka, Pewaralaba Pisang Ijo

Sabtu, 28 November 2009 | 03:03 WIB

Oleh Stefanus Osa

Jasmine memang berarti melati. Dalam plesetan yang dibuat perempuan Riezka Rahmatiana (23), kata ”jasmine” diubah menjadi ”JustMine” untuk mengangkat penganan tradisional pisang ijo asli Makassar ke masyarakat. Bahkan, pisang ijo ini dijadikan peluang usaha waralaba.

Mirip semerbak keharuman bunga melati, gadis kelahiran Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada 26 Maret 1986 ini mengawali usaha kecilnya pada saat duduk di bangku kuliah sebagai mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Kini, kartu namanya sudah tertulis Riezka Rahmatiana sebagai Presiden Direktur ”JustMine”.

Semangat kewirausahaan, begitulah yang mengawali Riezka. Awalnya, kata Riezka, adalah kesumpekan. Banting tulang orangtuanya dalam mencukupi kebutuhan keluarga, termasuk menyekolahkan anak-anak, mendasari pikiran Riezka untuk berupaya agar dia bisa berdiri di atas kakinya sendiri.

Orang tua bekerja sejak pagi hingga larut malam. Hasil banting tulang seharian dilakukan untuk meraih gaji. Kemandirian wirausaha itulah yang secara diam-diam tumbuh dalam diri Riezka.

”Saya tidak mau menyusahkan orangtua. Berbekal modal awal Rp 13,5 juta, tahun 2007 bisnis makanan pisang ijo yang segar mulai menjadi pilihan untuk dipasarkan di Kota Bandung,” kata Riezka.

Ketika mengambil keputusan berwirausaha di sela-sela kuliahnya, anak pertama dari dua bersaudara ini mengaku mendapat larangan keras dari orangtuanya. Mereka menganjurkan dia agar mencari pekerjaan yang aman.

Riezka pun menuturkan jatuh dan bangunnya mencicipi aneka pekerjaan di sela-sela kuliahnya. Mulai dari menjadi anggota jaringan pemasaran alias multi level marketing (MLM), penjual pulsa telepon seluler, hingga menjajal bekerja di sebuah kafe. Dari sebagian menyisihkan penghasilan bekerjanya selama itulah, Riezka memulai usaha pisang ijo khas Makassar.

Tanggal 16 Maret 2009 menjadi momentum perjalanan wirausahanya. Riezka memang belum pernah ke Makassar, tetapi ketekunannya mencari penganan tradisional dan kemauannya untuk belajar memproduksi pisang ijo itulah menjadi modal dasarnya. Tanya-tanya resep pun terus dilakukannya.

Pisang dipandang sebagai bahan baku yang relatif murah dan selalu mudah diperoleh di pasar. Hanya dengan dibalut adonan tepung beras yang diberi warna hijau, sajian khas ini bisa mulai dipasarkan dengan nama tren Pisang Ijo.

Dari sanalah kreativitas Riezka bermunculan. Dari sajian pisang ijo orisinal, Riezka mengembangkannya dengan aneka rasa, seperti pisang ijo vanila, stroberi, coklat, dan durian. Semangkok pisang ijo yang disiram sedikit cairan fla yang gurih akan menjadi bertambah segar apabila ditambah pecahan es batu. Apalagi, kreativitasnya dilakukan dengan menambahkan serutan keju dan mesis coklat.

Penghasilan tak terbatas

Dorongan menjadi entrepreneur terjadi justru ketika Riezka membaca buku berjudul Cashflow Quadrant bahwa tidak ada karyawan yang bisa memperoleh penghasilan tak terbatas.

Benarkah hipotesis tersebut? Riezka membuktikan lewat ketekunannya. ”Kalau orang atau setidaknya orangtua saya bekerja dari pagi hingga malam, untuk pada akhirnya mencari penghasilan, saya justru sebaliknya. Kita semestinya tidak bekerja mengejar penghasilan, tetapi biarlah uang mendatangi kita,” ujar Riezka yang akhirnya mewaralabakan usahanya itu.

Dari usaha kecilnya ini, Riezka membuka peluang berinvestasi dengan sistem waralaba. Alhasil, dari satu gerai, kini ada 10 pewaralaba pisang ijo yang tersebar, terutama di kota Bandung, Jawa Barat.

Pemilihan mitra pun dilakukan selektif karena visi yang diemban adalah ”Kepuasan konsumen adalah kepuasan kami. Kesuksesan mitra adalah kesuksesan kami.” Pemilihan gerai bukan sekadar melihat berkas yang diajukan calon mitra, apalagi uang waralaba yang disiapkan mitra.

Melalui penelitian lokasi pasar, Riezka berani mengambil keputusan diterima atau tidaknya seorang mitra. Dia pun memprediksi, besarnya potensi pasar terhadap produknya di lokasi tertentu.

”Sasarannya tetaplah mahasiswa. Karena itu, lingkungan kampus menjadi target lokasi,” kata Riezka.

Bersama sahabatnya, Erwin Burhanudin, Riezka membangun sistem waralaba. Mereka pun mengaku tidak ingin gegabah memperoleh sebanyak-banyaknya pewaralaba. Kapasitas produksi tetap harus menjadi acuan usahanya.

Cepat atau lambat, Riezka yang murah senyum kini sudah mulai menuai hasil. Enam karyawannya ikut bekerja keras menunjang usaha waralabanya dengan memproduksi sekitar 500 porsi setiap harinya.

Soal keuntungan, pokoknya sangat menggiurkan. Sebagai wirausaha muda yang berhasil masuk sebagai finalis tingkat nasional Wirausaha Muda Mandiri 2008, Riezka hanya berharap, setitik perjalanan hidupnya bisa memberikan napas kehidupan masyarakat sekitarnya.

Jumat, 20 November 2009

YUDHI LATIF

Menjaga Modal Demokrasi Indonesia

Senin, 2 November 2009 | 02:57 WIB

Oleh M Hernowo

Nurcholish Madjid kecil. Demikian orang sering menyebut Yudi Latif. Perhatian Yudi yang besar terhadap Islam dan kebangsaan serta kemampuannya menggabungkan ilmu politik, sejarah, filsafat, dan sastra dalam melihat suatu fenomena memang akan langsung mengingatkan orang pada sosok Nurcholish Madjid.

Namun, berbagai kemampuan itu tidak hanya didapat Yudi dari pergaulannya yang intensif dengan Cak Nur, demikian Nurcholish Madjid sering dipanggil, setelah mereka bertemu muka untuk pertama kalinya pada tahun 1994, tetapi juga dibentuk oleh sejarah hidup Yudi sendiri.

Ayah Yudi, yaitu Utom Mulyadi, yang merupakan tokoh Nahdlatul Ulama, dan ibunya, Yuyun Mustika, yang nasionalis, telah mengajarkannya sejak kecil tentang Islam dan kebangsaan.

Garis pemikirannya makin dilengkapi oleh pengalamannya saat mondok di Pondok Pesantren Modern Gontor, Jawa Timur, petualangannya sebagai aktivis saat kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung, serta kehidupan dan pemikiran modern yang didapatnya ketika belajar di Australia.

Matangnya pemikiran Yudi membuat Cak Nur pada tahun 1996 memercayainya sebagai salah satu pembuat rencana induk Universitas Paramadina.

”Cak Nur lebih tertarik membuat kelompok yang kritis meski itu hanya berjumlah kecil dibandingkan massa yang besar sebab kelompok kritis ini yang akhirnya mewarnai wacana di publik. Sebagai universitas swasta, Cak Nur berharap Paramadina harus memiliki nilai tertentu, yaitu kekritisan, terutama di bidang kebangsaan dan Islam,” ungkap Yudi tentang tujuan Universitas Paramadina yang akhirnya berdiri pada tahun 1997/1998.

Bagaimana efektivitas dari massa yang kritis tersebut?

Cukup baik. Pemikiran tokoh seperti Abdurrahman Wahid atau Cak Nur selalu berpengaruh. Misalnya terlihat dari sejumlah partai yang meski menyatakan Islam sebagai identitasnya, mereka tetap terbuka terhadap pandangan dari luar.

Pemikiran tokoh-tokoh itu juga menjadi wacana yang cukup diminati dan berpengaruh di sejumlah simpul Islam yang pemahaman agamanya amat kuat, misalnya di kalangan mahasiswa IAIN atau Nahdlatul Ulama.

Wacana Islam

Perhatian Yudi terhadap wacana Islam dan kebangsaan tidak pudar meski sekarang dia tidak lagi aktif di Universitas Paramadina.

Bahkan, setelah Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 karena gangguan fungsi hati, Yudi bersama sejumlah orang, termasuk Ommy Komariah Madjid, istri Cak Nur, mendirikan Nurcholish Madjid Society.

Lewat yayasan yang ingin melestarikan gagasan Cak Nur ini, setiap enam bulan diterbitkan sebuah jurnal bernama Titik Temu.

Diilhami oleh harapan Cak Nur agar umat Islam jangan sampai menjadi tamu di negerinya sendiri, Yudi juga menggagas pertemuan mahasiswa dari 38 kampus di Indonesia untuk berdiskusi tentang Islam dan masalah lainnya.

”Nilai Islam harus menjadi bagian dari pengisian nilai keindonesiaan. Oleh karena menjadi bagian pengisian, Islam harus memberikan tempat bagi partisipasi kelompok lain. Oleh karena Islam kelompok mayoritas, wacana pluralisme juga akan dapat lebih tumbuh efektif jika berkembang di Islam,” kata dia.

Mengapa harus menggelar diskusi yang melibatkan 38 kampus?

Terbatasnya bacaan untuk mahasiswa selama ini menjadi salah satu masalah di kampus. Akibatnya, tidak banyak mahasiswa yang dapat membaca berbagai ajaran Islam dari buku aslinya.

Dalam diskusi ini, selain membebaskan pesertanya untuk bicara, juga dimaksudkan untuk membagikan pengetahuan tentang pemikiran Islam, langsung dari buku aslinya. Hasilnya ternyata cukup spektakuler. Banyak wacana dan pemahaman baru tentang Islam, pluralisme, dan kebangsaan muncul di diskusi-diskusi tersebut.

Di era demokratisasi dan globalisasi selama 10 tahun terakhir, seberapa penting isu pluralisme dan kebangsaan di Indonesia?

Globalisasi telah memperbaiki apresiasi terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, pada saat yang sama, globalisasi juga membangkitkan etnosentrisme.

Rivalitas yang melibatkan agama dan etnis makin menguat di Indonesia. Bahkan, dalam politik saat ini perlu diwaspadai munculnya anggapan bahwa agar identitasku ada, yang lain harus ditiadakan.

Apakah munculnya etnosentrisme ini karena kurangnya modal kita untuk berdemokrasi?

Indonesia sebenarnya telah memiliki prasyarat dan modal penting untuk menjadi negara demokrasi, yaitu adanya persatuan nasional dan persepsi tentang satu bangsa.

Namun, modal itu perlu dijamin dan terus dipupuk, antara lain dengan mewujudkan keadilan sosial. Tiadanya jaminan yang kuat ini membuat sebagian elemen kecil dari masyarakat terpancing untuk beralih dari politik nasional ke radikalisme agama atau etnis.

Kemunculan radikalisme ini juga dipicu oleh belum adanya upaya yang komprehensif untuk menyelesaikan hingga tuntas sejumlah memori kekerasan, khususnya pada masa Orde Baru.

Kondisi makin diperparah oleh masalah global, seperti dominasi ekonomi oleh dunia barat dan berbagai peristiwa di sejumlah negara, seperti Afganistan dan Irak.

Pelemahan demokrasi

Kompleksnya permasalahan yang melingkupi Islam dan kebangsaan di Indonesia membuat Yudi juga bergerak kompleks untuk menjaganya. Aktivitasnya tidak hanya sebatas di Nurcholish Madjid Society atau menggelar diskusi antarkampus. Dia juga aktif menulis di media massa dan membuat buku.

Yudi juga kerap bersuara untuk mengkritisi sejumlah upaya yang diduga berpotensi melemahkan bangunan demokrasi, yang antara lain terjadi dalam pemilihan umum lalu dan yang menimpa gerakan antikorupsi belakangan ini.

Dia juga khawatir jika sampai tidak muncul kekuatan penyeimbang dalam pemerintahan.

Akhirnya, mencermati langkah dan pemikiran Yudi seperti melihat Indonesia yang majemuk. Dengan demikian, untuk menjaga Indonesia ini juga dibutuhkan langkah yang majemuk dan yang berani keluar dari ”sekat-sekat tradisional” seperti etnis dan agama.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
TOKOH MUDA INSPIRATIF (4)
Berpolitik Setelah Mapan Berbisnis

Sabtu, 31 Oktober 2009 | 03:11 WIB

Dewi Indriastuti/Subur Tjahjono

Lahir dan tumbuh di tengah keluarga nasionalis, Pramono Anung Wibowo (46) menjalani hidupnya dengan tertata. Hidupnya selalu diisi dengan menentukan pilihan, termasuk saat ia akhirnya memilih bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tahun 1998.

Karier politiknya sebagai ”anak kos”—istilah yang ditujukan kepadanya saat masuk PDI-P karena pendatang baru—di lingkungan partai politik pimpinan Megawati Soekarnoputri saat itu terus melesat. Terakhir, ia bisa menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PDI-P hasil kongres tahun 2005 di Bali.

Perjalanannya masih tetap diisi dengan pilihan. Seperti saat ia meninggalkan kursi eksekutif di perusahaannya yang bergerak di bidang pertambangan dan energi, lalu berkecimpung di dunia politik. Minatnya di bidang politik sudah terbentuk sejak duduk di bangku sekolah dan kuliah di Institut Teknologi Bandung. Kini Pramono Anung duduk di kursi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

Perbincangan Kompas dengan Pramono Anung berlangsung suatu siang di rumahnya yang asri dan berkolam renang di kawasan Jakarta Selatan, Oktober 2009. Perbincangan sempat terputus saat kami berkeliling rumah Pramono, menikmati sejenak ratusan lukisan yang dikoleksinya. Karya-karya pelukis, seperti Le Mayeur, Antonio Blanco, dan Basuki Abdullah, menghiasi dinding ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur, ruang kebugaran, dan kamar mandi.

Setelah lulus kuliah, kok bisa sukses di bisnis? Memanfaatkan jaringan?

Tidak. Saya orang yang tidak pernah setengah-setengah. Perusahaan pertama adalah PT Tanito Harum (milik Kiki Barki, pengusaha pertambangan). Saya masih terlibat sampai hari ini. Waktu itu saya masuk sebagai manajer yunior.

Waktu itu ada Profesor Ambyo (Ambyo Mangunwidjaja), dosen pembimbing saya. Waktu itu saya mahasiswa bandel (Pramono memimpin sejumlah aksi unjuk rasa di Jakarta dan Bandung 1986-1987). Prof Ambyo titipkan saya sama Kiki Barki. Jadi, tidak ada proses buat lamaran.

Kalau perusahaan sendiri?

Tahun 1994 saya mendirikan PT Yudhistira Group, bidang pertambangan dan energi. Saya kontraktor PT Aneka Tambang dari tahun 1996 sampai sekarang. Saya bisnis di PT Timah, PT Aneka Tambang, dan PT Pertamina.

Bagaimana menjalankan bisnis sekarang?

Begitu saya jadi politisi, saya tidak pernah duduk di perusahaan saya sebagai eksekutif. Semua saya lepaskan. Profesional.

Dengan terjun ke bisnis lebih dulu, apakah modal sudah cukup untuk terjun ke politik?

Yang paling utama sebetulnya orang di politik itu kredibilitas karena kredibilitas itu yang akan menentukan orang ke depan. Nah, kenapa materi dalam politik juga menjadi penting? Sebab, sistem politik di negara kita itu masih sangat menggoda bagi siapa pun yang ada pada kekuasaan untuk melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).

Kapan Anda berpikir akan jadi politisi?

Sebenarnya sejak kecil. Keluarga kami pengagum berat Bung Karno. Bapak saya itu dulu, kalau sekarang, seperti Pasukan Pengamanan Presiden. Waktu Mbak Mega masih di Gedung Agung di Yogya, bapak saya termasuk penjaga di situ.

Nah, perdebatan di keluarga itu memengaruhi pola dan pandangan kita waktu kecil. Memang keluarga demokratis terbuka. Bapak saya, kan, PNI (Partai Nasional Indonesia), tapi sebagai guru, kan, sembunyi-sembunyi. Tapi, di rumah itu dibuka dialektika. Saya merasa sejak kecil itu keinginan itu sudah kuat. Kalau ada pemilihan ketua OSIS, saya mencalonkan diri. Ketika terjun ke politik pertama kali di PDI-P, sebenarnya saya tidak kenal secara pribadi dengan Mbak Mega.

Ditawari atau daftar ke PDI-P?

Saya daftar. Saya diajak Heri Akhmadi (sekarang anggota F-PDIP DPR). Sebenarnya instan saja karena saya memang mencari partai politik yang tengah, nasionalis.

Manajemen PDI-P dulu masih tradisional. Sekarang sudah mirip-mirip Golkar. Peranan Anda bagaimana?

Saya termasuk yang membangun sistem. Tentunya kalau tidak dapat dukungan dari Mbak Mega tidak bisa.

Hal yang sederhana, misalnya, tidak pernah ada keputusan partai yang tidak diputuskan dalam rapat partai. Tiap rapat partai sudah punya agenda, materi, itu sudah diatur dalam keputusan terbuka. Semua orang punya hak bersuara, tetapi kata akhir tetap di ketua umum. Tapi, tetap dalam rapat partai, itu sudah jadi tradisi yang kuat dalam PDI-P.

Sekarang tidak ada lagi surat palsu. Kepengurusan rapi, sampai anak ranting terbentuk. Maka, untuk partai yang besar, dalam hal ini kita boleh berbangga, secara administrasi, sistem kepartaian mungkin hanya dua-tiga partai yang cukup rapi.

Regenerasi politik

Lima tahun ke depan ini adalah momentum regenerasi politik. Bagaimana pandangan Anda?

Sebenarnya the battle of the last Mohicans (”perang” antara tokoh politik dianalogikannya dengan suku Indian terakhir di Amerika, Mohican) sudah terjadi tahun 2009 ini. The last Mohicans-nya ada Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), Amien Rais, Megawati, Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk Jusuf Kalla. Mereka ini the last Mohicans.

Politik ke depan, tantangan akan berbeda. Masyarakat akan semakin rasional, kemudian juga hal yang dihadapi generasi setelah ini akan berbeda. Apa yang terjadi di DPR saat ini , di mana dipimpin anak-anak muda, saya, Anis Matta (PKS), Priyo Budi Santoso (Partai Golkar), Marzuki Alie (Partai Demokrat), secara historis tidak punya dendam atau friksi apa pun. Beda dengan antara Mbak Mega dengan Pak Harto, ini kan tidak bisa dihindari. Antara Gus Dur dengan Pak Harto, Amien Rais dengan Pak Harto. Ada luka secara pribadi.

Kalau kita melihat sekarang ini, saya melihat ke depan yang bertarung adalah politik rasionalitas. Hal yang dihadapi akan lebih rasional.

Demokrasi yang kita potret 1999 bergeser memasuki 2004. Pada 2009 ke depan, pergeseran akan semakin tajam. Perdebatan Presiden-Wakil Presiden pada tahun 2009 masih bersifat pada seremonial, bukan substansi. Saya melihat lima tahun ke depan, perdebatan pasti akan rasional, misalnya bagaimana persoalan pajak, subsidi bahan bakar minyak, juga pupuk.

Orang tidak lagi bicara tentang tema-tema besar. Orang akan bicara tentang tema yang implementatif, bisa diterapkan secara langsung di masyarakat sehingga memang akhirnya yang akan muncul lebih pada orang-orang yang punya latar belakang aktivis, intelektual, dan pendidik.

Keuntungan yang utama dari demokrasi adalah menyeleksi secara alamiah. Siapa orang yang secara rasional bisa dipegang, bisa dibanggakan, menjadi pemimpin.

Perdebatannya sederhana, mungkin detail. Berapa pajak untuk buku, berapa pajak untuk surat kabar, misalnya, berapa harga beras. Demokrasi sudah mengalami transformasi. Dari sekarang yang transisi demokrasi menjadi lebih dewasa.

Mengapa sekarang ini susah mencari sosok-sosok anak muda yang akan cemerlang dalam lima tahun ke depan?

Pertama, proses rekrutmen dalam partai masih didominasi oleh senior. Kedua, yang namanya regenerasi tidak secara alamiah diberikan, dari ini kepada itu. Kalau proses rekrutmen diberikan kepada anak-anak muda dengan begitu, maka tidak akan menghadapi tempaan sejarah yang kuat.

Saya lihat proses pematangan sebagai pemimpin tidak lagi seperti zaman Pak Harto, Bung Karno, umur 30-40 sudah jadi pemimpin. Umur akan lebih panjang. Itu terjadi juga di Amerika. Faktor Barrack Obama adalah faktor keajaiban. Kalau lihat John McCain yang berusia 73 tahun dan pemimpin lain-lain, ini kan menunjukkan bahwa proses politiknya panjang. Obama menjadi presiden ini adalah kemampuan memanfaatkan komunikasi, dengan facebook, dengan hal tidak dilakukan oleh yang lain. Saya lihat ke depan akan muncul pemimpin-pemimpin usia 40-an, 50-an, secara alamiah.

Siapa calon presiden dari PDI-P tahun 2014?

Menurut saya, akan terjadi proses alami. Sebagaimana kita lihat, seluruh pemimpin yang jadi pemimpin republik ini bukan yang digadang-gadang, disiapkan jauh-jauh hari.

Kemunculan Bung Karno beda dengan yang lain, melalui proses yang lebih panjang karena muncul pada masa revolusi. Pak Harto saat itu bukan yang disiapkan, termasuk munculnya Gus Dur, Mbak Mega, Juga kemunculan Habibie, Yudhoyono, bahkan Boediono.

Bisa disiapkan 5 tahun ini?

Yang menyiapkan publik dan partai. Publik yang akan terima itu. Saya melihat, orang yang mempersiapkan diri jadi pemimpin biasanya malah tidak akan sampai.


***

PRAMONO ANUNG WIBOWO

• Tempat/Tanggal Lahir: Kediri, 11 Juni 1963

• Pendidikan: SMA 1 Kediri ( 1982), Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (1988), Magister Manajemen Ekonomi Universitas Gadjah Mada (1992)

• Pengalaman Kerja:
1. PT Tanito Harum, perusahaan penambangan batu bara di Kaltim (1988-1994). Jabatan terakhir: Direktur Operasi
2. PT Vietmindo Energitama, perusahaan penambangan batu bara di Vietnam (1990-1994). Jabatan terakhir: Direktur Operasi
3. PT Yudhistira Group, lima perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, perminyakan, dan pengadaan barang dan jasa. Jabatan sebagai presiden direktur dan komisaris utama.
4. Anggota DPR pada periode 1999-2004 dan 2004-2009. Tahun 2005 mengundurkan diri, berkonsentrasi penuh pada kegiatan DPP PDI-P.
5. Anggota DPR (2009-2014)

• Pengalaman Organisasi:
1. Ketua Himpunan Mahasiswa Pertambangan ITB (1985-1986)
2. Ketua Forum Komunikasi Himpunan Jurusan ITB (1986-1987)
3. Ketua Ahli Pertambangan Indonesia (1998-2001)
5. Sekretaris Jenderal DPP PDI-P (2005-sekarang)
6. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (2009-sekarang)