Kamis, 30 April 2009

Awak Harian "Merdeka" Tak Ada yang Curiga kepada Sigid


Kamis, 30 April 2009 | 14:43 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Rita Ayuningtyas

JAKARTA, KOMPAS.com - Harian Merdeka telah memastikan komisaris utama induk perusahaannya, PT Pers Indonesia Merdeka, Sigid Haryo Wibisono, sedang diperiksa oleh penyidik Polda Metro Jaya.

Rekannya, Mulyana W Kusumah, tak pernah menyangka Sigid dapat terlibat dalam pembunuhan berencana itu. Menurut Mulyana yang kini menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Harian Merdeka, Sigid merupakan sosok pengusaha muda sukses. "Saya kira seperti tidak ada sesuatu yang menonjol selain kepemimpinan," ujar Mulyana saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Kamis (30/4).

Kecurigaan juga tidak muncul dari segi pemberitaan. Menurut dia, harian Merdeka juga memuat berita tentang kejadian penembakan Nasruddin yang terjadi pada 14 Maret. "Namun, setelah itu perkembangannya memang agak landai. Jadi, kami juga tidak mengikuti lagi," katanya.

Sementara itu, mengenai sanksi, tuturnya, perusahaan inti yang akan mengatur dan menjawab. Sebagai pemimpin redaksi, Mulyana hanya bertugas memberikan penjelasan mengenai kebenaran keterlibatan Sigid.

Nasruddin dibunuh seusai bermain golf di Kawasan Lapangan Golf Modern. Dia dibunuh saat duduk di kursi kiri belakang mobil BMW abu-abu dekat Danau Modernland, Cikokol Tangerang Kota, pukul 14.00.

Korban ditembak dua kali mengenai jendela mobil lalu mengenai pelipis kiri korban. Pelaku diduga pria berjaket coklat dengan mengendarai sepada motor Yamaha Scorpio. Korban kemudian dibawa ke Rumah Sakit Mayapada yang masih berada di sekitar kawasan Modernland.

Dari sana korban dibawa ke RS Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, 15 Maret sekitar pukul 12.05. Nasruddin tewas dengan dua peluru masih bersarang di kepala dan kemudian dimakamkan di Makasar, 16 Maret.

Pemikiran Sigid Haryo Wibisono Dalam Sebuah Buku


oleh: boni.hargens[at]merdeka.co.id
Sabtu, 13 Desember 2008
Pemikiran Sigid Haryo Wibisono Dalam Sebuah Buku

Judul : Membangun Pilar Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Penulis : Sigid Haryo Wibisono

Editor : Julius Pour

Pengantar : Satjipto Rahardjo

Penerbit : PT Pustaka Merdeka

Tahun : November 2008

Tebal : xi + 98 halaman

Kenegarawanan di Tengah Turbulensi Politik

Di tahun 1930an terjadi polemik kebudayaan di antara Sutan Takdir Alisabana (STA), Sanusi Pane, Poerbatjaraka, dan R.Sutomo di Harian Soeara Oemoem. Mereka mempersoalkan identitas keindonesiaan (Achadiat K. Miharja, Polemik Kebudayaan,1948). Ada STA di satu sisi yang menolak Indonesia dilihat sebagai sambungan langsung dari Kerajaan Kutai, Samudra Pasai, Majapahit, Sriwijaya, ataupun Mataram dalam satu kontinum sejarah yang linear dan ada Sanusi Pane, Poerbatjaraka, dan R. Sutomo di lain sisi yang membantah STA dengan berlandaskan Dialektika Hegel sebagai dasar logika, bahwa sejarah berkembang secara linear. Sebagai implikasi, tak akan pernah ada Indonesia tanpa adanya kerajaan-kerajaan kecil ataupun besar sebelum abad ke-19.

Tak menentukan salah-benar, intensi STA cukup jelas, bahwa ketika kita berbicara tentang Indonesia, kita berbicara tentang bangsa yang konstruktif dan dinamis (dynamisch). Karena kontinuitas sebuah bangsa ditentukan oleh dinamika peradabannya. Peradabanlah yang menjadi fondasi bagi seluruh komponen plural dan kompleks untuk berpikir, berbayang, dan berasa sebagai satu-kesatuan entitas yang dinamakan bangsa (nation). Atau dalam bahasa Anderson (1986), keindonesiaan kita dapat bertahan sejauh ia bisa dibayangkan oleh seluruh elemen yang membentuknya sebagai sebuah nation.

Apakah Indonesia sudah dirasakan sebagai sebuah bangsa oleh seluruh elemen dan warga yang hidup dari Pulau Weh sampai Merauke?

Gagal di Dua Ranah

Ini pertanyaan retorik yang menyadarkan kita betapa pentingnya nation and state building, membangun bangsa dan negara. Ada dua substansi di sini. Pertama adalah membangun sistem kenegaraannya dan kedua adalah membangun manusianya.

Pada ranah sistem, pembangunan sudah berjalan dengan cukup baik dengan adanya berbagai pranata demokrasi. Namun pada tataran manusia, kita masih jauh dari harapan. Siklus kemiskinan, pragmatisme politik, demokrasi tak bersubstansi, korupsi, pengangguran, dan kelambanan ekonomi masih merupakan kotak persoalan.

Untuk diketahui, tahun 2005, Indonesia salah satu dari 89 negara yang kebebasan politiknya bagus, meninggalkan 58 negara yang setengah bebas, dan 45 lainnya yang sama sekali terkekang. Prestasi ini bertahan pada 2006-2008 dalam penelitian di 195 negara. Pada periode yang sama tercatat 46 persen (2,97 miliar) penduduk dunia hidup bebas, 18 persen dalam situasi setengah bebas, dan 36 persen lainnya (2,33 miliar) dalam keterkekangan.

Data yang dikeluarkan Freedom House di Washington ini belum melegakan karena dalam hal-hal spesifik kita masih belum berhasil. Angka akuntabilitas dan kepedulian terhadap suara publik, misalnya, masih tertahan di skor 4.70 pada skala 0-7 dimana 0 representasi dari keadaan yang terburuk dan 7 yang terbaik. Disusul angka kebebasan sipil 3.70, penegakan hukum 2.97, transparansi dan antikorupsi 2.45.

Bahkan dilaporkan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum), posisi Indonesia kurang stabil dalam peta ekonomi dunia, di antara 121 negara. Tahun 2001, Indonesia di tangga ke-57, tahun 2002 turun ke urutan 66, tahun 2003, kembali naik dan berada di posisi 50, tahun 2004 kembali turun ke posisi 53, trend menurun berlanjut ke tahun 2005 (59), lalu sempat naik ke posisi 35 di 2006, tapi tahun 2008 kembali jatuh ke posisi 55 dengan skor 4.25.

Kompleksnya kotak persoalan di Tanah Air membuktikan keresahan STA di era 1930an, bahwa membangun bangsa adalah membangun karakternya, sekaligus memperkuat keyakinan tentang perlunya perubahan. Kenapa sudah 63 tahun kita masih gagal? Bagaimana menciptakan perubahan ke depan?

Menjawabi dua pertanyaan ini, dan tepat pada ruang ini, kehadiran buku Sigid Haryo Wibisono berjudul Membangun Pilar Persatuan dan Kesatuan Bangsa menjadi penting. Ketajaman gagasan dan kejernihan alur berpikir penulis dalam memotret persoalan bangsa dan terutama dalam mengkanalisasi masalah membantu kita memahami latar dan sebab dari stagnasi berkepanjangan di Tanah Air. Bahwa dasar masalah kita adalah lack of statesmanship spirit, kurangnya roh kenegarawanan.

Secara konsisten, Sigid fokus pada masalah kenegarawanan dalam tujuh bab bukunya yang disunting Julius Pour dengan kata pengantar Prof. Satjipto Rahardjo,S.H. Dibentuk dalam keluarga nasionalis dan dididik oleh ayah militer barangkali menjadi dasar sosial bagi penulis dalam melahirkan pemikiran macam ini.

Hal itu terbaca mulai dari awal hingga akhir buku. “Untuk mensukseskan penyelenggaraan pembangunan nasional dibutuhkan elit-politik yang tidak sekedar sebagai pemimpin politik namun justru sebagai negarawan yang mampu mengayomi dan melindungi segenap bangsa. Dengan telah terbentuknya sikap kenegarawanan elit-politik ini, maka secara gradual namun pasti, keresahan social di daerah-daerah akan segera teratasi sehingga pembangunan nasional akan terwujud…”. Demikian penegasan penulis di bagian awal (hal.3).

Masalah sekaligus Solusi

Unggulnya buku ini juga terletak pada kecerdasan mengungkap akar masalah yang sekaligus merupakan jalan keluar. Krisis roh kenegarawanan akar krisis multidimensi, maka penguatan roh kenegarawanan adalah solusi. Kalau Max Lane (2008) bilang, Indonesia adalah bangsa yang belum selesai, maka membentuk sikap kenegarawanan di kalangan elite yang menjalankan kekuasaan politik adalah jalan penyelesaian. Maka keunggulan ide Sigid Haryo Wibisono tak terbantahkan dalam konteks ini.

Di bidang ideologi, penulis menekankan pentingnya elite politik memahami makna eksistensial Pancasila sebagai Weltanschauung, pandangan hidup, bangsa. Di bidang politik, demokrasi mesti dipahami dan diberdayakan untuk memperjuangkan kemaslahatan bersama (bonum commune) dengan menegakkan supremasi hukum sebagai bagian dari prioritas. Di bidang ekonomi, penegakan demokrasi ekonomi dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), swasta, dan koperasi sebagai fondasi adalah strategi memperkuat ekonomi nasional. Di bidang sosial budaya, penulis menghimbau elite politik untuk mendalami Wawasan Nusantara dengan menghormati kebhinekaan budaya melalui edukasi, sosialisasi, keteladanan, dan pemberdayaan kebhinekaan. Lalu di matra pertahanan dan keamanan, kesertaan warga Negara dalam membela negara merupakan kewajiban (hal. 86-89).

Keunggulan lain dari buku ini, skeptisisme penulis terhadap kualitas kepemimpinan di Tanah Air tidak menjebaknya dalam tuduhan ad hominem. Dengan santun, khas bangsawan Jawa, penulis mengajukan kritik demi kritik tanpa sedikit pun menyerang elite tertentu. Model kritik macam ini dibutuhkan di tengah turbulensi politik menuju pemilu 2009 saat ini.

Panduan Politik

Buku karya tokoh muda yang sudah bergelut dengan lima pemerintahan (Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Yudhoyono) ini merupakan panduan politik. Tepat sekali diketahui oleh para politisi dan pekerja politik lainnya dalam rangka mematangkan agenda kampanye mereka. Tentu tak terkecuali, para aktivis, intelektual, dan pembelajar demokrasi juga perlu membaca buku ini sebagai panduan dalam mendorong perubahan nasional. ***