Rabu, 24 Desember 2008

Bung Amir, Tragedi Seorang Patriot

Sabam Siagian

  • Redaktur Senior Harian The Jakarta Post, mantan Duta Besar Indonesia di Australia

    SEKITAR tengah malam 19-20 Desember 1948 di Desa Ngalihan, di luar Kota Solo, dilakukan eksekusi terhadap sekelompok tahanan politik oleh peleton Polisi Militer. Satu di antaranya Amir Sjarifoeddin Harahap, Perdana Menteri Republik Indonesia kedua (Juni 1947-1948). Mereka dituduh terlibat dalam ”Pemberontakan Madiun”.

    Bung Amir berumur 41 tahun lebih sedikit ketika ditembak, beberapa hari menjelang perayaan Natal. Para pemrakarsa ”Pemberontakan Madiun” itu, yang dicetuskan pada 18 September 1948, khususnya Soemarsono, tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), yang berperan dalam Pertempuran Surabaya, menyebutnya sebagai tindakan ”koreksi” terhadap jalannya Revolusi Indonesia. Perdana Menteri Mohammad Hatta, dalam keterangan pemerintah di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta, menyebut kejadian di Madiun sebagai ”perampasan kekuasaan”.

    l l l

    PERTANYAAN besar ketika mengenang tewasnya Bung Amir 60 tahun lalu: kenapa seorang Amir Sjarifoeddin, Perdana Menteri RI ke-2, yang pernah tampil di panggung internasional sebagai ketua delegasi RI dalam perundingan dengan delegasi Kerajaan Belanda dan difasilitasi oleh Komisi Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa, sampai terlibat dalam suatu tindakan ”perampasan kekuasaan” Negara RI?

    Han Suyin, novelis dan penulis biografi politik, pernah mengatakan, ”Agar penulisan sejarah dilakukan secara benar, tokoh harus ditampilkan sebagai manusia, bukan sebagai legenda.” Wanti-wanti Han Suyin itu agaknya tepat sekali diterapkan dalam menilai peran kesejarahan Amir Sjarifoeddin. Sebab, Amir memiliki beberapa ciri yang cenderung menciptakan legenda.

    Dia orator yang setara dengan kehebatan Soekarno dalam memukau massa. Cetusan pemikirannya yang serba cerah mencerminkan kualitas intelektualnya, yang dibina di sekolah menengah atas elite di Negeri Belanda. Selama menjadi pelajar di gymnasium di Kota Haarlem (1921-1927), di samping mempelajari bahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, dia menekuni bahasa dan sastra Latin dan Yunani Kuno.

    Namun mereka yang kenal Bung Amir dari dekat juga mencatat beberapa kelemahan karakter yang fatal akibatnya bagi seorang pemimpin politik. Dia senang disanjung dan dipuji. Sering emosional dalam mengambil keputusan. Rasa kesetiakawanan kuat yang dimilikinya menimbulkan kekecewaan yang mendalam kalau dia merasa ditinggalkan kawan seperjuangan. Semuanya itu tecermin pada 1948, tahun kalender terakhir dalam hidup Amir Sjarifoeddin.

    l l l

    SETELAH enam bulan menjadi perdana menteri, menggantikan teman separtainya, Partai Sosialis, Soetan Sjahrir, sebagai ketua delegasi RI Bung Amir berhasil menempa kerangka kesepakatan dengan pihak Belanda. Perundingan dilakukan di geladak sebuah kapal angkut militer Angkatan Laut Amerika Serikat yang berlabuh di Teluk Jakarta. Kesepakatan yang ditandatangani pada 17 dan 19 Januari itu dikenal sebagai ”Perjanjian Renville”.

    Beberapa hari sebelum penandatanganan ”Renville”, Bung Amir terbang ke Singapura. Di sana ia melakukan pertemuan amat penting dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang datang dari Bukittinggi, dan Soetan Sjahrir, mantan perdana menteri dan Wakil Khusus RI di Dewan Keamanan. Sjahrir mengkritik habis konsep ”Renville”. Ia menuding Amir telah memberikan konsesi kepada Belanda, yang sebenarnya tidak perlu. Pada malam 17 Januari, Amir Sjarifoeddin tampil dengan busana hitam-putih, dasi kupu-kupu hitam, dalam resepsi yang diselenggarakan Komisi Jasa Baik PBB. Itulah klimaks kariernya.

    Belum genap seminggu, kabinet Amir menghadapi krisis. Dua partai besar pendukungnya, Masyumi dan Partai Nasional Indonesia (PNI), menarik dukungan dan para menterinya. Meskipun pada awalnya mendukung Perjanjian ”Renville”, mereka tidak bersedia memikul tanggung jawab atas pelaksanaannya.

    Tanpa dukungan dua partai besar itu, Bung Amir merasa terpojok. Pada 23 Januari 1948, ia mengembalikan mandatnya sebagai kepala pemerintahan kepada Presiden Soekarno. Lebih menjengkelkan, ketika Presiden Soekarno pada 29 Januari 1948 mengumumkan kabinet presidensial yang dipimpin Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai perdana menteri, dua partai besar itu, Masyumi dan PNI, tampil mendukung. Masing-masing mendapat porsi kursi menteri yang lumayan. Dan program pertama kabinet Hatta ini: Pelaksanaan Perjanjian Renville!

    Ada lagi perkembangan yang menambah kekecewaan Bung Amir. Wakil Amerika Serikat, Profesor Frank Graham, yang dianggapnya sebagai teman baik dan seiman, pernah sama-sama menjadi tokoh Gerakan Mahasiswa Kristen semasa muda mereka, ditarik kembali oleh Departemen Luar Negeri Amerika. Grahamlah yang meyakinkan Bung Amir agar menyetujui tuntutan Belanda supaya Tentara Nasional Indonesia mengosongkan daerah pendudukan.

    Januari itu merupakan klimaks, sekaligus antiklimaks, dalam karier politik Bung Amir. Mengapa Masyumi dan PNI menarik dukungannya kepada Bung Amir? Apa sebenarnya peran Frank Graham? Apakah sebagai sasaran tahap awal, ia bekerja keras supaya Perjanjian ”Renville” disepakati dulu? Tapi, berdasarkan pantauannya, ia mengobservasi kecenderungan Perdana Menteri Amir ke kiri, sedangkan Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet justru terus memuncak.

    Seperti sering terjadi pada tokoh politik yang menderita sindrom purnakekuasaan, Amir semakin bersikap kritis dan radikal. Koalisi partai yang dipimpinnya kemudian diluaskan, dan fokusnya dipertajam, menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Berbagai rapat umum diselenggarakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Amir seakan-akan menggali kekuatan baru dari interaksi langsung dengan massa.

    Sebenarnya, Perdana Menteri Hatta mulai bersikap akomodatif dan mencatat kenyataan politik. Pembicaraan pendahuluan mulai dilakukan dengan oposisi. Kalau Bung Amir mampu mengurai egonya dan memperlunak tuntutannya, bukan mustahil pada sekitar perayaan 17 Agustus 1948 sebuah kabinet nasional persatuan dapat dibentuk. Lagi-lagi sebuah peristiwa baru mengubah peta politik.

    Pada 11 Agustus 1948, Soeripno, utusan khusus untuk Eropa Timur yang diangkat oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin, tiba di Yogyakarta. Ia ditemani, katanya, oleh sekretarisnya yang bernama Musso. Siapa Musso? Ia tokoh veteran Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika partai itu mengorganisasi ”pemberontakan” pada 1926, Moskow sudah menginstruksikan supaya ditunda, karena persiapannya dianggap belum matang dan polisi rahasia Hindia Belanda sudah mencium rencana tersebut. Tapi Musso tetap meneruskannya. Akibatnya, ribuan aktivis—juga yang bukan pengikut PKI—ditangkap, dan Musso melarikan diri ke luar negeri.

    Ada laporan, Musso kembali pada 1935 ke Jawa Timur untuk mendirikan PKI ilegal. Diduga, Amir Sjarifoeddin direkrut sebagai anggota PKI pada tahun-tahun itu. Dalam waktu singkat Musso seperti menguasai panggung politik. Dia menginap di rumah Amir. Tapi Amir, yang menguasai FDR dan berprestise sebagai mantan perdana menteri, sepertinya terdesak oleh Musso.

    Menjelang akhir Agustus 1948, Amir mengumumkan bahwa dia sebenarnya sudah lama menjadi anggota PKI. Para pengamat menafsirkannya sebagai ”oportunisme politik”, supaya dia jangan sampai tersingkir sama sekali oleh Musso. Dia juga mengumumkan bahwa FDR dileburkan menjadi bagian PKI. Pada 1 September 1948, susunan baru kepemimpinan PKI diumumkan. Tampak betapa Musso menguasai Politbiro. Amir hanya diberi jabatan sekretaris urusan pertahanan.

    l l l

    MULAI awal September 1948, Musso, Amir, dan tokoh PKI lainnya berkeliling Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kita tidak tahu apa persisnya ”master plan” PKI. Mungkin tahap akhir perebutan kekuasaan baru dilakukan pada Oktober atau November. Karena itu, prakarsa Soemarsono, 18 September 1948, sebenarnya di luar skenario.

    Ketika berita dari Madiun masuk tentang ”perampasan kekuasaan”, kabinet Hatta cepat bertindak. Agaknya pemimpin PKI, Musso dan Amir, ketika bergabung dengan kelompok Soemarsono di Madiun tidak memperkirakan sikap tegas pemerintah RI di Yogya. Mereka juga tidak memperhitungkan kelincahan operasional pasukan-pasukan Siliwangi menuju Madiun, serangan dari timur oleh pasukan Kolonel Sungkono, serta penugasan batalion Kemal Idris ke daerah Kudus/Pati untuk memotong rombongan dan pasukan Amir menuju daerah demarkasi dengan Belanda.

    Madiun direbut pasukan TNI pada 30 September 1948. Setelah berminggu-minggu berkelana, rombongan Amir Sjarifoeddin dan Soemarsono tiba di daerah Kudus. Bung Amir ditangkap pada Senin malam, 20 November 1948, tapi Soemarsono lolos. Ia diangkut ke Yogyakarta dengan kereta api khusus. Ada yang masih ingat, ketika gerbong Bung Amir singgah di stasiun Pati, dia tampak duduk tenang di sudut, membaca.

    Kolonel A.H. Nasution, sebagai Panglima Komando Jawa, bersama Jaksa Agung sempat menjumpai Bung Amir dan Soeripno di tempat tahanannya di Yogyakarta. Jaksa Agung berpendapat bahwa masih perlu dilakukan interogasi oleh TNI untuk mempersiapkan tuduhan resmi. Karena Bung Amir dan kawan-kawan ditahan di daerah komando Kolonel Gatot Soebroto, mereka dikembalikan ke Solo.

    Lagi-lagi suatu peristiwa mendadak mengubah peta politik militer. Belanda melancarkan serangan umum pada 19 Desember 1948 pagi. Siang hari Yogyakarta diduduki. Presiden Soekarno, Wakil Presiden/Perdana Menteri Hatta, dan penasihat presiden Soetan Sjahrir, berdasarkan kalkulasi politik, tetap tinggal. Mereka ditahan Belanda. Panglima Besar Soedirman, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel Simatupang, Panglima Komando Jawa Kolonel A.H. Nasution, sesuai dengan rencana, menuju markas gerilya mereka.

    Para komandan, sesuai dengan hukum militer dalam darurat perang, mempunyai wewenang penuh. Kolonel Gatot Soebroto memutuskan mengeksekusi para tahanan politik di daerah kekuasaannya.

    Sungguh tragis akhir hidup Bung Amir ini. Tapi kata-kata di nisan yang baru-baru ini diresmikan hendaknya diterima secara tulus: ”Rest in Peace, Mr. Amir Sjarifoeddin…”.

  • Orang-orang di Sekeliling Baswedan

    A.R. Baswedan tidak serta-merta menjadi seorang nasionalis prokemerdekaan Indonesia. Dalam bukunya, Hadrami Awakening, Natalie Mobini Kesheh melontarkan analisis yang menggambarkan besarnya pengaruh Liem Koen Hian. Di surat kabar Sin Tit Po memang ada Liem. Tapi ruang lingkup perkembangan Baswedan tentu saja lebih jauh dari itu. Di Soeara Oemoem ada tokoh dokter Soetomo, yang mewakili pandangan seorang nasionalis intelektual. Ada lagi tokoh Muhammadiyah, KH Mas Mansur, yang sering mendukung langkah-langkah nasionalistis Baswedan.

    Sejumlah tokoh pernah bersilangan jalan dengan A.R. Baswedan dan mereka mewarnai pikiran-pikiran tokoh kita ini.

    Syekh Ahmad Surkati
    Surkati merupakan ikon reformis yang lama ia nantikan. Hidup dalam komunitas keturunan Arab yang jumud membuat Baswedan muda sangat tertarik pada sosok dengan pandangan-pandangan nontradisional seperti Surkati.

    Syekh Ahmad Surkati kelahiran Sudan. Ia datang ke Jawa pada Maret 1911 sebagai guru untuk Jami’at Khair—sekolah bagi warga keturunan Arab di Batavia. Pria kelahiran 1874 ini ditugasi memimpin berbagai madrasah, yang salah satunya terletak di daerah Pekojan, Jakarta. Berkat kepemimpinannya, sekolah Jami’at Khair berkembang. Banyak murid datang dari luar Jakarta, termasuk Sumatera.

    Surkati juga dikenal karena sebuah fatwanya. Ia menegaskan bahwa perkawinan gadis keluarga sayid dengan pria bukan sayid sah hukumnya. Fatwa ini mengguncang komunitas Arab, yang saat itu terbagi menjadi dua kelompok besar: sayid dan nonsayid. Dengan dukungan kelompok nonsayid, Surkati mendirikan dan memimpin madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, yang masih berdiri hingga kini.

    Surkati sedari awal mendidik muridnya—termasuk AR muda—tentang persamaan derajat di antara sesama manusia. Salah seorang murid Surkati, (almarhum) Kasman Singodimejo, menuturkan sebuah kisah unik. Surkati pernah menghardik seorang bumiputra yang menunduk-nunduk di hadapannya. ”Kamu tidak boleh tunduk kepada saya, karena saya hanya manusia biasa. Kamu hanya tunduk kepada Allah SWT,” kutip Geys Amar, mantan Ketua Umum Al-Irsyad.

    Selain mendidik warga keturunan Arab, Surkati melakukan pendekatan pada kalangan bumiputra atau kalangan nasionalis yang paham keagamaannya minim. Surkati menganggap mereka sebagai sasaran empuk yang dapat dieksploitasi Belanda, komunis, ataupun zending. Kaum agamawan nasionalis seperti anggota Jong Islamieten Bond pun dekat dengannya.

    Di sekolah, Surkati menjawab banyak keresahan Baswedan muda, misalnya tentang kedudukan perempuan dalam Islam. ”AR muda banyak berdiskusi, bahkan mengkritik pemikiran Surkati. Namun Surkati tak pernah marah,” ungkap Geys. Baswedan muda yang kritis dan gelisah itu memperoleh banyak perhatian dari Surkati.

    Itu termasuk saat AR mendirikan Partai Arab Indonesia. Pada prinsipnya, Surkati tidak menolak pendirian partai tersebut. ”Hanya, Surkati merasa saat itu belum waktunya,” kata Samhari Baswedan, putra bungsu AR. Perseteruan itu melahirkan sebuah sajak pada 1936 bertajuk Antara Guru dengan Bekas Muridnya, digubah oleh AR dengan nama pena Ibnu Hani al-Indonesia. Dalam sajak itu, AR berusaha mengingatkan Surkati akan ajarannya sendiri: murid harus menggunakan akal pikiran dan tidak terombang-ambing oleh keadaan.

    Surkati, yang memiliki nama lengkap Ahmad bin Muhammad Surkati al-Ansari, wafat pada 6 September 1943 di Jakarta, tanpa meninggalkan keturunan. Jenazahnya diantar ke pekuburan Karet, Jakarta, dengan cara sederhana. Di atas makamnya tak terdapat tanda apa-apa, sesuai dengan amanat Surkati sebelum meninggal.

    Dokter Soetomo
    Muncul kritik keras saat Soetomo sebagai Direktur Harian Soeara Oemoem, Surabaya, menerima A.R. Baswedan dan Tjoa Tjie Liang sebagai wartawannya. Salah satunya dari harian Bintang Timoer pada 1934. Bintang Timoer mengecam: mengapa Baswedan dan Tjoa, yang bukan bangsa Indonesia, diterima sebagai wartawan?

    Tjoa sendiri saat itu sudah terlibat dalam Partai Tionghoa Indonesia bersama Liem Koen Hian. Soetomo menyambut tantangan itu, membela keduanya dengan tangkas. Dan ini menimbulkan kesan bahwa Soetomo sama sekali tidak seperti yang dibayangkan Baswedan. Soetomo jelas bukan chauvinist yang memiliki nasionalisme sempit seperti Bintang Timoer. ”Abah bahkan menyebut Soetomo sebagai ayah Partai Arab Indonesia,” kata Samhari, putra Baswedan.

    Baswedan memang tak begitu lama bergabung dengan Suara Oemoem. Pada akhir 1934, ia hijrah ke Semarang, bergabung dengan harian Matahari. Meski singkat, banyak pengalaman berharga yang direguk Baswedan ketika bersama Soetomo.

    Baswedan pernah membandingkan tiga tokoh pergerakan nasional asal Jawa: KH Mas Mansur, Soetomo, dan Wahidin Sudirohusodo. Mas Mansur merupakan sosok yang keras dan tegas. Sedangkan Wahidin memiliki karakter sangat halus. ”Soetomo merupakan perpaduan keduanya. Dia dapat bersikap tegas tapi juga tidak keras,” Samhari menyitir ayahandanya.

    Barkah al-Ghanis
    Baswedan menikah pertama kali dengan sepupunya, Syaikhun, saat berusia 17 tahun. Istrinya sendiri baru 12 tahun saat itu. Mereka dikaruniai sembilan anak. ”Ibu Syaikhun orangnya tenang,” kata Samhari. Selama Baswedan berkecimpung dalam dunia jurnalistik dan politik, kehidupan keluarganya cukup sulit. Mereka kerap berpindah kota. Belum lagi kondisi keuangan yang sangat tipis. Namun Syaikhun tak pernah mengeluh.

    AR pernah menulis sebuah sajak yang ia persembahkan bagi istrinya yang sering dipanggil Sekun itu. Sajak yang terdapat dalam pengantar buku Baswedan, Rumah Tangga Rasulullah, ini merupakan pujian atas kesetiaan dalam menjalani hidup yang penuh derita. Sayang, usia Sekun tak lama. Pada 19 Juli 1948, Sekun wafat karena penyakit malaria. Saat itu AR tengah menjabat menteri.

    AR mengalami masa sulit setelah kematian Sekun. Mengasuh sembilan anak seorang diri membuat aktivitas perjuangan AR menurun. Sahabat-sahabat AR kemudian berunding, hendak mencarikan istri baginya. Calon terbaik hanya satu: Barkah al-Ghanis.

    Barkah lahir pada 11 Januari 1911, anak pertama dari sembilan bersaudara. Meski lahir sebagai keturunan Arab, Barkah dibesarkan dan dididik oleh eyang dari ibunya yang asli Jawa. Berbeda dengan perempuan lain keturunan Arab, Barkah memperoleh pendidikan cukup tinggi, hingga kelas VI sekolah dasar. ”Saat itu perempuan Arab bahkan tak bisa bersekolah,” ujar Samhari.

    Pada usia 12 tahun, Barkah dinikahkan dengan pria keturunan Arab. Setelah diboyong ke Jakarta, ia tinggal di kawasan Sawah Besar. Dari lingkungan yang relatif modern Barat, penuh dengan buku, dan terbuka di rumah neneknya, Jakarta menjadi penjara. Sang suami memang memberikan sedikit kebebasan, asalkan ia tetap tinggal di rumah. Untung, ia bertetangga dengan seorang perempuan Tionghoa yang suka membaca dan pandai berbahasa Belanda. Pertemanan tetap berjalan meski mereka hanya bisa berbincang dari jendela rumah masing-masing.

    Berkat tetangganya itu, Barkah memperoleh pinjaman buku. Akibatnya, rumah Barkah dikunjungi perempuan-perempuan keturunan Arab yang tidak bisa membaca huruf Latin. Barkah kemudian membacakan buku-buku itu untuk mereka. Situasi ini mengasah bakat kepemimpinan Barkah. Setelah bercerai dari suami pertama, ia semakin aktif di berbagai organisasi. Salah satu posisi penting yang pernah ia duduki adalah Ketua Partai Arab Indonesia Istri.

    Baswedan dan Barkah menikah pada 1950. Wali hakim bagi Barkah adalah Mohammad Natsir. Mereka menikah di rumah Haji Bilal di Kauman, Yogyakarta. Mereka tidak menikah di rumah Barkah di Tegal karena satu hal: AR dianggap tidak setingkat dengan Barkah. Dalam komunitas keturunan Arab, Barkah berasal dari keturunan Gabili, kasta serdadu. Sedangkan AR orang biasa.

    Pernikahan mereka dikaruniai dua anak. Berbeda dengan pernikahan pertama yang adem-ayem, Barkah bagi AR merupakan partner diskusi utama. ”Bila berdiskusi, mereka tak segan beradu argumentasi, termasuk menggebrak meja makan,” kenang Anies Baswedan, cucu AR yang kini menjabat Rektor Universitas Paramadina.

    Waktu makan menjadi momen diskusi paling gayeng. Semua hal dapat diperdebatkan, dari soal politik hingga kehidupan sehari-hari. Mereka juga saling mendukung dalam aktivitas politik. Ketika Masyumi mati suri, istri-istri tokoh Masyumi bergerak membentuk Wanita Islam. Barkah tentu saja tak ketinggalan. AR pun mendukung dari balik layar: sebagai partner diskusi, membantu mematangkan strategi, juga mengetikkan naskah pidato Barkah. Begitu pula saat AR membentuk Teater Muslim untuk membendung pengaruh Lekra. Meski tak paham kesenian, Barkah selalu mendampingi AR ke mana pun Teater Muslim manggung.

    Karakter AR dan Barkah sendiri bak minyak dan air. Barkah orang yang berdisiplin lagi tegas. Sedangkan AR spontan dan romantis. Soal romantis, Samhari memiliki sebuah kenangan. ”Setiap kali hendak bepergian, Ibu selalu menyerahkan kacamatanya ke Abah untuk dibersihkan,” ucapnya sembari tersenyum. Sikap AR ini tentu tak dimiliki banyak pria keturunan Arab saat itu. Hal ini merekatkan perkawinan mereka hingga akhir hayat.

    Samhari Baswedan
    Ahmad Samhari lahir sebagai putra bungsu AR pada 7 Februari 1954. Terlahir sebagai anak bontot memberikan banyak keuntungan bagi Hayi—demikian ia disapa dalam keluarga. Hayi cilik biasa diajak ayahnya dalam aktivitas sehari-hari. Saat AR masih sibuk di Konstituante, Hayi turut menemaninya. Apalagi saat AR pensiun. Hayi, yang saat itu masih duduk di Sekolah Dasar Muhammadiyah, Yogyakarta, pun mendapat perhatian ekstra dari sang ayahanda.

    Sedari Hayi belia, AR memperkenalkan buku ke dalam kehidupannya. Setiap kali ia berulang tahun, buku tak pernah luput sebagai hadiah. ”Padahal, saat saya kecil, harga buku sangat mahal,” kenangnya. Setiap Jumat adalah waktu yang ditunggu. AR akan mengajak Hayi cilik ke perpustakaan Islam yang dikelola sahabatnya. Hayi dapat leluasa masuk ke ruang buku yang terlarang bagi orang lain.

    Saat usianya menginjak belasan tahun, Hayi mulai menikmati aktivitas lain bersama ayahnya, berkesenian. Ia menjadi bintang cilik Teater Muslim. Hayi pun diundang membacakan sajak karya ayahnya di berbagai acara. Beranjak remaja, Hayi menjadi tangan kanan A.R. Baswedan untuk mengetik surat atau mengedit tulisan sang ayah.

    Hayi sering berdebat keras dengan ayahnya. Tapi ia tak menemukan generation gap dengan sang ayah. AR sangat visioner dan dekat dengan anak muda. Ayahnyalah yang mendorong Hayi menerima beasiswa AFS ketika warga keturunan Arab menentang. Penentangan saat itu cukup lumrah. Banyak anak dari keluarga Islam tradisional yang pulang dari Amerika mengalami gegar budaya sehingga keluarganya terkejut. Persetujuan AR diungkapkan dalam sebuah tamsil: ”Kita (orang tua) sudah masuk waktu asar atau magrib, sementara Hayi dan generasi muda baru subuh. Makanya sedari awal generasi muda harus mengenal dunia.”

    Sekembali dari Amerika, Hayi terpaksa mengikuti keinginan sang ayah, yang memintanya masuk fakultas kedokteran. ”Saya berjuang sekuat tenaga supaya gagal (tes kedokteran),” ungkapnya seraya tertawa. Ia diterima sebagai mahasiswa kedokteran Universitas Gadjah Mada.

    Kenangan paling menyedihkan dialaminya saat dia terpilih menjadi dokter terbaik. Pengumumannya dilakukan dalam dies natalis. Sang ayah, yang sudah mendapat bocoran mengenai hal ini, meminta Hayi mengajaknya ke kampus. Hayi, yang tak tahu apa-apa, menolak dengan keras. Walhasil, Hayi gelo karena ayahnya tak bisa menyaksikan momen terpenting dalam hidupnya. ”Saat saya pulang, ayah menangis bahagia mendengar cerita saya,” kisahnya sembari mencucurkan air mata.

    Sejak itu, hubungan keduanya mencair. Meski sibuk sebagai ko-asisten, Hayi tetap membantu ayahnya mengetik dan mengedit berbagai naskah tulisan. Setelah Hayi lulus dari kedokteran dan diterima di badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk anak, UNICEF, di Jakarta, AR sering menengoknya. Bahkan proses penulisan otobiografi AR berlangsung di rumah Hayi. Hingga akhirnya AR wafat karena stroke di sana pada 1986.

    Sita Planasari Aquadini

    Seorang Idola, Korban Zamannya


    Liem Koen Hian pendiri Partai Tionghoa Indonesia pada era penjajahan Belanda. Ironis sekali, nasionalis Indonesia ini meninggal sebagai warga asing.

    PERKENALAN A.R. Baswedan dan Liem Koen Hian terjadi dalam suatu pertandingan sepak bola di Surabaya, pada 1932. Saat itu Liem merupakan Pemimpin Redaksi Sin Tit Po, harian peranakan Tionghoa yang pro-Indonesia. Di sela-sela pertandingan bola yang riuh-rendah itu, Liem menawarkan pekerjaan kepada Baswedan: menjadi redaktur. Dan itulah sebuah berkah yang selalu disyukuri Baswedan, seperti tertulis dalam catatan bertarikh 1939.

    ”Sekiranya hanya diterima sebagai voluntair, tidak bergaji sama sekali, sungguh dengan senang hati saya terima, asal bisa duduk di dekat Engko Koen Hian buat belajar jurnalistik lebih jauh. Ia jurnalis ulung…,” begitu kenang A.R. Baswedan. Sosok Liem yang tinggi besar dan peramah itu menjadi idolanya. Ketika Liem hengkang dari Sin Tit Po, Baswedan pun mengikuti jejaknya. Siapakah sosok yang satu ini?

    Liem Koen Hian lahir di Banjarmasin pada 1896. Meski ia berasal dari peranakan Tionghoa, orang tuanya hanyalah pedagang kecil. Liem cilik menempuh pendidikan di ELS, sekolah dasar Belanda. Awalnya ia bekerja sebagai juru tulis di perusahaan minyak Inggris, Shell. Kemudian ia bekerja di harian Penimbangan, dan dari situlah ia mengawali kariernya yang panjang dalam dunia jurnalistik.

    Pada 1914, ia hijrah ke Surabaya dan bekerja pada harian Tjhoen Tjhioe dan Soo Lim Po. Minat dan jiwa petualangannya membuat dia sering berpindah tempat. Pada 1918, Liem pindah ke Aceh, kemudian ke Padang, sebagai redaktur Sinar Sumatra. Petualangannya di Sumatera berakhir saat ia mendapat tawaran memimpin Pewarta Surabaya pada 1921. Menginjak tahun 1925, ia bergabung dengan Suara Publik, yang juga terbit di Surabaya.

    Leo Suryadinata, sinolog yang kini menetap di Singapura, menyebutkan pada periode itulah Liem mengembangkan visi kewarganegaraan Indonesia—visi yang kemudian mendorong Liem dan beberapa peranakan Tionghoa mendirikan Partai Tionghoa Indonesia pada 1932. Jejak Liem susah terlacak sekarang. Tapi Siauw Tiong Djin—putra Siauw Giok Tjan, sahabat Liem—banyak mendengar soal tokoh yang satu ini. ”Liem tegas mendukung Indonesia sebagai tanah air keturunan Tionghoa,” ungkap Tiong Djin.

    Liem jurnalis andal dan punya kepemimpinan yang tinggi. Ia tercatat memimpin berbagai surat kabar Tionghoa peranakan pro-Indonesia merdeka, semacam Sin Tit Po dan Kong Hoa Po. Sebelum memutuskan kembali ke Sin Tit Po pada 1939, Liem sempat pindah ke Jakarta untuk meneruskan studinya di sekolah hukum (1933-1935), di Rechts Hoogereschool. ”Setahu saya, beliau tidak lulus,” kata Tiong Djin.

    Pada awal 1940-an, Liem aktif dalam pergerakan anti-Jepang bersama tokoh-tokoh nasionalis nonkooperatif, seperti Amir Sjarifoeddin. Liem beserta keluarganya bahkan pernah mengungsi ke rumah Baswedan di Solo untuk menghindari penangkapan tentara Jepang. Dinginnya bui pun akhirnya ia rasakan pada masa pendudukan Jepang.

    Anehnya, ia tak mendekam lama di penjara. Setelah itu, sikapnya terhadap Jepang berubah. Bahkan ia diangkat sebagai kepala urusan Tionghoa di konsulat Jepang di Jakarta. ”Alasan perubahan sikapnya hingga kini masih simpang-siur,” ungkap sejarawan minoritas Tionghoa, Mona Lohanda.

    Menjelang kemerdekaan pada 1945, Liem Koen Hian didapuk Bung Karno sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada rapat inilah Liem menjadi orang pertama yang memasukkan kemerdekaan pers dalam konstitusi. Bunyi Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945—dengan lisan dan tulisan—merupakan sumbangan Liem bagi Indonesia.

    Pascakemerdekaan, geliat Liem dalam politik mengendur. Setelah ia menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia untuk perundingan Renville pada 1947, aktivitas politiknya tak terdengar lagi. Menurut Tiong Djin, ia membuka sebuah apotek di daerah Tanah Abang, Jakarta, dan Medan. ”Usahanya tak berjalan baik. Maklum, ia tak berjiwa pedagang,” kata Tiong Djin.

    Namanya kembali menjadi perbincangan saat ia menolak kewarganegaraan Indonesia. Tentu saja sikap itu menjadi buah bibir di kalangan Tionghoa peranakan. ”Ia kan selama ini dikenal sebagai bapak asimilasi politik Tionghoa. Menjadi warga negara Indonesia menjadi impiannya sejak dulu,” Tiong Djin menambahkan.

    Ketika pemerintah Sukiman (1951-1952) melancarkan pembersihan terhadap tokoh-tokoh komunis, Liem ikut ditangkap. Ia dianggap simpatisan komunis. Pemerintah Sukiman saat itu memang gencar menangkapi orang komunis demi memperoleh dukungan dari Amerika Serikat. Dukungan negara adidaya itu sangat berarti untuk menghadapi Belanda. Liem ditangkap di rumah sahabatnya, Siauw Giok Tjan. Semula, Liem meminta tolong Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo melalui anaknya. Ahmad merupakan kawan lama Liem. Tapi pertolongan tak diperoleh. Sang anak justru diusir.

    Liem merasa terpukul dan meradang. Setelah bebas, ia memutuskan tidak menjadi warga negara Indonesia—tanah air yang selama ini juga ia perjuangkan. Ia wafat di Medan pada 1952 sebagai orang asing. Para sejarawan, seperti Leo Suryadinata dan Mona Lohanda, mengalami kesulitan untuk melacak keberadaan makam ataupun keluarga Liem sekarang. Tiong Djin hanya ingat istri Liem adalah warga Belanda. Samhari Baswedan, putra bungsu A.R. Baswedan, pernah bertemu dengan putri Liem pada 1983. Saat itu putri Liem tinggal di Jalan Salemba Tengah, Jakarta. Namun hingga kini tak ada lagi kabar dari mereka.

    Sita Planasari Aquadini

    Dibesarkan dengan Gado-gado


    A.R. Baswedan tak betah dengan konflik internal masyarakat keturunan Arab di Tanah Air. Pada 1934 ia sukses menggiring mereka ke ranah nasionalisme.

    KAMPUNG Melayu, Semarang, 4 Oktober 1934. Sekitar tiga lusin pemuda keturunan Arab berkumpul. Hawa demikian panasnya, sebagian dari mereka membuka jas. Satu-dua tampak menyandang pistol di pinggang. Perdebatan sedang berlangsung sengit. Semua menanti pihak mana yang menang dan memberikan pengaruh dalam konferensi.

    ”Banyak provokasi,” Suratmin menulis. Penulis biografi A.R. Baswedan terbitan tahun 1989 itu mengutipnya dari catatan Irsjady Haqiqy di harian Nusaputra, 30 Desember 1951. Itulah suasana konferensi Arab peranakan pertama yang berlangsung di Tanah Air. Dan A.R. Baswedan, saat itu 26 tahun, duduk di muka memimpin rapat.

    Sehari sebelumnya, perkenalan dilakukan dengan canggung. Sebutan ”sayid” yang biasa digunakan untuk mereka yang dipercaya punya darah keturunan Nabi tak boleh dipakai. Aturan ini mesti ditaati dalam konferensi. Baswedan mencuri momen dengan menggunakan istilah ”saudara”, dan ”al-akh” dalam bahasa Arab, sebagai pengganti. Suasana mulai mencair. Setidaknya, satu penghalang berbau ”kasta” bisa dibereskan.

    Tapi semua tetap berjaga-jaga bila pistol di pinggang itu tiba-tiba menyalak. Pasalnya, para peserta datang dari dua belah pihak yang lama bermusuhan: kelompok Al-Irsyad dan kelompok Arrabitah yang lebih tradisional. Mereka berasal dari kampung Arab di Surabaya, Semarang, Solo, Jakarta, dan Pekalongan.

    Inti perdebatan mereka adalah pokok-pokok pikiran Baswedan—sebelumnya sudah berkali-kali muncul di harian Matahari tempat ia bekerja menjadi redaktur—yang harapannya akan mengecilkan jurang sengit di antara dua kelompok itu. Ada tiga poin penting, yakni mengakui Indonesia sebagai tanah air Arab peranakan; dan karena itu mereka harus meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi). Ini juga berarti mereka harus memenuhi kewajiban terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

    Ketika perdebatan kembali dimulai keesokan harinya, Haqiqy mencatat Baswedan mendapat sergahan dari banyak pihak, baik dari kalangan progresif maupun tradisional. Di antara mereka terdapat Moh. Abubakar Alatas, putra ketua pengurus Arrabitah Jakarta, A.R. Alaydrus, keluaran sekolah Paris, Gasim Shohab dari Pekalongan yang terkemuka dengan gerakan Ahmad Bahaswan yang berhaluan Al-Irsyad di Solo, dan Hasan Argubi, pemimpin komunitas Arab di Jakarta. ”Baswedan melayani segala debat,” Haqiqy menulis.

    Besoknya, Baswedan boleh lega. Perdebatan kembali sengit, tapi tidak menyentuh tiga poin di atas. Berarti, lolos sudah! Tinggal urusan bentuk dan sifat organisasi, termasuk apakah golongan Arab totok boleh menjadi bagian. Keputusannya, mereka hanya boleh menjadi donatur, namun tidak mendapat hak suara. Tok, tok, tok..., lahirlah organisasi Persatuan Arab Indonesia.

    Tiga poin itu kemudian disebut Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab.

    l l l

    Ketika A.R. Baswedan memulainya, PAI, akronim bagi perkumpulan itu, masih menggunakan kata ”persatuan” (Persatuan Arab Indonesia). Ini kemudian berubah pada 1940, ketika dalam kongres lustrumnya, nama PAI resmi berubah menjadi Partai Arab Indonesia.

    Betapa tidak. Munculnya PAI pada 1934 menuruti semangat zaman, yang enam tahun sebelumnya menyaksikan pemuda Yamin, Sunario, dan Sugondo Djojopuspito mengikrarkan Sumpah Pemuda di Jakarta. Gelora memiliki tanah air satu, bangsa satu, dan bahasa satu tak hanya dimiliki mereka dari golongan pribumi, tapi juga menular ke para pemuda keturunan Arab yang dipimpin Baswedan.

    Di sekitar kelahiran PAI suasananya sedang dingin. Pemerintah kolonial Belanda baru menghabisi gerakan nasionalisme yang tumbuh bak jamur di musim hujan. Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir baru beberapa bulan sebelumnya dibuang ke Boeven Digul. Partai mereka, Pendidikan Nasional Indonesia, digusur. Setahun sebelumnya, Soekarno dibuang ke Ende, Flores. Dua partainya, Partai Nasional Indonesia dan pecahannya, Partindo, dipaksa bubar.

    Belajar dari pengalaman para pendahulunya itu, PAI bertahan sebagai kelompok pemersatu internal yang tak bersikap provokatif dan menghindar dari politik nonkooperasi. Konsentrasi diberikan pada konsolidasi internal: menjadikan diri sebagai wadah pemersatu komunitas Arab yang oleh pemerintah kolonial digolongkan sebagai ”Timur Jauh”, padahal kehadiran mereka di Nusantara terentang jauh hingga ke abad ke-8—jauh lebih dulu dari bangsa Eropa.

    Sebelumnya, pada 1930, Indo Arabisch Verbond berdiri. Namun, menurut Hamid al-Gadri, kelompok pimpinan M.B. Alamudi ini gagal karena terlalu mengandalkan dukungan orang kaya (yang kebanyakan dari kelompok Arab totok), sehingga ”tak bisa melepaskan diri dari sistem sosial Hadramaut”.

    Ketika PAI didirikan, Alamudi mendirikan kelompok tandingan, Indo Arabische Beweging. Sejarawan Belanda Jan Pluvier mencatat, IAB sungguh bertentangan dengan nasionalisme PAI. ”Dalam pidato pertamanya, Alamudi mengatakan bahwa nasionalisme adalah berbahaya dan bahwa gerakan nasional adalah tidak sehat,” katanya.

    Dan seperti halnya melodi lagu Indonesia Raya yang disenandungkan W.R. Supratman pada Sumpah Pemuda 1928 di Jakarta mengisi benak para peserta, PAI pun punya mars persatuan. Dikarang oleh musisi Umar Barja yang berteman dengan Baswedan, bunyinya sungguh mengharukan: ”Hai Putra Arab di Indonesia! Bersatulah mencari bahagia, di dalam persatuan Arab Indonesia, teguhkan persatuan dia!”

    Dalam lima tahun, melodi ini sudah mendengung di 45 cabang PAI di berbagai kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga ke Ternate. Pada 1939, PAI Istri berdiri, diketuai Nyonya Barkah, yang kemudian diperistri Baswedan.

    Signifikansi PAI dalam politik nasional muncul pada 1937, ketika PAI, yang saat itu masih menggunakan kata ”persatuan”, ikut meneken Petitie-Soetardjo. Isinya permohonan kepada pemerintah kolonial agar kedudukan wakil Indonesia tak lagi sekadar di volksraad, dewan rakyat, namun sungguh-sungguh memiliki kursi sendiri di parlemen. Yang berinisiatif adalah A.S. Alatas, anggota volksraad yang juga penasihat PAI.

    Meski ditolak Belanda, mereka yang mendukung Petitie-Soetardjo terus solid. Atas usul Mohammad Husni Thamrin, pemimpin Parindra dan anggota volksraad, berdirilah suatu induk pergerakan politik yang bernama Gabungan Politik Indonesia, disingkat Gapi. Tuntutannya agar orang Indonesia punya tempat di parlemen.

    ”Di seluruh Indonesia didirikan komite Indonesia Berparlemen. Komite-komite lokal selalu mengundang Gapi untuk mempromosikan gagasannya. Dan di antara orang Gapi selalu ada pemimpin PAI,” kata Hamid al-Gadri, dalam bukunya, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda, 1988.

    Gapi menemui jalan buntu. Permohonan itu ditolak Belanda, yang dalam beberapa bulan bertekuk lutut terhadap serbuan Jepang. PAI tak pernah lagi muncul karena setelah kemerdekaan anggota PAI melebur ke banyak partai. Sebagian besar, mengikuti jejak Baswedan, masuk ke Masyumi. Namun satu sukses terakhir yang mesti dicatat: keturunan Arab digolongkan sebagai warga Indonesia asli.

    Empat puluh tahun berselang dari pendirian PAI, Haji Abdul Malik Karim Amrullah melayangkan surat terbuka kepada Baswedan, di majalah Panji Masyarakat miliknya. ”Arab Indonesia dibesarkan dengan gado-gado, bukan dengan mulukhia. Dengan durian, bukan dengan kurma. Dengan sejuknya hawa gunung, bukan dengan panasnya padang pasir! Mereka dihidupkan bukan di pinggir Dajlah dan Furat, tapi di pinggir Musi, Kapuas, Bengawan, dan Brantas. Lebih gurih minyak kelapa daripada minyak samin. Sebab itu jalan selamat bagimu di hari depanmu ialah meleburkan diri ke dalam bangsa ibumu. Tanah airmu ialah Indonesia!”

    Kurie Suditomo

    AR Baswedan

    Putra Hadrami dari Ampel

    Ia lahir seratus tahun silam. Abdul Rahman Baswedan, biasa disingkat jadi A.R. Baswedan, seorang keturunan Arab yang istimewa. Ia diplomat piawai yang menyembunyikan surat pengakuan dari pemerintah Mesir di kaus kakinya. Ia memberontak terhadap nilai-nilai generasi tua. Dan ia melancarkan pemberontakan itu dengan satu cita yang sudah terwujud: integrasi keturunan Arab dengan masyarakat Indonesia.

    SONGKOK adalah lambang isolasi yang menggelikan. Mereka (Arab-Indonesia) tidak mau memakai songkok atau peci Indonesia. Mulanya mereka memakai tarbus merah ala Turki yang pakai jambul. Kemudian, karena barang-barang Italia diboikot lantaran kekejaman kaum fasis di Tripoli, tarbus yang juga merupakan produk Italia itu ikut diboikot. Dijadikan unggun, disiram minyak tanah, dan dibakar. Arab wulaiti dan peranakan kehilangan songkoknya. Namun mereka belum mau memakai songkok anak negeri. Sebab, ada perasaan, dengan memakai songkok, apatah lagi blangkon, mereka turun derajat.

    Bisa dibayangkan, Buya Hamka, penulis potongan artikel di atas, melanjutkan ceritanya tentang masyarakat keturunan Arab sambil tergelak, dengan cemooh, senyum sinis. ”Syukur,” Hamka melanjutkan, ”mereka mendapat songkok baru, yaitu songkok Afganistan, songkok bulu kambing hitam.” Tapi rupanya ada yang insaf, Afganistan bukan Arab. Lalu dipesanlah songkok model Raja Faisal dari Irak yang namanya sadarah. Songkok itu pun lucu. Kalau hendak dipakai, mesti dilipat rapat supaya tetap teguh di kepala. Kalau tidak, ia bisa melorot turun dan seluruh kepala ditelannya. Untung, ada kuping yang menghambat.

    Entah kapan persisnya Buya Hamka menulis artikel itu. Yang terang, ada seorang pemuda keturunan Arab kelahiran Ampel, Surabaya, yang menjawab tantangan itu pada Agustus 1934. Ia berbusana Jawa, dengan blangkon dan beskap. Fotonya terpampang di surat kabar Matahari, koran berbahasa Melayu yang berhaluan nasionalis dan diasuh oleh seorang redaktur peranakan Tionghoa bernama Kwee Hing Tjiat. Dan pemuda berhidung mancung itu, Abdul Rahman Baswedan, tidak hanya menantang kecenderungan orang keturunan Arab seperti dilukiskan Buya Hamka di atas. Baswedan secara simbolis telah melanggar kebijakan diskriminasi kolonial yang menggolongkan dan mengisolasi masyarakat Hindia Timur ini dalam tiga lapisan: Eropa, Timur asing, dan pribumi.

    Abdul Rahman Baswedan lahir seratus tahun silam, tepatnya 9 September 1908, di sebuah wilayah di Surabaya yang dikenal sebagai kampung Arab. Ayahandanya, yang bernama Awad Baswedan, lahir di tempat yang sama. Ya, Abdul Rahman Baswedan seorang muwalad—istilah khusus bagi generasi orang Hadrami yang dilahirkan di Nusantara. Orang Hadrami yang bekerja atau berdagang di Nusantara tapi dilahirkan di tanah Hadramaut disebut wulaiti. Tatkala Baswedan beranjak remaja, keluarga besarnya berusaha keras menjadikan dia seorang saudagar yang tangguh. Baswedan tidak menampik harapan itu, tapi ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membaca dan menulis.

    Baswedan dibesarkan ketika sebagian masyarakat Hadrami yang berdatangan ke Nusantara sejak abad ke-18 mulai memperoleh sukses ekonomi dan tengah sibuk meneguhkan identitas diri. Mengisi ”kekosongan” ini, Turki Ottoman yang ketika itu merupakan kesultanan Islam yang paling berpengaruh menyodorkan diri sebagai khalifah, pemimpin. Sultan Abdulhamid II (1876-1909) meletakkan dirinya seakan-akan ia nukleus gerakan internasional Pan-Islamisme baru ini. Dalam bukunya, Hadrami Awakening, Natalie Mobini Kesheh menulis, sejak 1883, ketika konsul pertama Ottoman ditetapkan, pejabat Ottoman di Batavia membantu perkembangan sentimen Pan-Islamisme dengan mendorong muslim lokal agar percaya bahwa Abdulhamid adalah khalifah pelindung mereka.

    Sebagaimana dikatakan Hamka tadi, orang-orang Hadrami yang diam-diam masih menyimpan kesetiaannya kepada tanah leluhur di Hadramaut ini kerap mengganti jati diri fisiknya, termasuk penutup kepalanya: dari tarbus hingga sadarah yang dipakai penguasa Irak itu. Masih dalam buku yang sama, Kesheh menyinggung bahwa pencarian identitas ini juga disebabkan oleh penolakan kalangan nasionalis di Indonesia pada pertengahan 1910-an terhadap para pendatang beragama Islam itu. Dan ini membuat mereka akhirnya merindukan Hadramaut, tanah leluhur yang kering dan berbatu karang di sudut barat daya Jazirah Arab.

    Dalam perjalanan kariernya, Baswedan sendiri mengalami resistensi serupa sewaktu ia diterima bekerja di surat kabar Soeara Oemoem. Bahkan koran Bintang Timoer secara khusus menyoroti dan mempertanyakan penerimaan orang keturunan Arab dalam surat kabar yang berhaluan nasionalis dan diasuh dokter Soetomo itu. Ada satu tesis doktoral yang ditulis oleh Husain Haikal yang menjelaskan bahwa keadaan ini bagian dari politik kolonial yang ingin memisahkan orang Hadrami dari orang Indonesia. Dalam tesis berjudul Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia itu, Haikal melukiskan betapa Baswedan sangat berutang budi kepada dokter Soetomo, yang begitu gigih mendukungnya di Soeara Oemoem.

    ”Masuknya saya dalam redaksi Soeara Oemoem yang didirektori almarhum itu seperti sudah diduga lebih dulu olehnya. Telah menjadi pertanyaan pihak Indonesia maupun pihak Arab. Bahkan telah menerbitkan polemik antara Soeara Oemoem dan salah satu harian Indonesia di Jakarta. Tapi semua itu tidaklah mengganggu beliau untuk bergeser dari keyakinannya yang suci,” demikian Baswedan mengenang kepergian dokter Soetomo.

    Tapi Baswedan orang yang telah memilih mengenakan blangkon ketimbang tarbus dan sadarah. Baswedan, yang telah terjun secara penuh dalam dunia kewartawanan dan banyak berdiskusi, cepat menemukan sejumlah kejanggalan dalam komunitas Hadrami. Orientasi kepada tanah leluhur yang sekarang berada di wilayah Yaman ini telah menimbulkan mudarat besar. Diam-diam generasi wulaiti telah mewariskan konflik lama antara kaum sayid dan nonsayid. Sayid adalah gelar yang selama ini diperuntukkan bagi keturunan Nabi Muhammad SAW, dan gelar itu membuat mereka diperlakukan secara istimewa oleh masyarakat umum—sesuatu yang ditentang kelompok nonsayid di Nusantara. Kelompok yang terakhir ini telah mencetak sukses ekonomi dan merasa menguasai pengetahuan agama sebagaimana kelompok sayid. Mereka menyatakan gelar bukan monopoli orang keturunan Nabi. Siapa pun berhak memakai gelar sayid (secara harfiah berarti tuan).

    Perang dingin itu pecah dan membelah masyarakat Hadrami. Baswedan menawarkan solusi yang lantas diterima semua kalangan: penggantian panggilan sayid dengan al-akh, saudara. Dan ia tidak berhenti di situ.

    Enam tahun setelah Sumpah Pemuda, Baswedan dan kawan-kawan sesama muwalad menyelenggarakan kongres yang kemudian menimbulkan gelombang besar di kalangan masyarakat Hadrami. Di Semarang, pada 4 Oktober 1934, di antara para muwalad sayid dan nonsayid, ia menjungkirbalikkan arah orientasi identitas: dari yang tadinya ke Turki, Irak, Mesir, ataupun Hadramaut, menjadi ke Indonesia semata. Baswedan menyebut kejadian ini Hari Kesadaran Indonesia-Arab. Tanah air mereka bukan negeri-negeri Arab, melainkan Indonesia. Untuk itu, tak ada jalan selain meninggalkan kehidupan menyendiri. Dan mereka harus memenuhi kewajiban terhadap tanah air dan bangsa Indonesia. Kejadian ini juga dikenal dengan nama Sumpah Pemuda Keturunan Arab.

    Secara jeli, Baswedan menangkis bermacam kritik dan kemarahan dengan merujuk pada sumber tunggal: agama. Ia menggunakan superioritas agama di atas urubiah atau kearaban. Dalam salah satu penjelasan, ia melukiskan betapa Rasulullah, yang lahir di Mekah, mendirikan negara di Madinah. Bangsa Arab yang melangkahkan kakinya ke luar Jazirah Arab kemudian beradaptasi dengan budaya setempat. Orang Arab di Andalusia disebut Al-Andalusi, di Mesir Al-Misri, di Afganistan Al-Afgani, dan di Indonesia Al-Indunisi.

    Dalam kongres di Semarang, gagasannya tidak menemui terlalu banyak tentangan. Bersama Nuh Alkaf dan Segaf Assegaf dari kelompok sayid serta Maskati dan Abdurrahman Argubi dari nonsayid, ia berhasil mendirikan Persatuan Arab Indonesia (PAI). Empat tahun berselang, organisasi ini menjadi Partai Arab Indonesia.

    Tapi, di luar arena kongres, aneka kemarahan menghadangnya. Banyak wulaiti yang tidak bisa memaafkan Baswedan: sebagian memutuskan memberikan pelajaran kepada Baswedan. Tapi usaha untuk menghajar Baswedan selalu gagal karena kebetulan pemuda yang mengelilingi Baswedan berhasil mencium langkah mereka. Menghadapi ini, beberapa penentangnya memutuskan mengirim orang untuk menghabisinya. ”Nyaris mereka berhasil melaksanakan niatnya, tapi begitu melihat bentuk jasmani Baswedan yang kurus dan tampak begitu sakit-sakitan, mereka jadi jatuh kasihan,” tutur Husain Haikal dalam tesisnya.

    Dalam Hadrami Awakening, Kesheh berkesimpulan, ada seorang Tionghoa nasionalis yang sangat berpengaruh dalam perkembangan tulisan-tulisan Baswedan: Liem Koen Hian, tokoh Tionghoa nasionalis di surat kabar Sin Tit Po dulu. Di surat kabar yang prokemerdekaan Indonesia itu, kedua tokoh peranakan ini berbagi gagasan dan cita-cita yang sama. Tapi medan yang dihadapi Liem Koen Hian ternyata lebih sulit daripada Baswedan. Orang Tionghoa lebih sulit beradaptasi dalam masyarakat Indonesia. Ada faktor agama, juga faktor perkawinan, yang menjadi perekat orang Hadrami dengan pribumi. Ketika sampai di pantai-pantai Nusantara, orang-orang wulaiti yang tak bisa berbahasa Melayu itu menikahi perempuan pribumi.

    Komunitas keturunan Arab telah mengalami transformasi atas inisiatifnya sendiri, bukan karena keadaan yang memaksa mereka begitu, tulis Dr Anies Baswedan—cucu A.R. Baswedan—dalam kata pengantar buku itu. Akibatnya, kata Anies, komunitas ini menjadi bagian tak terpisah dari bangsa Indonesia. Dan kita tahu ada jasa seorang Hadrami kelahiran Ampel di sini.

    Selasa, 16 Desember 2008

    Abhisit Vejjajiva, Siap Emban Tugas Berat



    AP PHOTO/SAKCHAI LALIT / Kompas Images
    Abhisit Vejjajiva

    Pemimpin oposisi Thailand, Abhisit Vejjajiva, menjadi Perdana Menteri Thailand setelah menang dalam pemungutan suara khusus di Parlemen, Senin (15/12). Abhisit mengalahkan saingannya, mantan kepala Kepolisian Pracha Promnok.

    Seusai penghitungan suara, pukul 10.55, Ketua Majelis Rendah Chai Chidchob mengumumkan, Ketua Partai Demokrat Abhisit Vejjajiva telah mengalahkan Pracha Promnok, dengan 235 suara melawan 198 suara.

    Pracha Promnok langsung bangkit dari kursinya dan segera mengucapkan selamat kepada Abhisit.

    Jalan yang menghadang di hadapan pria kelahiran Inggris 44 tahun lalu itu tidaklah mulus. Mengingat, ia harus membenahi kembali perekonomian nasional yang didera krisis global dan mendinginkan suhu politik. Ia juga harus memutus proses penggantian PM yang dalam dua setengah tahun ini ditentukan di jalan melalui gelombang unjuk rasa yang tidak berkesudahan. Dan, mengembalikan proses demokrasi ke Parlemen. Mengingat Abhisit sendiri terpilih menjadi PM di Parlemen setelah PM sebelumnya, Somchai Wongsawat, terus-menerus didesak mundur oleh pengunjuk rasa. Para pengunjuk rasa bahkan sempat memblokade Bandar Udara Don Muang dan Bandar Udara (baru) Suvarnabhumi, yang mengakibatkan seluruh penerbangan dari dan ke Bangkok lumpuh. Somchai akhirnya mundur setelah pengadilan membubarkan partai yang memerintah dan melarang Somchai berpolitik karena kecurangan dalam pemilu.

    Abhisit sadar tugas berat yang menghadang di depannya. Itu sebabnya, ia langsung menghadap bekas bosnya, mantan Ketua Partai Demokrat Chuan Leekpai, yang pernah menjabat PM (1992-1995) dan (1997-2001).

    Chuan, yang kembali menjadi PM, 9 November 1997, ketika Thailand dilanda krisis ekonomi yang parah mengatakan, tugas yang dihadapi Abhisit saat ini jauh lebih sulit dibandingkan tugas yang dihadapinya tahun 1997. Dalam kaitan itulah ia menasihatkan agar Abhisit membangun kesatuan yang kuat di antara partai-partai oposisi.

    ”Ini merupakan peluang bagi Partai Demokrat untuk membuktikan diri. Dan, untuk menjalankan pemerintahan koalisi, Anda perlu adil terhadap semua partai koalisi,” ujar Chuan.

    Abhisit telah mengumumkan sasaran-sasaran yang ingin dicapainya. Pertama, membela sistem kerajaan dari komentar-komentar yang miring dan kesalahpahaman. Kedua, memimpin upaya pemulihan kembali perekonomian. Ketiga, mencoba membangun rekonsiliasi nasional. Dan, akhirnya, mengupayakan memulihkan kembali kepercayaan internasional terhadap negaranya.

    Ekonomi Thailand akan melemah tahun 2009 dan ekonomi dunia pun akan memburuk sejalan dengan krisis keuangan di Amerika Serikat dan Eropa. Ekspor Thailand akan tertekan hebat. Tingkat pengangguran meningkat. Pariwisata akan terpukul hebat. Padahal, harga-harga komoditas pertanian sudah sangat rendah. Itu sebabnya Abhisit tidak punya waktu untuk berleha-leha. Ia harus membentuk tim ekonomi yang tangguh untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada di bidang ekonomi. Cara yang paling efektif adalah menstimulasi dana pemerintah langsung ke bidang ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja dan merangsang kembali kegiatan.

    Upaya membangun rekonsiliasi nasional juga tidak mudah karena luka-luka yang dialami masyarakat akibat konflik politik di selatan sudah terlalu dalam. Abhisit mempunyai peluang untuk bersinar di dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang dijadwalkan akan berlangsung pada bulan Februari mendatang.

    Bukan orang baru

    Abhisit bukan orang baru di dunia politik. Karier politiknya dimulai tahun 1992, saat ia bergabung dengan Partai Demokrat. Namun, wajahnya baru dikenal masyarakat tahun 1993, saat ia diangkat menjadi juru bicara pemerintahan PM Chuan Leekpai.

    Kemampuan berbahasa Inggris yang sangat baik dan penampilan rapi menjadikan Abhisit dengan cepat meraih popularitas di kalangan wartawan, terutama wartawan asing, yang bertugas di kantor PM.

    Abhisit dilahirkan dari keluarga elite pada tahun 1964. Ayah dan ibunya adalah dokter yang pengajar dalam bidang kedokteran. Di Inggris, ia menempuh pendidikan di sekolah ternama Inggris, Kolese Eaton (tempat Pangeran William, calon Raja Inggris dididik), dan lulus Sarjana Strata 1 (S-1) dari Oxford University dalam bidang politik, filsafat, dan ekonomi.

    Sebelum terjun ke politik, Abhisit pernah mengajar di Akademi Militer Chulachomklao. Ia lalu kembali ke Oxford University untuk mengambil S-2. Kemudian, ia mengajar ekonomi di Thammasat University, sebelum belajar ilmu hukum di Ramkhamhaeng University.

    Ia menikah dan mempunyai dua anak, yaitu Prang dan Pannasit. Istrinya, drg Pinpen, adalah seorang dokter gigi yang beralih profesi menjadi pengajar matematika di Chulalongkorn University.

    Pada usia 27 tahun, ia kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Partai Demokrat, yang merupakan partai politik di Thailand. Dan, ia tercatat sebagai orang yang paling muda yang bergabung di Parlemen.

    Kariernya di panggung politik Thailand melesat dengan cepat. Ia memiliki semua kualitas yang perlu dimiliki oleh seorang politisi, yaitu pendidikan yang tinggi, kesabaran besar, dan tata krama yang baik, serta fasih berpidato dengan kemampuan debat yang hebat.

    Latar belakang pendidikannya yang tinggi menjadikan Abhisit memiliki rasa kepercayaan diri yang juga tinggi dan ia sama sekali tidak gentar menghadapi gencarnya pertanyaan yang diarahkan kepada dirinya. Dan, itu menjadikan Abhisit dekat dengan wartawan asing yang bertugas di Bangkok.

    Sesungguhnya, pada tahun 2001, ia mencoba meraih jabatan Ketua Partai Demokrat, tetapi gagal. Jabatan Ketua Partai Demokrat itu akhirnya diperoleh tahun 2005.

    Pada saat ini, Abhisit Vejjajiva sangat populer di kalangan kelas menengah perkotaan, terutama di Bangkok. Diharapkan dengan reputasinya sebagai pemimpin yang bersih (tidak korup) dan slogan ”Utamakanlah Rakyat” yang dilontarkan dalam Pemilu 2005 dapat meraih pula simpati kelas pekerja dan rakyat di pedesaan yang selama ini menjadi pendukung kuat mantan PM Thaksin Shinawatra.(james luhulima)

    Minggu, 07 Desember 2008

    Mengembalikan Hadiah Uang (Tan You Hok )


    Sepertinya sudah menjadi kelaziman saat ini, jika atlet berprestasi, hadiah uang pun mengalir. Tetapi pernahkan ada atlet menolak pemberian uang?

    Tan Joe Hok rupanya pernah melakukannya. Dan tidak tanggung-tanggung: mengembalikan uang pemberian Bung Karno, sebanyak 1.000 dollar AS.

    ”Saya kan sudah mendapat beasiswa dari Baylor University (Texas). Kenapa saya mesti menerima uang lagi? Kasihan, masih banyak mereka yang membutuhkannya. Uang saku, saya pun sudah bisa mendapatkannya sendiri dengan bekerja di kampus,” tutur Tan Joe Hok, ketika ditemui di rumahnya di Pancoran, Tebet, Kamis (4/12) lalu.

    Ketika itu, menurut Tan Joe Hok, jumlah 1.000 dollar AS besar sekali untuk ukuran masa itu. Sebagai mahasiswa perantauan (Tan Joe Hok mendapat beasiswa studi sampai selesai S-1 di Baylor University, jurusan premedical dengan major kimia dan biologi sejak 1959-1963), tentu, ia bukan tak butuh uang.

    ”Saya kembalikan uang itu melalui Prof Dr Prijono, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ke alamat pengirimnya,” tutur Tan Joe Hok. Gile. Kan pengirimnya Bung Karno?

    Kisah hadiah uang itu bermula dari keberhasilan Tan Joe Hok, yang bersama Ferry Sonneville, pulang kembali dari negeri seberang guna mempertahankan Piala Thomas di Jakarta (1961), setelah untuk pertama kalinya mereka dan timnya merebut lambang supremasi beregu bulu tangkis itu pada tahun 1958.

    ”Saya cari-cari nomor telepon Ferry di Amsterdam (Belanda), dan berhasil saya hubungi pagi-pagi pukul 01.30. Saya bilang kepada Ferry, ayo Fer kita pulang untuk mempertahankan Piala Thomas,” tutur Tan Joe Hok. Ferry yang tengah studi ekonomi di Amsterdam setuju pulang. Dan dengan biaya serta kesadaran sendiri, Tan Joe Hok pun kembali ke Jakarta. Sementara Ferry berhasil ”didatangkan” dari Belanda dengan dana yang digalang oleh pembaca-pembaca koran Star Weekly.

    Begitu pertandingan usai dan Indonesia berhasil mempertahankan Piala Thomas, Tan Joe Hok segera kembali ke AS untuk menyelesaikan studinya.

    ”Yang saya hargai bukan pemberian uangnya, akan tetapi falsafah di baliknya. Sebagai pemimpin tertinggi, Bung Karno sangat menghargai rakyatnya,” tutur Tan Joe Hok. Ia bahkan ingat benar kata-kata Bung Karno ketika Indonesia berhasil mempertahankan Piala Thomas 1961.

    ”Kamu mewakili bangsa dan negaramu. Banyak doktor, insinyur...., tetapi orang yang seperti kamu itu hanya bisa dihitung dengan jari. Saya bangga,” kata Tan, menirukan sang pemimpin besar revolusi itu. Sambil menunjuk-nunjuk, Bung Karno itu berkata, ”I’ll give you scholarship.”

    Dan ternyata, begitu tiba di kampus di Texas, sudah ada sepucuk amplop yang menerangkan bahwa Tan Joe Hok mendapat kiriman uang sejumlah 1.000 dollar AS dari seseorang di Indonesia.... (sha)

    Tan Joe Hok

    ss




    Jimmy S Harianto

    Selalu punya cita-cita, punya tujuan. Sikap hidup inilah yang membuat Tan Joe Hok—satu-satunya pebulu tangkis anggota tim Piala Thomas 1958 yang masih tersisa—meraih sukses demi sukses dalam hidupnya. Bahkan, dalam usia senja sekalipun, ia masih punya cita-cita.

    Kita hidup, menurut Tan Joe Hok (71), memang selalu harus punya attainable goal, tujuan yang bisa kita capai. Kalau tidak punya cita-cita, itu sama halnya dengan kapal yang tanpa tujuan di tengah lautan, lalu limbung diombang-ambingkan ombak.

    Ketika ia masih kecil, misalnya. Mungkin sekitar umur 12 tahun. Si kecil Tan Joe Hok di Kampung Pasir Kaliki, Bandung, juga punya cita-cita sederhana, ”ingin hidup berkecukupan, bisa makan”.

    Maklumlah. Masa itu, setelah perang kemerdekaan, sungguh sebuah masa yang sangat sulit. Bisa makan pun masih untung.

    ”Saya bawa keinginan itu dalam doa, ’Ya Tuhan, bawalah saya kepada apa yang saya impikan, apa yang saya tuju...’,” tutur Tan Joe Hok.

    Si kecil Tan lalu merintis tujuannya itu melalui bulu tangkis. Berlatih di lapangan yang dibangun ayahnya, di depan rumah mereka. Dan, ikut bergabung di klub Blue White, Bandung, ketika ia ditawari Lie Tjuk Kong. Siapa tahu bisa berkecukupan dari bulu tangkis....

    Tentu bukan tanpa upaya untuk meraih cita-citanya. Ia biasa berlatih keras dari pagi-pagi buta (sampai sekarang pun Tan Joe Hok terbiasa bangun pukul 04.15 dan senam di gym pribadinya untuk tetap menjaga kebugarannya di usia senja, di rumahnya di kawasan Jalan Mandala, Pancoran, Tebet, Jakarta).

    Pintu menuju tujuan sederhananya mulai terkuak lima tahun kemudian di Surabaya tahun 1954.

    ”Saya mengalahkan Njoo Kiem Bie dan tampil sebagai juara nasional pada usia 17 tahun,” katanya. Setelah sukses pertamanya itu, pintu-pintu cita-cita seperti mulai terbuka.

    ”Saya mulai diundang ke kanan, ke kiri, dan saya pun diundang ke India bersama (pasangan juara All England) Ismail bin Mardjan dan Ong Poh Lin,” tutur Tan.

    Mulailah Tan pergi keliling India—ke Bombay, New Delhi, Calcutta, Ghorapur, Jabalpur, dan kota lainnya di India. Keliling lebih dari setengah bulan, pulangnya mampir di Bangkok dan Singapura (Malaya, waktu itu).

    ”Ismail tidak hanya menjadi kawan seperjalanan saya, tetapi juga sahabat saya,” ungkap Tan Joe Hok, tentang pemain Melayu itu. Dari mulut Ismail pula terembus cita-cita kedua Tan Joe Hok yang mulai ”bisa hidup berkecukupan”.

    ”Ismail bin Mardjan bilang kepada saya, ini saya tak akan lupakan, ’Eh, Joe Hok, kamu akan menjadi yang terbaik di dunia. Asalkan kamu latihan keras seperti sekarang. Tetapi jangan hidupnya kayak saya ini...’,” tutur Ismail bin Mardjan.

    Ketika mampir di rumah Ismail di Malaya, barulah mengerti apa arti kata Ismail ”jangan hidupnya kayak saya”.

    ”Jangan bayangkan Singapura seperti sekarang ini. Rumah Ismail ada di kampung, kotor, dan sungainya hitam, berbau,” tutur Tan. Sore hari, pukul 18.00, Ismail selalu pamit kepada Tan Joe Hok. Ternyata, guna menyambung hidupnya, sang juara All England itu harus bekerja jadi petugas satpam, dari pukul 6 petang sampai pukul 6 pagi.

    ”Doa” Ismail kepada Tan Joe Hok itu rupanya terwujud. ”Saya kerja keras dan rupanya doa itu dikabulkan. Saya diundang ke (kejuaraan bulu tangkis paling bergengsi—sebuah kejuaraan dunia tak resmi) All England, ke Kanada dan Amerika Serikat. Ketiga-tiganya saya juara dalam kurun waktu sekitar tiga minggu,” tutur Tan Joe Hok.

    Tak hanya berhasil tampil sebagai orang Indonesia pertama yang mampu juara All England, pada tahun 1959, Tan Joe Hok rupanya juga memikat publik di Amerika Serikat.

    ”Saya dimasukkan di majalah Sports Illustrated,” tutur Tan Joe Hok. Majalah itu masih rapi disimpannya dan, memang, profil Tan Joe Hok menghiasi dua halaman majalah tersebut, terbitan 13 April 1959.

    ”Wonderful World of Sports. Tan Joe Hok Takes Detroit...”, tulis majalah tersebut. Ada satu foto besar Tan Joe Hok yang berselonjor dengan kedua telapak kaki telanjangnya melepuh-darah, blood-blister, setelah menjuarai AS Terbuka.

    ”Ketika dioperasi, isinya darah dan nanah,” tutur Tan Joe Hok. Hadiah juaranya? Tan Joe Hok mendapat kesempatan untuk meninjau pabrik mobil di Detroit.

    Cita-cita apa lagi? Menurut Tan Joe Hok, semua impiannya sejak masa kecil dan juga ketika remaja sudah tercapai semua. Cita-cita berikutnya, Tan Joe Hok ingin menggapai sukses dalam studi.

    Sejak tahun 1959 itu, Tan Joe Hok studi di Texas, memenuhi beasiswa dari Baylor University Jurusan Premedical Major in Chemistry and Biology.

    ”Antara tahun 1959-1963 (saat menyelesaikan studi di Baylor), saya masih sempat pulang untuk mempertahankan Piala Thomas 1961 di Jakarta serta 1964 di Tokyo. Tahun 1962, saya juga pulang untuk Asian Games,” kata Tan Joe Hok, yang menjadi atlet bulu tangkis pertama yang meraih medali emas di arena Asian Games.

    Meski demikian, ada juga ”pengorbanan” yang dilakukan Tan Joe Hok untuk bulu tangkis. Gara-gara ia harus pulang untuk mempertahankan Piala Thomas di Tokyo 1964, studi S-2-nya di Baylor gagal lantaran kurang empat jam kredit (credit hours), maka dia tak lulus, tutur Tan Joe Hok.

    Situasi konfrontasi, Bung Karno mencanangkan ”Ganyang Malaysia” dan ”Ganyang Antek Imperialis”, membuat Tan Joe Hok mengurungkan niatnya untuk kembali ke AS meneruskan studi S-2. Ia lalu tinggal di Tanah Air.

    ”Apa kata Bung Karno, saya nurut saja. Saya malah sempat main di perbatasan Kalimantan sampai ke Mempawah, menghibur sukarelawan kita di medan perang,” ungkap Tan Joe Hok.

    ”Dulu Ganyang Amerika, eh, tahun 1965 giliran Ganyang China. Dampaknya, kita yang nggak ngerti apa-apa jadi kena,” tutur Tan Joe Hok.

    Di pelatnas Senayan pun terjadi perubahan drastis. Suatu siang, di flat atlet—kini Plaza Senayan—Kolonel Mulyono dari CPM Guntur, Jakarta Pusat, mengumpulkan para atlet.

    ”Kami semua disuruh ganti nama begitu saja. Pak Mulyono yang tentukan,” tutur Tan.

    Maka, anggota-anggota Piala Thomas pun ”diberi nama” Indonesia, Ang Tjing Siang menjadi Mulyadi, Wong Pek Sen menjadi Darmadi, Tan King Gwan menjadi Dharmawan Saputra, Lie Tjuan Sien menjadi Indra Gunawan, Tjiong Kie Nyan menjadi Mintarya, Lie Poo Djian menjadi Pujianto, dan Tjia Kian Sien menjadi Indratno.

    ”Saya diberi nama Hendra oleh (Panglima Kodam Siliwangi) HR Dharsono. Kartanegara saya karang sendiri, pokoknya ada ’tan’- nya,” papar Tan Joe Hok.

    Ternyata tak sesederhana pergantian nama. Perlakuan terhadap Tan Joe Hok dan kawan- kawannya itu ternyata ”dibedakan”.

    Mengurus KTP dan paspor, mereka harus menunjukkan bukti Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI) meski nyata-nyata bertahun-tahun mereka sebenarnya telah berjuang untuk negeri ini. Itulah namanya dinamika hidup, terkadang manis, ada waktunya pula pahit-getir.

    Asghar Ali Engineer


    Monday, 11 August 2008 00:58

    Anak benua India yang senantiasa bergejolak itu melahirkan seorang feminis laki-laki berpengaruh abad ini; Asghar Ali Engineer.

    Oleh: Nurun Nisa’*
    Anak benua India yang senantiasa bergejolak itu melahirkan seorang feminis laki-laki berpengaruh abad ini; Asghar Ali Engineer. Lahir di Rajashtan pada 1940 dari keluarga ulama terpandang, Ali memiliki pengalaman keagamaan yang unik dan menukik. Waktu itu, ayahnya menjadi pemimpin Buhra, salah satu aliran keagamaan yang berkembang pesat di India. Di saat itulah terjadi eksploitasi atas nama agama. Ia menyesalkan keadaan ini. Tapi ia tidak menemukan jalan lain.

    Ali terus bergumul dengan ketidaknyamanan itu. Sampai pada satu titik, Ali menemukan kesimpulan yang memprihatinkan; bahwa institusi keagamaan dapat dijadikan sebagai pemuas ambisi penguasa. Sementara di sisi yang lain, Ali meyakini bahwa tujuan agama adalah memperkaya kehidupan batin dan mendekatkan diri kepada Allah—seperti yang didapatkannya ketika membaca Alquran. Ada kontradiksi, tetapi ia terus bergumul dengan keadaan itu.

    Pergumulan ini akhirnya membentuk sebuah sintesa tiga besar sebagaimana termuat dalam artikelnya yang bertajuk What I Believe (1999). Pertama, mengenai hubungan antara akal dan wahyu yang saling menunjang. Kedua, fanatisme dan sektarianisme keagamaan adalah merusak karena cenderung menggiring manusia untuk mengumandangkan truth claim—yang dengannya keyakinan tertentu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran dan yang lain adalah salah. Ketiga, mengenai watak keberagamaan yang tercermin dalam sensitivitas dan empati terhadap penderitaan kelompok masyarakat lemah.

    Pemikiran-pemikiran ini kemudian dipadatkan menjadi tema Islam sebagai ideologi pembebasan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan keberagaman. Dua tema terdepan akan menjadi pembahasan tulisan ini.

    ****

    Islam sebagai ideologi pembebasan ditunjukkan dalam bukunya yang bertajuk Islam and Liberation Theology (1990) yang di-Indonesia-kan menjadi Teologi Pembebasan. Teologi pembebasan ala Ali berlandaskan pada Alquran dan sejarah Nabi saw. Mungkin inilah yang membedakan dengan teologi pembebasan gaya Amerika Latin yang bersandar hanya kepada Kitab Injil semata. Teologi pembebasan yang dimaksud Ali bersifat konkret, kontekstual, dan praksis. Ia berada pada realitas kekinian dan bertolak dari kondisi sosial yang ada. Ia juga merupakan refleksi dan aksi iman dan amal—sebuah produk pemikiran yang diikuti dengan praksis pembebasan. Ia ditujukan kepada kaum mustadh’afin (kaum yang dilemahkan oleh sistem), termasuk perempuan.

    Alquran dalam hal ini menekankan pada umatnya agar menyantuni anak yatim, menegakkan keadilan, dan menekankan agar kekayaan tidak hanya berputar di segelintir orang. Ini juga dipraktikkan Nabi saw. seperti termuat dalam sirah nabawiyyah. Sejarah Nabi, bagi Ali, adalah sejarah perubahan sosial untuk menentang sistem yang timpang. Penolakan masyarakat Quraisy bagi Ali, lebih dikarenakan faktor ekonomi daripada faktor agama. Mereka yang menentang takut jika hegemoni ekonomi yang ada di genggaman mereka terganggu. Dengan itu, tanpa ragu, Ali mengatakan bahwa Nabi adalah seorang revolusioner—tidak hanya dalam pemikiran, tapi juga dalam tindakan. Lewat praksis ia berjuang untuk mengadakan perubahan sosial pada masanya.

    Nabi, menurut Ali, adalah suara reformasi masa itu. Dalam hal ini, Nabi juga berkomitmen kepada perubahan nasib perempuan. Harkat dan martabat perempuan ditinggikan setahap demi setahap oleh Nabi; mulai dari hak mengakses ilmu dan informasi, pembatasan poligami hingga hak atas warisan yang selama kurun itu dinafikan oleh adat atau tradisi Arab.

    ****

    Konsen Ali pada teologi pembebasan yang memihak perempuan makin kuat nuansanya, ketika lahir buku barunya dua tahun kemudian. Buku bertitel The Rights of Women in Islam (1992) itu mengkonstruksi tafsir Alquran yang pro kesetaraan laki-laki dan perempuan.

    Seperti diketahui, beberapa ayat Alquran merupakan ayat yang berwajah ganda. Misalnya saja ayat tentang poligami dan kepemimpinan perempuan. Poligami dianggap diperbolehkan, sementara yang lain mengatakan itu sebagai dalil monogami berdasarkan QS. al-Nisa’: 3. Demikian juga ayat tentang kepemimpinan perempuan.

    Perwajahan ganda ini muncul akibat pembacaan yang tidak fair terhadap ayat-ayat Alquran. Yakni, mengambil pesan sebuah ayat sembari mengabaikan spirit yang mendasari ayat itu turun. Ali kemudian menyodorkan sebuah metodologi demi mengatasi hal ini. Ali mengajukan dua konsep: ayat normatif dan ayat kontekstual. Ayat normatif, bersifat das solen, “yang seharusnya”. Ia merupakan ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan normatif atau mengandung nilai universal sehingga berlaku sepanjang masa. Sementara ayat kontekstual adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan kontekstual atau berkait dengan keadaan masyarakat ketika itu. Ia bersifat das sein, ‘yang senyatanya’.

    Tujuan pembedaan antara ayat normatif dan ayat kontekstual adalah untuk mengetahui perbedaan antara yang sebenarnya diinginkan oleh Allah dan yang dibentuk oleh realitas masyarakat pada waktu itu. Keduanya merupakan kekayaan Alquran. Sebab Kitab Suci ini tidak hanya berbicara tentang masyarakat ideal, tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris.

    Ayat-ayat berwajah dua di atas dikategorikan oleh Ali sebagai ayat konstekstual. Ia berlaku sesuai konteks ketika ayat itu diturunkan. Poligami diperbolehkan pada zaman Nabi sebab ia diyakini jalan yang ampuh untuk mengangkat martabat perempuan yang terpuruk saat itu. Kini zaman sudah berubah. Perempuan sudah (lumayan) baik posisinya di masyarakat. Poligami menjadi sebuah anjuran atas nama memuliakan perempuan? Tidak, kata Ali. Ayat tentang penciptaan manusia, laki-laki dan perempuan, dari esensi yang sama (QS. al-Nisa’: 1), pemuliaan semua anak Adam (QS. al-Isra’: 70), dan pemberian pahala yang sama bagi yang bertakwa, baik laki-laki ataupun perempuan (QS. al-Ahzab: 35) merupakan contoh ayat normatif.

    Ali juga menegaskan bahwa sesungguhnya Alquran menghendaki kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tapi konteks sosial ketika itu tidak dapat menerima hal demikian. Jika dipaksakan, maka dakwah Nabi akan mengalami kesulitan besar.

    ****

    Ikhtiar Ali untuk mengentaskan perempuan dari penistaannya sebagai manusia yang bermartabat dan setara dengan laki-laki tentu patut disaluti. Tetapi, beberapa pihak tetap saja menaruh antipati kepada perjuangan lulusan teknik sipil Vikram University ini—baik secara pribadi maupun tidak.

    Dalam makalah Western Feminism or Rights of Women in Islam (2003), Ali, misalnya menanggapi tuduhan bahwa feminis Islam—termasuk dirinya—telah menukil nilai-nilai Barat demi memperjuangkan kesetaraan gender. Bukan menjawab dengan emosional, tetapi ia malah balik bertanya; kalau ya, memangnya kenapa? Baginya, inspirasi untuk memperjuangkan perempuan dapat diambil dari manapun asalkan baik dan bermanfaat—termasuk dari Barat.

    Ia juga mendapat tentangan dari komunitasnya, Dawood Bohra Community, bahkan ketika bakat kritisnya (baru) tumbuh. Waktu itu ia bertanya kepada kepala komunitasnya terkait prinsip keagamaan Bohra. Bukan dijawab, Ali malah diasingkan dan dieks-komunikasikan dari komunitas itu pada tahun 1977.

    Toh begitu ia tetap tegar. Ia terus berjuang; menulis, berpidato, dan melakukan aksi-aksi nyata. Ali pun dianugerahi berbagai penghargaan dari bermacam kalangan berkat komitmen kuatnya atas kaum tertindas, utamanya kaum perempuan. Wallahu a’lam.]

    Habib Luthfi bin Ali bin Yahya


    Monday, 15 September 2008 01:02

    Kita sudah mempunyai Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang menjamin kebebasan beragama. Itu saja yang kita amalkan dengan didukung keyakinan agama masing-masing. Mari kita membangun bangsa ini ke depan.

    Murid Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, yang lebih dikenal sebagai Habib Luthfi Pekalongan, tersebar ke berbagai daerah—bahkan mancanegara. ”Enggak bisa ngitung lagi,” kata Ketua Jam’iyyah Ahlith ath-Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah, perkumpulan tarekat yang diakui (mu’tabar) di bawah Nahdlatul Ulama, ini.

    BILA jadwal pengajian tiba, seperti Reboan atau Jumat Kliwonan, ribuan orang datang ke Kanzus Shalawat (Gedung Shalawat), pusat kegiatan Tarekat Syadziliah, di Kampung Noyontaan, Pekalongan, Jawa Tengah, persis di tepi jalan raya lama Jakarta-Semarang. Banyak yang percaya Habib Luthfi bisa menjadi wasilah (penghubung) doa manusia kepada Tuhan.

    Karisma Habib Luthfi pulalah yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri datang ke Kampung Noyontaan pada acara Maulid Nabi lalu. Perayaan Maulid merupakan puncak acara Tarekat Syadziliah karena mencakup 68 kegiatan di berbagai tempat di seantero Pekalongan, yang berlangsung selama hampir setengah tahun.

    Habib yang memiliki lima cucu ini juga dikenal terbuka dan inklusif sehingga diterima berbagai kalangan. Sampai sekarang, dia masih mengajar santri di rumahnya, di belakang Kanzus Shalawat. Rabu pekan lalu, Arif A. Kuswardono dan Sohirin dari Tempo menemui Habib Luthfi seusai salat tarawih di rumah tersebut.

    Wawancara sempat terputus oleh kegiatannya mengajarkan kitab selama Ramadan. Ada puluhan orang yang mengikuti irsyadat dan taklimat yang digelar tiap malam selepas tarawih selama satu jam. Ditambah tamu yang juga berlipat jumlahnya, Ramadan adalah bulan yang sibuk buat sang Habib. ”Saya hanya tidur tiga-empat jam sehari,” katanya.

    Sekitar pukul 23.00, percakapan dilanjutkan di studio musik miliknya yang berisi delapan organ bersusun dan dilengkapi tata suara elektronik. Habib yang dikenal pandai memainkan sejumlah alat musik ini sudah melahirkan beberapa komposisi. ”Umumnya instrumen,” katanya seraya menggelitik bilah organ. ”Kalau lagu dengan syair, baru dua.”

    Tak lama kemudian, melantunlah lagu Cinta Tanah Air, ciptaannya. Liriknya memuji cinta tanah air yang menjadi cerminan iman seseorang. Musiknya campuran Melayu, dangdut, tarling, dan irama padang pasir. ”Supaya anak muda suka,” katanya. Dengan suara kalem, terkadang diselingi humor, Habib Luthfi menjawab semua pertanyaan Tempo.

    Saat ini ulama menjadi rebutan para politikus. Apa sikap Anda?
    Saya terima semuanya. Sebab, dalam partai-partai terdapat aset bangsa. Nah, aset itu wajib kita junjung tinggi dan kita hormati. Tentang pilihan, itu rahasia masing-masing.

    Banyakkah pejabat dan politikus yang mengunjungi Anda?
    Banyak. (Orang dekatnya menyebut nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir, Ketua Partai Bulan Bintang M.S. Kaban, dan sejumlah jenderal polisi.)

    Anda setuju dengan partai yang menggunakan asas agama?
    Di Indonesia ini dasar pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita kembali saja ke situ dulu, kemudian diwarnai oleh agama masing-masing. Saya secara pribadi menginginkan penganut agama, agama apa pun, menaati ajaran agama untuk bekal kehidupan sehari-hari, sehingga kita bisa ikut membangun bangsa ini. Sebab, kita sama sekali tidak ikut andil mendirikan bangsa ini, kita tidak ikut berjuang zaman dulu. Kita hanya bisa andil menjaga kemerdekaan ini. Caranya membekali mental kita dengan agama yang baik, sehingga kita bisa menjawab tantangan umat.

    Ada kalangan Islam yang berpendapat syariah Islam wajib diakomodasi karena selama ini kita justru memakai hukum Belanda yang tidak mewadahi aspirasi penduduk yang mayoritas muslim.

    Negara kita negara kesatuan yang terdiri atas berbagai agama, kepercayaan, dan suku. Sangat heterogen. Saya kira tidak semudah itu membungkus sesuatu. Kita sudah mempunyai Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang menjamin kebebasan beragama. Itu saja yang kita amalkan dengan didukung keyakinan agama masing-masing. Mari kita membangun bangsa ini ke depan.

    Menurut Anda, syariat Islam sudah cukup diakomodasi?
    Syariat Islam sudah banyak dijalankan dalam undang-undang pemerintah kita. Lihatlah: kantor agama ada, pengadilan agama ada, pernikahan dilindungi, Maulid Nabi Muhammad juga diperingati. Semuanya itu tidak bertentangan dengan Islam. Nah, inilah yang harus kita pelihara.

    Muslim Indonesia kerap dianggap muslim kelas dua karena banyak mistiknya dan tidak radikal. Seharusnya kita seperti muslim Timur Tengah yang militan?
    Apakah itu ajaran Nabi? Apakah Nabi pernah mengislamkan seseorang dengan pedang? Tidak pernah! Saya baca hadis, tidak ada yang menyebutkan itu. Bahkan Nabi menjaga hak-hak ekonomi kaum Yahudi. Kalau ada yang bilang begitu, berarti dia tidak kenal Indonesia. Di Indonesia, yang mau dilawan siapa? Apakah kita harus mengangkat senjata kepada orang yang tidak melawan kita? Orang tidak salah kita tempeleng; apakah itu ajaran Islam? Militan itu ideologinya yang kuat. Rasa kebangsaannya yang kuat.

    Konteks Indonesia berbeda dengan Timur Tengah?
    Apa yang dihadapi di Indonesia berbeda dengan di Timur Tengah. Mestinya Anda bertanya kepada Suudi (Arab Saudi): mengapa orang-orang Suudi yang konon radikalnya luar biasa itu kok tidak pernah mengirimkan pasukannya untuk membela Palestina?

    Tentang Ahmadiyah, apakah sikap pemerintah sudah tepat?
    Saya kira penerbitan surat keputusan bersama sudah bijaksana. Sejahat apa pun mereka, (Ahmadiyah) adalah bangsa kita. Ahmadiyah kan masih bertuhan? Kalau PKI, kan, tidak bertuhan? Lebih jahat mana antara bertuhan dan yang tidak bertuhan? Mengapa PKI masih kita wong-kan, kok, Ahmadiyah tidak?

    Kesalehan individual di Indonesia terus meningkat. Kuota haji selalu terlampaui, pengajian ramai, tayangan agama begitu banyak, tapi kenapa korupsi meruyak dan perbaikan di masyarakat tetap lambat?
    Masyarakat awam itu sebenarnya mencari tuntunan. Mereka mencari figur pemimpin yang bisa membimbing rohaninya, sehingga apa yang ada di dalam ajaran agama itu, di samping diyakini, dijadikan keperluan untuk kehidupan sehari-hari.

    Apakah tuntunan Islam belum cukup?
    Ajaran Islam sangat kompleks. Selain menanamkan akidah pada umatnya, seperti percaya kepada Allah, Nabi, malaikat, dan seterusnya, Islam mengatur cara makan, bergaul, dan sebagainya. Misalnya pakaian, Islam mengajarkan bagaimana seseorang terjaga kehormatannya karena pakaian itu. Jadi, Islam tidak hanya mengatur kesehatan fisik, tapi juga kesehatan rohani atau kesehatan batin. Seperti lagu Indonesia Raya, ”bangunlah jiwanya” lebih dulu, baru ”bangunlah badannya”.

    Jadi, kalau ada yang melenceng di masyarakat, jiwanya belum beres?
    Saya kira tidak perlu sejauh itu, karena hati orang kita tak tahu. Bangunan jiwa ini sudah diatur. Islam setelah mengatur arkanul iman (rukun Iman), lalu arkanul Islam (rukun Islam), selanjutnya baru ihsan. Dari ihsan kita diajari ”bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya”. Kalau tidak mampu merasa melihat Tuhan, kita harus merasa menjadi bagian yang dilihat dan didengar oleh Tuhan.

    Jadi, perubahan itu memang bertahap?
    Pertama kali mungkin kita belum bisa merasakan dampaknya. Tapi, kalau kita terus-menerus merasa menjadi bagian yang dilihat dan didengar Tuhan, akan timbul perubahan. Sebagai contoh, seorang pesilat, kalau sering latihan, pasti akan mempunyai gerak refleks. Sehingga, kalau dia terpeleset, paling tidak 85 persen dia akan selamat dan tidak cedera. Sebaliknya, bagi yang tidak pernah latihan, jika dia terpeleset, akan lebih banyak cederanya ketimbang selamat.

    Apa perubahan terbesar bila sudah merasa dekat dengan Tuhan?
    Kalau kita sering merasa menjadi bagian yang dilihat Tuhan, akan timbul reaksi. Di antaranya rasa malu. Malu karena perbuatan kita selalu dilihat dan didengar Allah. Malu adalah sebagian tanda iman. Malu akan menambahkan kesempurnaan dalam beriman. Dari malu kepada Allah, malu kepada Nabi, kepada ulama, pahlawan, orang tua, guru, hingga terakhir malu kepada sesama.

    Mungkinkah seseorang yang sudah dekat jiwanya dan malu kepada Tuhan malah terus didera kesulitan?
    Kesulitan yang diberikan Allah pada hakikatnya adalah untuk pembekalan. Jika mau menengok ke belakang, akan timbul perubahan. Kalau kemarin kita berdagang terus merugi, kita harus melihat apakah servis atau mutu kita sudah bagus atau belum. Jadi, majunya ke depan karena kita mau menengok ke belakang.

    Bagaimana rasa malu bisa memperbaiki kualitas kehidupan sosial?
    Taruhlah seseorang tidak puasa karena memang pekerjaannya sangat berat. Misalnya pekerja fisik. Kalau tidak bekerja, hari itu mereka tidak bisa makan. Tapi, jika sadar bahwa dirinya menjadi bagian yang akan dilihat Allah, dia tidak akan seenaknya berjalan sambil merokok di bulan puasa. Ini contoh sederhana. Jika rasa malu sudah hidup, perlahan tapi pasti akan mengubah perilaku kita.

    Apa rasa malu bisa mendorong disiplin?
    Ya, mestinya, setelah muncul rasa malu, meningkat menjadi takut kepada Tuhan. Kalau takut, kita akan bertakwa dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Di sinilah rasa takut menjelma menjadi takwa.

    Apa peran tarekat dalam memunculkan rasa malu kepada Tuhan?
    Kita membangun jiwa dengan menyebut nama Allah dalam berzikir, sambil merasa dilihat dan didengar oleh Allah. Secara tidak langsung kita selalu diingatkan kepada Allah. Lalu, saat kita membaca selawat, kita diingatkan kepada Muhammad. Apakah tidak malu kalau tidak bisa meniru keteladanan Muhammad? Secara umum, kita juga harus menghormati orang tua dan guru. Rasanya malu kalau sudah dibesarkan orang tua dan diajari oleh guru tapi tidak menuruti nasihatnya.

    Malu juga dituding menjadi biang kemunduran. Seperti apakah rasa malu yang bisa menghambat kemajuan?
    Malu itu ibarat cangkir. Kalau diisi susu, kan, tidak ada yang salah? Kalau diisi minuman keras, baru dosa. Kalau malu dianggap penyebab kemunduran, apa salah ungkapan al haya’ minal iman (malu sebagian dari iman)?

    Jadi, menumpuknya masalah bangsa salah satunya karena kita krisis malu?
    Saya tidak mau mengatakan bangsa ini krisis akhlak atau krisis malu…. Tapi inilah di antara kelemahan-kelemahan kita.

    Bila syariah Islam sudah diterapkan tapi musibah terus mendera, apa yang salah?
    Saya tidak mau mengungkap cacatnya salah satu wilayah atau keturunan karena seluruh Islam adalah bersaudara.

    Mengapa muncul Islam yang radikal bila dasarnya adalah rasa malu?
    Saya tidak mau terpengaruh dengan mereka (radikal). Saya punya konsep sendiri untuk mendidik santri, khususnya santri tarekat, sesuai dengan ajaran al-salafu al-shalihin (ulama pendahulu) yang sudah membuatkan satu konsep yang luar biasa dalam memahami Al-Quran dan hadis. Kita juga belajar dari dinamika yang telah diajarkan oleh para imam mazhab seperti Syafii, Maliki, dan Hambali. Para imam mazhab itu sangat menguasai ilmu agama, tapi meski mempunyai perbedaan, mereka saling menghormati.

    Para imam mazhab tak mengklaim pendapatnya sendiri yang paling benar.…
    Dinamika antar-ulama ini indah. Ibarat musik, meski ada perbedaan alat musik dan aliran musik, musiknya bisa dinikmati. Ada harmoni. Masing-masing juga tidak bisa mengklaim paling benar karena jumlah nada atau not musik cuma 12. Antara satu dan yang lain pasti bersinggungan.

    Bagaimana supaya kita tidak keliru arah menjadi radikal?
    Harus ada transformasi dan pembekalan. Kalau tidak bisa, ya, ikuti yang baik, yang bisa dipercaya, tidak asal.

    Bagaimana supaya puasa atau ibadah tidak sekadar ritual saja, tapi juga berpengaruh pada kehidupan sosial?
    Kita ambil contoh yang ringan saja. Bagaimana kita merasakan lapar dan dahaga? Ternyata setetes air dan sebutir nasi sangat bermanfaat. Kita harus menghormati sang pencipta nasi dan setetes air. Secara proses, sebutir nasi itu melibatkan banyak orang, dari ditanam hingga tersaji. Secara sosial, kita harus menghormati orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan nasi. Itu baru sebutir nasi, belum lagi tentang air, lauk, dan sebagainya.

    Ada contoh lain?
    Soal wudu, misalnya. Tiap hari anggota tubuh lima kali dibasuh wudu. Masing-masing tiga kali. Berapa kali satu anggota badan dibasuh dalam sebulan? 450 kali. Setahun? 5.400 kali. Itu baru yang wajib saja. Pertanyaannya: sejauh mana bekasnya kita membasuh anggota tubuh sebanyak itu? Apa ”buah” wudu yang kita dapat? Mestinya mata kita bisa menutupi aib orang lain, mulut kita mengucapkan yang baik-baik, tangan kita juga tidak mengambil yang bukan hak. Karena berkah dari wudu, secara sosial kita juga harus lebih baik.

    Bagaimana proses puasa ”membersihkan” tubuh?
    Anda bayangkan perut kita seperti bejana yang tidak pernah dicuci, padahal digunakan untuk memasak aneka makanan selama sebelas bulan. Kira-kira bisa tidak pencernaan kita melakukan metabolisme tubuh dan menghasilkan darah yang baik kalau tidak dibersihkan? Padahal darah tadi akan memasok makanan ke otak. Obat cuci perut hanya terbatas, tidak bisa sampai ke dasar pencernaan tempat virus dan kotoran. Hanya puasa yang bisa menjangkaunya. Jadi, puasa juga berdampak pada pencerdasan kehidupan bangsa.[]

    MUHAMMAD LUTHFI BIN ALI BIN YAHYA
    Tempat dan tanggal lahir: Pekalongan, 10 November 1946
    Pendidikan:

    • Pondok Pesantren Bondokerep, Cirebon, Jawa Barat
    • Belajar ke Hadramaut, Yaman
    • Pondok Pesantren Kliwet Indramayu, Tegal (Kiai Said)
    • Belajar kepada Kiai Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Ali di Purwokerto

    Pekerjaan:

    • Rais Am Jam’iyyah Ahlith ath-Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah 2005-2010 (periode kedua)
    • Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah (2005-2010)
    • Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Kota Pekalongan (2005-2010)
    • Paguyuban Antar Umat Beriman (Panutan) Kota Pekalongan

    Mengembalikan Hadiah

    ssssssssssssssssss

    Tan Joe Hok rupanya pernah melakukannya. Dan tidak tanggung-tanggung: mengembalikan uang pemberian Bung Karno, sebanyak 1.000 dollar AS.

    ”Saya kan sudah mendapat beasiswa dari Baylor University (Texas). Kenapa saya mesti menerima uang lagi? Kasihan, masih banyak mereka yang membutuhkannya. Uang saku, saya pun sudah bisa mendapatkannya sendiri dengan bekerja di kampus,” tutur Tan Joe Hok, ketika ditemui di rumahnya di Pancoran, Tebet, Kamis (4/12) lalu.

    Ketika itu, menurut Tan Joe Hok, jumlah 1.000 dollar AS besar sekali untuk ukuran masa itu. Sebagai mahasiswa perantauan (Tan Joe Hok mendapat beasiswa studi sampai selesai S-1 di Baylor University, jurusan premedical dengan major kimia dan biologi sejak 1959-1963), tentu, ia bukan tak butuh uang.

    ”Saya kembalikan uang itu melalui Prof Dr Prijono, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ke alamat pengirimnya,” tutur Tan Joe Hok. Gile. Kan pengirimnya Bung Karno?

    Kisah hadiah uang itu bermula dari keberhasilan Tan Joe Hok, yang bersama Ferry Sonneville, pulang kembali dari negeri seberang guna mempertahankan Piala Thomas di Jakarta (1961), setelah untuk pertama kalinya mereka dan timnya merebut lambang supremasi beregu bulu tangkis itu pada tahun 1958.

    ”Saya cari-cari nomor telepon Ferry di Amsterdam (Belanda), dan berhasil saya hubungi pagi-pagi pukul 01.30. Saya bilang kepada Ferry, ayo Fer kita pulang untuk mempertahankan Piala Thomas,” tutur Tan Joe Hok. Ferry yang tengah studi ekonomi di Amsterdam setuju pulang. Dan dengan biaya serta kesadaran sendiri, Tan Joe Hok pun kembali ke Jakarta. Sementara Ferry berhasil ”didatangkan” dari Belanda dengan dana yang digalang oleh pembaca-pembaca koran Star Weekly.

    Begitu pertandingan usai dan Indonesia berhasil mempertahankan Piala Thomas, Tan Joe Hok segera kembali ke AS untuk menyelesaikan studinya.

    ”Yang saya hargai bukan pemberian uangnya, akan tetapi falsafah di baliknya. Sebagai pemimpin tertinggi, Bung Karno sangat menghargai rakyatnya,” tutur Tan Joe Hok. Ia bahkan ingat benar kata-kata Bung Karno ketika Indonesia berhasil mempertahankan Piala Thomas 1961.

    ”Kamu mewakili bangsa dan negaramu. Banyak doktor, insinyur...., tetapi orang yang seperti kamu itu hanya bisa dihitung dengan jari. Saya bangga,” kata Tan, menirukan sang pemimpin besar revolusi itu. Sambil menunjuk-nunjuk, Bung Karno itu berkata, ”I’ll give you scholarship.”

    Dan ternyata, begitu tiba di kampus di Texas, sudah ada sepucuk amplop yang menerangkan bahwa Tan Joe Hok mendapat kiriman uang sejumlah 1.000 dollar AS dari seseorang di Indonesia.... (sha)

    Rabu, 03 Desember 2008

    KH Ibrahim Hosen: Sosok Pembaharu

    Oleh: A. Mustafa

    Hukum tidak tergantung pada sebuah benda, tapi hukum terkait dengan perbuatan manusia. Dalam ushul fiqh ada kaidah yang mengatakan “Kitabullah al-muta’alliq bi af’ali al-mukallafin“, firman Allah itu terkait dengan perbuatan mukallaf, individu. Definisi ini dipertegas oleh Ibrahim Hosein dengan sikapnya yang menolak adanya hukum haram pada uang. Yang haram adalah perbuatan orang dalam menggunakan uang itu.

    “Ibrahim Hosein termasuk sosok pembaru hukum Islam yang cenderung berani melahirkan gagasan-gagasan revolusioner pada masanya. Sikap revolusiner pemikirannya ditampilkan dalam upayanya merelatifkan syariah. Menurutnya syariah perlu dipikirkan, perlu diletakan sebagai produk manusia yang tidak bersifat absolut.”

    Demikian pernyataan kritis Abd. Moqsith Ghazali dalam diskusi Jaringan Islam Liberal bekerja sama dengan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Siyasah Syariah (BEMJ Siyasah Syariah) pada Selasa, (27/6) di Ruang Teater Lt.2 Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diskusi dengan tema “Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Telaah Pemikiran Prof. K.H. Ibrahim Hosein” selain menghadirkan Moqsith sebagai pembicara juga mengundang JM. Muslimin, Peniliti INIS, dan Dr. Mujar Ibnu Syarif, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum.

    Terkait dengan pembaruan yang dilakukan Ibrahim tentang relativitas syariah, Moqsith mengaku ingat akan sebuah pertanyaan: apakah sanksi-sanksi hukum dalam bidang kepidanaan itu berfungsi sebagai menambal dosa yang bersangkutan (jawabir) atau sebagai upaya menjerakan pelaku pidana (zawajir). Menjawab pertanyaan itu, Menurutnya, Ibrahim Hosein termasuk orang yang mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai zawajir.

    Pada posisi ini, Ibrahim dinilai sebagai orang yang setuju bahwa sanksi hukum dalam bentuk potong tangan dan rajam tidak relevan bila diterapkan di bumi Indonesia. Potong tangan, rajam, dan cambuk bukanlah tujuan hukum itu sendiri, melainkan lebih sebagai instrumen agar membuat pelaku pidana jera. Karenanya, dalam konteks ini syariah menjadi relatif, bisa diubah, mungkin dengan cara dipenjarakan atau semacamnya. Dalam pandangan Ibrahim, bila penjara bisa membuat para pelaku pidana menjadi jera maka potong tangan tidak perlu dilakukan.

    Pernyataan ini pernah membuat marah Satria Effendi, salah seorang ahli fiqh lain pada masanya. Menurut Effendi dalam hukum potong tangan selain terkandung fungsi sebagai zawajir juga terkandung jawabir. Menanggapi kemarahan itu, Ibrahim mengatakan bahwa itu hanya lantaran, wasilah, bukan tujuan, ghayah dari diterapkannya sebuah sanksi hukum tertentu.

    Moqsith selain mengaku tersanjung dengan ketokohan Ibrahim, ia juga tidak terlepas untuk mengkritiknya. Pasalnya, Ibrahim ingin menyerahkan otoritas dalam melakukan tahkim dan takhsis itu kepada lembaga pemerintah. Sikap seperti ini sangat berisiko. Karena bagaimana bila pemerintahnya zalim dan otoriter akan membahayakan produk hukum yang dihasilkan. Menurut Moqsith, baik takhsis maupun tahkim hanya dapat dilakukan akal publik. Dalam kaidah ushul fiqh yang dibuatnya sendiri berbunyi yajuzu tanqihun nushus bi aql al-mujtama’, yaitu menyortir ketentuan yang ada dalam al-Quran dan sunnah, terutama yang partikular, dengan menggunakan akal publik, tidak menyerahkannya kepada pemerintah.

    Sementara itu, pembicara lainnya, JM. Muslimin, lebih menyoroti Ibrahim Hosein pada sisi epistemologinya dalam mengeluarkan sebuah produk-produk hukum Islam. Menurutnya, Ibrahim memiliki geneologi pemikiran yang coraknya lebih ushul fqih yang memiliki kesamaan dengan seorang ulama fiqh pada masa kolonial, Syaikh Utsman. Lebih jauh Muslimin menilai, Ibarahim tidak lebih dari duplikasi ulama tersebut. Kesamaan itu bisa dilihat pada pandangan bahwa dalam pemutusan sebuah hukum sangat terkait dengan masalikul ‘illat. Yang pada gilirannya dari pandangan ini ia sampai pada kesimpulan bahwa porkas dan SDSB adalah boleh. Pandangan ini bertentangan mainstream pada waktu itu yang mengatakan, baik porkas maupun SDSB adalah uang haram.

    Hukum tidak tergantung pada sebuah benda, tapi hukum terkait dengan perbuatan manusia. Dalam ushul fiqh ada kaidah yang mengatakan “Kitabullah al-muta’alliq bi af’ali al-mukallafin“, firman Allah itu terkait dengan perbuatan mukallaf, individu. Definisi ini dipertegas oleh Ibrahim Hosein dengan sikapnya yang menolak adanya hukum haram pada uang. Yang haram adalah perbuatan orang dalam menggunakan uang itu.

    Muslimin menilai, eksplorasi pemikiran yang dilakukan para pembaruan hukum Islam, dalam hal ini termasuk Ibrahim Hosein, tidak berhasil melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi epistemologi hukum Islam, ushul fiqh. Pasalnya, apa yang dilakukan Ibrahim dalam melakukan rumusan-rumusan sebuah hukum tidak mampu sampai pada kesimpulan yang konklusif. Artinya tidak pada kesimpulan yang jami’ dan mani’ tentang apa yang menjadi perdebatan pada sistematika nilai, filosofi nilai yang terdapat dalam Islam sendiri. Ushul fiqh yang lebih banyak bicara tentang sesuatu, tapi tidak memiliki batasan-batasan yang jelas, batasan yang komprehensif sekaligus restriktif.

    Lain halnya dengan presentasi yang disampaikan Mujar Ibnu Syarif yang berusaha memotret sosok Ibrahim Hosein dari sisi kontroversinya saat dia menjadi ketua MUI pada tahun 80-an. Menurut Mujar, Ibrahim selain mengeluarkan pandangannya tentang pembolehan SDSB dan Porkas, ia juga pernah mengeluarkan pernyataan soal penghalalan hewan kodok. “Memakannya haram tetapi membudidayakannya halal,” tegasnya dengan nada datar.

    Hal lain yang juga sempat menjadi kontroversi, adalah tindakannya ketika dia sakit memakan daging babi. Padahal dia sudah dilarang untuk tidak memakannya. Ketika ditanya, kata Muzhar, Ibrahim menjawab, seraya berfatwa: lebih baik mati kekenyangan daripada mati kelaparan.

    Diskusi pada kesempatan ini banyak mendapat apresiasi dari peserta. Tapi juga ada peserta yang menilai bahwa diskusi ini belum cukup berhasil menampilkan paradigma yang berbeda dari tiga pembicara yang hadir dalam memberikan penilain terhadap sosok Ibrahim Hosein. Pasalnya, tidak ada pembicara yang memiliki paradigma yang secara genuine berbeda dari pembicara lainnya. Mereka umumnya dinilai, tidak secara jelas baik itu mengagungkan sekali atau bahkan sebaliknya, mengkritik sekali terhadap sosok Ibrahim Hosein. “Sebaiknya dihadirkan para pembicara yang kontroversial,” tulisnya pada salah satu lembar evaluasi peserta yang disebarkan oleh panitia.

    Sumber: www.islamlib.com